Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara.
“Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.”
"Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga."
"Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan."
Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan.
Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertaris atau karyawan perempuan yang lain, meski untuk urusan kerjaan. Sebuah alasan yang menggelitik namun patut aku hargai. Mungkin ini caranya agar tidak merasa tersakiti. Aku loloskan permintaannya tapi dengan syarat seminggu sekali minimal harus bertemu. Tapi jika bisa setiap hari.
Dulu saat awal-awal pacaran hampir setiap hari kami bertemu. Sempat beberapa kali aku bawa ke rumah untuk aku kenalkan ke orang tua. Ibu suka denganya tapi lain dengan ayah. Meski tidak mengatakannya langsung namun sikapnya bisa kubaca kalau Renata bukan calon menantu yang ayah inginkan. Saat itu aku bertambah kesal dengan ayah selain sikapnya yang sering membuatku pusing dan sebal.
Namun akhir-akhir ini, karena kesibukan pertemuan kami menjadi tak sesering dulu kecuali di saat-saat memang kami butuh bertemu. Lebih tepatnya lebih aku butuhkan. Meskipun begitu, rindu di dada sering kali membuncah-buncah dan sesekali di tengah kesibukanku wajah ayu dan gemasnya itu hadir dan membuatku tersenyum-senyum sendiri. Lebih tepatnya sedang menahan hati yang berbunga di dalam dada.
Karena rasa sayangku padanya yang sulit tergambarkan aku selalu menuruti apa yang dia mau. Meski ia sudah bekerja dan mendapat penghasilan namun banyak dari kebutuhannya aku fasilitasi. Bahkan rawatan kecantikan yang menelan biaya tidak sedikit aku penuhi. Biar uang miliknya ditabung untuk masa depan kami. Begitu sebaliknya, apa yang aku mau diapun selalu mengiyakan. Bahkan jika aku meminta keperawanannya sekalipun ia bakal tanpa ragu memberikan. Namun, itu tidak mungkin dan tidak akan aku lakukan.
Karena aku selalu ingat pesan ibuku saat kuperkenalkan Renata padanya agar menjaganya lahir dan batin. Aku tidak boleh menodai kehormatannya dan menyakitinya. Jika kami sudah tidak cocok misalnya, selesaikan dengan baik-baik saja.
Tut.. tut.. tut..
Aku sudah berada di tempat sepi untuk menunggu panggilan telepon tersambung ke hp-nya. Tak lama kemuddian panggilan tersambung dan suara yang kurindukan di seberang sana segera meredam rindu yang bergejolak.
“Halo sayang..bagaimana kabarnya hari ini? Sedang apakah?” Tanyaku mengawali.
“Halo sayangku.. cintaku.. sedang nelpon kamu nih.” Begitu mendengar suaranya yang lembut dan manja seketika hatiku bergetar dan rasa senang seperti menghujam kuat-kuat di dada.
“I miss you cinta.. I love you.. Kapan kita ketemu?”
“Iya Sayang.. I miss you too. Love you banget juga deh.. Aku juga gak sabar pengen ketemu dan berdua-duaan di danau.”
“Tapi kalau ke danau kan menunggu hari libur dan tidak bisa hari ini, Sayang.. Sementara rindu ini kan sulit terbendungkan. Dan bukankah malam ini adalah acara kita? Kenapa harus menunuggu hari Minggu?”
“Aduh Sayang… Aku lupa. Orang jika dimabuk asmara kadang bisa ngelantur ke sana sini. Tapi Sayang.. Aku minta maaf nih..”
Dari nadanya sepertinya ada hal yang tidak beres. Hati yang bergejolak cinta tadi sedikit meredam.
“Minta maaf kenapa? Memang kamu salah apa..?”
“Temanku yang tinggal di kampung, si Dewi, tahukan, dulu kita pernah ketemu saat dia main ke sini di awal-awal kita pacaran.”
“Iya tahu, kenapa Dewi?”
“Jadi kan gini. Dewi hari ini mau main ke ibukota dan tempat pertama yang ingin dikunjungi adalah aku. Sore ini sampai malam aku mau ajak dia nongkrong di kafe dekat rumah sebelum besok kuantarkan dia ke budenya yang juga tinggal di ibukota.”
“Lha, kok mendadak banget sih? Kenapa dia tidak ngabarinnya kemarin? Dan kenapa si Dewi itu tidak ke rumah budenya langsung saja habis itu ketemu kamu?”
Aku mulai menaruh prasangka tak baik.
“Gak tahu nih si Dewi. Kangen katanya. Dan aku juga sebal kenapa mendadak gini. Surprise katanya. Tapi tetap saja harus disiapkan penyambutannya kan?”
“Aku kan juga kangen sayang.. Masa kau tega milih dia dari pada aku.?”
“Bukan begitu Sayang. Aku juga kangen sama kamu. Tapi Dewi kan Cuma sekali ini saja dan tidak setiap hari. Sementara kamu bisa tiap waktu ketemu aku. Tapi kamu sibuk sih jadi jarang deh ketemu aku.”
Aku merasa tertohok atas pernyataan Renata. Memang benar akhir-akhir ini menjelang mega proyek itu aku sangat sibuk.
“Oh ya udah. Maaf kalau begitu. Untuk kali ini. Oke deh. Terus kapan acara kita sebagai gantinya?”
“Nanti aku kabari ya usai Dewi sampai di rumah Budenya.”
“Oke deh Sayang. Makasih ya udah ngabarin..”
“Makasih juga ya udah ngertiin aku. Bye.. Miss you… Kiss you.. Mmmmuuahhh.”
“Miss you juga. Mmmmuuuummahhh!! Sampai nanti cintaku sayangku..”
Dan klik. Panggilan terputus. Lega karena sudah bertelepon. Bahagia masih terasa di dada meski tadi sempat meredam. Tapi tiba-tiba ada hal yang mengganjal di hatiku yang memang perlu kupastikan.
Kedatangan Dewi dan gagalnya rencana dinner malam ini menjadi hal yang mengganjal di hati. Untuk mengungkap rasa penasaran ini aku berinisiatif untuk langsung memastikan. Renata bilang malam ini ia menemani Dewi di kafe dekat rumah. Bukankah dekat rumah setahuku tidak ada kafe? Apakah kafe baru atau memang aku belum sadar kalau di sekitar tak jauh dari rumahnya memang ada kafe? Aku putuskan usai pulang kerja akan ke lokasi dan mengecek langsung apa yang terjadi. Semoga pikiran buruk itu tidak terjadi dan semoga ia benar-benar menemani Dewi.
Kutoleh kanan kiri. Sepi. tidak ada orang yang melihat adegan kami bermanja-manja di telpon yang jika ketahuan akan merusak citraku di mata mereka yang sudah dikenalnya sebagai sosok yang sangat tegas, tidak suka bertele-tele, perfeksionis dan berwibawa. Memang cinta itu bisa mengubah banyak hal. Salah satunya adalah sikap. Dan cinta ini mampu mengubah sikap tegas dan perfeksionisku menjadi melankolis dan manja. Apa jadinya jika ada yang melihat. Syukurlah tidak ada yang melihat.
Tak beberapa lama kemudian tiba-tiba kudengar setapak langkah menghampiriku. Siapa dia? Dari tapak langkah yang kutangkap sepertinya sudah tidak lama ia berada di ruangan yang sama. Bukankah ruangan ini meski tertutup tapi memantulkan suara? Jika benar dia berada di ruangan yang sama artinya dia mendengar obrolan manjaku dengan Renata. Aku mulai panik. Siapa dia?
“Bapak sudah selesai bertelepon? Maaf, permisi. Saya mau ambil berkas di lemari sebelah.” Duh, ketahuan juga akhirnya. Aku salah tingkah. Menahan rasa malu yang teramat tepatnya.
** **
Beruntungnya orang itu adalah Sheily, sekretarisku sendiri. Jadi aku tidak terlalu menanggung malu. Aku rasa ia akan memakluminya sama seperti kemakluman-kemakluman yang ia lakukan terhadap beberapa sikapku. Tak jarang aku memarahinya, kadang juga bercanda asyik bersamanya dan karyawan lain. Dalam banyak kesempatan ia mendapatiku berada di berbagai situasi. Dan apaapun yang terjadi dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan ia satu-satunya orang di perusahaan yang mendapat akses langsung ke keluargaku khususnya ayah yang sering menghubunginya saat menanyakan keberadaan atau kegiatanku atau di urusan-urusan mendesak dan penting lainnya.Usai mengambil berkas dari lemari yang ditunjuknya ia kembali permisi ingin melewatiku dan bersikap seperti kejadian itu tidak pernah terjadi.“Sheil?” sapaku spontan saat ia berjalan permisi persis di depanku.“Iya Pak?”“Kau mendengar isi percakapanku di telepon barusan?”
Aku mulai curiga. Tak kusia-siakan momen ini untuk kurekam. Kuraih hp di saku dan mengabadikan apa yang terjadi di sana.Tak beberapa lama Renata keluar rumah dan di saat yang bersamaan ada sosok wanita keluar dari pintu mobil yang tak lain dan tak bukan adalah Dewi. Hupft. Aku lega. Kepanikanku berangsung memudar dan berganti pada rasa percayaku yang bertambah pada Renata. Dan soal mobil yang bentuknya mirip, itu hanya kebetulan mirip saja. Aku menyesal telah berprasangka buruk padanya. Selama ini hubungan kami selalu baik-baik saja dan tidak pernah ada drama orang ketiga. Rasa cintaku yang begitu telah membuat silap pandangan jernih hatiku. Apakah ini salah satu konsekuensi dari jatuh dan tenggelam dalam racun cinta? Entahlah.Kini aku bisa bernapas lega di dalam mobil, meski AC-nya tak kunyalakan. Kuselonjorkan kakiku ke samping kursi mobil karena dari tadi kelamaan duduk di posisi yang sama. Sama seperti hari-hari kerja sebelumnya, sepulangnya dari kantor badan ras
Di sepanjang jalan pulang air mataku tak berhenti mengucur. Hatiku di kedalaman sana mungkin sedang banjir. Sesak sesesak-sesaknya rasanya. Ibarat luka yang menganga ditaburi serbuk garam yang sudah pasti akan kesakitan luar biasa. Lalu dihantam dengan belati bertubi-tubi hingga darah mengucur dari luka yang menyiksa itu. Dan tahukan, hatiku lebih dari itu sakitnya. Sedih sesedih-sedihnya. Belum pernah aku dikecewakan sedemikiannya. Belum pernah aku dikhianati sesakit ini. Parahnya dua pengkhianatan sekaligus. Pengkhianatan pertama dari seorang kekasih yang di depan bermuka manis tapi di belakang kayak serigala. Pengkhianatan berikutnya dari seorang sahabat yang dengan susah payah aku tolong, dari dia belum apa-apa hingga sekarang menjadi orang yang patut diandalkan dalam sebuah kepemimpinan perusahaan. Di depan seperti baik-baik saja dan mendukungku tapi enyahlah saat di belakang. Busuk dan bajingan. Keduanya benar-benar brengsek. Sialan mereka berdua. Bermain belakang, menikung dari
Belum sempat berhenti memarkir tiba-tiba kurasakan mobilku seperti dihantam dari samping dengan keras entah oleh apa. Kurasakan mobilku bergerak tidak wajar dan agak oleng.Sialan!! Pegangan sabuk pengamanku sampai terlepas dan hampir kepalaku membentur setir. Untung saja berhasil kutahan. Tak beberapa lama, segerombolan orang keluar dari mobil yang menghadang dan menabrak. Pintu mobilku digedor-gedor agar aku cepat keluar. Antara panik dan bingung dengan tindakan brutal mereka, aku bergegas mencerna keadaan. Tapi sikap buas mereka tak mengizinkanku untuk itu dan TIARRRRR!!Mereka memecahkan kaca mobil bagian depan. Aku tak punya banyak pilihan selain membuka dan meladeni apa mau mereka yang sangat kurang ajar itu.Begitu aku keluar dan belum sempat berunding ataupun menanyakan sebab, sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungku yang membuatku terpental ke depan dan nyaris mencium aspal. Sialan! Beraninya main keroyokan!Siapa mereka? Satupun aku tak
Seorang perempuan dengan jaket bermotif Winnie The Pooh datang membawa bingkisan. Perempuan yang sangat kukenal dan hampir setiap hari kami bertemu untuk urusan pekerjaan. Dan sosok perempuan yang tak kalah cantik dengan Renata.“Bapak tidak apa-apa? Bagaimana keadaannya?”Aku hanya tersenyum. Pak Syakur memberi pengertian ke tamu yang datang kalau aku tidak boleh banyak bicara dan bergerak. Perempuan yang ternyata adalah Sheily itu mengangguk dan memaklumi.“Baik Pak, tidak apa-apa. Sebelumnya maaf, saya Sheilly. Sekretaris Pak David di kantor. Ayah Pak David yang menghubungi saya untuk lekas ke sini. Beliau berpesan agar saya mewakili keluarga terlebih dahulu. Beliau sedang menunggu kakaknya Pak David agar bisa bersama-sama ke rumah sakit dan meyakinkan secepatnya akan sampai di rumah sakit. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumah sakit ini.”“O, begitu. Baik tidak apa-apa. Yang penting ada dari pihak keluarga yang
Ibu menerangkan detail dari informasi yang didapat dari dokter. Katanya Lukaku terlalu parah di beberapa bagian khusunya tulang. Ada semacam benturan yang menyebabkan cidera dalam dan lantaran itu aku harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Aku tidak ingat detail dimana saja pukulan yang membentur tulang-tulang yang cidera itu. Tidak penting saat ini mengingat itu yang terpenting sekarang aku butuh istirahat dan perawatan yang intensif agar lekas sembuh.Tak beberapa lama Sheily izin pamit karena sudah malam. Besok ia juga harus ke kantor. Ayah meminta kakak pertamaku dan istrinya mengantarkannya pulang jadi tidak perlu memakai taksi. Ayah dan ibu berjaga untuk malam ini sementara yang lain diminta istirahat di rumah saja.Paginya perawat datang memeriksa dan mengontrol perkembangannku. Aku sudah bisa bangkit duduk dan menggerak-gerakkan beberapa bagian yang semalam belum dapat digerakkan. Saat bicara pun aku sudah mulai ada suaranya meski harus pelan. Perawa
Aku harus bersikap profesional. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa kemarin. Demi kelancaran strategi membalas sikapnya kali ini aku harus mengalah. Sheily yang juga tahu kejadian itu tampak shock begitu tahu yang datang adalah Renata. Mendadak situasi tegang dan hening. Aku memberi isyarat ke Sheily dan lainnya untuk meninggalkan kami berdua.Begitu pintu ditutup dan tidak ada orang lain selain kami, Renata menghambur memelukku sembari mengeluarkan air matanya yang sudah tak kuhiraukan lagi. Pelukan buaya dan tangisan palsu.“Duh Sayang, kamu kenapa? Banyak perban begini. Siapa yang melakukan ini padamu? Kau tahu, aku sangat mengkhawatirkanmu Sayang. Aku juga sangat merindukanmu karena dari semalam tidak ada kabar.” Ia berusaha merayuku dan bermanja-manja di depanku dengan berharap aku merespons sama. Sikapku hanya datar. Mungkin ia menganggap aku sedang sakit sehingga bukan waktunya untuk bermanja-manja. Aku tak mau berlarut-larut dengan keboho
Tak beberapa lama ayah datang dan masuk ruangan. Ibu masih di luar karena ada yang perlu dibeli. Marvel, karyawanku yang lain, izin ke luar ruangan. Mungkin sungkan dengan keberadaan ayah. Di ruangan kini tinggal ayah, Sheily, dan aku.Ayah membawa buah-buahan banyak sekali. Melihat ayah menata buah-buahannya di atas meja, Sheily spontan membantu ayah.“Maaf, kalau boleh biar saya saja Pak. Bapak boleh duduk di kursi saja agar tidak terlalu lelah.”Mendapati tawaran Sheily ayah tersenyum senang. Selain mengiyakan ia bergumam ngacau. “Waah.. Senang sekali rasanya jika punya mantu kayak kamu Sheil. Selain cantik dan baik juga perhatian. Vid, kalau cari istri minimal kayak Sheily dong. Bukan kayak Renata. Kalau Renata jelas aku tak setuju.”Mendengar namanya menjadi pembicaraan Sheily tersipu malu. Aku tak berniat merespons balik mengingat kejadian kemarin-kemarin yang sampai hari ini belum kelar urusan