Ruang ganti baju yang tidak lebih besar dari pada kamar mandi Karina,kini menjadi tempat perangnya. Malam ini dia harus tampil cantik.
Dia ingin terlihat spesial di mata Evan. Sebisa Karina saja sebenarnya.
Namun, gaun terindahnya hanyalah kimono dress yang ia beli beberapa tahun lalu. Dress dengan bahan satin berwarna biru, belahan dada yang dalam serta tidak ketat,padahal menurut Karina ketat adalah salah satu kompenen penting untuk terlihat seksi.
Rencana Karina untuk tampil mempesona gagal sudah. Dia malah terlihat seperti wanita yang hendak mendatangi rekan kerjanya di sebuah bar.
Kini dia mengikat rambut dan memoleskan lipstik berwarna merah muda.
Dia siap, entah apa yang akan dia lakukan. Dia siap untuk malam ini.
Karian keluar dari apartemennya,dia menuju mobil yang terparkir di bawah. Sesosok wanita dengan wajah sedih berdiri tak jauh dari sana.
Wanita itu adalah Gina. Karina dengan cepat mendekati Gina yang tampak kacau.
“Gina? Ada apa?” tanya Karina, dia menopang tubuh Gina yang hampir ambruk.
Tangis Gina pecah ketika dia memeluk Karina “Aku tidur dengan Adam tadi malam,Karina.”
Karina benci terlambat,khususnya malam ini. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Gina yang butuh teman cerita. Karina mengusap wajah Gina yang basah.
“Kenapa kamu sendirian di sini? Mana Adam?”
“Aku tinggal di hotel. Aku tidak tau, tapi aku merasa ini salah,Karina. Aku menyukai Evan,aku ingin Evan bukan Adam.” Isak Gina terdengar memilukan hati Karina.
Gadis itu melihat jam tangannya,sudah pukul 7. Karina menghela nafas “Beri aku 5 menit, aku harus menghubungi seseorang.”
Karina menelepon Evan, untung saja pria itu masih di rumah dan langsung mengangkatnya.
Karina : “Maaf, ada Gina. Dia sedang butuh teman. Sepertinya hari ini harus batal.”
Evan menggerutkan kening, dia benar-benar tidak suka dengan berita yang baru saja di ucapkan Karina.
Ironisnya,Evan tidak tau bagaiamana cara mengucapkan keinginannya itu.
Evan : “Setelah Gina pulang. Hubungi aku.”
Karina : “Baiklah,kalau begitu bye.”
Karina memasukan ponselnya kembali ke dalam tas, dia mendatangi Gina dan mempersilahkan Gina masuk ke rumah. Gina melihat Karina yang lebih cantik dari biasanya.
“Apa kau ada acara?”
Karina mengangguk “Tapi aku sudah bilang kalau aku terlambat.”
Gina masuk ke dalam rumah, Karina menyuguhkan teh hangat untuk temannya yang sedang kedinginan. Aroma teh itu menyeruak, teh hijau kesukaan Karina. Gadis itu rela merogoh kocek lebih banyak demi mendapatkan kualitas teh kesukaanya.
Tatapan Gina menusuk Karina,dia curiga kalau temannya sudah memiliki kekasih dan sengaja tidak memberitau dirinya.
Karena Karina merasa risih,gadis itu menghela nafas panjang “Bukan Gina. Sekarang ceritakan kenapa kamu kemari, di jam semalam ini?”
Gina mengerjab, dia menaruh gelasnya di meja “Aku tidak bisa, Adam sepertinya menyukai mu. Kami mabuk,Karina. Sejujurnya aku mencoba menghubungi Evan, tapi sepertinya dia tidak tertarik padaku.” Gina mendengus pelan.
Karina mengangguk paham, seperti dugaan. Karina memang pendengar yang sangat baik. Dia tidak masalah ketika tidak ada yang mendengarkannya.
“Lalu bagaimana soal pasangan yang akan kamu bawa di pesta pernikahan kakak mu?” lanjut Gina.
Karina hampir saja melupakan hal itu, masalah utamanya. Dia banyak teralihkan, terutama dengan Evan. Dia ingin membawa pulang Evan, tapi sepertinya itu tidak mungkin.
Hubungan mereka tidak sejauh itu. Atau bahkan,Karina sendiri tidak tau apa yang sedang mereka jalankan sekarang.
Sesuatu tanpa nama. Evan begitu menguasai Karina. Gadis itu bahkan siap memberikan apa pun untuk Evan. Sangat di sayangkan kalau Karina menjauhi Evan,tapi dia tidak tega melihat Gina yang terobsesi pada Evan.
Karina mengangkat bahunya “Aku belum memikirkan apa pun. Sepertinya aku akan pulang sendiri.”
“Kenapa kamu tidak bersama Adam.” Gina bersemangat.
“Adam?”
Gina mengangguk “Aku akan ikut bersama Evan?”
“Tapi kamu bahkan tidak di undang,Gina.” Ketus Karina. Dia tidak mau ada yang tau soal keluarganya. Karina belum siap dengan penilaian orang lain.
Gina menggaruk dagunya “Setelah acara pernikahan, kita bisa berlibur. Ini masa tenang di kantor, kita semua di beri waktu cuti..”
Karina mengangkat tangan kirinya “Aku tidak setuju, kalau kalian mau liburan. Sebaiknya itu tanpa ku,Gina.”
Suara hembusan nafas Gina semakin kentara. Wanita itu frustasi karena temannya sangat tidak menyenangkan. Musim panas sudah di depan mata, tapi Karina malah akan menghabiskan waktu itu di kantor. Tidak mungkin kan?
Tidak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu apartemen Karina. Seorang kurir yang membawa bunga Kamelia dan Anyelir. Bunga itu di rangkai dengan begitu indah.
“Untuk nona Karina.” Ucap kurir itu menyerahkan buket bunga pada Karina.
Di dalamnya ada secarik kertas, Karina membaca dengan seksama –Aku menunggu mu,Evan-
Kalimat itu membuat jantung Karina berdegup tak karuan, dia di buat jatuh cinta pada Evan. Baru pertama kali ada yang memberikan bunga pada Karina.
Gina iri, sebenarnya siapa pria yang memberi perhatian begitu romantis pada Karina? Dia berharap, bunga itu adalah miliknya.
“Gina, maaf. Sepertinya aku harus pergi.”
Gina berdegik, dia menggertakan gigi menahan ucapan kasar yang hampir terlontar. Gina mengambil tasnya “Aku pergi.”
“Maaf,Gina.”
Karina dengan cepat menghampiri Evan yang sudah menunggu di restoran. Gadis itu mengatur nafasnya yang cekat. Rupanya dia baru sadar, kalau dirinya sudah lama tidak berolah raga.
Cukup lama Karina berdiri di depan restoran. Entah kenapa dia ragu. Lagi-lagi serangan panik datang di waktu yang tidak tepat.
Kaki Karina lemas,dia merasa tubuhnya hampir ambruk karena debaran jantung yang amat kencang. Suara yang ada di kepalanya benar-benar membuat Karina muak.
Dia mengankat kepalanya saat seseorang berdiri tepat di depannya, menutupi cahaya lampu yang menyorot wajahnya.
Karima meremas dadanya yang serasa terbakar “Evan...” rintih Karina, dia meraih tangan pria itu. Setelah itu, Karina tidak tau apa yang terjadi. Dia pingsan.
