Kebahagiaan bermadu kasih hanya berlangsung selama satu minggu. Setelahnya aku harus berangkat ke Malaysia sesuai janji pada Aba yang mengharuskanku meng-handel perusahaan yang ada di sana. "Terus kapan kita akan menghabiskan waktu lama begini?" Dia meruncingkan bibir. "Nanti bila Abang tak sibuk dan bisa ambil libur." "Kapan?" "Tahun baru. Mungkin Abang bisa berlibur seminggu." "Janji!" Dia menunjukkan kelingking. "Janji." Aku menautkan kelingking kami. Setelahnya kami hanya bisa melepas rindu lewat ponsel cerdas pada jaman itu. Lalu bertemu seminggu sekali atau kadang dua minggu. Sungguh tersiksa pengantin baru harus LDR. Aisha gadis periang. Benar-benar sosok istri yang kuharapkan. Pernah satu ketika kami menghabiskan malam yang indah. Lalu paginya dia sudah berbusana cantik hendak kuliah. Namun karena gemas aku menahannya. Menguncinya di dinding setengah memaksa. "Abang ni. Orang aku mau kuliah juga." Dia mengomel sambil lari ke kamar mandi. "Nanti Abang antar." "Diantar
Pov Alina Setelah dari pemakaman kami duduk di kursi taman. Bernaung di bawah pohon dengan pemandangan rumput hijau. Bang Rasya menceritakan semuanya dengan raut kacau. Baru kali ini aku melihat lelaki menangis sampai berlinang-linang air mata. Bang Rasya menggenggam tanganku. Sikutnya bertumpu pada paha. Aku terpejam. Membaca semua rasa yang bergejolak di dada. Hatiku kini serupa rumah yang memiliki dua ruang. Ruang pertama diisi oleh rasa kasihan. Miris mendengar kisah cinta nan pilu itu. Kehilangan pasangan yang masih dalam nuansa berbulan madu. Apa lagi dia dalam kondisi hamil. Pantas Bang Rasya sampai depresi. Ruang kedua dadaku bergejolak. Panas karena cemburu. Aku baru tahu kalau ternyata ada wanita yang kian dalam mengisi hatinya. Aku cemburu karena sadar aku tidak memiliki cintanya. Cinta Bang Rasya hanya untuk orang yang jauh di sana. Bahkan perhatiannya timbul karena bentuk peluapan kekecewaannya pada diri sendiri. Dua perasaan itu membentuk sedih, sedih yang berbeda. E
Kami melanjutkan perjalanan melewati masjid besar yang berkubah hitam. Aku masih ingat pemberitaan tsunami Aceh di layar kaca. Dari lahan yang berhektar-hektar, hanya masjid ini yang berdiri tegak. Aku terpana melihat bangunan megah itu. Luar biasa indahnya. Kami tidak berhenti di sana, malah terus lanjut melaju jauh menjauhi kota. Mobil pun sudah tidak pelan, melainkan dalam kecepatan tinggi. Setelah jarak yang cukup jauh dilewati. Bang Rasya berhenti di sebuah rumah dua lantai yang cukup besar. Dia langsung turun dan berputar membukakan pintu. "Jom, Dik. Kita masuk dulu." "Ini apa?" "Rumah Abang yang lama." Apa papan pengumuman di depan rumah itu. 'Yayasan panti asuhan dan dhuafa. Aisha Umar.' "Ini jadi ...." "Jadi panti asuhan. Setelah tsunami Abang dan Umma langsung pindah ke Malaysia. Rumah lama kami jadikan panti asuhan. Agar ada pahala mengalir untuk Aba dan Aisha serta keluarganya. Jom!" Bang Rasya menggenggam tanganku. Memasuki rumah besar ini. Banyak anak-anak berla
Pernah memiliki suami yang berzina dengan orang lain itu sakit rasanya. Aku sering bertanya, apa yang salah? Kenapa sampai begitu? Sebelah mana yang kurang? Kok bisa sampai melakukan dosa padahal yang halal ada. Kata Bang Rasya itu terjadi karena orangnya saja yang brengsek, akan tetapi bagiku itu tetaplah pembelajaran. Sebagai seorang istri aku harus berusaha maksimal dalam melayani, selepas dari itu terserah takdir membawa ke mana. "Terima kasih, Comel." Bang Rasya mencium kening dan aku memeluknya semakin erat. Dering ponsel berbunyi di samping tempat tidur. Bang Rasya meraihnya dengan tangan kiri dan segera mengangkat. "Hello, Aldo." "Awak email saja nanti saya cek." "Oke ... oke ... it's oke no problem." "Ada kerja." Bang Rasya beringsut dan langsung ke kamar mandi. Setelah bersih dia memakai pakaian dan sibuk di depan laptopnya. Sampai malam larut dia tak beranjak lagi. Esok paginya kami langsung berbenah. Bang Rasya bilang kalau kerjaan di kantornya sudah menumpuk. Renc
Rumah ini mungkin luasnya dua kali lapangan bola, alias satu hektar. Dari gerbang utama ke pintu kemudian ke taman belakang itu panjang sekali. Rumah memiliki tiga bangunan. Tengah, samping kanan dan samping kiri. Entah mengapa Abang punya rumah sebesar ini. Kamar pun banyak yang tidak terisi. "Iki ...." Aku berlari menghampiri anak lelaki yang sedang main loncat-loncat itu. Baby sitter duduk tak jauh darinya. Aku langsung bermain dengan Zikri melepas kerinduan sampai cukup lama. Sulastri berjalan ke sini. "Nyonya muda, dipanggil Tuan Muda." "Apa-apaan sih kamu, Lastri." Aku tersenyum geli. Bisa saja dia. "Sekarang kan sudah jadi nyonya rumah ini." "Sama saja. Di mana dia?" "Di kamar. Ahay." Sulastri mengedipkan sebelah mata. "Dasar ya kamu." Aku segera menemui Abang dengan menggendong Zikri. Menuju kamar di lantai dua sebelah kanan. Aku sering beres-beres rumah, tapi tidak tahu seperti apa kamar Abang. Aku mengetuk pintu dengan perasaan aneh. Sepertinya darah TKW sudah mend
Pulang Kampung 30 Bang Rasya terpejam lelap. Napasnya teratur, dada naik turun. Lelah mungkin, tiga hari kami banyak menghabiskan waktu di jalan. Dari kampung-ke Aceh-ke Malaysia. Apa lagi semalam dia kerja sampai larut. Aku menutup pintu kamar dengan pelan. Berdiri di balkon sambil memainkan ponsel. Baru ingat, aku belum mengabari ibu dan bapak di kampung. Mana kami berpisah dalam keadaan kacau pula. Aku menekan panggilan keluar. Menyatukan ponsel dengan telinga. Beberapa detik menunggu. Lalu suara bapak pun terdengar. "Lina?" "Ya, Pak. Lina sudah sampai Malaysia." "Alhamdulillah." "Bagaimana bapak ibu di kampung? Shena tidak cari gara-gara lagi kan?" Bapak terdengar menghela napas. Lalu suara ibu juga terdengar tapi tak jelas bicara apa. "Lina," ucap suara Ibu. "Ya, Bu." "Ibu dan bapak malu sekarang buat keluar rumah. Muka sudah seperti dilulur tai kebo. Shena memalukan, benar-benar memalukan," keluh ibu. "Kenapa lagi dia, Bu?" Aku hanya menggeleng miris ketika ibu berc
Paginya, Suamiku berdandan rapi. Penampilan ini yang aku sukai. Dia memakai kemeja yang pas di badan. Lalu memasang dasi. "Bisa, tak, Adik pakaikan." Aku coba membuat simpul, seperti dulu waktu sekolah. "Bukan begitu, Comel." "Dulu waktu saya sekolah begini kok." "Bukan." Dia melihat cermin dan memakai dasinya sendiri. "Hari ini Abang tugaskan awak belajar simpul dasi. Understand?" "Siap." Setelah memasang dasi, Bang Rasya memakai rompi. Mengambil jas dan menenteng tas. Dia memberikan dua benda itu lalu kami turun. Sarapan beberapa suap saja. Lalu beranjak ke depan rumah. Dia meminta dipakaikan jas. Segera kupakaikan dan memastikannya rapi. "Baik-baik di rumah, Comel. Bila nak pergi awak minta bantu Satria. Dia belum punya lesen jadi awak naik taxi je, but harus dengan penjaga awak. Oke?" Abang mencium kening. "Oke, Abang." Pria keren ini masuk ke mobil dua pintu. Mesinnya menyala, lalu atapnya terbuka. Bang Rasya memakai kacamata hitam. "Assalamualaikum." Mobil keren itu m
Resepsionis melihat aku dan Satria secara bergantian. Lalu gadis ber-name tag Soraya itu mengangkat telepon. “Ya, Mr ... “Ya ... “I’m sorry, Mr ... “Oke ... “ya ....” Ekspresi wajah Soraya langsung berubah pucat. Satria mengangkat dagu semakin pongah. Gadis itu berbisik dengan temannya, lalu mereka keluar dari meja resepsionis dengan menunduk. “I’m sorry. Kami tak tahu bila Miss istri Mr. Rasya.” Mereka membungkuk di depanku. “Tidak apa-apa.” “Mari saya antar," kata salah satu di antara mereka. Gadis yang ternyata sangat manis itu mempersilahkan, lalu aku berjalan ke arah yang dia tunjuk. Masuk ke elevator. Satria mengikuti, terus berdiri di belakangku. Gadis dengan rok span di atas lutut ini menekan tombol angka sepuluh. Elevator pun naik. Aku langsung di antarkan ke meja sekretarisnya Bang Rasya. Kupikir sekretaris harus perempuan, ternyata ada laki-laki juga. “Mr. Kelvin, Miss ini istrinya Mr. Arasya,” kata Soraya pada laki-laki berjas itu. “Oke thanks, you boleh balik
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku