“Bapak ibu dan semua tamu undangan. Sebagaimana yang saya sampaikan di depan tadi untuk memberikan keputusan saya atas perkara ini maka,dengan segala kerendahan hati saya, dengan segala pertimbangan yang saya pikirkan matang-matang, dengan segala rasa dan perjalanan yang saya ikhlaskan, memutuskan untuk memberi keputusan Mas David agar kembali mengejar cintanya kepada wanita yang pernah sangat dicintainya, dan wanita yang saking cintanya ke Mas David sampai pernah jatuh sakit berbulan-bulan hanya karena merindu.
“Saya ikhlas dan saya tidak apa-apa. Toh semua ini hanya titipan. Soal jodoh urusan Tuhan. Saya merasa yang lebih pantas mendampingi Mas David dalam mengarungi hidup dan bahtera rumah tangga sampai akhir usia adalah wanita itu bukan saya. Maka dari itu mohon keikhlasannya semuanya.
“Dan khususnya kepada ayah ibu. Hiks… hiks…. Ini memang sudah jalannya. Maaf selama ini saya tidak terus terang. Tapi yakinlah apa yang kita lepaskan
Prolog “David, sebaiknya kamu jauhi Renata, Nak!”Pernyataan itu seperti palu godam yang sedang menghantam pertahanan diriku.“Maksud Ayah apa? Dan kenapa sikap Ayah barusan sangat tidak bersahabat? Apa salah Renata memang? Ayah tahu sendiri kan selama ini aku sangat mencintainya dan tidak mau melepaskannya!” Tegasku dengan nada meninggi.“Tapi Ayah yakin, kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.”Pernyataan ayah membuatku untuk yang kesekaliannya muntab dan dalam keadaan seperti ini entah apalagi yang akan kubanting.“Peduli amat dengan wanita lain. Pokoknya wanita yang akan aku nikahi itu Renata! Titik! Ayah tidak usah melarang hubunganku dengan Renata!” Nadaku semakin meninggi. Hening malam seakan pecah dengan suara kerasku.“Bukan itu maksud Ayah, Vid. Ayah hanya ingin melihat kamu hidup bahagia dengan pasanganmu nanti. Tidak sehari dua hari tapi
Kring!!! Kring!!!!! Kring!!!!!!Suara bising jam beker yang bergoyang-goyang di meja samping tempat tidurku sontak membangunkanku. Berisik suaranya mengagetkan sampai aku terperanjat bangun. Kuraih jam beker yang masih mengaung itu dan melihat jarum jamnya. Oh God! Agaknya aku salah mengarahkan setengah jam lebih lambat di jarum jam penanda aku akan dibangunkan. Rasa kantuk menjelang tidur yang tak tertahan selepas kejadian ricuh bersama ayah semalam membuatku tak sepenuhnya sadar saat memutar jarum jam.Setengah jam yang berharga karena kelebihan jam tidur. Setengah jam yang bisa kugunakan untuk mandi sarapan dan beres-beres sebelum kerja. Semoga tidak terlambat ke kantor pagi ini. Di waktu yang bersamaan, hp di samping jam beker memekik. Ada pesan masuk. Kulihat di riwayat panggilan. 15 kali panggilan tak terjawab. Lebih tepatnya tak sukses membangunkanku. Kubuka pesan. Mitra bisnis yang mengingatkan meeting penting yang mendadak dima
Seperti pagi dari ratusan pagi semenjak aku sukses dan paling banyak terlibat dalam perkembangan bisnis perusahaan tempat aku bekerja sekarang, kesibukan seperti tak memberiku celah untuk bernapas lega. Terlebih berleha santai. Meski hanya untuk menikmati secangkir kopi di teras rumah menjelang kerja. Itu jauh sekali untuk direalisasikan kecuali memang kupaksakan. Begitu tiba di gedung perusahaan segera aku menuju ke kantor yang berlokasikan di lantai paling atas. Hampir sejam aku terlambat. Semoga sekretarisku bisa menjelaskan ke yang lain alasan keterlambatanku. Usai kejadian tadi aku bergegas ke kantor dengan lebih hati-hati di jalan. Ancaman pengendara resek tadi tak begitu kuhiraukan. “Terserah jika belum kelar. Kutunggu kapan kau siap, brother. Catat di kepalamu nomor mobilku sekalian jika kau menganggap ini belum kelar. Kapanpun aku siap untuk meneruskan ini jika itu maumu.” Itu kalimat oleh-olehku padanya. Orang-orang di sekitar yang
Ketiga orang di depanku semakin merunduk begitu tahu hp yang berbunyi bukan dariku."Angkat saja jika penting!" Aku meminta siapa saja yang merasa hp-nya berbunyi untuk tidak berlama-lama merespons teleponnya.“Baik Pak, maaf. Mohon izin sebentar,” dengan kikuk Sheily memberanikan diri berbicara.Kuberi isyarat agar cepat merespons. Ternyata hanya pesan katanya. Selebihnya ia kembali kikuk dan salah tingkah. Seperti ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Barangkali ia menunggu responsku.“Dari siapa Sheil?” Tanyaku memastikan.Ia menujukkannya langsung tanpa banyak suara. Kubaca dan pesan itu datang dari ayah yang memang menyimpan nomornya sebagai nomor cadangan jika aku sulit dihubungi atau karena hal mendesak lainnya.“Maaf jika kau sibuk, Ayah hanya ingin beritahu kalau besok adalah acara yang sudah kita agendakan jauh hari untuk memancing di kolam dekat danau. Sekali lagi maaf,
Aku melengos pergi menghindari ayah yang memintaku untuk makan malam bareng. Makanan sudah disiapkan sebelum aku sampai rumah. Aku menolak tanpa alasan dan bergegas menuju kamar tanpa persetujuannya. Ada panggilan penting yang harus segera kuangkat.“Iya Sayang, tumben kau baru telepon. Aku menunggu seharian tahu? Sehari tak bertemu seperti setahun rasanya,” kuawali dengan kalimat menggombal dengan harapan membuatnya terbawa dan melupakan peristiwa kemarin malam.“Maafkan aku Sayang. Kau pasti tahu aku masih sebal. Habis ayahmu sok tahu banget sih. Dan sikapnya yang seperti mengusirku membuatku sangat tersinggung. Jadi malas ke rumahmu lagi.”“Malas? Bukankah sebelum atau setelah pernikahan kau akan ke sini lagi? Sudahlah, aku minta maaf mewakili ayah ya Sayang.”“Baik deh, demi kamu. Meski aku gak tahu, apakah ayahmu akan mau menerimaku atau sebaliknya. Pokoknya habis nikah nanti, kita harus tinggal terpisah dari
Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadira
Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara. “Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.” "Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga." "Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan." Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan. Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertari
Beruntungnya orang itu adalah Sheily, sekretarisku sendiri. Jadi aku tidak terlalu menanggung malu. Aku rasa ia akan memakluminya sama seperti kemakluman-kemakluman yang ia lakukan terhadap beberapa sikapku. Tak jarang aku memarahinya, kadang juga bercanda asyik bersamanya dan karyawan lain. Dalam banyak kesempatan ia mendapatiku berada di berbagai situasi. Dan apaapun yang terjadi dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan ia satu-satunya orang di perusahaan yang mendapat akses langsung ke keluargaku khususnya ayah yang sering menghubunginya saat menanyakan keberadaan atau kegiatanku atau di urusan-urusan mendesak dan penting lainnya.Usai mengambil berkas dari lemari yang ditunjuknya ia kembali permisi ingin melewatiku dan bersikap seperti kejadian itu tidak pernah terjadi.“Sheil?” sapaku spontan saat ia berjalan permisi persis di depanku.“Iya Pak?”“Kau mendengar isi percakapanku di telepon barusan?”