"Tahan dulu, Paman. Aku hanya ingin tahu apa kegiatan Selena sepulang dari perusahaan. Besok kita atur rencana lain, Paman.""Oke, sipp. Kos nya yang sebelah mana?""Pagar paling ujung, Paman."Paman Grove mengangguk kemudian masuk ke mobilnya, mulai mendekati kos Selena.Sementara dengan Selena, setelah puas bercengkerama dengan Baby Lea di rumah Sharon, ia gegas membersihkan tubuhnya. Jam delapan malam nanti ia sudah janjian melanjutkan pembicaraan mereka yang terjeda tadi siang, sambil makan malam dengan Hendra. Sebelum besok pagi pria tampan tersebut harus pulang. "Di mana aku menaruh tasku?" gumamnya mengobrak-abrik isi kamarnya. "Sial! Apa tinggal di mobil---""Selena ..."Selena berjengit kaget, membuka pintu kamarnya mendengar Sharon memanggil. "Iya, Kak.""Kebiasaan kamu selalu kelupaan membawa tasmu. Ini, ponselmu juga tertinggal. Tadi ada nama Hendra menelepon karena bising Baby Lea lagi tidur, jadi aku angkat. Katanya lima belas menit lagi menjemputmu."Selena mematung.
Belum sempat bertanya siapa yang berani-berani menghalangi mobil Hendra, Selena dibuat terbelalak melihat Aditya-lah yang turun dari mobil di depan."Pak Aditya?" desis Selena, menepuk pundak Hendra yang masih sibuk memperhatikan spion samping, guna memposisikan mobil di sisi jalan."Iya? Aku---" Napasnya memburu melihat Aditya kini berdiri di depan mobilnya."Sialan! Kenapa dia bisa tahu kita di sini, Selena?" tanya Aditya menoleh ke Selena yang sudah memucat."A-aku tidak tahu, Kak.""Kamu tunggu di dalam saja, aku akan bicara dengannya," kata Hendra keluar menghampirinya Aditya. Napasnya makin memburu bercampur emosi bertatap muka langsung dengan Aditya."Apa maksudmu menghalangi jalanku?" tanya Hendra mengatur-atur napasnya guna tampak tenang."Apa hakmu membawa Selena berkeliaran malam-malam gini, hahk?" Ketus dan emosi Aditya balas bertanya. Tatapannya sangat merendahkan Hendra yang tampak sangat emosi. "Kalau kamu pergi dengan gadis lain, itu tidak masalah, Hendra. Tapi tida
Ahh, sial! Sadarlah, Aditya, kamu bukan lagi pasaran dan tidak berpendidikan. Tapi pria sarkas tak bermoral lebih pantas untukmu.Apa sebodoh itu dirinya, maka tidak sadar kelakuannya beberapa menit lalu? Andai bukan Bos ku sudah ku sepak kerikil ke kakinya. Biar sekalian diamputasi juga."Ahhk! Apa yang Anda lakukan ini?" pekik Selena meronta-ronta turun dari gendongan Aditya yang sigap menangkap tubuhnya.Karena sibuk mengomel-omel dalam hati, sampai tidak tahu Aditya langsung menggendongnya masuk ke rumah."Diam, nanti para pelayan terbangun," bisik Aditya menempelkan bibirnya di bibir Selena."Argh, hmphh, lepaskan," pekik Selena mendorong wajah Aditya. "Anda sudah hilang waras!" umpatnya menahan amarahnya. "Hilang waras? Kenapa sekarang tiba-tiba pikun, Sayang? Baru kemarin kita menikmati bercocok tanam dengan hangatnya. Masa pria segagah aku ini hilang waras? Aku juga tahu kamu sangat menikmatinya. Aku bisa tahu dari setiap desahan yang keluar dari bibirmu ini, Sayang."Adity
Pengakuan gila Aditya barusan membuat Selena sesaat berhenti bernapas. Sejak kapan mereka berpacaran. Tidak, alih-alih pacaran, aku tidak mau hidupku tersiksa selamanya dengan Bos gila itu."Anda suka meracau. Saya hanya sekretaris Anda. Tolong lepaskan rambut saya, Pak. Sakit," ujar Selena tenang "Jadi yang kita lakukan kemarin itu tidak ada artinya bagimu, Selena?"Selena menarik sudut bibirnya memberikan senyum seringai. Belum lupa penghinaan Aditya yang merendahkannya sebagai gadis murahan di parkiran hotel hari itu."Tidak ada yang perlu diingat. Anggap saja Anda melakukannya dengan wanita jalang. Bukankah itu yang selalu Anda katakan pada saya?""Apa? Sejak kapan kamu berani bicara---""Berhenti selalu marah dan marah, bukankah benar Anda mengatai saya wanita jalang?""Kapan? Aku tidak---""Saya rasa Anda belum amnesia, pak Aditya!Tapi, saya akan bantu mengingatkan Anda. Bagaimana di parkiran hotel hari itu, Pak? Di dalam kamar hotel? Di ruangan perusahaan Adiguna Jaya? Di m
"Lepaskan!" bentak Selena mendorong Aditya sekuat tenaga. "Selena kenapa kamu---"Selena mencondongkan wajahnya dengan mata menyipit, "Saya bisa menghormati Anda kalau Anda bisa menghargai saya juga," potong Selena menarik ponselnya yang menyembul dari kantong kemeja depan Aditya."Saya tidak segan-segan memberitahukan semuanya kepada Tuan Collins!" Selena mengancam setelah menguasai ponselnya.Aditya bergeming setiap mendengar nama sang Kakek, hanya menurut mengantarkan Selena pulang ke kosnya."Saya turun di sini saja," kata Selena sebelum Aditya berbelok ke arah kostnya. Cepat-cepat turun sebelum Aditya menahannya.Sejauh ini pun Aditya bahkan tidak berkutik membantahnya. Sesaat celingukan namun tidak menemukan mobil paman Grove ada di sekeliling. Kemudian pulang.***Sekarang setiap mau keluar dari kos, Selena selalu berhati-hati. Pagi-pagi sekali ia mengamati sekeliling kos, melihat tidak ada mobil Aditya, ia berlari cepat ke depan mini market. Di sana Hendra sudah menunggu d
"Argh! Kamu ..."Aditya mengepal tangan menahan ucapannya. Takut juga kalau benaran Selena memberitahukannya kepada Tuan Collins.Tuan Collins tidak segan-segan memarahinya, sebaliknya akan membela Selena. Selena melengos masuk ruangan, setelah meletakan berkas-berkas ke meja Aditya, ia segera sibuk di mejanya."Kamu dari mana tadi sampai-sampai terlambat masuk?" tanya Aditya menurunkan nada suaranya.Selena sudah gerah menghadapi Bos posesif itu. Sekilas mengekorkan sudut matanya ke Aditya yang berdiri di depan mejanya. Apa urusannya aku pergi ke mana."Saya ada urusan penting tadi, Pak.""Iya, tahu, tapi urusan penting apa? Jangan bilang kamu---""Pak Aditya, tolong berhenti mengurusi kehidupan saya! Tidak harus saya membuat laporan kehidupan pribadi saya kepada Anda!" Selena berdiri menatap tajam Aditya."Sama seperti saya bekerja di perusahaan Collins, begitu juga aturan saya bekerja di sini. Tuan Collins tidak pernah mengurusi saya ke mana dan urusan apa? Saya harap Anda juga
Di restoran hotel Reno. Aditya ditemani paman Grove tengah berbicara serius dengan paman Alberto."Aku rasa tidak urusan Paman menyampaikan hal itu ke Tuan Collins. Atau Anda hanya ingin mencari-cari muka? Lagipula, dengan siapa aku di dalam kamar hotel bukan urusan Anda juga, kan? Anda cukup menerima sewa kamar hotelnya saja," ujar Aditya menggeram."Aditya, obrolanku dengan Tuan Collins bukan seperti yang kamu tuduhkan itu. Aku katakan kalau kamu mengunjungi hotel ku, itu saja." paman Alberto mengelak dari tuduhan Aditya."Hakh, tidak mungkin Tuan Collins langsung tahu aku bersama kekasihku kemari. Ingat satu hal, Paman, kalau tahu dari awal ini hotel Anda, aku tak akan menginjakkan kakiku di sini!" Alberto tertawa terbahak-bahak. Aditya masih sama dengan dulu dia mengenalnya, sombong dan tidak sopan.Harusnya sekarang Aditya yang harus bertekuk lutut padanya setelah kejadian beberapa tahun silam. "Stt, kamu tahan emosimu, Aditya," pesan paman Grove berbisik, menyikut kaki Aditya
Aditya menyipitkan mata bertanya, "Paman ada ide lain selain dari ide rencanaku tadi ?"Paman Grove menggeleng. "Aku kehabisan ide kalau mengenai sekretaris mu itu, Aditya. Tapi coba saja bayar dia." Disertai tawa kecil mengejek."Berapa, Paman? Satu milyar cukup?" Gegas Aditya bertanya Paman Grove tersentak mendengar jumlah fantastis itu. Hanya mengaku-ngaku sebagai kekasihnya saja dibayar satu milyar? Lalu, dirinya yang sudah mengabdi puluhan tahun, melakukan semua yang diinginkan Aditya, belum pernah dihargai sebesar itu. Ini namanya adil apa gila? "Kamu perlu ke psikiater dulu, Aditya. Satu milyar sudah lebih dari cukup membuka cabang perusahaan baru! Daripada uang sebesar itu dihambur-hamburkan ke sekretaris mu itu. Apa belum cukup gajinya yang fantastis- yang melebihi gaji komisaris dan HRD itu?""Soal gaji Selena bukan urusanku tapi Kakek."Aditya menyeringai tipis. Paman Grove tidak tahu saja dia sudah memberikan uang satu milyar itu ke Selena. Baginya kenikmatan dan kehan