"Pak dokter, saya udah sembuh kok. Lihat badan saya sudah nggak panas lagi. Batuk-batuknya juga sudah reda. Saya sudah boleh pulang sekarang kan Pak Dokter?" Merlyn meraih tangan kanan Dokter Dika dan menyentuhkannya ke kening dan lehernya sendiri, demi untuk meyakinkan sang dokter.
"Yang jadi dokternya di sini siapa? Kamu atau saya? Kenapa malah jadi kamu yang mengatur-ngatur saya?" Dengan ketus Dika membalas kata-kata Merlyn. Tapi tidak urung dia membelai lembut kening dan leher pasien cantiknya. Masih sedikit hangat. Merlyn belum sehat betul.
"Yang merasakan sakit atau tidak itu tubuh siapa? Tubuh saya kan? Tapi kenapa malah Pak Dokter yang merasa lebih tahu?" Merlyn membalikkan kata-katanya dengan jenius pada Dika.
Tumben si oneng ini pinter? Mungkin signalnya sedang bagus-bagusnya.
"Oohhh... jadi kamu merasa lebih tahu soal kondisi tubuh kamu dibandingkan dengan saya? Baiklah. Kalau begitu saya akan menghubungi bunda kamu saja. Saya akan mengatakan kalau kamu sudah menjadi dokter-dokteran sendiri, atau kamu mau saya suntik dengan jarum suntik besar ini?"
Dika yang iseng ingin mengerjai Merlyn, mengambil sebuah jarum suntik dengan ukuran yang paling besar. Ukuran jarum hipordemik yang ditandai dengan nomor gauge atau huruf G, berbanding terbalik terhadap diameter jarum. Semakin besar nomornya, maka semakin kecil lah diameter jarum. Demikian pula sebaliknya. Sementara Merlyn yang melihat dokternya meraih jarum suntik yang paling besar lagi ukurannya, langsung saja melompat dan berlari keluar ruang rawat inapnya. Ketakutan telah memberikan kekuatan berlebih kepadanya. Jarum infus yang tadinya terpasang di lengan kirinya sampai tercabut lepas karena ia berlari begitu saja. Merlyn bahkan sampai melupakan alas kakinya.
Dika yang sama sekali tidak menyangka kalau Merlyn akan sehisteris itu saat melihat jarum suntik, memaki pelan seraya berusaha berlari mengejar. Sialnya kakinya malah tersandung tiang infus beroda yang membuatnya terjerembab jatuh seketika. Merlyn berlari tunggang langgang di sepanjang koridor rumah sakit sambil menangis ketakutan. Dia bahkan tidak menghiraukan tatapan bingung orang yang berlalu lalang di sekitar rumah sakit. Saat ini yang terbersit di benaknya hanya satu, berlari sejauh mungkin dari rumah sakit ini.
BUGHHH!
"Aduh! Merlyn nyaris saja jatuh terjengkang ke belakang saat tubuhnya menabrak keras salah seorang pengunjung rumah sakit. Untungnya orang tersebut dengan sigap segera menahan laju tubuhnya.
"Merlyn!"
"A--Aang polisi! Tolongin saya, Bang. Saya mau disuntik Dokter Dika dengan jarum suntik be--besar Bang. Huaaaa! I--itu dia dokternya, Bang! Saya nggak mau disuntik, Abang polisi. Saya takut!" Merlyn langsung melompat ke atas tubuh Galih yang kebetulan sedang mengantar ibunya untuk medical check up rutin. Merlyn kini mirip dengan seorang anak kecil yang digendong depan oleh ayahnya. Mer juga menyembunyikan wajahnya pada lekukan leher Galih. Ia sama sekali tidak mau turun dari gendongan Galih.
"Merlyn, turun! Ayo kembali ke kamar kamu sekarang." Dika yang telah berhasil menyusul Merlyn berusaha untuk menguraikan paksa pelukan kuat Merlyn pada pada leher Galih. Semakin Dika berusaha melepaskan, semakin kuat pula Merlyn mengunci leher Galih. Galih kini merasakan kalau lehernya telah basah oleh air mata Merlyn. Sedu sedan tangis terengah-engah dan gemetarnya tubuh Merlyn telah membangunkan naluri dasarnya sebagai seorang laki-laki, yaitu melindungi.
"Maaf Pak Dokter, ada apa ini sebenarnya?" Galih bukannya melepaskan Merlyn, tapi malah sebaliknya tanpa sadar terus saja mengelus-elus punggungnya. Berusaha menenangkannya yang masih berada dalam gendongan protektifnya.
"Anda mengenal pasien saya, Pak polisi?" Dika menjungkitkan sebelah alisnya. Entah mengapa ada rasa tidak suka di hatinya saat melihat kedekatan pasiennya dengan pria lain. Padahal Merlyn bukan siapa-siapanya. Hanya sekedar anak rekan seprofesi ayahnya.
