Aku melengos pergi menghindari ayah yang memintaku untuk makan malam bareng. Makanan sudah disiapkan sebelum aku sampai rumah. Aku menolak tanpa alasan dan bergegas menuju kamar tanpa persetujuannya. Ada panggilan penting yang harus segera kuangkat.
“Iya Sayang, tumben kau baru telepon. Aku menunggu seharian tahu? Sehari tak bertemu seperti setahun rasanya,” kuawali dengan kalimat menggombal dengan harapan membuatnya terbawa dan melupakan peristiwa kemarin malam.
“Maafkan aku Sayang. Kau pasti tahu aku masih sebal. Habis ayahmu sok tahu banget sih. Dan sikapnya yang seperti mengusirku membuatku sangat tersinggung. Jadi malas ke rumahmu lagi.”
“Malas? Bukankah sebelum atau setelah pernikahan kau akan ke sini lagi? Sudahlah, aku minta maaf mewakili ayah ya Sayang.”
“Baik deh, demi kamu. Meski aku gak tahu, apakah ayahmu akan mau menerimaku atau sebaliknya. Pokoknya habis nikah nanti, kita harus tinggal terpisah dari orang tuamu.”
“Tenang Sayang. Sudah kusiapkan tempat tinggal untuk kita berdua setelah menikah.”
“Ha? Benarkah.. Kok aku gak tahu? Wahhhh.. Makasih Sayang.. I love you so much.."
"SimpeL jawabannya, itu akan menjadi salah satu kejutan menjelang pernikahan kita nanti."
"Ha? Salah satu? Berarti ada lagi dong Sayang?"
"Benar cintaku. Pokoknya yang penting kamu gak ngambek dan harus bikin aku seneng."
"Wah siap deh soal itu."
Tampak sangat senang dari nadanya. Sekejap seperti terlupa atas kejadian semalam. Syukurlah. Semoga berkelanjutan hingga hubungan kami selalu baik-baik saja meski tanpa ayah merestui. Dan sebagai upaya menetralkan peristiwa semalam aku ingin mencairkan suasana dengan mengajaknya dinner besok malam selepas kerja. Renata bilang akan mengabari kepastiannya besok pagi.
** **
Esok paginya aku bangun lebih awal. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti kemarin. Jam beker kupastikan menyala sesuai dengan setting-an tadi malam setelah bertelepon dengan pujaan hatiku, Renata. Sebagaimana biasanya, sebelum berangkat kerja aku melakukan rutinitas pagi. Olahraga pagi sebentar sekadar meremajakan otot dan sekujur badan agar tidak tegang. Kemudian aku mandi, berberes lalu sarapan dan bersiap berangkat.
Pagi ini aku masih punya cukup waktu untuk sarapan. Aku bergegas menuju ruang makan yang ternyata di sana ayah sudah menunggu. Aku urungkan niatku untuk sarapan. Peristiwa kemarin malam bersama Renata masih membekas di hati dan membuatku sebal. Aku berbalik arah ke kamar dan memutuskan untuk langsung berangkat saja demi menghindari bertemu dengan ayah.
Tas kerja kuraih sebelum kupastikan berkas-berkas tidak ada yang tertinggal. Sekali lagi berkaca di depan cermin berukuran besar untuk memastikan penampilanku yang sudah rapi. Mumpung masih ada waktu, aku berkirim pesan ke Renata sekadar mengabarkan rencana ketemuan sekalian dinner usai pulang kantor. Pesan kukirim dan masih centang satu. Mungkin hp belum dinyalakan.
Usai berkirim pesan dengan kekasihku Renata, aku bergegas ke luar kamar dan berpamitan ke ibu lalu berangkat. Di depan kamar usai aku menutup pintu, ibu yang melihatku sudah rapi dan siap berangkat bergegas menahanku.
“Kamu gak sarapan dulu, Vid? Kan masih ada waktu?”
Aku membalas tersenyum.
“Bukankah kemarin kamu sudah tidak sarapan pagi? Lalu sekarang kamu juga tidak sarapan. Ayo sarapan dulu. Nanti perutmu sakit lho.”
Aku tak perlu merespons dan segera meraih tangannya untuk kucium. Tapi sikap ibu seakan memaksaku untuk sarapan dulu. Aku bersikukuh tidak menurutinya dan agaknya ibu mengalah.
“Kalau kamu tidak mau sarapan, temani Ayah sarapan. Ayah sudah menunggu di ruang tamu dari tadi.”
