"Aku tidak suka Gina, jangan paksa aku." Karina mengetik sesuatu dengan tergesa-gesa "Aku bisa mengurus diri sendiri."Gina menghembuskan nafas panjang "Tapi sepertinya aku yang tidak tahan. Setaiap akhir pekan kamu malah sibuk dengan pekerjaan. Nikmati masa muda mu Karina."Tidak ada yang tau kenapa Karina selalu menolak usulan tentang kencan dan hal-hal yang menyangkut perasaan. Gadis itu memilih bersembunyi di balik laptopnya yang terus menyala dari pagi tadi.Wajah Karina tampak lesu, dia ingin menyumpal telinganya dengan sesuatu agar tidak mendengar rekan kerja yang selalu mengoceh soal hal itu."Kalau begitu, aku pergi dulu. Pastikan kamu tidak lembur."Karina berhenti dari aktifitasnya, dia melirik jam dinding. Sudah pukul 7 malam, dan apa yang sedang dia lakukan adalah bekerja. Dia mengusap wajahnya yang mungil, sebenatar lagi dia harus kembali ke kampung halamannya. Kakaknya akan menikah, dan dia masih melajang. Di usia 24 tahun, Karina sudah berhasil sukses berkat kepintara
Ketika pria yang seharusnya menjadi pendampingnya malam ini mendekati meja Karina. Evan dengan cekatan mendekatkan kursi pada Karina. Jelas wanita itu tidak tampak baik-baik saja.Pria berwajah muda itu tampak bingung "Karina?"Dia heran, seharusnya wanita cantik itu mengenalinya karena dia memakai baju yang sama persis seperti di foto profilnya.Belum sempat Karina menjawab,mata karina tertuju pada sepatu hitam. Karina hanya ingin keluar dari sini.Evan terlebih dulu mengedikan bahu,dengan senyum penuh merendahkan dia menatap pria yang kebingungan itu "Maaf, aku menemukannya duluan. Kami harus pergi sekarang."Karina yang linglung kini mengikuti Evan yang menarik tangannya.Tangan Evan terasa hangat dan kokoh meremas jemari Karina yang basah.Evan memecah kerumunan dengan mudah. Bahkan saat ada antrian di luar restoran yang mengular, Evan berhasil memberikan nafas lega bagi Karina.Mereka berdua berdiri di terotoar tak jauh dari parkiran."Sudah, sekarang kamu bebas." Karina mengger
Karina membawa tasnya, dia harus pulang. Atau lebih tepatnya dia tidak bisa melihat Gina yang mencoba merayu Evan.Ini tidak mungkin perasaan cemburu. Evan bukanlah orang yang spesial, dan tadi hanya sebuah ciuman. Mungkin itu yang di yakini Karina saat ini.Adam mengikuti Karina, dia juga harus menjadi pria yang perhatian. Siapa tau,Evan butuh waktu berduaan dengan teman kencannya.Saat gadis-gadis seusia Karina sedang berpetualang mencari cinta sejati. Karina malah harus terjebak dengan teman kencan temannya sendiri.Gadis itu memijat pelipisnya,Adam tiba-tiba berdiri di depannya seolah menghadang Karina.“Aku bisa mengantar mu. Di mana rumah mu,Karina?” tawar Adam, wajahnya berseri.Karina menggeleng “Kamu tadi minum sake,Adam. Aku harus pulang.”“Benar juga. Kalau begitu hati-hati di jalan.”“Oke.”Tidak ada alasan khusus yang membuat Karina pulang. Bahkan telepon tadi hanyalah sebuah alasan agar dia bisa segera keluar dari situasi canggung ini.Membayangkan ciuman tadi membuat Ka
Ruang ganti baju yang tidak lebih besar dari pada kamar mandi Karina,kini menjadi tempat perangnya. Malam ini dia harus tampil cantik.Dia ingin terlihat spesial di mata Evan. Sebisa Karina saja sebenarnya.Namun, gaun terindahnya hanyalah kimono dress yang ia beli beberapa tahun lalu. Dress dengan bahan satin berwarna biru, belahan dada yang dalam serta tidak ketat,padahal menurut Karina ketat adalah salah satu kompenen penting untuk terlihat seksi.Rencana Karina untuk tampil mempesona gagal sudah. Dia malah terlihat seperti wanita yang hendak mendatangi rekan kerjanya di sebuah bar.Kini dia mengikat rambut dan memoleskan lipstik berwarna merah muda.Dia siap, entah apa yang akan dia lakukan. Dia siap untuk malam ini.Karian keluar dari apartemennya,dia menuju mobil yang terparkir di bawah. Sesosok wanita dengan wajah sedih berdiri tak jauh dari sana.Wanita itu adalah Gina. Karina dengan cepat mendekati Gina yang tampak kacau.“Gina? Ada apa?” tanya Karina, dia menopang tubuh Gina
