Share

Bab 7

Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara.

“Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.”

"Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga."

"Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan."

Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan.

Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertaris atau karyawan perempuan yang lain, meski untuk urusan kerjaan. Sebuah alasan yang menggelitik namun patut aku hargai. Mungkin ini caranya agar tidak merasa tersakiti. Aku loloskan permintaannya tapi dengan syarat seminggu sekali minimal harus bertemu. Tapi jika bisa setiap hari.

Dulu saat awal-awal pacaran hampir setiap hari kami bertemu. Sempat beberapa kali aku bawa ke rumah untuk aku kenalkan ke orang tua. Ibu suka denganya tapi lain dengan ayah. Meski tidak mengatakannya langsung namun sikapnya bisa kubaca kalau Renata bukan calon menantu yang ayah inginkan. Saat itu aku bertambah kesal dengan ayah selain sikapnya yang sering membuatku pusing dan sebal.

Namun akhir-akhir ini, karena kesibukan pertemuan kami menjadi tak sesering dulu kecuali di saat-saat memang kami butuh bertemu. Lebih tepatnya lebih aku butuhkan. Meskipun begitu, rindu di dada sering kali membuncah-buncah dan sesekali di tengah kesibukanku wajah ayu dan gemasnya itu hadir dan membuatku tersenyum-senyum sendiri. Lebih tepatnya sedang menahan hati yang berbunga di dalam dada.

Karena rasa sayangku padanya yang sulit tergambarkan aku selalu menuruti apa yang dia mau. Meski ia sudah bekerja dan mendapat penghasilan namun banyak dari kebutuhannya aku fasilitasi. Bahkan rawatan kecantikan yang menelan biaya tidak sedikit aku penuhi. Biar uang miliknya ditabung untuk masa depan kami. Begitu sebaliknya, apa yang aku mau diapun selalu mengiyakan. Bahkan jika aku meminta keperawanannya sekalipun ia bakal tanpa ragu memberikan. Namun, itu tidak mungkin dan tidak akan aku lakukan.

Karena aku selalu ingat pesan ibuku saat kuperkenalkan Renata padanya agar menjaganya lahir dan batin. Aku tidak boleh menodai kehormatannya dan menyakitinya. Jika kami sudah tidak cocok misalnya, selesaikan dengan baik-baik saja.

Tut.. tut.. tut..

Aku sudah berada di tempat sepi untuk menunggu panggilan telepon tersambung ke hp-nya. Tak lama kemuddian panggilan tersambung dan suara yang kurindukan di seberang sana segera meredam rindu yang bergejolak.

“Halo sayang..bagaimana kabarnya hari ini? Sedang apakah?” Tanyaku mengawali.

“Halo sayangku.. cintaku.. sedang nelpon kamu nih.” Begitu mendengar suaranya yang lembut dan manja seketika hatiku bergetar dan rasa senang seperti menghujam kuat-kuat di dada.

I miss you cinta.. I love you.. Kapan kita ketemu?”

“Iya Sayang.. I miss you too. Love you banget juga deh.. Aku juga gak sabar pengen ketemu dan berdua-duaan di danau.”

“Tapi kalau ke danau kan menunggu hari libur dan tidak bisa hari ini, Sayang.. Sementara rindu ini kan sulit terbendungkan. Dan bukankah malam ini adalah acara kita? Kenapa harus menunuggu hari Minggu?”

“Aduh Sayang… Aku lupa. Orang jika dimabuk asmara kadang bisa ngelantur ke sana sini. Tapi Sayang.. Aku minta maaf nih..”

Dari nadanya sepertinya ada hal yang tidak beres. Hati yang bergejolak cinta tadi sedikit meredam.

“Minta maaf kenapa? Memang kamu salah apa..?”

“Temanku yang tinggal di kampung, si Dewi, tahukan, dulu kita pernah ketemu saat dia main ke sini di awal-awal kita pacaran.”

“Iya tahu, kenapa Dewi?”

“Jadi kan gini. Dewi hari ini mau main ke ibukota dan tempat pertama yang ingin dikunjungi adalah aku. Sore ini sampai malam aku mau ajak dia nongkrong di kafe dekat rumah sebelum besok kuantarkan dia ke budenya yang juga tinggal di ibukota.”

“Lha, kok mendadak banget sih? Kenapa dia tidak ngabarinnya kemarin? Dan kenapa si Dewi itu tidak ke rumah budenya langsung saja habis itu ketemu kamu?”

Aku mulai menaruh prasangka tak baik.

“Gak tahu nih si Dewi. Kangen katanya. Dan aku juga sebal kenapa mendadak gini. Surprise katanya. Tapi tetap saja harus disiapkan penyambutannya kan?”

“Aku kan juga kangen sayang.. Masa kau tega milih dia dari pada aku.?”

“Bukan begitu Sayang. Aku juga kangen sama kamu. Tapi Dewi kan Cuma sekali ini saja dan tidak setiap hari. Sementara kamu bisa tiap waktu ketemu aku. Tapi kamu sibuk sih jadi jarang deh ketemu aku.”

Aku merasa tertohok atas pernyataan Renata. Memang benar akhir-akhir ini menjelang mega proyek itu aku sangat sibuk.

“Oh ya udah. Maaf kalau begitu. Untuk kali ini. Oke deh. Terus kapan acara kita sebagai gantinya?”

“Nanti aku kabari ya usai Dewi sampai di rumah Budenya.”

“Oke deh Sayang. Makasih ya udah ngabarin..”

“Makasih juga ya udah ngertiin aku. Bye.. Miss you… Kiss you.. Mmmmuuahhh.”

Miss you juga. Mmmmuuuummahhh!! Sampai nanti cintaku sayangku..”

Dan klik. Panggilan terputus. Lega karena sudah bertelepon. Bahagia masih terasa di dada meski tadi sempat meredam. Tapi tiba-tiba ada hal yang mengganjal di hatiku yang memang perlu kupastikan.

Kedatangan Dewi dan gagalnya rencana dinner malam ini menjadi hal yang mengganjal di hati. Untuk mengungkap rasa penasaran ini aku berinisiatif untuk langsung memastikan. Renata bilang malam ini ia menemani Dewi di kafe dekat rumah. Bukankah dekat rumah setahuku tidak ada kafe? Apakah kafe baru atau memang aku belum sadar kalau di sekitar tak jauh dari rumahnya memang ada kafe? Aku putuskan usai pulang kerja akan ke lokasi dan mengecek langsung apa yang terjadi. Semoga pikiran buruk itu tidak terjadi dan semoga ia benar-benar menemani Dewi.

Kutoleh kanan kiri. Sepi. tidak ada orang yang melihat adegan kami bermanja-manja di telpon yang jika ketahuan akan merusak citraku di mata mereka yang sudah dikenalnya sebagai sosok yang sangat tegas, tidak suka bertele-tele, perfeksionis dan berwibawa. Memang cinta itu bisa mengubah banyak hal. Salah satunya adalah sikap. Dan cinta ini mampu mengubah sikap tegas dan perfeksionisku menjadi melankolis dan manja. Apa jadinya jika ada yang melihat. Syukurlah tidak ada yang melihat.

Tak beberapa lama kemudian tiba-tiba kudengar setapak langkah menghampiriku. Siapa dia? Dari tapak langkah yang kutangkap sepertinya sudah tidak lama ia berada di ruangan yang sama. Bukankah ruangan ini meski tertutup tapi memantulkan suara? Jika benar dia berada di ruangan yang sama artinya dia mendengar obrolan manjaku dengan Renata. Aku mulai panik. Siapa dia?

“Bapak sudah selesai bertelepon? Maaf, permisi. Saya mau ambil berkas di lemari sebelah.” Duh, ketahuan juga akhirnya. Aku salah tingkah. Menahan rasa malu yang teramat tepatnya.

**        **

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status