Selena mengikuti arah tatapan Aditya, sampai matanya terpojok pada wajah samping pria tampan yang tampak sibuk mengobrol."Kak Hendra?" desisnya tidak percaya dia juga ikut ke pertemuan bisnis ini."Sini kamu!" Aditya menarik tangannya yang terpaku menatap Hendra, membawanya menjauh dari pintu ruang pertemuan."Jujur padaku sekarang, kamu sengaja mengundangnya? Apa hak mu melakukan itu, Selena, hakh? Ingat! Kamu cuma CUMA sekretaris! Sewaktu-waktu aku bisa memecat mu!"Selena menganga, wajahnya memucat. Berkali-kali menarik napas guna bisa mencerna semua tuduhan Aditya barusan.Namun, belum sempat bicara guna meluruskannya, Aditya sudah angkat bicara. "Kamu harusnya sadar, Selena! Kamu sudah melakukannya berkali-kali denganku, Selena! Untuk apa kamu mencari-cari perhatian sama pecundang itu? Mau menjual tubuhmu padanya?"Selena terbelalak. Kali ini ia tidak bisa mau-mau saja direndahkan Aditya. Lagipula semua yang dituduhkan kepadanya tidak benar.Menjual tubuhku? Sehina apa aku di m
Setelah mendapat izin dari Aditya, Selena gegas naik ke mobil Hendra. Ia juga merasa jenuh dan muak dengan Aditya. Seenggaknya pergi dengan Hendra otaknya bisa kena angin segar."Kamu suka makanan luar, Selena?" tanya Hendra menunjuk salah satu restoran luar.Selena yang tak pernah memilih-milih makanan, bahkan jarang menyicip makanan restoran cuma mengangguk saja."Terserah kak Hendra, aku mengikut saja," sahutnya tersipu-sipu.Hendra mengangguk-angguk kemudian memarkirkan mobilnya. Untungnya Selena menurut saja, jadi dia tidak perlu menghabiskan waktu istirahat mencari-cari restoran lain.Hendra memesankan makanan dan minuman yang sama untuk mereka. "Oiya, kak Hendra ikut ke pertemuan tadi diundang sama pak Aditya?" tanyanya mengorek informasi. Sebab sampai saat ini hatinya masih memanas dengan tuduhan Aditya tadi. "Bukan, tapi Tuan Besar Collins. Awalnya aku menolak karena baru juga bergabung dengan perusahaan Adiguna Jaya. Tapi Tuan Collins tetap memaksa harus ikut, jadi yah a
Paman Grove buang muka dengan geraman kecil. Bakal seperti itu saat Aditya tidak bisa berbuat apapun, paman Grove-lah yang jadi sasarannya."Hmm, apa itu? Jangan bilang mau membujukku bicara dengan Tuan Collins? Jelas aku tidak mau cari masalah!"Memang itu yang dia inginkan Aditya, tapi bukan yang utama. "I-iya, Paman. Tapi ada hal lainnya." Aditya salah tingkah dengan menggaruk-garuk tengkuknya.Paman Grove menoleh, matanya menelisik wajah Aditya mencari tahu maksudnya. "Apalagi itu?" ketus paman Grove bertanya. "Ini soal Selena sekretarisku itu, Paman," sahut Aditya memperlihatkan wajah yang malu-malu.Terdengar paman Grove mendengus kasar. Tampak tak suka mendengarnya, Aditya malah membahas sekretarisnya."Aku semakin yakin dia-lah Selena yang kita cari-cari, Paman."Paman Grove terbelalak, tak menyangka akan mendengar kata itu lagi dari Aditya. Karena sampai saat ini dia melihat sekretaris Aditya orang yang berbeda dengan Selena."Apa kamu sudah buta, Aditya? Jelas keduanya
"Argh! Dari kemarin aku selalu mendengar kata itu dari Paman. Benih , benih dan benih! A-aku pastikan dia tidak akan mengandung anakku!""Hahk! Kalau kamu ingat melepasnya di luar kemarin, bagaimana ternyata di dalam? Atau, kamu sudah memperlengkapinya postinur?" "Cukup, Paman! Aku tidak kenal apa itu postinur! Sekarang bantu aku menyelidiki siapa sebenarnya Selena sekretarisku itu, Paman. Tapi aku harap Paman sembunyikan ini dari siapapun apalagi dari Kakek.""Wahh, semudah itu kamu mengabaikan kemungkinan sekretaris mu itu hamil, Aditya? Tidak cukup menyusahkan semua orang dengan benihmu di rahim Selena dulu? Ini mau membuat kesusahan lagi, hakh?"Aditya tidak berdaya membantah. Semua yang dikatakan paman Grove itu benar. Bahkan hampir semua perusahaannya hampir bangkrut karena kegilaannya mencari-cari Selena dan anaknya."Paman, aku mohon kali ini saja dengarkan aku bicara. Bantu aku menyelidiki---""Jadi, bagaimana pencarian Selena dan anakmu itu?" gegas paman Grove memotong."A
Selena tak henti mencebik kesal, bergumam dalam hati, 'Rasain lah, agar kamu tahu bagaimana rasanya tidak dihargai.'Selena tertawa diam-diam mengejek Aditya. Dia tak berkaca sikapnya begitu menjijikan. Terlalu sombong, sok tidak butuh dengan penawaran Hendra tadi. Kita lihat saja nanti dia butuh apa gaknya.Ohh, lihatlah perusahaan Wiguna, kalau bukan karena Tuan Collins, perusahaan itu sudah lama bangkrut. Sadarrr, Aditya! Apa yang pantas kamu banggakan lagi? Perusahaan Adiguna Jaya ini juga sama hampir bangkrut, sampai-sampai Tuan Collins memutasikan dirinya ke sini guna membantu Aditya.Tunggu! Sehebat itu diriku di mata Tuan Collins? Apa itu artinya aku jauh lebih memiliki skill dalam meng-handle perusahaan ini daripada Aditya, cucu kesayangannya yang tahu cuma merengek saja?"Selena! Kamu mendengar aku bicara! Dari tadi senyum-senyum sendiri!" sarkas Aditya mengagetkan Selena yang melamun.Selena berjengit kaget melihat Aditya sudah berdiri di depan mejanya. Mati aku! Sejak
"Lain kali Anda berpikir dulu sebelum merebut cek saya, pak Aditya yang terhormat. Alih-alih menuduh saya mencuri cek Anda. Apa maksud Anda ingin merendahkan saya?" tuduh Selena menghenyakkan duduknya santai di kursinya.Aditya membola, apa-apaan Selena menuduhnya merebut cek itu? Jelas yang memberikannya juga tadi ia sendiri. Merendahkannya? Sial! Cek itu aturan milikku!"Aku me---""Tidak perlu meminta maaf, Pak. Saya bisa mengerti ini hanya kesalahpahaman saja."Hakh, kenapa dia? Seolah aku yang salah. Sikap dan ucapannya itu benar-benar membuatmu marah."Kamu---""Sudahlah!" potong paman Grove menarik tangan Aditya keluar dari ruangan.Sepeninggalan keduanya, Selena melemparkan cek di tangannya ke dalam laci mejanya."Aditya sudah mulai berani mau menamparku? Dia pikir aku tak berani melaporkannya ke Tuan Collins?" Selena bergumam kesal.Waktu berputar sampai jam pulang Aditya tidak lagi kembali ke perusahaan. Selena pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya.Selena berjalan mala
Meski masih sangat kesal pria sangar itu telah merobek-robek uangnya tadi, Selena tetap bertanya sopan. "Berapa yang Anda minta? Karena saya lihat lukanya kecil saja, itu cukup diolesi minyak luka sudah sembuh.""Jangan mengajariku, Gadis bodoh! Sudah aku jelaskan tadi diawal, paham?""Iya, sangat jelas dan paham. Tapi, menurut yang saya lihat, untuk diamputasi luka kecil kaki begitu, masih kurang memenuhi syarat amputasi dari dokter. Mungkin saya bisa membantu mempercepat proses amputasi kaki Anda."BUKKBUKKSelena mengayun cepat kaki kanannya hingga ujung sepatunya yang runcing dan keras, mendarat kuat di luka kecil pria tersebut."Aduh, bang-sat! Apa yang kamu lakukan, Gadis murahan?" "Masih kurang? Gadis murahan ini akan membantu mewujudkan mimpi Anda agar secepatnya diamputasi."Selena mengayun kakinya membabi-buta sampai pria tersebut terus saja meringis dan meminta ampun."Hentikan, Gadis gila!" umpat pria tersebut terduduk seraya memegangi luka kakinya.Selena mencebik meli
"Tahan dulu, Paman. Aku hanya ingin tahu apa kegiatan Selena sepulang dari perusahaan. Besok kita atur rencana lain, Paman.""Oke, sipp. Kos nya yang sebelah mana?""Pagar paling ujung, Paman."Paman Grove mengangguk kemudian masuk ke mobilnya, mulai mendekati kos Selena.Sementara dengan Selena, setelah puas bercengkerama dengan Baby Lea di rumah Sharon, ia gegas membersihkan tubuhnya. Jam delapan malam nanti ia sudah janjian melanjutkan pembicaraan mereka yang terjeda tadi siang, sambil makan malam dengan Hendra. Sebelum besok pagi pria tampan tersebut harus pulang. "Di mana aku menaruh tasku?" gumamnya mengobrak-abrik isi kamarnya. "Sial! Apa tinggal di mobil---""Selena ..."Selena berjengit kaget, membuka pintu kamarnya mendengar Sharon memanggil. "Iya, Kak.""Kebiasaan kamu selalu kelupaan membawa tasmu. Ini, ponselmu juga tertinggal. Tadi ada nama Hendra menelepon karena bising Baby Lea lagi tidur, jadi aku angkat. Katanya lima belas menit lagi menjemputmu."Selena mematung.