"Iya, saya kebetulan mengenalnya. Bukannya saya bermaksud ingin menggurui, Pak Dokter. Tapi sebaiknya jangan menjadikan phobia atau ketakutan seseorang terhadap sesuatu sebagai bahan ancaman. Karena hal tersebut akan menjadikan mereka terpaksa bersikap agresif terhadap dua opsi yaitu fight atau flight. Fight disini diartikan ia akan bertarung, memukul karena berfikir sedang dalam menghadapi kondisi berbahaya. Kemudian flight atau lari, kabur dari hal yang ditakutinya. Dan Pak Dokter lihat sendiri kan kalau Merlyn memilih opsi flight? Dia kabur ketakutan dari Anda."
Selama Galih menjelaskan, selama itu pula tidak henti-hentinya tangannya mengusap-usap punggung maupun bahu Merlyn yang berada dalam gendongannya. Dan semua itu tidak lepas dari pengamatan tajam mata ibunya.
"Merlyn! Sedang apa kamu di gendongan Pak Polisi? Ayo turun, Dek! Kamu sudah besar. Selain dengan Ayah dan Abang, kamu tidak boleh bersikap seperti itu terhadap orang lain." Dari jarak sekitar lima meter, Merlyn melihat kedatangan abangnya dan Tama. Mau tidak mau Merlyn turun juga dari gendongan Galih.
"Saya heran. Di mana ada Merlyn, kenapa di situ ada Anda ya, Pak Polisi?" Sindir Tama sinis. Galih hanya melirik sekilas pada Tama, sebelum memberikan jawaban yang cukup menohok.
"Itu juga sebenarnya pertanyaan yang ada dalam benak saya terhadap Anda, Pak Tama. Kenapa Anda jadi lebih mirip sebagai bodyguard keluarga Diwangkara alih-alih tetangga? Satu hal yang bisa saya katakan kepada Anda, saya bertemu Merlyn itu karena kebetulan yang ditakdirkan. Bukan kesempatan yang diusahakan."
Galih menjawab dengan nada datar saja, namun tidak bisa ia bantah kebenarannya. Makanya ia hanya mendengus kesal dan segera berjalan mengekori Merlyn dan Tian. Galih hanya bisa menatapi kepergian Merlyn dan kini digandeng oleh abangnya. Ia terus memperhatikan Merlyn sampai bayangan gadis itu berbelok ke sebelah kiri koridor rumah sakit.
"Nggak mau! Pokoknya Mer nggak mau dipasang infus lagi, Bang. Lihat ini tangan kiri Mer sampai gembung. Sakit sekali, Bang." Merlyn mengibaskan tangan Tian saat abangnya itu mengarahkannya kembali ke ruangannya. "Abang polisi, tolong Mer, Bang."
Bahkan dari jarak yang cukup jauh, Galih bisa mendengar suara teriakan Merlyn. Hatinya mencelos seketika. Ia tidak tega mendengar suara ketakutan Mer dari ruang inap pasien di sebelah kirinya. Mer bahkan sampai menjeritkan namanya. Pasti gadis itu sangat ketakutan sekali.
"Bu. Ibu tunggu dulu di sini sebentar ya, Bu? Galih ada perlu." Tanpa mendengar jawaban dari ibunya Galih langsung berlari mendatangi ruang inap di sayap kiri rumah sakit. Galih tidak perlu bertanya lagi pada perawat information center di mana ruangan Merlyn, karena suara jeritan Merlyn sudah terdengar membahana dari ruangan anggrek 3. Tanpa mengetuk lagi, Galih membuka begitu saja pintunya. Ia mengkertakkan giginya saat melihat Tian dan Tama memegangi masing-masing lengan kanan dan kiri Merlyn yang berteriak-teriak histeris ketakutan, sementara Dokter Dika memegangi lengan kanannya. Bermaksud untuk memasang kembali infus Merlyn. Karena punggung tangan sebelah kiri Merlyn membengkak, sepertinya Dokter Dika akan memindahkan selang infus dari tangan kiri ke tangan kanannya. Kejam sekali pemandangan seperti itu di mata Galih. Di mana tiga laki-laki berbadan besar, menggunakan kekuatan mereka terhadap seorang perempuan yang menangis ketakutan dan tidak berdaya. Apakah tidak ada cara yang lebih manusiawi dari pemaksaan kasar seperti ini?
Saat Merlyn secara tidak sengaja melihat ke arah pintu, wajahnya terlihat lega saat melihat kehadiran Galih.
"Bang polisi, tangkap mereka semua, Bang! Mereka menganiaya sa--saya, Bang. Saya tidak mau di infus. Sakit sekali tangan saya karena terus dicucuk-cucuk." Adu Mer sesenggukan. Ada kepercayaan penuh di matanya saat mereka berdua saling bertatapan. Galih dan semua laki-laki normal di dunia, pasti tidak akan tega jika melihat seorang wanita menangis. Istimewa wanita itu mempunyai tempat khusus di hatinya. Ada perasaan ingin menghibur, melindungi dan juga mencari solusi untuk menghalau kesedihan dan air matanya.
"Tolong jangan bersikap seperti ini, saudara-saudara sekalian. Saya tahu, memasang kembali infus itu tetap harus di lakukan. Tapi saya harap tidak dengan cara seperti ini. Tolong lakukan lah dengan cara yang lebih persuasif. Kasihan kalau pasien Anda sampai histeris seperti ini, Dokter," Galih berupaya untuk menasehati Dokter Dika.
"Saudara Tian, Merlyn ini kan adik Anda. Jangan lah begitu kejam terhadapnya. Saya kira Anda adalah orang yang paling memahami keistimewaan cara berfikir adik Anda. Ayolah, jangan membuatnya merasa ketakutan dan terancam. Selain itu, ada hukum hak azasi manusia yang ia miliki. Perlakukanlah sesama manusia dengan manusiawi." Tian terdiam saat mendengar nasehat Galih yang memang benar adanya. Galih berjalan mendekati Merlyn yang saat ini tengah duduk di ranjang. Menyapanya ramah.
"Kamu kenapa? Takut diinfus?" Galih bertanya lembut pada Merlyn yang langsung saja menganggukkan kepalanya.
"Apa yang membuat kamu takut?"
"Melihat jarum dicucuk ke tangan sendiri, rasanya ngeri. Pasti sakit sekali." Adu Merlyn sambil meringis seolah-olah jarum infus itu sudah benar-benar ditusukkan ke punggung tangannya. Bingo! Galih sudah menarik benang merahnya. Mindset Merlyn lah yang menakutinya, bukan rasa sakitnya.
"Kalau begitu jangan dilihat. Sebentar ya?" Galih membuka tas ranselnya dan mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atik ponselnya sebentar dan memperlihatkannya pada Merlyn.
"Kamu kalau buka YouTub* suka nonton apa?" Galih berusaha mengalihkan perhatian Merlyn dengan browsing-browsing berbagai macam video-video drama korea populer yang paling hits. Biasanya para wanita sangat menggilai drakor bukan?
"Tutorial cara membuat boneka dari kain flanel, Bang?" Dengan segera Galih membuka website cara membuat boneka-boneka kain. Wajah Merlyn langsung sumringah. "Tuh... tuh... lucu-lucu kan Bang, bonekanya? Bajunya juga bisa dibikin model-model lain. Nah liat tuh, dipasangin pita beruangnya jadi lucu ya, Bang?" Merlyn dengan semangat menunjukkan cara-cara membuat boneka kain pada Galih. Setelah melihat perhatian Merlyn mulai beralih, Galih menggerakan kepalanya sekilas pada Dika agar segera dilakukan eksekusi. Dika yang memahami kode Galih, segera melakukan tindakan medis dengan cepat. Tubuh Merlyn memang tersentak sejenak, tetapi yang bersangkutan sama sekali tidak menyadarinya. Dia asik sekali menceritakan segala sesuatu tentang hobbynya membuat boneka-boneka.
"Nah, sudah kan dipasang infusnya? Sakit nggak?" Galih tersenyum geli melihat Merlyn memandangi dengan takjub infus yang sudah terpasang rapi di punggung tangan kanannya.
"Nggak tahu." Jawab Merlyn bingung.
"Lho, kok nggak tahu sih?" Galih masih mengulum senyum. Ia suka menggoda Merlyn karena jawaban Merlyn selalu tidak dapat diprediksi dan selalu mengundang tawa. Hidup akan jadi lebih hidup bila ada didekatnya.
"Karena nggak terasa. Jadi saya nggak tahu sakit atau nggak. Nggak dibilang satu dua tiga sih, jadi kan saya nggak tahu." Jawaban Merlyn kembali mengundang tawa semua orang yang ada di dalam ruangan.
"Karena semua sudah selesai, saya pamit pulang dulu ya, Mer? Semoga kamu cepat sembuh." Galih berdiri dan siap-siap untuk pulang. Ibunya masih menunggunya di kursi taman rumah sakit.
"Abang polisi, minta nomor telepon dong." Kata-kata Merlyn membuat semua yang ada dalam ruangan kembali tertegun.
"Kamu nggak boleh minta nomor telepon orang lain sesuka hatimu, Dek. Itu nggak sopan namanya." Tian buru-buru menegur adiknya.
"Abang polisi itu bukan orang lain. Tapi polisi. Tugas seorang polisi kan memang menolong orang lain? Jadi kalau misalnya Mer nanti mau disuntik, dikejar-kejar angsa, ada tikus di panti atau ada kecoak di kamar mandi, Mer bisa tinggal telepon abang polisi aja. Ah satu lagi, kalau Mer kedinginan juga. Pelukan abang polisi itu anget, harum lagi. Mer saja bisa sampai bisa ketiduran. Mer suka. Jadi kan Mer bisa tinggal telepon saja," jawab Merlyn enteng. "Terima kasih ya, Abang Polisi. Tidak sia-sia ayah membayar pajak mahal-mahal untuk negara. Karena negara kan harus menggaji Abang. Ya kan, Bang?"
Galih sempat tertegun sekian detik, saat mendengar deklarasi Merlyn yang membutuhkan seorang polisi untuk mengusir angsa, tikus dan kecoak. Tapi untung saja hasil akhirnya bagus. Ia menyukai pelukannya, katanya. Itu adalah kata-kata pelipur lara paling dahsyat yang pernah didengarnya. Tanpa banyak basa basi, Galih segera merobek secarik kertas dan menuliskan nomor ponsel pribadinya pada Merlyn.
"Pinjem kertas dan pulpen Abang sebentar." Tukas Merlyn lagi. Setelah Galih menyodorkan sebuat notes kecil dan pulpennya pada Merlyn, gadis itu menulis dengan susah payah sederet angka dengan tangan kirinya.
"Ini nomor saya ya, A ang polisi. Entah nanti Abang mau pesen-pesen boneka kain flanel atau apa gitu, Abang bisa menghubungi saya. Abang nggak usah khawatir, khusus untuk Abang, akan saya kasih diskon 10%." Galih hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Merlyn. Ia kemudian menganggukkan kepala kembali kepada tiga orang lainnya yang ada dalam ruangan, sebelum akhirnya meninggalkan ruang inap Merlyn. Ia sudah meninggalkan ibunya cukup lama di taman rumah sakit.
"Dia gadis yang kamu sukai bukan, Lih?" Ibunya langsung saja membombardirnya saat ia tiba di taman rumah sakit. Galih diam saja karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Di usianya yang mencapai angka tiga puluh lima ini, dia memang belum pernah sekalipun jatuh cinta. Ia tidak punya waktu, tepatnya.
"Tidak, Bu. Galih hanya menjalankan tugas Galih sebagai seorang pelayan masyarakat. Tidak ada hal-hal yang bersifat romansa di dalamnya." Galih menjawab pertanyaan ibunya dengan cara diplomatis."
"Bukannya Ibu ingin mengecilkan hati putra Ibu sendiri. Tapi gadis itu bukan kelas kita, Nak. Ibu tahu siapa orang tua gadis itu. Christian Diwangkara yang kemarin dulu masuk televisi penerima award sebagai pengusaha property terbaik kan, Lih?"
"Darimana ibu tahu?" Galih tidak menyangka ibunya tahu tentang silsilah keluarga Diwangkara.
"Ibu melihat Bapak Christian memeluk gadis itu di televisi, dan mengatakan bahwa dua princessnya adalah penyemangat hidupnya. Nyawanya serta hidup matinya. Kamu tahu apa artinya itu, Lih?" Galih menggelengkan kepalanya. Ibunya adalah seorang guru sementara almarhum ayahnya dulu adalah seorang dosen filsafat. Cara berkomunikasi dalam keluarganya itu sangat unik. Tata bahasa kedua orang tuanya sangat indah dan santun. Bagi yang tidak memahami mungkin akan mengakibatkan multi tafsir. Ia dididik dengan minim kata jangan. Kedua orang tuanya mengganti kata jangan dengan kalimat sebaiknya.
"Itu artinya ia tidak akan memberikan harta paling berharganya pada sembarang orang, Nak. Mengerti, Galih?"
"Bila anaknya sudah memutuskan untuk hidup bersama dengan sederhana, ayahnya bisa apa, Bu? Anaknya kan juga sudah dewasa. Bisa memutuskan sendiri keinginannya. Ayahnya tidak berhak sama sekali mengintervensinya. Hidup kan tidak melulu soal harta. Sebaik-baiknya wanita itu kan dia yang mau diajak membangun hidup dari nol bersama-sama." Galih menjawab datar. Dia ini seorang polisi. Pemikirannya selalu berdasarkan konsep sebab akibat dan berdasarkan hukum dan perundang-undang yang berlaku. Yang lainnya, ia tidak mau tahu.
"Hidup tidak sesederhana itu, Nak. Mengajak seorang wanita untuk bersama-sama hidup susah sebenarnya bukan goal yang bisa kamu banggakan. Karena itu tandanya kamu tidak siap pasang badan demi mengusahakan kebahagiaannya. Seumur hidup ayah dan ibunya sudah mati-matian membahagiakannya. Kok kamu datang-datang mau mengajak hidup anak orang hidup susah seenaknya?"
Ibunya tersenyum maklum. Putranya menolak mengatakan kalau dia jatuh cinta. Tetapi lihat lah putranya mati-matian mencari pembenaran atas jawabannya sendiri.
