"Bang, Mer pengen banget nonton X-Man Dark Phoenix. Mer boleh nonton kan, Bang? Cinema 21 deket ini. Mer tinggal ngesot aja udah nyampe sono. Boleh nggak, Bang? Boleh ya? Ya ya ya?"
Merlyn mengguncang-guncang bahu abangnya yang tengah membuatkan susu hamil untuk Bintang, istri tercintanya. Semenjak kedua orang tuanya tahu bahwa menantu kesayangan mereka hamil, mereka meminta agar abangnya dan Bintang tinggal bersama mereka semua. Kedua orang tuanya ingin agar Bintang ada yang memperhatikan dan menjaga. Beginilah keposesifan para pria-pria Diwangkara dalam menjaga wanita-wanita mereka. Mirip banget kayak kehidupan garingnya si Birdy, burung Kenari Yorkshire kesayangan ayahnya. Disayang-sayang, dielus-elus, untung aja nggak dijemur-jemur. Kalau Bintang beneran dijemur kayak si Birdy, bisa kering kerontang dia kalau habis dijemur tapi lupa diangkat. Kan gawat?
"Abang lagi mual-mual ini, Mer. Nggak bisa nemenin kamu. Bintang juga kurang begitu enak badan. Kamu tega apa kita ninggalin Bintang sama si bibik aja di rumah?"
Tian mengangsurkan susunya pada Bintang yang dengan patuh segera mengosongkan isi gelasnya. Ia tidak mau membuat Tian kecewa. Karena walaupun sedang mual-mual parah, suaminya itu tetap saja dengan telaten mengurusnya. Tian ini memang benar-benar suami siaga.
"Lah yang minta Abang nemenin Mer, siapa? Mer cuma minta izin pergi sendiri, Bang. Bukan minta Abang temenin. Kalau Mer nggak boleh bawa si Thunder juga nggak apa-apa kok. Mer pesen Gra* aja. Ya, Bang ya?"
Merlyn kembali berusaha merayu abangnya. Dan sialnya, abangnya pura-pura tidak mendengarkan rengekannya. Santai beut bawaannya. Alamat batal nonton lah ini. Namun saat terdengar suara mobil yang mendekat, Merlyn tersenyum sumringah. Bala bantuan telah datang. Kalau anak sholehah mah, pasti ada saja jalan keluarnya. Merlyn bergegas mendekati jendela. Mengintip siapa saja yang ada di dalam mobil. Ternyata hanya Mang Yayat seorang yang keluar. Kehadiran bundanya tidak terlihat sama sekali. Pertanda baik. Hehehe.
"Nah itu Mang Yayat udah pulang. Tapi bundanya nggak ada. Berarti bunda bakalan lama di rumahnya Tante Maddie. Mer minta dianterin sama
Mang Yayat aja ya, Bang?" Dan lagi-lagi abangnya menulikan telinganya. Pura-pura tidak mendengar kalimatnya. Merlyn jadi empet banget melihatnya."Abang ini semenjak pekak jadi sombong kali lah Mer lihat. Beneran dibikin pekak sama Tuhan, baru Abang tahu rasa," Merlyn kesal sekali karena terus dikacangin oleh abangnya. Mungkin sebaiknya ia meminta bantuan kakak iparnya. Biasanya abangnya ini kan manut banget sama istrinya.
"Bi, bilangin laki lo dong izinin gue pergi. Lo ajak ngapain kek dia di kamar. Ntah main ludo, monopoli atau kuda-kudaan. Pokoknya jauh-jauh dari gue aja." Bisik Merlyn pelan. Abangnya ini kan cinta banget sama Bintang. Kali aja dia nurut kalau dibujuk kakak iparnya.
Bintang menghela napas pasrah. Apa boleh buat, ia kasihan juga pada ipar naifnya ini. Keposesifan mertua dan suaminya, membuat kakak iparnya ini bagai dipenjara di dalam rumahnya sendiri. Ia akan mencoba membantu membujuk suaminya agar memberi sedikit ruang pada kakak iparnya. Semoga saja usahanya membuahkan hasil.
"Izinin aja kenapa sih, Kak? Kasian itu Mer udah ngebet banget pengen nonton. Tiap hari ngendon di rumah kan dia bosan juga. Kakak masih mual-mual ya? Mau Bintang pijitin nggak?" Bintang mengelus-elus lengan suaminya dengan mesra. Terpaksa memanipulasi suaminya sendiri demi meluluskan keinginan adik iparnya. Merlyn terlihat senyum-senyum evil melihat aksinya.
Merlyn yang menyaksikan secara live aksi rayuan maut Bintang, tersenyum bahagia. Abangnya pasti klepek-klepek kalo udah dielus-elus Bintang. Kakak iparnya ini walaupun usianya lebih muda darinya, tapi tingkahnya dewasa banget. Anak ibu guru gitu lho. Bukannya anak bunda oneng. Eh itu mah gue! Durhaka banget ngebatinin bunda sendiri. Maafin Merlyn ya, Bun?
Abangnya tidak mengucapkan apa-apa, tetapi tangannya merogoh saku, meraih ponselnya. "Hallo Tama, lo tadi siang bilang mau nonton X-Man Dark Phoenix kan? Gue nitip adek gue, bisa nggak? Oke... oke... gue akan suruh dia siap-siap sekarang juga." Tian menutup teleponnya. Merlyn cemberut. Seperti biasa, abangnya pasti akan menitipkannya pada Naratama Abiyaksa lagi. Dia sih sebenarnya nggak apa-apa. Toh Bang Tama baik ini. Tapi pacar judesnya itu lo, si Karina Winardi. Kerjanya ngoceh-ngoceh mulu kalau dia ikut. Mbencekno banget rasanya.
"Bang, masak Mer ikut nonton sama Bang Tama dan Karin lagi? Ntar Karinnya ngomel-ngomel mulu lagi dari mulai filmnya tayang sampai filmnya kelar, kayak bulan lalu. Mer sampai lupa jalan cerita filmnya tapi malah inget semua kata-kata omelannya Karin. Lepas tu--"
"Ohhhh... jadi kamu nggak mau nonton nih? Yah udah, Abang batalin aja ya sama Tama. Ntar dia capek-capek jemput ke sini kamunya malah nggak mau--"
"Mau dong, Bang. Mau bingits. Bentar Mer ganti baju dulu." Merlyn buru-buru mengangguk saat melihat abangnya bermaksud untuk menelepon Tama lagi. Dari pada tidak jadi menonton, lebih baik ia menebalkan telinganya. Anggap saja Karina itu si Leo, burung beo ayahnya. Ngoceh, ngoceh dah sana. Yang penting ia bisa ikut nonton. Titik. Demi mempersingkat waktu, ia segera mempersiapkan diri. Sepuluh menit kemudian, ia sudah rapi dengan minidress putih gading dan sebotol air mineral di tangan.
"Ngapain kamu bawa-bawa air mineral segala, Mer? Kan nggak dibolehin bawa makanan dan minuman dari luar. Ntar kamu kena razia lagi."
Tian benar-benar speechless melihat tingkah adik semata wayangnya yang iritnya tidak ketolongan. Bila biasanya para wanita akan berdandan paripurna dengan menyelipkan sebuah clutch mungil nan anggun di tangan mereka, tapi adik iritnya ini melengkapinya dengan oversize bag yang berisi berbagai cemilan dan sekaligus air mineral.
"Habisnya mereka jualan harganya nggak kira-kira sih, Bang. Masak aqu* yang biasanya harga empat ribu di sana jadi dua puluh ribu? Yang pengen kali lah mereka itu cepat kaya. Bagusan Mer bawa cemilan dan air minum sendiri dari rumah. Supaya nggak ketahuan, ya dimasukin dong semuanya dalam tas besar. Abang sih otaknya nggak dipake mikir. Boros kan jadinya?" Merlyn bangga sekali dengan pemikiran cerdasnya yang inovatif. Ia heran melihat cara berpikir orang-orang termasuk abangnya yang sangat boros di luaran. Kalau bisa menghemat, ngapain juga buang-buang uang? Oon beut mereka semua kan?
"Tanggung amat kalau kamu cuma bawa makanan dan minuman. Kursi nggak sekalian kamu bawa aja dari rumah, Mer?" Sindir Tian sarkas. Adiknya ini memang kebangetan dalam segala hal.
"Wuidihhh... Abang tau aja apa yang ada di otak Mer. Tadi rencananya sih emang mau dibawa. Tapi kan kursinya besar. Ntar takutnya nggak muat lagi mau dimasukin ke mobilnya Bang Tama." Tian hanya bisa mengelus dada saja. Cara berpikir adiknya tidak mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usianya. Mentok seperti cara berpikirnya anak SD.
Tin... tin... tin...
Mendengar suara klakson mobil, Merlyn segera mencanglong tas besar dan memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. Tama telah tiba di pintu gerbang.
"Jangan ke mana-mana sendirian. Kalau mau ke toilet, minta dianterin sama Tama. Jangan gangguin orang pacaran, dan tidak boleh apa-apa minta dibayarin sama orang. Pakai uang kamu sendiri. Mengerti, Mer?" Tian kembali mengulangi pesan-pesannya.
"Iya, Bang. Mer juga mau nitip pesen untuk Abang. Kalau Bintang ngidam mangga muda, Abang jangan ikutan ngidam bini muda ya? Riweuh nanti urusannya." Bintang dan Tian saling berpandangan. Tumben incess oneng kali ini nasehatnya bener. Signalnya sedang bagus kali ya?
"Makasih ya, Mer. Kamu memang adik ipar yang baik. Peduli sama perasaan sesama wanita." Bintang terharu me dengar dukungan penuh adik iparnya terhadap dirinya. Merlyn menggeleng. Kakak iparnya telah salah mengartikan maksud dari kata-katanya.
"Bukan itu maksud dan tujuan gue nasehatin Bang Tian, Bi."
"Lho jadi?" Bintang menjinjitkan alis nya.
"Karena punya bini satu aja yang lagi hamil, Bang Tian udah riweuh banget ngidamnya. Sampai nggak ada waktu buat gue. Apalagi nambah satu lagi. Kan makin merana guenya. Ye kan?" Tian dan Bintang kembali berpandangan. Ternyata kinerja otak Merlyn ini masih sama, selain jawabannya tidak terduga, kejujurannya juga luar biasa!
=================================
"Mas kenapa sih nggak bisa nolak semua permintaan, Tian? Masa setiap kita mau kencan wajib bawa-bawa ini dakocan sebiji sih?" Omelan pertama Karina langsung berkumandang saat ia masuk ke dalam mobil.
Merlyn menghela nafas panjang. Selalu saja begini. Sebenarnya ia juga ingin sekali mengatakan kalau dia juga tidak kepengen jadi obat nyamuk dan mengintili orang pacaran. Tapi mau bagaimana lagi, abangnya memang seperti itu. Tian hanya mempercayai Tama sebagai penggantinya untuk mengawalnya. Menurut abangnya, Tama lolos kualifikasi menjadi pengawalnya karena dua hal. Pertama siapa yang tidak kenal dengan Naratama Abiyaksa? Putra sulung Narasangsa Abiyaksa dan Camelia Abiyaksa? Kedua orang tuanya adalah mantan jagoannya Green Hill Muay Thai Indonesia yang kini dikelola oleh dr. Arshaka Abiyaksa SpOG, pamannya. Si Tama ini sepertinya bahkan sudah belajar ilmu bela diri sejak dalam kandungannya Tante Lia. Jadi siapa yang berani macam-macam dengan wanita yang ada dalam perlindungannya?
Kedua, Tama SUDAH punya pacar. Garis bawahi kata sudahnya dengan bolpen merah dua kali tebal-tebal. Jadi menurut abangnya, Tama tidak bakal modusin dia lagi. Aman sentosa kondusif serba guna, kalau memakai bahasa abangnya. Kata serba gunanya itu lo, kayak margarine aja serba guna. Ye kan? Kini ia kembali menjadi pendengar budiman. Mendengarkan dengan seksama percakapan absurd dua sejoli yang sedang mendiskusikan dirinya seolah-olah dia adalah makhuk tak kasat mata di sini.
"Ya kan tidak ada salahnya Mer ikut dengan kita, Rin? Kita kan memang sama-sama mau menonton. Lagian kan Mer juga udah gede, nggak perlu kita gendong-gendong lagi. Sudahlah, tidak perlu membesar-besarkan masalah yang tidak perlu." Tama mengelus pelan pipi pacar cantiknya. Karina kalau sudah ngomel panjangnya bahkan bisa mengalahkan rel kereta api panjangnya. Catet ya? rel nya, bukan kereta apinya. Kebayang 'kan panjangnya? Sebenarnya ia ikhlas-ikhlas saja dighibahin. Udah biasa mah ia dighibahin orang-orang. Tapi saat nama abangnya dibawa-bawa, ia merasa keberatan.
"Kok lo nyalahin abang gue sih, Rin? Kan abang gue cuma nanya, keberatan nggak kalau dia nitip gue sama Bang Tama? Kalo tadi Bang Tama bilang keberatan, abang gue juga nggak bakalan maksa kali. Bang Tama keberatan nggak ini Mer ikut?" Merlyn memandang Tama melalui kaca tengah mobil. Merlyn melihat Tama menggelengkan kepalanya. Berarti Tama sama sekali tidak keberatan. Aman sudah.
"Tuh, Bang Tamanya aja nggak keberatan. Berarti aman kan? Masalah selesai. Case closed." Merlyn mengibaskan tangan ke udara. Memutuskan secara sepihak bahwa perdebatan ini telah usai.
"Tapi gue keberatan!" Karina meneriakkan kata keberatannya sembari menoleh ke belakang. Tepat di depan wajahnya. Telinganya sampai pengeng mendengar suara cemprengnya.
"Oh lo keberatan? Ya udah, kalo gitu lo pulang aja sekarang. Hasil voting kan emang udah gue yang menang. Bang Tama nggak keberatan. Gue apalagi, sangat tidak berkeberatan. Dua banding satu. Lo yang kalah legowo dong. Yang kalah musti lapang dada. Apa mau diulang lagi? Boleh, biar gue tanya ulang sama Bang Ta--"
"Udah... udah... jangan diterusin lagi. Kita udah nyampe cinema ini." Tama pusing menghadapi dua orang wanita yang sama-sama tidak mau mengalah ini. Semakin cepat acara menonton ini usai, semakin baik. Otaknya sudah panas terus diceramahi Karina sepanjang jalan. Kalau ditambah dengan Merlyn lagi, bisa sakit kanker kepala dini ia lama-lama.
Walaupun terus diiringi dengan omelan Karina, mereka akhirnya sampai juga ke gedung cinema. Ramainya orang-orang yang mengantri masuk membuatnya mengambil posisi berdiri di belakang Tama. Ia malas berdiri di belakang Karin. Auranya bikin mood jelek saja.
"Kamu berdiri di belakang Karin saja, Mer. Biar Abang yang berdiri di belakang kamu," kalau Tama sudah bersabda, mau tidak mau ia mengalah juga. Ia baru saja berjalan tiga langkah saat suara krak yang diiringi desis kesakitan terdengar dari arah belakangnya. Seorang pria muda terlihat mengaduh-aduh kesakitan sembari memegangi tangannya yang bentuknya tampak aneh. Beberapa orang pria-pria muda lainnya terlihat menghampiri si pemuda, sambil menatap marah pada Tama. Ini sebenarnya ada apa sih? Merlyn menatap kerumunan kecil itu dengan bingung.
"Kenapa Anda mematahkan tangan saya?" Si Pemuda terlihat memelototi Tama. Beberapa temannya juga mulai berkerumun mengelilingi Tama yang terlihat santai-santai ganteng aja.
"Lo masih nanya kenapa? Baiklah berhubung lo dan gank lo semua sejenis kelamin sama gue, gue akan jelasin satu hal. Stop melakukan sexual harrasment, Bro. Lo punya nenek, ibu, tante, istri atau pacar dan adik perempuan kan? Hargailah perempuan, Bro. Lo pikir gue nggak ngeliat dari tadi mata lo ngarah kemana? Ke dada adek gue kan? Pertama gue diemin. Lo punya mata. Lo berhak memandang. Tapi begitu tangan lo mau pura-punya nyenggol dadanya, baru gue patahin sekalian. Lo mau nyangkal? Ini gue bahkan udah ngerekam tindakan tidak gentleman lo ini." Mer baru paham mengapa Tama marah. Rupanya mereka bermaksud untuk melecehkannya.
"Sexual harassment apaan? Gue cuman mandang, kan nggak salah? Adek lo cakep dan seksi. Bukan cuman gue yang mandangin. Semua laki-laki di sini juga begitu. Kalo lo bukan abangnya, pasti kelakuan lo juga akan sama dengan kami semua. Nggak usah munafik, Bro. Lo kan juga laki-laki."
Tama memang terlihat santai mendengarkan curhatan si pemuda. Tapi Merlyn tahu, Tama sudah memasang kuda-kuda. Gesture tubuhnya terlihat berbeda. Dipicu sedikit emosi saja, pasti habislah mereka semua. Menantang Tama itu cari mati namanya. Dia bahkan menjadikan berkelahi sebagai olah raga untuk mencari-cari keringat. Apa jadinya kalau dia benar-benar marah bukan? Hampir bisa dipastikan, hidung-hidung minimalis pria-pria di depannya ini akan mancung ke dalam semua dibuatnya. Lihat saja.
"Lo salah Bro. Segala tindakan yang berbau seksual dan membuat si korban merasa tidak nyaman atau dirugikan, itu sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan pelecehan seksual. Mengenai sikap gue. Itu bukan urusan lo. Tapi kalo lo mau cari-cari keringat sama gue, ayo. Akan gue layani dengan senang hati."
Tama melakukan beberapa gerakan pemanasan sebelum dia berolah raga sejenak dengan beberapa begundal-begundal ingusan ini. Bunyi kertakan sendi-sendi tubuh Tama yang sedang melakukan warming up, sepertinya membuat jiper pemuda-pemuda tadi. Tanpa banyak cincong lagi mereka akhirnya memilih untuk membawa teman mereka ke rumah sakit dan tidak jadi menonton. Mer pun segera beraksi.
"Mas-Mas semua ini nggak jadi nontonnya?" Merlyn setengah berlari berusaha mensejajari gerombolan hidung minimalis itu.
"Nggak, Mbak. Mau bawa temen kami ke rumah sakit aja. Kenapa Mbak?" Bahasa mereka sudah mulai sopan. Sepertinya kata-kata Tama masuk juga ke dalam benak mereka semua.
"Tiket-tiketnya boleh buat saya? Sayang banget kan tiket mahal-mahal hangus semua. Kan lumayan tiketnya bisa saya jual la--"
"Ayo Mer. Filmnya sudah akan dimulai. Nanti kamu rugi, sudah membayar harga tikel full, durasinya malah berkurang lima menit. Incess irit mana lah boleh rugi, iya kan?" Tama membujuk Merlyn dengan menggunakan logika ala cara berpikir Merlyn. Dan biasanya cara ini selalu berhasil.
"Oh iya ya. Nanti Mer rugi. Ayo, Bang kita cepet-cepet masuk. Walau pun yang di tonton cuma iklan, tapi kan iklannya juga udah kita bayar. Jadi harus kita tonton juga supaya tidak rugi. Iyakan, Bang?" Tama tersenyum. Cara ini selalu berhasil kan? Merlyn ini orangnya tidak mau rugi. Bicarakan saja soal kerugian. Pasti ia akan langaung manut.
Tama menuntun Merlyn dan Karin masuk ke dalam gedung. Lampu memang sudah di padamkan sehingga suasana menjadi sedikit gelap. Ia takut kalau dua wanita ini tersandung atau terjatuh. Makanya ia menuntun keduanya dengan sabar. Setelah keduanya duduk dengan benar, Tama bergegas membeli beberapa camilan sebagi teman menonton mereka. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat betapa sesaknya tas Merlyn oleh aneka macam makanan kecil. Persiapannya juara sekali.
"Mas, nanti pulangnya kita singgah ke club ya? Udah lama banget kita nggak hang out ke sana kan, Mas. Ada beberapa teman Karin yang udah nungguin juga di sana. Mau ya, Mas?" Karin mengelus-elus lengan kekar Tama. Dia tahu Tama pasti bimbang karena adanya si incess oneng ini bersama dengan mereka. Inilah yang paling tidak disukai olehnya. Setiap mereka akan hang out ke tempat yang di banner dewasa, pasti si oneng ini tidak bisa dibawa. Ayah dan abangnya bisa mencincang Tama kalau tahu si oneng ini diajak dugem. Coba tadi kalau dia tidak ikut, pasti pacarnya tidak akan kebingungan seperti ini.
"Bang Tama pergi aja sama Karin. Mer nanti pulangnya dijemput sama Bang Tian, kok. Ini Bang Tian udah chat bilang bisa jemput Mer. Abang senang-senang sana gih sama Karin." Merlyn terpaksa berbohong. Ia kasihan Tama kebingungan harus memilih antara dirinya dan juga pacarnya. Lagi pula jam sebelas malam kan belum larut malam sekali. Ia akan naik taksi online saja pulangnya. Eh taksi mahal, bagusan dia naik ojek online aja. Murah, meriah cepet sampainya lagi. Cerdas dan cermat sekali hitung-hitungannya kan? Makanya ia suka bingung saat orang-orang selalu saja menyebutnya oneng? Oneng di mananya coba?
Yang sebenarnya oneng itu adalah apabila orang yang rumahnya cuma lima langkah dari tempat tujuan, tapi masih aja minta dijemput dan dianterin sama pacarnya yang rumahnya di ujung kulon sana. Itu baru keonengan hakiki yang sebenarnya. Ye kan?
"Kamu beneran ini nanti dijemput sama Tian, Mer? Kok Abang kayaknya nggak yakin dan percaya sama kata-kata kamu ini. Kamu nggak lagi bohongin Abang kan, Mer?"Tama setengah hati mempercayai gadis imut berpikiran sederhana ini. Entah mengapa ia merasa seperti ada yang salah di sini. Saat ini mereka berada di parkiran cinema. Film telah usai dan Karin ribut terus ingin hang out di club. Ia setengah hati antara percaya dan tidak dengan kata-kata Merlyn."Abang memang nggak boleh yakin dan percaya sama Mer, Bang. Mer 'kan bukan Tuhan. Nanti Abang jadi musyirk lho kalau Abang yakin dan percaya sama Mer," Merlyn nyengir lebar. Ia berusaha untuk meyakinkan Tama. Udah, Abang jalan aja sama Karin kalau mau ke club. Mer nunggu Bang Tian nya di sini aja. Cepetan jalan, Bang. Itu udah di klakson-klakson sama pengemudi lain. Hattop, Bang." Akibat terus saja di klakson-klakson oleh pengemudi lain karena mengh
"Kamu apain aja anak saya di dalam mobil, hah? Kamu ini setiap kali bertemu dengan anak saya, pasti ada saja acara pelukannya. Tidak di kebun kopi, di dalam mobil, selalu saja modus. Bajingan!"Chris mengarahkan tongkat bisbolnya sekuat tenaga ke arah tubuh Galih. Dari samping kanan kirinya Tian dan Tama juga merangsek maju bermaksud untuk menghajar polisi modusan yang kesempatan banget memeluk-meluk si Merlyn. Tama kesal sekali. Enak sekali orang ini main peluk-peluk saja. Lah dia saja yang sudah bertahun-tahun menjadi pengawal santingan Mer, sekalipun tidak pernah mencuranginya. Padahal terkadang pengen juga. Eh ngebathin apa sih dia? Tama malu sendiri dengan pikiran absurdnya. Ingat pacar woy!"Eh... eh... stopp... stopp... setopppp! Yah, Bang Tian, Bang Tama. Jangan sembarangan memukul aparat kepolisian yang sedang bertugas. Sanksinya berat! Denger ya, nih Mer bacain kata mbah google di klinik hukum online. Dalam KUHP
Galih memperhatikan nomor rumah Madeline Nainggolan sekali lagi untuk memastikan kebenaran rumah yang dicarinya. Ia tadi sempat berkonfrotasi dengan pihak keamanan komplek yang tidak bersedia membukakan portal untuknya. Tetapi setelah mereka melihat kartu identitas dan glock 19 di pinggangnya akhirnya mereka jiper juga. Dan di sinilah ia sekarang berada. Di kediaman Radja dan Madeline Nainggolan, tantenya Merlyn.Saat ia menekan bel, seorang Satpam bertubuh kekar lagi-lagi tidak mengizinkannya untuk menemui majikannya. Ia beralasan tuan rumahnya pasti tidak bersedia menerima tamu pada jam-jam tidak lazim seperti ini. Mau tidak mau, ia harus kembali memperlihatkan kartu identitas kepolisiannya. Barulah sang Satpam menelepon majikannya.Saat ini ia telah duduk di ruang tamu keluarga Nainggolan. Asiaten Rumah Tangga yang membukakan pintu berpesan agar ia menunggu sebentar. Nyonya rumahnya akan segera keluar untuk menemuinya.
"Pak dokter, saya udah sembuh kok. Lihat badan saya sudah nggak panas lagi. Batuk-batuknya juga sudah reda. Saya sudah boleh pulang sekarang kan Pak Dokter?" Merlyn meraih tangan kanan Dokter Dika dan menyentuhkannya ke kening dan lehernya sendiri, demi untuk meyakinkan sang dokter."Yang jadi dokternya di sini siapa? Kamu atau saya? Kenapa malah jadi kamu yang mengatur-ngatur saya?" Dengan ketus Dika membalas kata-kata Merlyn. Tapi tidak urung dia membelai lembut kening dan leher pasien cantiknya. Masih sedikit hangat. Merlyn belum sehat betul."Yang merasakan sakit atau tidak itu tubuh siapa? Tubuh saya kan? Tapi kenapa malah Pak Dokter yang merasa lebih tahu?" Merlyn membalikkan kata-katanya dengan jenius pada Dika.Tumben si oneng ini pinter? Mungkin signalnya sedang bagus-bagusnya."Oohhh... jadi kamu merasa lebih tahu soal kondisi tubuh kamu dibandingkan dengan saya? Baiklah. Kalau begitu sa
Hari ulang tahun Rumah Ceria bagi anak-anak penderita down syndrome telah tiba. Merlyn sudah meminta izin pada ayah dan bundanya untuk membawa Thunder, mobil kesayangannya ke sana. Tapi dengan catatan harus disopiri oleh Mang Yayat. Merlyn memang bisa menyetir sendiri, tetapi selalu saja ada insiden yang menyertainya. Kaca spion yang hancur atau meratakan pagar rumah tetangga, adalah sebagian kecil dari insiden yang diakibatkan oleh kecerobohannya. Oleh karena itu, untuk meminimalisir keadaan, sekarang Merlyn akan disopiri atau minimal ditemani jika ingin ke mana-mana.Mobilnya saat ini telah dipenuhi oleh berbagai macam boneka kain flanel, makanan ringan bahkan balon-balon warna warni yang lucu. Mer sudah menabung lama untuk bisa membeli semua ini. Walaupun ayahnya pernah menawarinya untuk menggunakan uang ayahnya saja untuk membantu anak-anak panti, tapi Mer menolaknya. Masa mau beramal tetapi malah memakai uang orang lain? Itu kan namanya pembo
"Hah? Mancing ikan kakap di club? Ini maksudnya bagaimana? Saya bingung." Galih pusing mendengar kalimat tanpa ujung pangkal yang jelas. Apalagi mengenali seorang pria tampan metroseksual yang meneriakkan kata-kata mahal dari pakaian dan aksesoris yang dikenakannya. Siapa yang tidak kenal dengan pria yang tampak protektif di samping Merlyn ini. Pengacara muda Ethan Hartomo Putranto. Putra Hartomo Putranto, yang juga seorang pengacara gaek negeri ini."Tadi tetangga saya, Liz kan ulang tahun. Nah, Yessy mengusulkan untuk main ke club. Siapa tahu dapat kakap katanya. Terus saya minta ikut sama Liz. Tapi sampai di sini jangankan ikannya, kolamnya aja pun nggak ada, Bang." Adu Mer kesal. Galih dan Ethan saling bertatapan dan mereka akhirnya mengerti soal kata pancing memancing ini. Belum juga Galih memberi Merlyn nasehat, seorang gadis cantik menyeruak kerumunan. Saat si gadis melihat Mer, wajah tegangnya berangsur
Merlyn tiba di kantor polisi bersama dengan belasan orang yang terjaring razia lainnya. Ia yang seumur hidupnya tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke kantor polisi, malam ini langsung saja bersilahturahmi ke tempat ini sebagai seorang tersangka pengedar narkoba. Kedengarannya sangat mengerikan bukan? Ethan yang sedari tadi ingin mendampinginya dan bertindak sebagai pengacaranya telah ditolak tegas oleh Galih. Menurut Galih, Ethan harus menunjukkan surat kuasa sebagai pengacaranya yang resmi terlebih dahulu, barulah ia bisa untuk membelanya. Saat surat kuasa itu sudah berkekuatan hukum baru Ethan berhak untuk mendampinginya."Semuanya berbaris rapi dan masuk ke dalam ruangan dengan saling memegang bahu orang yang ada di depannya!" Bripda Astuti meneriakkan perintahnya dengan tegas. Merlyn yang tangannya diborgol tampak agak kesulitan saat harus memegang bahu orang yang ada di depannya. Sementara orang yang di belakangnya langsung saja meremas
"Dua kali Anda bertemu dengan anak saya. Dua kali itu juga Anda memeluk-meluknya. Saya sudah pernahmemperingatkan Anda untuk menjauhkan tangan Anda dari putri saya. Dan ini yang ketiga kalinya, Anda malah mau berbuat cabul dengannya. Anda ini polisi atau bukan hah? Mengapa Anda terus saja memanfaatkan kepolosan putri saya untuk kesenangan Anda sendiri!" Saat tinju Chris akan kembali melayang ke wajah Galih, Mer langsung saja menahan tangan ayahnya."Yah, berantemnya setop dulu. Mer udah mau pipis banget ini! Lagian abang polisi bukannya mau berbuat cabul sama Mer. Abang polisi cuma bukain resleting celana Mer yang tadi macet. Ayah minggir dulu, Mer mau pipis. Abang polisi, tissuenya mana? Cepetan, udah mau keluar ini pipisnya!"Mer sampai melompat-lompat menahan sesak pada kandung kemihnya. Dengan wajah lebam-lebam, Galih merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebungkus tissue pada Merlyn. Merlyn buru-buru masuk ke dalam to
"Saya tidak mau tahu, Galih. Kamu harus mencari putri saya, dan membawanya kehadapan saya secepatnya. Kalau putri saya sampai kenapa-napa, bersiap-siaplah. Saya tidak akan pernah memberikannya pada kamu lagi. Baru tiga bulan kamu menjaganya, ia sudah lari dari kamu. Tidak bisa diandalkan!" Chris merasa darahnya naik sampai ke ubun-ubun saat Galih menceritakan kaburnya putri semata wayangnya. Apalagi penyebab kaburnya adalah kesalahpahaman yang rancu seperti ini. Rasanya ia ingin sekali memutilasi Galih kecil-kecil."Mas Galih nggak salah, Pak. Saya dan calon suami saya yang salah. Kami terlalu pengecut untuk menjumpai orang tua saya. Makanya kami meminta bantuan Mas Galih. Kami tidak tahu malah jadi seperti ini. Kami berdua minta maaf, Pak." Arini dan Dokter Harsya meminta maaf pada Pak Chris. Sebenarnya mereka berdua takut pada amarah ayah Merlyn ini. Tetapi mereka juga tidak tega melihat Galih disalahkan sendiri. Mereka kasihan sekali melihat keadaan Gal
Merlyn menyusun dokumen-dokumen Galih yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sementara suaminya malah tertidur pulas di atas meja. Suaminya menjadikan kedua lengannya sebagai bantal dan tidur dalam posisi duduk di meja kerja. Selalu saja begini. Suaminya bila sedang sibuk bisa menghabiskan waktu berhari-hari di ruang kerjanya. Apalagi bila sedang mempelajari kasus. Bisa berhari-hari suaminya mengunci diri di ruang kerja. Merlyn sampai merasa jadi janda untuk sementara.Akhir-akhir suaminya memang sibuk sekali. Banyak kasus-kasus yang terus diembankan padanya. Rata-rata semuanya beresiko tinggi. Alhasil suaminya jadi agak sedikit mengabaikannya. Tetapi tidak apa-apa. Sebagai istri yang baik, sudah seharusnya ia mendukung karir suaminya, bukan?Suara getaran ponsel mengalihkan kesibukannya menyusun berkas. Nada dering itu adalah nada dering ponsel suaminya. Tetapi bendanya malah tidak terlihat. Setelah dicari-cari rupanya ponsel suaminya ter
Tiga bulan kemudian."Bismillahirrahmanirrahim. Dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala, Ananda Galih Kurniawan Jati. Saya nikahkan dan Saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya Merlyn Diwangkara binti Christian Diwangkara dengan seperangkat alat sholat dan uang sebesar dua ratus dua puluh juta rupiah sudah dibayar tunai." Chris menjabat erat tangan Galih dalam prosesi ijab kabul pernikahan putri tercintanya."Saya terima nikah dan kawinnya Merlyn Diwangkara binti Christian Diwangkara dengan seperangkat alat sholat dan uang sejumlah dua ratus dua puluh juta rupiah dibayar tunai."Galih dengan suara tegas dan lantang mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas. "Bagaimana saksi? Sah?" Tanya pak penghulu kepada saksi yang
"Anda ingin mengancam saya dengan nyawa pengasuh saya, Pak Kompol?" George menyeringai. Rivalnya sudah tiba rupanya."Yang benar saja. Nyawanya sama sekali tidak ada artinya untuk saya. Silahkan saja kalau Anda ingin melubangi kepalanya. Saya tidak keberatan sama sekali. Tapi nyawa si cantik ini tentu amat sangat berarti bagi Anda bukan Pak Kompol Galih Kurniawan Jati?"KLIK! George menempelkan revolvernya yang ia selipkan dibalik bantal ke kening Merlyn. Ia kemudian turun dari tempat tidur dan membawa Merlyn dalam rangkulannya. Tangan kekarnya memiting leher Merlyn. Kini mereka saling berdiri berhadap-hadapan dengan sandera masing-masing. Galih dengan glock 17 di kepala Mbok Sum, dan George dengan revolver yang juga ditempelkan pada kening mulus Merlyn. Galih dan George sama-sama diam. Mereka saling menatap dan sama-sama menunggu siapa yang terlebih dahulu membuat kesalahan. Suasana ka
"Sir ini bagaimana sih? Baru saja saya lega, ini sudah stress lagi. Sial amat ya saya? Lepas dari mulut harimau eh sekarang malah masuk ke lubang buaya."Merlyn terduduk lemas di kursi mendengar kalimat terakhir George. Saking stressnya, ia sampai mengantuk-antukkan keningnya pada meja makan. George yang duduk di sebelahnya, segera meletakkan telapak tangannya di atas meja. Menahan kening Merlyn agar tidak menghantam meja makan marmer yang keras."Bukan masuk ke lubang buaya, Nak. Tapi masuk ke dalam mulut buaya. Kalau yang masuk ke dalam lubang buaya, itu adalah tujuh pahlawan revolusi kita yang gugur demi membela harkat bangsa dan negara," Mbok Sum tersenyum geli melihat tingkah polah Merlyn yang lucu di matanya. Sayang sekali gadis unik ini tidak mencintai cucunya. Padahal ia yakin, wanita lugu apa adanya seperti Merlyn inilah yang paling cocok untuk mendampingi sifat keras kepala cucunya."Oh sudah ga
Merlyn merasakan jalannya mobil makin melambat sebelum akhirnya berhenti. Tidak lama kemudian terdengar seperti suara pintu gerbang yang digeser. Mobil kembali melaju pelan diiringi suara pintu gerbang yang sepertinya kembali ditutup. Laju mobil kemudian benar-benar berhenti diiringi dengan suara mesin mobil yang dimatikan. Merlyn tersentak kaget saat merasakan ikatan di matanya dibuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak karena silau."Ayo turun!" Hardik George. Setelah mengulet beberapa kali untuk meregangkan ototnya yang rasanya kram dan pegal-pegal semua, Merlyn keluar dari mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh George. Suasananya aneh sekali bukan? Ia ini kan ceritanya sedang diculik. Tetapi malah diperlakukan seperti seorang nona besar oleh George. Pake dibukain pintu mobil segala. Kalau saja suasananya berbeda, mungkin ia akan merasa baper tingkat dewa karena merasa diperlakukan begitu istimewa."Penutup mata su
Pintu gerbang seketika terbuka saat Galih tiba di kediaman keluarga Diwangkara. Satpam sudah menunggu dan langsung membukakan pintu saat melihat laju kendaraannya mulai mendekat. Galih melihat ada dua mobil yang dikenalinya sebagai mobil kedua atasannya di garasi. Selain itu ada tiga mobil lagi kepunyaan Chris, Tian dan juga mobil umum yang biasa di kendarai oleh Mang Yayat. Sepertinya mereka semua kembali bersiap-siap untuk mencari Merlyn. Suasana tegang langsung terasa saat ia bergegas menghampiri kerumunan kecil yang sepertinya sedang berdiskusi di teras rumah. Dan benar saja dugaannya. Ada Jendral Badai Putra Alam dan IrjenPol Orlando Atmanegara juga di sana."Kamu bilang kalau kamu mencintai anak saya kan Galih. Kalau begitu tolong temukan anak saya! Bawa ia kembali kehadapan saya! Bawa ia pulang Galih!" Galih bahkan belum sempat memberi hormat kepada kedua atasannya saat Chris langsung saja menyambutnya dan mengguncang-guncang kedua bahunya dengan em
"Sir, ini jalannya salah! Ahelah akhir-akhir ini kenapa orang yang niat nganterin saya pulang pada lupa jalan semua ya? Lho... lho.. lho... ini kita mau kemana sih, Sir? Kok jalannya malah muter-muter terus?" Merlyn kebingungan karena George terus saja membawanya berputar-putar ke arah jalan-jalan yang tidak pernah dilaluinya sama sekali."Diam! Jangan banyak tanya. Saya memang tidak membawa kamu untuk saya antar pulang!" George membentaknya kasar. Tiba-tiba saja George menghentikan kendaraannya di pinggir jalan yang agak sepi. Ia mengeluarkan sebuah kain hitam dan tali nylon dari dalam laci dashboard. Menutup matanya dengan kain hitam dan mengikat kedua tangannya dengan tali nylon erat-erat. "Kenapa saya diiket-iket begini sih, Sir? Ini mata saya juga k
Hari terus berganti. Merlyn menghitung sudah tujuh hari lamanya abang pacarnya menjalankan misi rahasianya. Abang pacarnya selalu mengatakan bahwa saat ia menjalankan misi rahasianya, ia harus memutus semua akses komunikasinya dengan dunia luar. Merlyn mengerti, abang pacarnya adalah seorang polisi. Pasti ada hal-hal yang tidak bisa abang pacarnya bagi dengan dirinya. Terkadang Merlyn sangat takut kalau abang pacarnya suatu hari kelak akan pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Tetapi ya, memang begitulah resiko seorang abdi negara. Kemarin ayahnya menasehatinya secara khusus. Ayahnya mengatakan bahwa saat ia telah memutuskan untuk menjadi pasangan seorang pria berseragam, itu artinya ia harus siap diduakan. Cinta pertama dan wajib bagi para pria berseragam itu adalah negaranya. Ia masih ingat saat abang pacarnya berpamitan padanya tujuh hari yang lalu."Mer, maaf ya, Abang harus