Acara melarikan diri itu gagal total. Karina tertahan karena keluarga dari pihak Papa mengajak Karina untuk mengikuti tradisi foto keluarga.
Walau Mama dan Tia jelas menolak memajang wajah Karina di rumah mereka. Dalam sekejab, tubuh Karina di tarik oleh Evan agar dia bisa melindungi Karina.
“Sebaikannya kalian foto tanpa aku.” Karina mendongak dan memaksakan senyuman pada bibinya.
“Benar. Karina ingin pulang, dia tidak pernah betah saat tinggal di rumah.” Sahut Mama, dia melirik Karina dan Evan bergantian.
Entah kenapa,Evan lebih marah daripada Karina. Jelas-jelas gadis itu tidak pernah mengatakan apa pun perihal rumah yang tidak pernah menyambutnya itu.
Seperti itulah Karina, dia tidak akan membantah Mama apa pun yang Mama ucapkan. Dia akan menerima semua, karena Karina merasa dia memang pantas mendapatkan semua cacian itu.
Papa yang tadi sedang menyalami tamu kini sudah ikut bergabung. Pria paruh baya itu mendekati istrinya dan merangkul
Setelah semua masalah yang terjadi. Karina tetap ngotot ingin berpamitan dengan keluarganya. Dia sudah baik-baik saja. Semua itu berkat reaksi Evan yang tidak berlebihan.Pagi ini mereka akan kembali, meski jatah cuti Karina masih sangat banyak. Dia lebih memilih kembali kembali ke kota untuk bekerja.“Aku saja yang masuk. Aku hanya ingin berpamitan,Evan.” Ucap Karina memohon, mereka sudah berada di depan rumah yang tampak sepi itu hampir 10 menit.Evan mengusap wajahnya kasar “Setelah semua yang mereka ucapkan,kamu masih mau menemuinya? Aku tidak tau kalau kamu sebaik itu,Karina.”Entah mengapa, Karina malah tersenyum. Dia merasa terhibur saat Evan mencemaskannya.“Aku cukup berpamitan 5 menit. Setelah itu aku akan keluar dengan senyuman.” Janji Karina.Semua hampir selesai, tinggal satu langkah lagi agar hati Karina pulang dengan tenang. Jujur saja dia masih ingin bertemu dengan Papa.“Kalau begitu,aku ikut masuk.” Evan melepas sabu
Sesuai janji Evan kepada Karina. Pria itu lantas mengantar gadis itu pulang ke apartemennya dengan selamat. Apartemen Karina tidak jauh, hanya sekitar 15 menit dan mereka sudah sampai.Mereka berjalan bersama-sama sambil bergandeng tangan menyusuri koridor bangunan yang sudah sepi.Apartemen Karina lebih kecil dan sederhana. Tidak ada pembatas untuk dapur,ruang makan, ruang Tv. Semua jadi satu.Sesampainya di depan apartemen milik Karina. Pria itu mendekap gadis itu, memberikan kecupan selamat tinggal. Jujur saja, Evan terlalu berat meninggalkan Karina sendirian. Dia masih ingin bersama gadis itu.“Besok kita harus bertemu lagi.” Bisik Evan tidak mau menganggu para tetangga Karina.Karina mengangguk di pelukan Evan “Oke,aku tidak akan kerja lembur besok.”Evan tertawa ringan. Kepala Karina kini bersandar di dadanya. Gadis itu bisa mendengarkan detak jantung Evan dengan jelas.Pelan,berirama, detak jantung Evan begitu teratur. Rasanya
Malam ini, Karina memilih untuk mandi terlebih dahulu, membersihkan badan karena seharian dia beraktifitas di luar rumah.Karina bukan penggila bersih. Namun dia selalu merasa cemas saat tubuhnya tidak di basuh air setelah seharian berada di luar rumah.Dia meminjam kamar mandi serta baju Evan yang paling kecil. Kalau soal dalaman, dia bisa menggurusnya nanti.Karina menatap tubuhnya yang menurutnya rata dan tidak menarik. Tidak ada yang bisa di pamerkan. Itu pikirnya.Handuk yang menutupi bagian dada hingga paha Karina berwarna biru muda. Gadis itu keluar dengan malu malu, rambutnya yang masih basah meneteskan air ke pundaknya.“Aku ke kamar. Eh, tidak. Itu kamar mu.” Ucap Karina gagap, dia berjalan miring seperti kepiting.“Silahkan, ini bukan kali pertama mu.”Karina berlari, melewati ruang tamu Evan yang sebesar kamarnya.Evan yang melihat itu hanya menyunggingkan senyuman. Karina seperti baru saja t
Beberapa minggu setelah kejadian di mana Evan tidak ingin Karina ‘berfikir’.Tidak ada perubahan yang berarti, mereka masih saling makan malam bersama, kadang pergi ke toserba dan menghabiskan waktu di apartemen bergantian.Sayangnya,Evan tidak lagi mencoba mencium Karina. Hal itu membuat Karina sedikit kecewa.Dia yakin,Evan masih kesal soal kejadian tempo hari. Ia sendiri saja marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia mematahkan semangat Evan dengan cara terburuk.Namun hari ini ada yang berbeda, ini adalah peringatan ke dua bulan hubungan mereka.Memang tidak biasanya sebuah hubungan di hitung dalam bentuk bulan. Tapi Karina tidak mau melewatkan kesempatan membuat Evan terkejut.Dia harus membuat malam yang berkesan untuk pria itu. Dia siap untuk memberikan semuanya. Ya benar, semuanya. Termasuk kepercayaan dan tubuhnya.Rencananya,Karina akan mengajak Evan makan di restoran di mana mereka pertama kali bertemu.It