"Ibu mengatakan ini semua dengan maksud agar Galih mau menerima perjodohan dengan Arini, bukan?" Galih langsung menembak pada sasaran. Ia tidak sabar diajak berbicara berputar-putar yang tidak ada juntrungannya.
"Bukan. Ibu mengatakan ini semua agar kamu tahu diri. Agar kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri sebelum kamu tenggelam terlalu dalam nanti. Walaupun kamu menolak Arini, ibu akan tetap mengatakan semua ini kepadamu. Dengar Nak, Ibu tidak membenci gadis itu apalagi kekayaannya. Ibu hanya ingin memperingatkan kamu untuk sadar diri. Eling. Gadis itu jauh di atas kita keberadaannya, Nak. Ibu hanya tidak mau kalau nanti kamu patah hati. Ingat nak, sak beja bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspada. Seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada."
"Kalau untuk masalah hati saja harus dikotak-kotakkan dengan yang namanya kasta. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan perasaan cinta?" Galih seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri.
Hari ulang tahun Rumah Ceria bagi anak-anak penderita down syndrome telah tiba. Merlyn sudah meminta izin pada ayah dan bundanya untuk membawa Thunder, mobil kesayangannya ke sana. Tapi dengan catatan harus disopiri oleh Mang Yayat. Merlyn memang bisa menyetir sendiri, tetapi selalu saja ada insiden yang menyertainya. Kaca spion yang hancur atau meratakan pagar rumah tetangga, adalah sebagian kecil dari insiden yang diakibatkan oleh kecerobohannya. Oleh karena itu, untuk meminimalisir keadaan, sekarang Merlyn akan disopiri atau minimal ditemani jika ingin ke mana-mana.Mobilnya saat ini telah dipenuhi oleh berbagai macam boneka kain flanel, makanan ringan bahkan balon-balon warna warni yang lucu. Mer sudah menabung lama untuk bisa membeli semua ini. Walaupun ayahnya pernah menawarinya untuk menggunakan uang ayahnya saja untuk membantu anak-anak panti, tapi Mer menolaknya. Masa mau beramal tetapi malah memakai uang orang lain? Itu kan namanya pembo
"Hah? Mancing ikan kakap di club? Ini maksudnya bagaimana? Saya bingung." Galih pusing mendengar kalimat tanpa ujung pangkal yang jelas. Apalagi mengenali seorang pria tampan metroseksual yang meneriakkan kata-kata mahal dari pakaian dan aksesoris yang dikenakannya. Siapa yang tidak kenal dengan pria yang tampak protektif di samping Merlyn ini. Pengacara muda Ethan Hartomo Putranto. Putra Hartomo Putranto, yang juga seorang pengacara gaek negeri ini."Tadi tetangga saya, Liz kan ulang tahun. Nah, Yessy mengusulkan untuk main ke club. Siapa tahu dapat kakap katanya. Terus saya minta ikut sama Liz. Tapi sampai di sini jangankan ikannya, kolamnya aja pun nggak ada, Bang." Adu Mer kesal. Galih dan Ethan saling bertatapan dan mereka akhirnya mengerti soal kata pancing memancing ini. Belum juga Galih memberi Merlyn nasehat, seorang gadis cantik menyeruak kerumunan. Saat si gadis melihat Mer, wajah tegangnya berangsur
Merlyn tiba di kantor polisi bersama dengan belasan orang yang terjaring razia lainnya. Ia yang seumur hidupnya tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke kantor polisi, malam ini langsung saja bersilahturahmi ke tempat ini sebagai seorang tersangka pengedar narkoba. Kedengarannya sangat mengerikan bukan? Ethan yang sedari tadi ingin mendampinginya dan bertindak sebagai pengacaranya telah ditolak tegas oleh Galih. Menurut Galih, Ethan harus menunjukkan surat kuasa sebagai pengacaranya yang resmi terlebih dahulu, barulah ia bisa untuk membelanya. Saat surat kuasa itu sudah berkekuatan hukum baru Ethan berhak untuk mendampinginya."Semuanya berbaris rapi dan masuk ke dalam ruangan dengan saling memegang bahu orang yang ada di depannya!" Bripda Astuti meneriakkan perintahnya dengan tegas. Merlyn yang tangannya diborgol tampak agak kesulitan saat harus memegang bahu orang yang ada di depannya. Sementara orang yang di belakangnya langsung saja meremas