Duh, ibu bagaimana sih. Tujuanku tidak sarapan pagi supaya tidak bertemu ayah pagi ini tapi malah disuruh menemani. Pasti akan ditanya macam-macam dan berceloteh sesukanya lalu ujung-ujungnya aku diminta menjadi pendengarnya. Ogah ah. Aku hanya tak mau menghabiskan waktu pagi untuk hal yang tidak produktif. Mendengarkan celoteh ayah yang kayak anak kecil itu hanya buang-buang waktu saja.
“Tidak Bu. Aku harus berangkat sekarang. Please..” Tatapanku yang memohon membuat ibu mengerti jalan pikiranku. Aku dibiarkan berangkat sekarang.
Aku bergegas mengambil kunci untuk kemudian langsung ke mobil tanpa menemui ayah. Tapi, agaknya aku melupakan sesuatu. Kunci mobil. Terpaksa aku ke ruang depan untuk mencari kunci mobil. Sialnya ruang depan tersebut bersebelahan dengan ruang makan tempat ayah berada saat ini.
“Cari apa Vid?”
Dari sebelah ruangan ayah menanyaiku. Tanpa harus menjawabnya aku melanjutkan pencarianku. Kucari ke beberapa titik yang biasa aku menaruhnya namun hasil tetap nihil. Hingga aku mulai sebal dan sebagaimana kebiasaanku jika sudah sebal. Jika tidak berteriak pasti menggebrak atau menendang apa yang bisa ditendang.
“Kau cari kunci ya?”
Pertanyaan ayah membuat pencariaanku terhenti. Tak lama kemudian aku menemukan jawabannya.
“Di sini kuncinya, Nak. Kamu ngapain cari di sana?”
Kenapa kuncinya ada di sana? Perasaan semalam kutaruh di atas bufet sebelum masuk kamar. Ini pasti ulah ayah. Sengaja benar menyembunyikan dengan harapan aku mau menemaninya ngobrol jika ingin kunci itu dikembalikan.
“Kok di sini sih kuncinya? Bukannya semalam aku taruh di atas bufet sebelum masuk kamar?” Aku menghampiri ayah yang saat itu sudah siap dengan kunci yang ingin diberikan padaku.
“Ini untukmu. Bekal buat cemilan. Siapa tahu kamu lapar saaat bekerja.”
Urusan menjadi semakin lama. Tak banyak merespons, aku sambar kuncinya sembari berucap pamit tanpa sedikitpun menoleh ke wajahnya, apalagi membawa bekal di kotak Tupperware itu. Apa kata teman-teman kantor nanti jika aku membawa bekal anak sekolah itu?
“Aku berangkat dulu. Bekalnya buat ayah saja.”
Segera aku bergegas ke mobil dan membiarkan ayah yang kebingungan atau entah apa yang dirasakannya atas sikapku ini. Biarlah. Biar ayah tahu kalau aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa dan sudah sepatutnya diperlakukan seperti orang dewasa dan bukan anak kecil lagi.
Ayah sama sekali tidak membahas rencana memancing yang kemarin ia ributkan. Sampai-sampai ayah harus berkirim pesan kepada Sheily agar bisa memastikan hari ini agenda kami berjalan lancar. Syukurlah. Kuharap ayah mengerti anaknya yang sangat sibuk ini. Memancing kan bisa dilakukan di akhir pekan. Kenapa harus pas hari kerja sih? Ayah memang sering mengada-ada.
Saat memasuki mobil hp memekik. Ada 2 pesan bersamaan masuk. Satu dari Sheily dan sisanya dari Renata.
“Pagi Sayang. Maaf baru kasih kabar. Terkait rencana dinner kita yang semalam kamu tawarkan nanti kukabari lagi ya. Maksimal siang deh. Okay. Kiss you. Mmmuuuaahhh.”
Sontak bibirku menyungging senyum. Sekejap perasaan yang tadi di ruang tamu sempat gaduh menjadi teduh dan tenang.
Lalu, kubuka pesan dari Sheily.
“Pagi Pak David. Maaf menghubungi pagi-pagi. Ini urgent dan harus segera diselesaikan. Saya dapat desas-desus kabar kalau Pak Lucas tidak akan mau menandatangani berkas-berkas untuk memuluskan proyek yang kemarin kita bahas. Konsekuensinya adalah kepercayaan dari Bapak Komisaris terhadap Pak David. Bapak bisa dianggap tidak becus karena ada bawahan yang mencoba membelot dari kepemimpinan Bapak. Dan tentu hal itu juga berpengaruh terhadap reputasi Bapak di mega proyek yang akan dimeetingkan hari ini.
Jika itu terjadi, reputasi dan kesempatan Bapak memimpin dan menghandle di mega proyek yang akan perusahaan kita hadapi ini akan dipertanyakan dan dipertimbangkan kembali. Saya langsung dengar dari Andre, bawahan bapak yang belum sempat menyampaikan ke Pak David. Ini valid dan menurut saya Bapak harus segera ambil tindakan mengingat rapat internal untuk persiapan mega proyek itu akan diadakan bersama komisaris siang ini. Terima kasih Pak.”
Dahiku mengerenyit demi mendengar kabar itu. Lucas? Kenapa mendadak ia tidak setuju? Bukankah selama ini ia selalu satu jalur denganku. Tak hanya itu. Selain itu juga satu visi dan satu level yang sama-sama berkomitmen untuk meraksasakan perusahaan tempat kami bekerja. Dan bukankah selama ini kami berkawan baik dan selalu baik-baik saja? Tambah lagi fakta yang tak terbantahkan. Bukankah aku seorang yang mebawa, memperjuangkan dan meyakinkan ke atasan agar ia diterima di perusahaan sehingga ia mendapat posisi yang cukup prestisius dan menjadi incaran para karyawan lainnya? Ada apa gerangan? Apakah diam-diam dia….
Aku tak mau berspekulasi macam-macam. Aku hanya akan percaya jika aku menyaksikan atau membuktikan sendiri. Mobil segera melesat kencang namun lebih waspada dari biasanya. Aku tak mau kejadian konyol kemarin terulang kembali. Cukup kejatuhan sekali di masa lalu menjadi satu pelajaran berharga di masa depan.
Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadira
Saat Lucas menunggu respons ekspresi kebingunganku, hp-ku memekik. Kulihat ternyata dari Renata yang ingin aku menghubunginya jika sudah longgar. Ya. Aku punya alasan untuk menghindari perbincangan dengan Lucas sementara. “Maaf kawan, nanti kita bahas lagi. Ada yang harus kutelepon. Jika kau mau, selepas jam kerja kita bisa membahas ini. Karena malam aku sudah ada janji.” "Maaf, aku tidak bisa dua-duanya juga." "Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bisa agendakan." Tanpa menunggu persetujuannya aku melongos pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk mengobrol dengan sosok yang tiga hari ini amat kurindukan. Renata. Gadis manis yang membuat hatiku luluh dan gemas saat ia bermanja-manja denganku. Selain itu ia juga pintar. Dulu pernah kutawari dia untuk bekerja di perusahaan ini tapi ia menolak dengan mempertimbangkan banyak halnya. Salah satunya ia tidak mau dimakan api cemburu terus-terusan karena melihatku sering berduaan dengan sekertari
Beruntungnya orang itu adalah Sheily, sekretarisku sendiri. Jadi aku tidak terlalu menanggung malu. Aku rasa ia akan memakluminya sama seperti kemakluman-kemakluman yang ia lakukan terhadap beberapa sikapku. Tak jarang aku memarahinya, kadang juga bercanda asyik bersamanya dan karyawan lain. Dalam banyak kesempatan ia mendapatiku berada di berbagai situasi. Dan apaapun yang terjadi dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan ia satu-satunya orang di perusahaan yang mendapat akses langsung ke keluargaku khususnya ayah yang sering menghubunginya saat menanyakan keberadaan atau kegiatanku atau di urusan-urusan mendesak dan penting lainnya.Usai mengambil berkas dari lemari yang ditunjuknya ia kembali permisi ingin melewatiku dan bersikap seperti kejadian itu tidak pernah terjadi.“Sheil?” sapaku spontan saat ia berjalan permisi persis di depanku.“Iya Pak?”“Kau mendengar isi percakapanku di telepon barusan?”
Aku mulai curiga. Tak kusia-siakan momen ini untuk kurekam. Kuraih hp di saku dan mengabadikan apa yang terjadi di sana.Tak beberapa lama Renata keluar rumah dan di saat yang bersamaan ada sosok wanita keluar dari pintu mobil yang tak lain dan tak bukan adalah Dewi. Hupft. Aku lega. Kepanikanku berangsung memudar dan berganti pada rasa percayaku yang bertambah pada Renata. Dan soal mobil yang bentuknya mirip, itu hanya kebetulan mirip saja. Aku menyesal telah berprasangka buruk padanya. Selama ini hubungan kami selalu baik-baik saja dan tidak pernah ada drama orang ketiga. Rasa cintaku yang begitu telah membuat silap pandangan jernih hatiku. Apakah ini salah satu konsekuensi dari jatuh dan tenggelam dalam racun cinta? Entahlah.Kini aku bisa bernapas lega di dalam mobil, meski AC-nya tak kunyalakan. Kuselonjorkan kakiku ke samping kursi mobil karena dari tadi kelamaan duduk di posisi yang sama. Sama seperti hari-hari kerja sebelumnya, sepulangnya dari kantor badan ras
Di sepanjang jalan pulang air mataku tak berhenti mengucur. Hatiku di kedalaman sana mungkin sedang banjir. Sesak sesesak-sesaknya rasanya. Ibarat luka yang menganga ditaburi serbuk garam yang sudah pasti akan kesakitan luar biasa. Lalu dihantam dengan belati bertubi-tubi hingga darah mengucur dari luka yang menyiksa itu. Dan tahukan, hatiku lebih dari itu sakitnya. Sedih sesedih-sedihnya. Belum pernah aku dikecewakan sedemikiannya. Belum pernah aku dikhianati sesakit ini. Parahnya dua pengkhianatan sekaligus. Pengkhianatan pertama dari seorang kekasih yang di depan bermuka manis tapi di belakang kayak serigala. Pengkhianatan berikutnya dari seorang sahabat yang dengan susah payah aku tolong, dari dia belum apa-apa hingga sekarang menjadi orang yang patut diandalkan dalam sebuah kepemimpinan perusahaan. Di depan seperti baik-baik saja dan mendukungku tapi enyahlah saat di belakang. Busuk dan bajingan. Keduanya benar-benar brengsek. Sialan mereka berdua. Bermain belakang, menikung dari
Belum sempat berhenti memarkir tiba-tiba kurasakan mobilku seperti dihantam dari samping dengan keras entah oleh apa. Kurasakan mobilku bergerak tidak wajar dan agak oleng.Sialan!! Pegangan sabuk pengamanku sampai terlepas dan hampir kepalaku membentur setir. Untung saja berhasil kutahan. Tak beberapa lama, segerombolan orang keluar dari mobil yang menghadang dan menabrak. Pintu mobilku digedor-gedor agar aku cepat keluar. Antara panik dan bingung dengan tindakan brutal mereka, aku bergegas mencerna keadaan. Tapi sikap buas mereka tak mengizinkanku untuk itu dan TIARRRRR!!Mereka memecahkan kaca mobil bagian depan. Aku tak punya banyak pilihan selain membuka dan meladeni apa mau mereka yang sangat kurang ajar itu.Begitu aku keluar dan belum sempat berunding ataupun menanyakan sebab, sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungku yang membuatku terpental ke depan dan nyaris mencium aspal. Sialan! Beraninya main keroyokan!Siapa mereka? Satupun aku tak
Seorang perempuan dengan jaket bermotif Winnie The Pooh datang membawa bingkisan. Perempuan yang sangat kukenal dan hampir setiap hari kami bertemu untuk urusan pekerjaan. Dan sosok perempuan yang tak kalah cantik dengan Renata.“Bapak tidak apa-apa? Bagaimana keadaannya?”Aku hanya tersenyum. Pak Syakur memberi pengertian ke tamu yang datang kalau aku tidak boleh banyak bicara dan bergerak. Perempuan yang ternyata adalah Sheily itu mengangguk dan memaklumi.“Baik Pak, tidak apa-apa. Sebelumnya maaf, saya Sheilly. Sekretaris Pak David di kantor. Ayah Pak David yang menghubungi saya untuk lekas ke sini. Beliau berpesan agar saya mewakili keluarga terlebih dahulu. Beliau sedang menunggu kakaknya Pak David agar bisa bersama-sama ke rumah sakit dan meyakinkan secepatnya akan sampai di rumah sakit. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumah sakit ini.”“O, begitu. Baik tidak apa-apa. Yang penting ada dari pihak keluarga yang
Ibu menerangkan detail dari informasi yang didapat dari dokter. Katanya Lukaku terlalu parah di beberapa bagian khusunya tulang. Ada semacam benturan yang menyebabkan cidera dalam dan lantaran itu aku harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Aku tidak ingat detail dimana saja pukulan yang membentur tulang-tulang yang cidera itu. Tidak penting saat ini mengingat itu yang terpenting sekarang aku butuh istirahat dan perawatan yang intensif agar lekas sembuh.Tak beberapa lama Sheily izin pamit karena sudah malam. Besok ia juga harus ke kantor. Ayah meminta kakak pertamaku dan istrinya mengantarkannya pulang jadi tidak perlu memakai taksi. Ayah dan ibu berjaga untuk malam ini sementara yang lain diminta istirahat di rumah saja.Paginya perawat datang memeriksa dan mengontrol perkembangannku. Aku sudah bisa bangkit duduk dan menggerak-gerakkan beberapa bagian yang semalam belum dapat digerakkan. Saat bicara pun aku sudah mulai ada suaranya meski harus pelan. Perawa