Aroma lavender, seprei satin yang dingin namun nyaman. Karina membuka matanya perlahan, dia samar-samar melihat beberapa buku yang tersusun di nakas dekat rajang. Lampu tidur menyala dengan redup.“Sudah bangun?” Evan baru datang membawakan dua cangkir kopi yang masih hangat.Karina mengangguk “Maaf, tapi kenapa aku di sini?”“Kamu pingsan.” Evan menaruh kopinya di meja, kamarnya besar dan bersih. Tidak pernah terbayangkan kamar seorang pria lajang akan serapi ini.Karina memijat pelipisnya, dia masih terbaring di ranjang king size milik Evan. Wajahnya memancarkan ekspresi sangat menyesal,itu langsung terbaca oleh Evan.“Aku tidak keberatan kamu tidur di sini,Karina.” Evan duduk di pinggir ranjang dan menempelkan telapak tangannya di dahi Karina “Apa kamu sakit?”“Aku... ini cuma serangan panik.” Gumam Karina, dia malu mengakui kelemahannya itu.“Separah ini, tapi aku tidak tau. Aku minta maaf,Karina.” Bohong Evan, dia tidak mau membuat Karina malu karena dirinya yang tau soal masala
Mereka berdua berhenti di sebuah rest area. Sekitar 2 jam lagi mereka akan sampai. Bahkan sekarang, mereka sudah menjauh dari hiruk pikuk kota yang ramai.Karina baru keluar dari toilet, dia duduk di bangku dekat mini market. Gadis itu menggeluarkan ponsel dan memberi pesan kepada Papa.-Aku akan sampai dua jam lagi, aku akan menginap di hotel. Itu demi kebaikan bersama.Karina menatap matahari yang rendah, memamerkan warna jingga yang apik. Biasanya dia tidak akan berhenti saat pulang. Dia heran, area ini ternyata cukup indah.Angin yang menerpa wajah Karina, tidak membuat gadis itu kedinginan. Walau dia di paksa memakai jaket oleh Evan.Evan menghampiri Karina dengan membawakan camilan. Evan tau kalau Karina tidak suka makanan manis dan lebih menikmati sesuatu yang gurih.“Aku belikan camilan ini. Tidak ada matcha. Sayang sekali.” Canda Evan ketika menyodorkan minuman coklat.“Asal tidak kopi.” Balas Karina, dia tersenyum nakal pada Evan.Karina mengigit roti berisi ayam yang di bel
Di depan rumah dengan model yang minimalis. Warna rumah itu sedikit pudar,putih yang sudah tidak indah lagi lebih tepatnya. Karina keluar dari mobil, menghirup udara yang sejuk namun membuatnya takut.Gadis itu terhuyung, dia memegang erat mobil seperti akan jatuh ke jurang.Jantungnya seperti berhenti namun tiba-tiba berpacu begitu cepat. Ini amat melelahkan.“Karina..” panggil seorang pria dengan wajah yang lelah. Pria itu adalah Alex, calon kakak iparnya yang juga orang yang paling Karina hindari.“Alex.” Jawab Karina, dia menelan isi tenggorokannya dengan susah payah.Rasanya seluruh tubuh Karina panas hanya karena melihat Alex. Pria itu tak tau malu, benar-benar tidak pernah terbayang betapa munafiknya Alex.Bukan masalah kalau dulu Alex tidak bermanis-manis dengan Karina. Yang membuat Karina trauma bertemu dengan Alex adalah, pria berusia 30 tahun itu ikut menjelek-jelekan Karina kepada kakaknya,Tia.Pria itu bahkan membuat fitnah bahwa Karina pernah tidur dengannya. Dan Alex la
Tidak ada jamuan makan malam untuk Karina yang datang jauh-jauh dari kota lain. Namun itu malah terlihat lebih natural, dan tidak di buat-buat.Sayangnya, gadis itu malah mendapat sambutan seperti seorang penjahat yang tidak pernah di harapkan kehadirannya.Terutama Tia dan Mama, mereka berdua memandang Karina ketus sembari berkomat-kamit. Untung saja Karina tidak tertarik dengan perbincangan keduanya.Acara makan malam sebelum pernikahan Tia dan Alex. Ini semacam tradisi di keluarga Papa.Semua hidangan yang tersaji di meja makan adalah pemberian Karina. Dia membeli dari restoran kesukaan semua anggota keluarganya.“Ma, kita sudah lama tidak memakan Tostadas.” Tia girang. Dia memang sangat menyukai makahan khas Mexico dengan toping udang yang menggiurkan itu.Mama mendengus “Tapi tidak ada wine.” Sindir Mama.Dia sangat sebal dengan Karina yang tidak bisa minum. Mama dan Tia menganggap hal itu sangat
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert