Prolog
“David, sebaiknya kamu jauhi Renata, Nak!”
Pernyataan itu seperti palu godam yang sedang menghantam pertahanan diriku.
“Maksud Ayah apa? Dan kenapa sikap Ayah barusan sangat tidak bersahabat? Apa salah Renata memang? Ayah tahu sendiri kan selama ini aku sangat mencintainya dan tidak mau melepaskannya!” Tegasku dengan nada meninggi.
“Tapi Ayah yakin, kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.”
Pernyataan ayah membuatku untuk yang kesekaliannya muntab dan dalam keadaan seperti ini entah apalagi yang akan kubanting.
“Peduli amat dengan wanita lain. Pokoknya wanita yang akan aku nikahi itu Renata! Titik! Ayah tidak usah melarang hubunganku dengan Renata!” Nadaku semakin meninggi. Hening malam seakan pecah dengan suara kerasku.
“Bukan itu maksud Ayah, Vid. Ayah hanya ingin melihat kamu hidup bahagia dengan pasanganmu nanti. Tidak sehari dua hari tapi berketerusan. Tidak sebulan dua bulan tapi berkelanjutan. Tidak setahun dua tahun tapi sampai kapanpun.”
“Memang kenapa dengan Renata?! Apa masalahnya? Dan apa ruginya jika aku menikahinya? Dia gadis yang baik kok. Di mataku dia adalah wanita sempurna. Yang menentukan kebahagiaan itu kita berdua, bukan Ayah.”
“Ayah tahu Vid, tapi sebagai orang tua yang lebih berpengalaman Ayah memiliki firasat tidak baik jika kamu bersama Renata.”
“Tapi yang menjalani rumah tangga nanti itu kami, dan yang tahu Renata itu aku, Yah. Akulah orang yang selama ini selalu bersamanya. Akulah orang yang paling tahu baik buruknya setelah orang tuanya.”
Belaku pada Renata yang selalu disudutkan ayah tiap kali menyinggung soal ini. Apalagi kejadian tidak mengenakkan yang langsung bersinggungan dengan Renata baru saja terjadi.
“Memang kamu sudah tanya orang tuanya? Pernah mengobrol? Bukankah kamu yang bilang kalau Renata tinggal sendiri dan orang tuanya hanya menjenguknya sesekali?”
“Iya, tapi meski tidak pernah aku yakin orang tuanya sama sepertiku. Karena aku yang selalu bersamanya. Jadi Ayah tidak ada hak untuk memandang sinis Renata. Calon menantu Ayah.” Tegasku memperkuat pembelaan.
“Tapi Vid..”
“Tapi apa lagi sih? Udahlah Yah! Gak usah bikin suasana jadi kacau dan keruh!”
“Renata hanya memanfaatkanmu, Nak. Selain tampan, kau berduit, posisimu di perusahaan sangat diperhitungkan, dan kau bisa mendapatkan wanita yang lebih baik tanpa kau harus disakiti atau dikecewakan terlebih dahulu."
“Udahlah Yah. Memang Ayah tahu apa tentang Renata? Sok meramal ini itu. Gak usah ikut campur urusan ini deh. Lagian selama ini hubungan kami selalu baik-baik saja dan omongan ayah tidak sekalipun terbukti. Jadi gak usah sok tahu."
“Tapi firasat Ayah sangat kuat Vid.”
“Terserahlah. Lupakan firasat itu dan aku mohon. Ayah gak usah ikut campur.”
“Baiklah kalau terserah Ayah. Kalau begitu jangan sekalipun berharap restu dari Ayahmu.”
Sontak tatapan tajamku menghujam ke asal suara.
** **
Setengah jam yang lalu Renata kuantar main ke rumah untuk menemui ayah dan ibu. Sepulang kerja aku menjemput di rumahnya untuk bersama-sama ke rumahku. Sebenarnya tidak sekali ini. Untuk beberapa kali dia menyempatkan berkunjung ke rumah untuk menemui ayah dan ibu.
Respons ibu selalu hangat. Tapi tidak dengan ayah. Dingin dan tidak bersahabat sehingga membuat Renata tidak nyaman. Namun, untuk malam ini sikap ayah begitu tegas yang seakan mengusir Renata sehingga membuat Renata tersinggung dan memaksaku mengantar pulang. Tapi ayah malah melarangku mengantarnya pulang karena sudah larut malam. Sikap ayah tersebut membuat Renata semakin tersinggung.
Bisa saja aku memaksakan diri untuk mengantarnya pulang tapi Renata lebih memaksaku untuk membiarkannya pulang sendiri naik taksi. Tak menunggu lama untuk memesan taksi melalui aplikasi yang tersambung di Hp-nya, ia pun pulang tanpa muka manis yang terlalu sering ia tunjukkan padaku. Tidak juga kiss bye atau bermanja-manja seperti biasanya. Mendapati sikapnya seperti itu hatiku rasanya lesu, pilu dan kesedihan sekejap menyelimuti seisi pikiran dan dada.
Persoalan ini berawal dari sikap ayah yang kusesalkan. Kenapa tidak memberi sedikit saja ruang untuk Renata membuktikan semuanya termasuk membuktikan jika omongan ayah itu salah dan Renata bukan orang seperti yang ayah sangkakan.
** **
“Apa? Tidak merestui? Aku akan menikah sendiri tanpa Ayah mendampingi. Apapun akan kulakukan asal aku bisa menikah dengannya. Titik!”
“Tapi kau akan menikah tanpa restu dari Ayah.”
“Apa? Jadi Ayah tidak akan merestui kami, begitu?” Tatapku semakin sinis ke ayah. Beberapa kali kupastikan dalam hati ayah sedang tidak bercanda.
“Aku tidak peduli. Aku mohon. Please. Jangan usik kami. Jangan usik kebahagiaan dan kebersamaan kami,” ucapku kesal sembari berbalik arah menuju kamarku.
“Tapi Vid.. Kamu tidak akan bahagia nanti jika bersama Renata. Percayalah Nak.”
Langkahku yang hendak tiba di depan kamar terhenti oleh ucapan ayah barusan. Aku kembali menoleh.
“TERSERAHHHH!! Aku gak mau dengar alasan apapun. Aku udah capek dan tolong jangan dibikin makin capek. Dan jika ayah tahu, di antara kecapekanku aku paling capek dengan sikap Ayah selama ini padaku. Arghhh!!!!”
Brakkkkkkkk.
Sembari memasuki kamar, gagang pintu kamar kubanting sangat keras sebagai bentuk luapan kekesalan dan emosiku yang sudah memuncak. Saking kerasnya sampai kusen dan dinding di samping kiri kanan bergetar.
Kring!!! Kring!!!!! Kring!!!!!!Suara bising jam beker yang bergoyang-goyang di meja samping tempat tidurku sontak membangunkanku. Berisik suaranya mengagetkan sampai aku terperanjat bangun. Kuraih jam beker yang masih mengaung itu dan melihat jarum jamnya. Oh God! Agaknya aku salah mengarahkan setengah jam lebih lambat di jarum jam penanda aku akan dibangunkan. Rasa kantuk menjelang tidur yang tak tertahan selepas kejadian ricuh bersama ayah semalam membuatku tak sepenuhnya sadar saat memutar jarum jam.Setengah jam yang berharga karena kelebihan jam tidur. Setengah jam yang bisa kugunakan untuk mandi sarapan dan beres-beres sebelum kerja. Semoga tidak terlambat ke kantor pagi ini. Di waktu yang bersamaan, hp di samping jam beker memekik. Ada pesan masuk. Kulihat di riwayat panggilan. 15 kali panggilan tak terjawab. Lebih tepatnya tak sukses membangunkanku. Kubuka pesan. Mitra bisnis yang mengingatkan meeting penting yang mendadak dima
Seperti pagi dari ratusan pagi semenjak aku sukses dan paling banyak terlibat dalam perkembangan bisnis perusahaan tempat aku bekerja sekarang, kesibukan seperti tak memberiku celah untuk bernapas lega. Terlebih berleha santai. Meski hanya untuk menikmati secangkir kopi di teras rumah menjelang kerja. Itu jauh sekali untuk direalisasikan kecuali memang kupaksakan. Begitu tiba di gedung perusahaan segera aku menuju ke kantor yang berlokasikan di lantai paling atas. Hampir sejam aku terlambat. Semoga sekretarisku bisa menjelaskan ke yang lain alasan keterlambatanku. Usai kejadian tadi aku bergegas ke kantor dengan lebih hati-hati di jalan. Ancaman pengendara resek tadi tak begitu kuhiraukan. “Terserah jika belum kelar. Kutunggu kapan kau siap, brother. Catat di kepalamu nomor mobilku sekalian jika kau menganggap ini belum kelar. Kapanpun aku siap untuk meneruskan ini jika itu maumu.” Itu kalimat oleh-olehku padanya. Orang-orang di sekitar yang
Ketiga orang di depanku semakin merunduk begitu tahu hp yang berbunyi bukan dariku."Angkat saja jika penting!" Aku meminta siapa saja yang merasa hp-nya berbunyi untuk tidak berlama-lama merespons teleponnya.“Baik Pak, maaf. Mohon izin sebentar,” dengan kikuk Sheily memberanikan diri berbicara.Kuberi isyarat agar cepat merespons. Ternyata hanya pesan katanya. Selebihnya ia kembali kikuk dan salah tingkah. Seperti ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Barangkali ia menunggu responsku.“Dari siapa Sheil?” Tanyaku memastikan.Ia menujukkannya langsung tanpa banyak suara. Kubaca dan pesan itu datang dari ayah yang memang menyimpan nomornya sebagai nomor cadangan jika aku sulit dihubungi atau karena hal mendesak lainnya.“Maaf jika kau sibuk, Ayah hanya ingin beritahu kalau besok adalah acara yang sudah kita agendakan jauh hari untuk memancing di kolam dekat danau. Sekali lagi maaf,
Aku melengos pergi menghindari ayah yang memintaku untuk makan malam bareng. Makanan sudah disiapkan sebelum aku sampai rumah. Aku menolak tanpa alasan dan bergegas menuju kamar tanpa persetujuannya. Ada panggilan penting yang harus segera kuangkat.“Iya Sayang, tumben kau baru telepon. Aku menunggu seharian tahu? Sehari tak bertemu seperti setahun rasanya,” kuawali dengan kalimat menggombal dengan harapan membuatnya terbawa dan melupakan peristiwa kemarin malam.“Maafkan aku Sayang. Kau pasti tahu aku masih sebal. Habis ayahmu sok tahu banget sih. Dan sikapnya yang seperti mengusirku membuatku sangat tersinggung. Jadi malas ke rumahmu lagi.”“Malas? Bukankah sebelum atau setelah pernikahan kau akan ke sini lagi? Sudahlah, aku minta maaf mewakili ayah ya Sayang.”“Baik deh, demi kamu. Meski aku gak tahu, apakah ayahmu akan mau menerimaku atau sebaliknya. Pokoknya habis nikah nanti, kita harus tinggal terpisah dari
Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadira
Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara. “Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.” "Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga." "Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan." Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan. Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertari
Beruntungnya orang itu adalah Sheily, sekretarisku sendiri. Jadi aku tidak terlalu menanggung malu. Aku rasa ia akan memakluminya sama seperti kemakluman-kemakluman yang ia lakukan terhadap beberapa sikapku. Tak jarang aku memarahinya, kadang juga bercanda asyik bersamanya dan karyawan lain. Dalam banyak kesempatan ia mendapatiku berada di berbagai situasi. Dan apaapun yang terjadi dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan ia satu-satunya orang di perusahaan yang mendapat akses langsung ke keluargaku khususnya ayah yang sering menghubunginya saat menanyakan keberadaan atau kegiatanku atau di urusan-urusan mendesak dan penting lainnya.Usai mengambil berkas dari lemari yang ditunjuknya ia kembali permisi ingin melewatiku dan bersikap seperti kejadian itu tidak pernah terjadi.“Sheil?” sapaku spontan saat ia berjalan permisi persis di depanku.“Iya Pak?”“Kau mendengar isi percakapanku di telepon barusan?”
Aku mulai curiga. Tak kusia-siakan momen ini untuk kurekam. Kuraih hp di saku dan mengabadikan apa yang terjadi di sana.Tak beberapa lama Renata keluar rumah dan di saat yang bersamaan ada sosok wanita keluar dari pintu mobil yang tak lain dan tak bukan adalah Dewi. Hupft. Aku lega. Kepanikanku berangsung memudar dan berganti pada rasa percayaku yang bertambah pada Renata. Dan soal mobil yang bentuknya mirip, itu hanya kebetulan mirip saja. Aku menyesal telah berprasangka buruk padanya. Selama ini hubungan kami selalu baik-baik saja dan tidak pernah ada drama orang ketiga. Rasa cintaku yang begitu telah membuat silap pandangan jernih hatiku. Apakah ini salah satu konsekuensi dari jatuh dan tenggelam dalam racun cinta? Entahlah.Kini aku bisa bernapas lega di dalam mobil, meski AC-nya tak kunyalakan. Kuselonjorkan kakiku ke samping kursi mobil karena dari tadi kelamaan duduk di posisi yang sama. Sama seperti hari-hari kerja sebelumnya, sepulangnya dari kantor badan ras