"Dua kali Anda bertemu dengan anak saya. Dua kali itu juga Anda memeluk-meluknya. Saya sudah pernahmemperingatkan Anda untuk menjauhkan tangan Anda dari putri saya. Dan ini yang ketiga kalinya, Anda malah mau berbuat cabul dengannya. Anda ini polisi atau bukan hah? Mengapa Anda terus saja memanfaatkan kepolosan putri saya untuk kesenangan Anda sendiri!" Saat tinju Chris akan kembali melayang ke wajah Galih, Mer langsung saja menahan tangan ayahnya."Yah, berantemnya setop dulu. Mer udah mau pipis banget ini! Lagian abang polisi bukannya mau berbuat cabul sama Mer. Abang polisi cuma bukain resleting celana Mer yang tadi macet. Ayah minggir dulu, Mer mau pipis. Abang polisi, tissuenya mana? Cepetan, udah mau keluar ini pipisnya!"Mer sampai melompat-lompat menahan sesak pada kandung kemihnya. Dengan wajah lebam-lebam, Galih merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebungkus tissue pada Merlyn. Merlyn buru-buru masuk ke dalam to
"Apa sekarang client saya bisa di bebaskan Pak Sonny?" Ethan lega luar biasa saat melihat hasil rekaman CCTV, yang pada akhirnya bisa menjelaskan darimana obat-obatan terlarang itu bisa ada di dalam tas Merlyn. Sebagai seorang pengacara ia bangga karena bisa membebaskan clientnya. Dan sebagai seorang laki-laki yang sedang memburu cinta, ia lega karena orang yang diincarnya terbebas dari bencana masuk penjara.Dan bonus satu hal lagi, citra dirinya akan naik di mata calon mertua dan calon kakak iparnya. Double jack pot bukan?"Sepertinya Ibu Merlyn baru akan di bebaskan besok pagi, Pak Ethan. Ada beberapa berkas dan masalah prosedural yang harus ia tanda tangani terlebih dahulu. Atasan saya tadi sudah mengkonfirmasi kalau client Anda akan bebas setelah beberapa prosedur di lewati." Juper bernama Sonny Harsono itu telah bersiap-siap untuk segera pulang. Setelah marathon menginterogasi para tersangka dari pukul empat s
Galih melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul enam kurang sepuluh menit. Sebaiknya ia segera bangun kalau tidak mau menjadi korban keganasan Pak Chris lagi. Pagi-pagi bukan sarapan nasi lemak dan secangkir kopi, tapi malah sarapan bogem mentah dan kata-kata mutiara yang sudah pasti berhamburan keluar semua dari mulut pedasnya.Ia sedikit meringis saat merasakan lengan kanannya pegal dan kesemutan, karena dijadikan bantal serbaguna oleh makhluk cantik di sampingnya ini. Belum lagi tubuhnya yang juga sudah dialih fungsikan menjadi guling bernyawa semalaman. Walaupun jujur ia senang sekali sebenarnya. Tidur semalaman memeluk makhluk semolek Merlyn telah menghadirkan perasaan yang iya iya di dalam setiap pembuluh darahnya. Bagaimana pun ia adalah seorang laki-laki biasa. Ia mempunyai hasrat dan kadang kala sedikit pikiran-pikiran sesat. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, hormon testoteron pasti membuatnya berjuang keras untuk menjaga tangan dan
"Kenapa lo melakukan hal sekeji itu pada Merlyn, Tut? Setahu gue lo bukanlah orang yang berkepribadian ganda. Alter ego itu kebayakan cuma ada di film atau novel-novel. Sejak kita TK sampai SMU,gue taunya lo itu baik dan suka menolong orang yang lemah. Lo cocok banget jadi polwan. Tapi kemarin, lo bersikap kayak pecundang. Lo mempermalukan harga diri lo sendiri sekaligus institusi yang menaungi kita semua. Gue nggak kenal lo yang begini ini."Galih menegur Bripda Astuti yang baru saja selesai mengikuti sidang KKEP atau Komisi Kode Etik Polri karena telah melanggar Pasal 13 PP 2/2003. Bripda Astuti dihukum tidak boleh mengikuti pendidikan selama satu tahun dan demosi penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Setelah memaki-maki Astuti dengan kata-kata kasar yang memerahkan semua telinga anak-anak buahnya yang ikut ditatar tadi, Galih memutuskan untuk duduk bersama, dan menasehati Astuti sebagai teman. Bagaimanapun juga Astuti adalah teman lamanya sejak
"Merlyn ingin belajar mandiri, Yah. Tolong biarin Mer tahu susahnya cari uang di luar sana. Kalau Mer di rumah terus, bagaimana wawasan Mer bisa berkembang? Mer akan belajar untuk menjaga diri sebaik-baiknya, Yah. Boleh ya, Yah?" Merlyn berusaha menghapal kata-kata yang diucapkan oleh Liz kemarin. Mer ingin seperti Liz yang sukses menjalankan perusahaan papanya padahal Liz itu baru tamat beberapa tahun lalu. Masa Mer yang dua tahun lebih tua dari Liz tidak bisa berbuat apa-apa? Liz kemarin sudah mengajarinya untuk saling beradu argumen dengan ayahnya. Liz mengajarinya untuk menjawab begini, kalau papanya ngomong begitu. Liz bilang setiap orang pasti bisa belajar. Makanya ia juga ingin berdikari sendiri dan mencari pengalaman."Kamu mau bekerja dibagian apa, Nak? Ayah nggak mau kalau kamu nanti dihi a-hina dan dilecehkan orang. Dunia di luar tembok rumah kita itu keras, sayang. Manusia-manusianya juga banyak yang tidak benar. Ayah takut nanti kamu sakit hat