Aroma lavender, seprei satin yang dingin namun nyaman. Karina membuka matanya perlahan, dia samar-samar melihat beberapa buku yang tersusun di nakas dekat rajang. Lampu tidur menyala dengan redup.“Sudah bangun?” Evan baru datang membawakan dua cangkir kopi yang masih hangat.Karina mengangguk “Maaf, tapi kenapa aku di sini?”“Kamu pingsan.” Evan menaruh kopinya di meja, kamarnya besar dan bersih. Tidak pernah terbayangkan kamar seorang pria lajang akan serapi ini.Karina memijat pelipisnya, dia masih terbaring di ranjang king size milik Evan. Wajahnya memancarkan ekspresi sangat menyesal,itu langsung terbaca oleh Evan.“Aku tidak keberatan kamu tidur di sini,Karina.” Evan duduk di pinggir ranjang dan menempelkan telapak tangannya di dahi Karina “Apa kamu sakit?”“Aku... ini cuma serangan panik.” Gumam Karina, dia malu mengakui kelemahannya itu.“Separah ini, tapi aku tidak tau. Aku minta maaf,Karina.” Bohong Evan, dia tidak mau membuat Karina malu karena dirinya yang tau soal masala
Mereka berdua berhenti di sebuah rest area. Sekitar 2 jam lagi mereka akan sampai. Bahkan sekarang, mereka sudah menjauh dari hiruk pikuk kota yang ramai.Karina baru keluar dari toilet, dia duduk di bangku dekat mini market. Gadis itu menggeluarkan ponsel dan memberi pesan kepada Papa.-Aku akan sampai dua jam lagi, aku akan menginap di hotel. Itu demi kebaikan bersama.Karina menatap matahari yang rendah, memamerkan warna jingga yang apik. Biasanya dia tidak akan berhenti saat pulang. Dia heran, area ini ternyata cukup indah.Angin yang menerpa wajah Karina, tidak membuat gadis itu kedinginan. Walau dia di paksa memakai jaket oleh Evan.Evan menghampiri Karina dengan membawakan camilan. Evan tau kalau Karina tidak suka makanan manis dan lebih menikmati sesuatu yang gurih.“Aku belikan camilan ini. Tidak ada matcha. Sayang sekali.” Canda Evan ketika menyodorkan minuman coklat.“Asal tidak kopi.” Balas Karina, dia tersenyum nakal pada Evan.Karina mengigit roti berisi ayam yang di bel
Di depan rumah dengan model yang minimalis. Warna rumah itu sedikit pudar,putih yang sudah tidak indah lagi lebih tepatnya. Karina keluar dari mobil, menghirup udara yang sejuk namun membuatnya takut.Gadis itu terhuyung, dia memegang erat mobil seperti akan jatuh ke jurang.Jantungnya seperti berhenti namun tiba-tiba berpacu begitu cepat. Ini amat melelahkan.“Karina..” panggil seorang pria dengan wajah yang lelah. Pria itu adalah Alex, calon kakak iparnya yang juga orang yang paling Karina hindari.“Alex.” Jawab Karina, dia menelan isi tenggorokannya dengan susah payah.Rasanya seluruh tubuh Karina panas hanya karena melihat Alex. Pria itu tak tau malu, benar-benar tidak pernah terbayang betapa munafiknya Alex.Bukan masalah kalau dulu Alex tidak bermanis-manis dengan Karina. Yang membuat Karina trauma bertemu dengan Alex adalah, pria berusia 30 tahun itu ikut menjelek-jelekan Karina kepada kakaknya,Tia.Pria itu bahkan membuat fitnah bahwa Karina pernah tidur dengannya. Dan Alex la
Tidak ada jamuan makan malam untuk Karina yang datang jauh-jauh dari kota lain. Namun itu malah terlihat lebih natural, dan tidak di buat-buat.Sayangnya, gadis itu malah mendapat sambutan seperti seorang penjahat yang tidak pernah di harapkan kehadirannya.Terutama Tia dan Mama, mereka berdua memandang Karina ketus sembari berkomat-kamit. Untung saja Karina tidak tertarik dengan perbincangan keduanya.Acara makan malam sebelum pernikahan Tia dan Alex. Ini semacam tradisi di keluarga Papa.Semua hidangan yang tersaji di meja makan adalah pemberian Karina. Dia membeli dari restoran kesukaan semua anggota keluarganya.“Ma, kita sudah lama tidak memakan Tostadas.” Tia girang. Dia memang sangat menyukai makahan khas Mexico dengan toping udang yang menggiurkan itu.Mama mendengus “Tapi tidak ada wine.” Sindir Mama.Dia sangat sebal dengan Karina yang tidak bisa minum. Mama dan Tia menganggap hal itu sangat
Acara melarikan diri itu gagal total. Karina tertahan karena keluarga dari pihak Papa mengajak Karina untuk mengikuti tradisi foto keluarga.Walau Mama dan Tia jelas menolak memajang wajah Karina di rumah mereka. Dalam sekejab, tubuh Karina di tarik oleh Evan agar dia bisa melindungi Karina.“Sebaikannya kalian foto tanpa aku.” Karina mendongak dan memaksakan senyuman pada bibinya.“Benar. Karina ingin pulang, dia tidak pernah betah saat tinggal di rumah.” Sahut Mama, dia melirik Karina dan Evan bergantian.Entah kenapa,Evan lebih marah daripada Karina. Jelas-jelas gadis itu tidak pernah mengatakan apa pun perihal rumah yang tidak pernah menyambutnya itu.Seperti itulah Karina, dia tidak akan membantah Mama apa pun yang Mama ucapkan. Dia akan menerima semua, karena Karina merasa dia memang pantas mendapatkan semua cacian itu.Papa yang tadi sedang menyalami tamu kini sudah ikut bergabung. Pria paruh baya itu mendekati istrinya dan merangkul
Setelah semua masalah yang terjadi. Karina tetap ngotot ingin berpamitan dengan keluarganya. Dia sudah baik-baik saja. Semua itu berkat reaksi Evan yang tidak berlebihan.Pagi ini mereka akan kembali, meski jatah cuti Karina masih sangat banyak. Dia lebih memilih kembali kembali ke kota untuk bekerja.“Aku saja yang masuk. Aku hanya ingin berpamitan,Evan.” Ucap Karina memohon, mereka sudah berada di depan rumah yang tampak sepi itu hampir 10 menit.Evan mengusap wajahnya kasar “Setelah semua yang mereka ucapkan,kamu masih mau menemuinya? Aku tidak tau kalau kamu sebaik itu,Karina.”Entah mengapa, Karina malah tersenyum. Dia merasa terhibur saat Evan mencemaskannya.“Aku cukup berpamitan 5 menit. Setelah itu aku akan keluar dengan senyuman.” Janji Karina.Semua hampir selesai, tinggal satu langkah lagi agar hati Karina pulang dengan tenang. Jujur saja dia masih ingin bertemu dengan Papa.“Kalau begitu,aku ikut masuk.” Evan melepas sabu
Sesuai janji Evan kepada Karina. Pria itu lantas mengantar gadis itu pulang ke apartemennya dengan selamat. Apartemen Karina tidak jauh, hanya sekitar 15 menit dan mereka sudah sampai.Mereka berjalan bersama-sama sambil bergandeng tangan menyusuri koridor bangunan yang sudah sepi.Apartemen Karina lebih kecil dan sederhana. Tidak ada pembatas untuk dapur,ruang makan, ruang Tv. Semua jadi satu.Sesampainya di depan apartemen milik Karina. Pria itu mendekap gadis itu, memberikan kecupan selamat tinggal. Jujur saja, Evan terlalu berat meninggalkan Karina sendirian. Dia masih ingin bersama gadis itu.“Besok kita harus bertemu lagi.” Bisik Evan tidak mau menganggu para tetangga Karina.Karina mengangguk di pelukan Evan “Oke,aku tidak akan kerja lembur besok.”Evan tertawa ringan. Kepala Karina kini bersandar di dadanya. Gadis itu bisa mendengarkan detak jantung Evan dengan jelas.Pelan,berirama, detak jantung Evan begitu teratur. Rasanya
Malam ini, Karina memilih untuk mandi terlebih dahulu, membersihkan badan karena seharian dia beraktifitas di luar rumah.Karina bukan penggila bersih. Namun dia selalu merasa cemas saat tubuhnya tidak di basuh air setelah seharian berada di luar rumah.Dia meminjam kamar mandi serta baju Evan yang paling kecil. Kalau soal dalaman, dia bisa menggurusnya nanti.Karina menatap tubuhnya yang menurutnya rata dan tidak menarik. Tidak ada yang bisa di pamerkan. Itu pikirnya.Handuk yang menutupi bagian dada hingga paha Karina berwarna biru muda. Gadis itu keluar dengan malu malu, rambutnya yang masih basah meneteskan air ke pundaknya.“Aku ke kamar. Eh, tidak. Itu kamar mu.” Ucap Karina gagap, dia berjalan miring seperti kepiting.“Silahkan, ini bukan kali pertama mu.”Karina berlari, melewati ruang tamu Evan yang sebesar kamarnya.Evan yang melihat itu hanya menyunggingkan senyuman. Karina seperti baru saja t
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert