Seperti pagi dari ratusan pagi semenjak aku sukses dan paling banyak terlibat dalam perkembangan bisnis perusahaan tempat aku bekerja sekarang, kesibukan seperti tak memberiku celah untuk bernapas lega. Terlebih berleha santai. Meski hanya untuk menikmati secangkir kopi di teras rumah menjelang kerja. Itu jauh sekali untuk direalisasikan kecuali memang kupaksakan.
Begitu tiba di gedung perusahaan segera aku menuju ke kantor yang berlokasikan di lantai paling atas. Hampir sejam aku terlambat. Semoga sekretarisku bisa menjelaskan ke yang lain alasan keterlambatanku. Usai kejadian tadi aku bergegas ke kantor dengan lebih hati-hati di jalan. Ancaman pengendara resek tadi tak begitu kuhiraukan.
“Terserah jika belum kelar. Kutunggu kapan kau siap, brother. Catat di kepalamu nomor mobilku sekalian jika kau menganggap ini belum kelar. Kapanpun aku siap untuk meneruskan ini jika itu maumu.”
Itu kalimat oleh-olehku padanya. Orang-orang di sekitar yang melerai kejadian itu segera menetralkan kondisi jalanan yang macet setelah memintaku buru-buru pergi dari tempat itu. Dan syukurlah, sekarang aku sudah tiba di kantor.
“Selamat pagi, Pak.”
“Selamat pagi Pak David.”
“Selamat pagi boss.”
Sapaan ramah dari para karyawan yang kujumpai di sepanjang rute ruang kantor, aku respons sekadarnya. Aku tak memiliki banyak waktu untuk sekadar merespons melebihi senyum dan anggukan kepala. Kupercepat gerakku agar lekas tiba di dalam ruangan. Tak menunggu waktu yang lama akhirnya tiba. Sedetik kemudian raga dan segenap jiwaku segera ditelan oleh kesibukan yang sering kali tak mengizinkanku menikmati momen santai seperti yang kebanyakan orang bisa lakukan. Hari ini entah kenapa rasanya sangat sibuk sekali. Lebih tepatnya hari ini seperti hari tersibuk yang seolah tak ada hari yang telah kulalui melebihi sibuknya hari ini.
Kadang satu kesibukan bisa mengabaikan banyak hal bahkan juga keluarga.
“Selamat pagi, Pak David.” Sapaan dari sekretarisku dan 2 karyawan lain yang sudah menunggu di depan pintu ruangan kerjaku.
“Pagi Sheilly. Pagi semua. Maaf menunggu lama. Izin ke dalam dulu ya.”
Mereka mengangguk mempersilakan. Tak lama kemudian kupersilakan mereka masuk. Di belakangnya sudah mengantri dua karyawan bagian pemasaran yang sudah dua hari yang lalu ingin berkonsultasi terkait pemasaran dan strategi yang katanya baru dan jitu. Melihat semua yang sedang dan akan kuhadapi itu amat penting, maka aku harus pandai memprioritaskan yang lebih penting tanpa mengabaikan yang tak lebih penting.
“Ini berkas-berkas yang harus Bapak tandatangani,” Sekretaris yang sabar dan selalu menurut itu ingin meminta persetujuan tertulis atas tawaran proyek yang kemarin kusepakati.
Ia meminta izin untuk menaruh beberapa lembar kertas penting yang harus kutandatangani. Sementara dua karyawan yang satu duduk dan sisanya berdiri karena kehabisan tempat.
Aku mempersilakan dan sekretarisku mengangguk dengan senyum manisnya.
“Berapa prediksi nilai besaran yang akan masuk ke perusahaan kita dari proyek ini, Sheil?”
Tanpa basa basi aku segera ke inti persoalan. Mendengar intonasi dan nada suaraku yang serius muka leganya berubah tegang. Grogi lebih tepatnya.
Seperti sudah disiapkan jawabannya semalam, sekretarisku bersiap menjelaskan tapi tiba-tiba handphone yang masih berada di genggamanku memekik. Ada rasa kesal yang membuncah dan mendadak ingin segera kumuntahkan. Sebelum itu terjadi kulihat siapa yang mengganggu momen penting itu. Ternyata panggilan dari Ayah. Tak ada waktu untuk berbasa basi. Aku reject panggilan masuk itu meskipun entah sepenting apapun. Kuminta sekretarisku melanjutkan.
“Ratusan miliar Pak, dan dipastikan akan terus merambah ke angka triliun jika pemasarannya berjalan sesuai prosedur dengan segala inovasi dan kreativitas yang kita miliki.”
Superb! Ini yang selama ini kutunggu-tunggu.
Lalu, kutoleh dua yang lainnya sebagai isyarat mereka harus bersiap-siap karena sekarang gilarannya berbicara.
“Sebelum kalian berkonsultasi, saya ingin mendengar terobosan baru apa yang kalian tawarkan?”
Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan yang singkat dan padat sesuai permintaanku. Baru seperempat jawaban dipaparkan handphone itu kembali memekik. Sialan! Rasanya kegembiraan sesaat yang kurasakan nyalanya tadi sekejap redup. Sejak di mobil yang berujung ricuh itu panggilan ayah lagi-lagi memecah fokus dan memunculkan rasa sebal. Sekali lagi tak kuhiraukan panggilan yang telah menggeser mood-ku itu.
Klik!
Kupencet tombol reject. Hatiku mulai sebal namun masih tertahan. Aku meminta karyawan yang tak lain adalah manager marketing memberikan penjelasan yang tadi sempat terpotong. Ia menjelaskan dengan sangat baik. Tak salah aku merekrut mereka dan kini menjadi bawahannku.
“Tinggal beberapa langkah lagi dan menunggu deal-deal selanjutnya dari internal perusahaan maka angka fantastis itu segera bermigrasi ke rekening perusahaan, Pak. Beberapa bagian sudah menyetujuinya dan tinggal sisanya. Kami pikir akan mudah mendapat persetujuan dari semua divisi yang bersinggungan dengan bagian kita, mengingat ini hajat bersama untuk perusahaan. Namun, kami merasa kesulitan mendapatkan deal dari Pak Lucas selaku pemegang kendali atas divisi mereka yang beralasan ini itu,” imbuh Sheily.
Kesebalanku mereda. Bibirku menyungging senyum bahagia atas laporan mereka. Namun, kenapa dengan Lucas?
“Kenapa dengan Pak Lucas? Bukankah selama ini di depanku dia selalu setuju dan iya iya saja?"
“Entahlah Pak. Kami juga tidak tahu.”
“Baik, nanti saya tanyakan langsung saja. Lalu kapan sebaiknya kita adakan rapat internal perusahaan untuk mengeksekusi ide segar ini?” Tanyaku spontan. Sekretarisku segera tanggap.
“Melihat jadwal Bapak kira-kira hari…..” belum sempat ia menggenapi, handphone sialan itu lagi-lagi merusak tak hanya suasana hatiku melainkan juga suasana di kantor pagi ini. Perasaan yang terkumpul sedari tadi tak sabar ingin kuledakkan. Kuputuskan untuk mengangkatnya sembari memuntahkan kalimat dan ucapan yang sudah sedari tadi di mobil menumpuk dan tertahan ingin kulepaskan tanpa basa basi apapun, tanpa ba bi bu awal pembicaraan tanpa peduli sedang apa di seberang telepon sana.
“AYAH!!! AKU LAGI SIBUK SEKARANG!! TELEPON SAJA NANTI. MENGERTI TIDAK!!!! HA!! JANGAN GANGGU AKU! AKU LAGI KERJA!!!!!”
Klik. Kupencet tombol power off yang dalam hitungan kejap menghilanglah seluruh gambar di layar tanpa memberi kesempatan suara di seberang sana merespons kalimat pedasku. Suasana mendadak hening. Sheilly dan 2 bawahanku yang tadi sempat berapi-api menjelaskan terobosannya menunduk ketakutan. Dan pemilik suara di seberang telepon yang tak lain adalah ayah, entah bagaimana perasaannya. Aku tak punya waktu meladeninya.
Di tengah suasana hening yang menegangkan mereka itu tiba-tiba hp kembali berdering. Kuraih hp-ku untuk sekali lagi kumuntahkan kalimat yang lebih pedas tapi tertahan begitu kedua mataku menatap layar hp.
Tidak ada panggilan masuk atau pesan. Hp-ku masih dalam keadaan mati. Dering telepeon itu bukan datang dari hp-ku.
** **
Ketiga orang di depanku semakin merunduk begitu tahu hp yang berbunyi bukan dariku."Angkat saja jika penting!" Aku meminta siapa saja yang merasa hp-nya berbunyi untuk tidak berlama-lama merespons teleponnya.“Baik Pak, maaf. Mohon izin sebentar,” dengan kikuk Sheily memberanikan diri berbicara.Kuberi isyarat agar cepat merespons. Ternyata hanya pesan katanya. Selebihnya ia kembali kikuk dan salah tingkah. Seperti ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Barangkali ia menunggu responsku.“Dari siapa Sheil?” Tanyaku memastikan.Ia menujukkannya langsung tanpa banyak suara. Kubaca dan pesan itu datang dari ayah yang memang menyimpan nomornya sebagai nomor cadangan jika aku sulit dihubungi atau karena hal mendesak lainnya.“Maaf jika kau sibuk, Ayah hanya ingin beritahu kalau besok adalah acara yang sudah kita agendakan jauh hari untuk memancing di kolam dekat danau. Sekali lagi maaf,
Aku melengos pergi menghindari ayah yang memintaku untuk makan malam bareng. Makanan sudah disiapkan sebelum aku sampai rumah. Aku menolak tanpa alasan dan bergegas menuju kamar tanpa persetujuannya. Ada panggilan penting yang harus segera kuangkat.“Iya Sayang, tumben kau baru telepon. Aku menunggu seharian tahu? Sehari tak bertemu seperti setahun rasanya,” kuawali dengan kalimat menggombal dengan harapan membuatnya terbawa dan melupakan peristiwa kemarin malam.“Maafkan aku Sayang. Kau pasti tahu aku masih sebal. Habis ayahmu sok tahu banget sih. Dan sikapnya yang seperti mengusirku membuatku sangat tersinggung. Jadi malas ke rumahmu lagi.”“Malas? Bukankah sebelum atau setelah pernikahan kau akan ke sini lagi? Sudahlah, aku minta maaf mewakili ayah ya Sayang.”“Baik deh, demi kamu. Meski aku gak tahu, apakah ayahmu akan mau menerimaku atau sebaliknya. Pokoknya habis nikah nanti, kita harus tinggal terpisah dari
Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadira
Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara. “Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.” "Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga." "Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan." Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan. Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertari
Beruntungnya orang itu adalah Sheily, sekretarisku sendiri. Jadi aku tidak terlalu menanggung malu. Aku rasa ia akan memakluminya sama seperti kemakluman-kemakluman yang ia lakukan terhadap beberapa sikapku. Tak jarang aku memarahinya, kadang juga bercanda asyik bersamanya dan karyawan lain. Dalam banyak kesempatan ia mendapatiku berada di berbagai situasi. Dan apaapun yang terjadi dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan ia satu-satunya orang di perusahaan yang mendapat akses langsung ke keluargaku khususnya ayah yang sering menghubunginya saat menanyakan keberadaan atau kegiatanku atau di urusan-urusan mendesak dan penting lainnya.Usai mengambil berkas dari lemari yang ditunjuknya ia kembali permisi ingin melewatiku dan bersikap seperti kejadian itu tidak pernah terjadi.“Sheil?” sapaku spontan saat ia berjalan permisi persis di depanku.“Iya Pak?”“Kau mendengar isi percakapanku di telepon barusan?”
Aku mulai curiga. Tak kusia-siakan momen ini untuk kurekam. Kuraih hp di saku dan mengabadikan apa yang terjadi di sana.Tak beberapa lama Renata keluar rumah dan di saat yang bersamaan ada sosok wanita keluar dari pintu mobil yang tak lain dan tak bukan adalah Dewi. Hupft. Aku lega. Kepanikanku berangsung memudar dan berganti pada rasa percayaku yang bertambah pada Renata. Dan soal mobil yang bentuknya mirip, itu hanya kebetulan mirip saja. Aku menyesal telah berprasangka buruk padanya. Selama ini hubungan kami selalu baik-baik saja dan tidak pernah ada drama orang ketiga. Rasa cintaku yang begitu telah membuat silap pandangan jernih hatiku. Apakah ini salah satu konsekuensi dari jatuh dan tenggelam dalam racun cinta? Entahlah.Kini aku bisa bernapas lega di dalam mobil, meski AC-nya tak kunyalakan. Kuselonjorkan kakiku ke samping kursi mobil karena dari tadi kelamaan duduk di posisi yang sama. Sama seperti hari-hari kerja sebelumnya, sepulangnya dari kantor badan ras
Di sepanjang jalan pulang air mataku tak berhenti mengucur. Hatiku di kedalaman sana mungkin sedang banjir. Sesak sesesak-sesaknya rasanya. Ibarat luka yang menganga ditaburi serbuk garam yang sudah pasti akan kesakitan luar biasa. Lalu dihantam dengan belati bertubi-tubi hingga darah mengucur dari luka yang menyiksa itu. Dan tahukan, hatiku lebih dari itu sakitnya. Sedih sesedih-sedihnya. Belum pernah aku dikecewakan sedemikiannya. Belum pernah aku dikhianati sesakit ini. Parahnya dua pengkhianatan sekaligus. Pengkhianatan pertama dari seorang kekasih yang di depan bermuka manis tapi di belakang kayak serigala. Pengkhianatan berikutnya dari seorang sahabat yang dengan susah payah aku tolong, dari dia belum apa-apa hingga sekarang menjadi orang yang patut diandalkan dalam sebuah kepemimpinan perusahaan. Di depan seperti baik-baik saja dan mendukungku tapi enyahlah saat di belakang. Busuk dan bajingan. Keduanya benar-benar brengsek. Sialan mereka berdua. Bermain belakang, menikung dari
Belum sempat berhenti memarkir tiba-tiba kurasakan mobilku seperti dihantam dari samping dengan keras entah oleh apa. Kurasakan mobilku bergerak tidak wajar dan agak oleng.Sialan!! Pegangan sabuk pengamanku sampai terlepas dan hampir kepalaku membentur setir. Untung saja berhasil kutahan. Tak beberapa lama, segerombolan orang keluar dari mobil yang menghadang dan menabrak. Pintu mobilku digedor-gedor agar aku cepat keluar. Antara panik dan bingung dengan tindakan brutal mereka, aku bergegas mencerna keadaan. Tapi sikap buas mereka tak mengizinkanku untuk itu dan TIARRRRR!!Mereka memecahkan kaca mobil bagian depan. Aku tak punya banyak pilihan selain membuka dan meladeni apa mau mereka yang sangat kurang ajar itu.Begitu aku keluar dan belum sempat berunding ataupun menanyakan sebab, sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungku yang membuatku terpental ke depan dan nyaris mencium aspal. Sialan! Beraninya main keroyokan!Siapa mereka? Satupun aku tak