"Saya tidak mau tahu, Galih. Kamu harus mencari putri saya, dan membawanya kehadapan saya secepatnya. Kalau putri saya sampai kenapa-napa, bersiap-siaplah. Saya tidak akan pernah memberikannya pada kamu lagi. Baru tiga bulan kamu menjaganya, ia sudah lari dari kamu. Tidak bisa diandalkan!" Chris merasa darahnya naik sampai ke ubun-ubun saat Galih menceritakan kaburnya putri semata wayangnya. Apalagi penyebab kaburnya adalah kesalahpahaman yang rancu seperti ini. Rasanya ia ingin sekali memutilasi Galih kecil-kecil."Mas Galih nggak salah, Pak. Saya dan calon suami saya yang salah. Kami terlalu pengecut untuk menjumpai orang tua saya. Makanya kami meminta bantuan Mas Galih. Kami tidak tahu malah jadi seperti ini. Kami berdua minta maaf, Pak." Arini dan Dokter Harsya meminta maaf pada Pak Chris. Sebenarnya mereka berdua takut pada amarah ayah Merlyn ini. Tetapi mereka juga tidak tega melihat Galih disalahkan sendiri. Mereka kasihan sekali melihat keadaan Gal
Merlyn menyusun dokumen-dokumen Galih yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sementara suaminya malah tertidur pulas di atas meja. Suaminya menjadikan kedua lengannya sebagai bantal dan tidur dalam posisi duduk di meja kerja. Selalu saja begini. Suaminya bila sedang sibuk bisa menghabiskan waktu berhari-hari di ruang kerjanya. Apalagi bila sedang mempelajari kasus. Bisa berhari-hari suaminya mengunci diri di ruang kerja. Merlyn sampai merasa jadi janda untuk sementara.Akhir-akhir suaminya memang sibuk sekali. Banyak kasus-kasus yang terus diembankan padanya. Rata-rata semuanya beresiko tinggi. Alhasil suaminya jadi agak sedikit mengabaikannya. Tetapi tidak apa-apa. Sebagai istri yang baik, sudah seharusnya ia mendukung karir suaminya, bukan?Suara getaran ponsel mengalihkan kesibukannya menyusun berkas. Nada dering itu adalah nada dering ponsel suaminya. Tetapi bendanya malah tidak terlihat. Setelah dicari-cari rupanya ponsel suaminya ter
Tiga bulan kemudian."Bismillahirrahmanirrahim. Dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala, Ananda Galih Kurniawan Jati. Saya nikahkan dan Saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya Merlyn Diwangkara binti Christian Diwangkara dengan seperangkat alat sholat dan uang sebesar dua ratus dua puluh juta rupiah sudah dibayar tunai." Chris menjabat erat tangan Galih dalam prosesi ijab kabul pernikahan putri tercintanya."Saya terima nikah dan kawinnya Merlyn Diwangkara binti Christian Diwangkara dengan seperangkat alat sholat dan uang sejumlah dua ratus dua puluh juta rupiah dibayar tunai."Galih dengan suara tegas dan lantang mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas. "Bagaimana saksi? Sah?" Tanya pak penghulu kepada saksi yang
"Anda ingin mengancam saya dengan nyawa pengasuh saya, Pak Kompol?" George menyeringai. Rivalnya sudah tiba rupanya."Yang benar saja. Nyawanya sama sekali tidak ada artinya untuk saya. Silahkan saja kalau Anda ingin melubangi kepalanya. Saya tidak keberatan sama sekali. Tapi nyawa si cantik ini tentu amat sangat berarti bagi Anda bukan Pak Kompol Galih Kurniawan Jati?"KLIK! George menempelkan revolvernya yang ia selipkan dibalik bantal ke kening Merlyn. Ia kemudian turun dari tempat tidur dan membawa Merlyn dalam rangkulannya. Tangan kekarnya memiting leher Merlyn. Kini mereka saling berdiri berhadap-hadapan dengan sandera masing-masing. Galih dengan glock 17 di kepala Mbok Sum, dan George dengan revolver yang juga ditempelkan pada kening mulus Merlyn. Galih dan George sama-sama diam. Mereka saling menatap dan sama-sama menunggu siapa yang terlebih dahulu membuat kesalahan. Suasana ka
"Sir ini bagaimana sih? Baru saja saya lega, ini sudah stress lagi. Sial amat ya saya? Lepas dari mulut harimau eh sekarang malah masuk ke lubang buaya."Merlyn terduduk lemas di kursi mendengar kalimat terakhir George. Saking stressnya, ia sampai mengantuk-antukkan keningnya pada meja makan. George yang duduk di sebelahnya, segera meletakkan telapak tangannya di atas meja. Menahan kening Merlyn agar tidak menghantam meja makan marmer yang keras."Bukan masuk ke lubang buaya, Nak. Tapi masuk ke dalam mulut buaya. Kalau yang masuk ke dalam lubang buaya, itu adalah tujuh pahlawan revolusi kita yang gugur demi membela harkat bangsa dan negara," Mbok Sum tersenyum geli melihat tingkah polah Merlyn yang lucu di matanya. Sayang sekali gadis unik ini tidak mencintai cucunya. Padahal ia yakin, wanita lugu apa adanya seperti Merlyn inilah yang paling cocok untuk mendampingi sifat keras kepala cucunya."Oh sudah ga
Merlyn merasakan jalannya mobil makin melambat sebelum akhirnya berhenti. Tidak lama kemudian terdengar seperti suara pintu gerbang yang digeser. Mobil kembali melaju pelan diiringi suara pintu gerbang yang sepertinya kembali ditutup. Laju mobil kemudian benar-benar berhenti diiringi dengan suara mesin mobil yang dimatikan. Merlyn tersentak kaget saat merasakan ikatan di matanya dibuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak karena silau."Ayo turun!" Hardik George. Setelah mengulet beberapa kali untuk meregangkan ototnya yang rasanya kram dan pegal-pegal semua, Merlyn keluar dari mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh George. Suasananya aneh sekali bukan? Ia ini kan ceritanya sedang diculik. Tetapi malah diperlakukan seperti seorang nona besar oleh George. Pake dibukain pintu mobil segala. Kalau saja suasananya berbeda, mungkin ia akan merasa baper tingkat dewa karena merasa diperlakukan begitu istimewa."Penutup mata su
Pintu gerbang seketika terbuka saat Galih tiba di kediaman keluarga Diwangkara. Satpam sudah menunggu dan langsung membukakan pintu saat melihat laju kendaraannya mulai mendekat. Galih melihat ada dua mobil yang dikenalinya sebagai mobil kedua atasannya di garasi. Selain itu ada tiga mobil lagi kepunyaan Chris, Tian dan juga mobil umum yang biasa di kendarai oleh Mang Yayat. Sepertinya mereka semua kembali bersiap-siap untuk mencari Merlyn. Suasana tegang langsung terasa saat ia bergegas menghampiri kerumunan kecil yang sepertinya sedang berdiskusi di teras rumah. Dan benar saja dugaannya. Ada Jendral Badai Putra Alam dan IrjenPol Orlando Atmanegara juga di sana."Kamu bilang kalau kamu mencintai anak saya kan Galih. Kalau begitu tolong temukan anak saya! Bawa ia kembali kehadapan saya! Bawa ia pulang Galih!" Galih bahkan belum sempat memberi hormat kepada kedua atasannya saat Chris langsung saja menyambutnya dan mengguncang-guncang kedua bahunya dengan em
"Sir, ini jalannya salah! Ahelah akhir-akhir ini kenapa orang yang niat nganterin saya pulang pada lupa jalan semua ya? Lho... lho.. lho... ini kita mau kemana sih, Sir? Kok jalannya malah muter-muter terus?" Merlyn kebingungan karena George terus saja membawanya berputar-putar ke arah jalan-jalan yang tidak pernah dilaluinya sama sekali."Diam! Jangan banyak tanya. Saya memang tidak membawa kamu untuk saya antar pulang!" George membentaknya kasar. Tiba-tiba saja George menghentikan kendaraannya di pinggir jalan yang agak sepi. Ia mengeluarkan sebuah kain hitam dan tali nylon dari dalam laci dashboard. Menutup matanya dengan kain hitam dan mengikat kedua tangannya dengan tali nylon erat-erat. "Kenapa saya diiket-iket begini sih, Sir? Ini mata saya juga k
Hari terus berganti. Merlyn menghitung sudah tujuh hari lamanya abang pacarnya menjalankan misi rahasianya. Abang pacarnya selalu mengatakan bahwa saat ia menjalankan misi rahasianya, ia harus memutus semua akses komunikasinya dengan dunia luar. Merlyn mengerti, abang pacarnya adalah seorang polisi. Pasti ada hal-hal yang tidak bisa abang pacarnya bagi dengan dirinya. Terkadang Merlyn sangat takut kalau abang pacarnya suatu hari kelak akan pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Tetapi ya, memang begitulah resiko seorang abdi negara. Kemarin ayahnya menasehatinya secara khusus. Ayahnya mengatakan bahwa saat ia telah memutuskan untuk menjadi pasangan seorang pria berseragam, itu artinya ia harus siap diduakan. Cinta pertama dan wajib bagi para pria berseragam itu adalah negaranya. Ia masih ingat saat abang pacarnya berpamitan padanya tujuh hari yang lalu."Mer, maaf ya, Abang harus