Waktunya pulang, salah satu rekan Evan yang bermana Liam menawarkan Karina tumpangan. Tampaknya,Liam juga terkesan dengan paras cantik dan kepintaran Karina.Evan yang sedang di sibukan dengan Gina yang merenggek agar pria itu memberi tumpangan tampak tak suka saat Liam tidak mengindahkan penolakan Karina.“Aku membawa mobil sendiri,Liam. Terimakasih.” Ujar Karina, dia bisa mempertahankan senyuman di bibirnya.Liam mengangguk “Kalau begitu, aku harap kita bisa makan siang bersama besok.”Sejenak,Karina menatap Evan.“Sepertinya aku tidak bisa menjanjikan hal itu. Lebih baik aku datang ke kantor mu setelah proposalnya selesai ku buat.” Karina mengangguk, dan segera melesat ke dalam mobilnya.Gadis itu terdiam di dalam mobilnya beberapa saat. Matanya tertuju pada Evan yang terlihat tidak nyaman.Rupanya,Evan masuk ke dalam mobil Gina. Karina membuang muka tidak sanggup melihat semua ini. Dia ingin membawa Evan pergi dari sana. Dia tidak
Evan merebahkan tubuh Karina di atas ranjang,speri biru tua berbahan sati itu kusut. Dia menjauh untuk melepas kemejanya.Benar, ada tato di dada kanan Evan. Tato gambar rantai bengkok dengan beberapa tulisan yang tersusun abstrak. Karina tidak sadara kalau dia menyukai tato sebelum melihat tato Evan. Atau mungkin dia hanya menyukai milik Evan.“Ini nama para penjaga panti asuhan ku.” Jelas Evan, sebelum Karina sempat bertanya.Selesai melepas kemeja, dia melemparnya dengan asal. Pria itu mengambil ‘pengaman’ yang dia simpan di dalam dompet.Karina sangat penasaran, dia mengangkat tubuhnya,bertumpu pada sikunya “Aku boleh melihatnya?”“Setelah urusan kita selesai,Karina.” Desis Evan, dia memasang pengamannya.Lebih baik sedia payung sebelum hujan kan.Pria itu merebahkan tubuhnya di atas Karina, mau tak mau Karina menjatuhkan kepalanya. Hingga gadis itu memekik dan tertawa kecil karena merasa geli.Jari Evan mengelus punggung K
Apa yang keduanya lakukan setelah sarapan. Mandi bersama. Itu ide Evan tentu saja. Dia benar-benar membuat Karina merasa ini adalah bulan madunya.Tidak ada istirahat sama sekali.Bahkan setelah mandi dan Karina sedang merapikan barang bawaanya. Evan tidak mau beranjak dari sebelahnya. Menempel seperti seorang lebah dan madunya.“Apa kita akan pergi keluar? Kalau iya, aku perlu baju ganti.” Celetuk Karina, tangannya masih sibuk memasukan gaun ke dalam tasnya.Kemeja Evan ternyata lebih nyaman daripada pakaian lainnya.Sepertinya ini adalah hari yang panjang bagi Evan. Dia lebih ingin memeluk Karina seharian. Tapi sepertinya, makan malam di luar juga cukup praktis.“Bagaimana kalau kita makan malam di Del’s. Setelah itu, kamu bisa menginap di sini. Lagi.” Usul Evan, dia menggeser tubuhnya setelah Karina memunggut ponsel yang tadi ada di dalam tas.“Sial.” Rutuk Karina, dia baru saja mendapat sebuah pesan dari kantornya.Evan men
Suara yang terdengar di telinga Karina, berhasil membangunkan gadis itu. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya juga terasa berat. Evan menoleh ke arah Karina yang sedang berusaha membuka mata “Karina..” dia beralih dari dokter yang tampak bingung. “Dokter, dia sudah bangun.” sambung Evan dengan nada gemetar. Dokter itu mengangguk sekilas dan pergi untuk mengambil hasil pemeriksaan Karina. Karina menyadari kalau ada sesuatu yang janggal. Tapi dia juga penasaran di mana Gina berada. Dia masih harus berbicara dengan temannya itu. “Evan, mana Gina?” suara lirih Karina menyayat hati Evan. “Dia sedang menelepon Dean. Astaga,Karina.” pria itu mengusap rambut gadis itu dengan panik. Sebenarnya ada apa ini? Kalau memang serangan panik, seharusnya Evan tidak terlihat setakut ini. Ini bukan pertama kalinya Evan melihat Karina pingsan karena serangan panik yang ia miliki. Dokter datang dengan catatan medis Karina “Setelah melihat semua data dan melakukan CT. Kamu mengalami kejang o
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert