Share

03.Ciuman yang teringat

Karina membawa tasnya, dia harus pulang. Atau lebih tepatnya dia tidak bisa melihat Gina yang mencoba merayu Evan.

Ini tidak mungkin perasaan cemburu. Evan bukanlah orang yang spesial, dan tadi hanya sebuah ciuman. Mungkin itu yang di yakini Karina saat ini.

Adam mengikuti Karina, dia juga harus menjadi pria yang perhatian. Siapa tau,Evan butuh waktu berduaan dengan teman kencannya.

Saat gadis-gadis seusia Karina sedang berpetualang mencari cinta sejati. Karina malah harus terjebak dengan teman kencan temannya sendiri.

Gadis itu memijat pelipisnya,Adam tiba-tiba berdiri di depannya seolah menghadang Karina.

“Aku bisa mengantar mu. Di mana rumah mu,Karina?” tawar Adam, wajahnya berseri.

Karina menggeleng “Kamu tadi minum sake,Adam. Aku harus pulang.”

“Benar juga. Kalau begitu hati-hati di jalan.”

“Oke.”

Tidak ada alasan khusus yang membuat Karina pulang. Bahkan telepon tadi hanyalah sebuah alasan agar dia bisa segera keluar dari situasi canggung ini.

Membayangkan ciuman tadi membuat Karina hampir gila. Dia menepikan mobilnya dan mengambil nafas dalam-dalam. Pasti sekarang Gina dan Evan sedang berciuman, bibir yang tadi menyentuh bibirnya kini harus bergiliran dengan Gina.

Tiba-tiba, Karina keluar dari mobilnya dan memuntahkan sushi yang ia makan. Dia merasa begitu mual, ini adalah sebuah kesalahan.

Evan bukan miliknya, tidak pernah menjadi miliknya.

Apa pun itu, Karina harus segera melupakan Evan. Ekspresi Karina tampak tersiksa,entah dari mana air mata itu menetes seperti keran bocor yang tidak bisa di perbaiki.

Karina mengusap berkali-kali, tetapi semua itu percuma. Dia malah terisak dan terduduk lemas di atas kursi jok mobil yang pintunya masih terbuka itu.

Sementara itu,Evan malah lebih sibuk menyesap sakenya dari pada bicara dengan Gina.

Toleransi alkoholnya tidak main-main. Pria itu terus menenggak sake seolah itu air putih biasa.

“Gina, bisa aku minta nomer telepon Karina? Ada sesuatu yang harus aku kembalikan.”

“Apa itu? Titip saja dengan ku.”

“Ini urusan pribadi Gina.” Desis Evan, jelas dia tidak akan menoleransi Gina lagi kalau tidak memberikan apa yang ia mau.

Terpaksa Gina memberikan data pribadi Karina, padahal Gina tau kalau Karina bukan orang yang akan dengan mudah memberikan data pribadi kepada orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.

Hari libur, hari yang membuat Karina frustasi. Sebab dia tidak tau harus berbuat apa. Gadis itu duduk di sofa sambil menonton televisi.

Bahkan kalau tidak dibayar sekali pun, Karina rela berangkat kerja asal tidak di usir oleh satpam.

-Aku ada di restoran Camel,apa kau ada waktu untuk bertemu?

Pesan itu masuk, dari caranya Karina tau kalau itu adalah Evan. Sebuah nomor baru.

-Siapa ini?

-Evan.

Benar tebakan Karina, gadis itu ingin menyembunyikan rasa bahagianya. Sayangnya tidak bisa, Karina lompat dari sofa dan menari kecil memutari meja bundar.

Seharusnya dia marah karena Evan memiliki nomornya, seingat Karina dia tidak pernah memberikannya pada Evan. Bodo amat, sekarang dia harus segera bersiap.

-15 menit lagi aku sampai.

Karina membalas pesan itu. Tidak ada waktu, dia meraih dress tanpa lengan berwarna putih. Rambut ikalnya tergerai hingga menutupi dada. Tanpa riasan berlebihan, Karina melaju menuju tempat Evan.

Di depan bangunan bernuansa Timur Tengah, Karina meremas kemudinya dengan kencang. Dia mengambil nafas panjang, dan menghembuskannya kasar.

Karina masuk dan langsung melihat Evan dengan kaos Polo hitam. Pria itu memakai kacamata hitam yang terlihat mahal.

“Hai.” Sapa Evan, dia menunjuk kursi di sebelahnya “Duduk di sini.”

“Ada apa?” tanya Karina, nadanya masih ketus seperti tidak berperasaan.

Karina memutar bola matanya, dia tidak pernah tau restoran ini, padahal jaraknya hanya 10 menit dari apartemennya.

“Mau pesan sarapan?” tawar Evan.

Karina mengangguk “Apa pun, aku benar-benar tidak tau soal makanan Timur Tengah. Namun aromanya..”  Karina mengendus angin yang membuat rasa laparnya kian menggelora.

Evan tersenyum “Jadi, semua yang ada di dalam kepala mu selalu kau ungkapkan?”

“Oh maaf.” Karina mengigit bibirnya. Itu adalah kebiasaan buruknya, dia tidak berbakat berbohong atau menutup-nutupi.

“Aku pesan dulu. Minum?”

“Apa pun,Evan.”

“Oke.”

Beberapa saat kemudian Evan kembali duduk, dia melepas kacamata hitamnya dan menaruhnya di meja “Satu haleem,sambosa dan es lemon.” Dia menjelaskan apa yang ia pesan.

“Apa ini restoran baru?” tanya Karina antusias. Dia masih terkesiap dengan pemandangan baru ini.

“Tidak. Kalau di lihat dari dinding yang pudar, pasti sudah berusia lebih dari 5 tahun.” Komentar Evan menunjuk tembok yang sedikit usang.

Karina mengerucutkan bibir sambil mengangguk. Evan melihat atau lebih tepatnya mengamati Karina.

Salah satu alis Karina terangkat “Ada apa?”

“Aku tidak tau, tapi aku biasanya tidak sarapan.”

“Lalu, kenapa mengajak ku ke sini? Seharusnya kita ke taman, atau..”

“Depan toilet.” Sahut Evan cepat, dia mengusap tengkuk lehernya “Bukan tempat terbaik untuk berciuman,Karina.”

“Aku tidak membicarakan tentang itu.” Wajah Karina berkata lain, dia di buat merona hanya karena kalimat itu.

Sulit untuk percaya bahwa pria bernama Evan Reed yang usianya terpaut 13 lebih tua dari Karina malah menjadi sosok yang membuat jantung Karina tak karuan.

“Mana ikat rambut mu?” tanya Evan, dia meremas jemarinya di atas meja.

“Untuk apa?”

“Mengikat rambut mu, aku butuh itu untuk melihat leher mu yang jenjang.” Bisik Evan tepat di sebelah telinga Karina.

Tubuh Karina meremang, dia menahan nafasnya. Sungguh, Evan benar-benar menguji pertahanan yang terbuat dari latihan beberapa tahun ini.

Karina di selamatkan oleh pramusaji yang membawakan makanan mereka.Karina dan Evan kompak menoleh pada sang pramusaji.

Perut Karina tiba-tiba meronta meminta di isi, dia melihat sambosa berbentuk segita dengan tatapan lapar.

Evan mengambilkan satu untuk Karina dan menaruhnya di piring “Aku akan memesankan lagi kalau kamu suka.”

Gadis itu mencoba walau masih panas. Aroma gorengan dan rasa rempah yang kuat bersatu dan menciptakan rasa yang luar biasa.

Karina terpana, dia menggerutkan dahi, memelototi Evan yang memang sedang menunggu reaksi Karina.

“Apa seenak itu?”

“Coba saja. Ini menakjubkan.”

Evan malah mencium bibir Karina dan mengambil sedikit rasa dari ujung bibir gadis itu. Pria itu mengangguk setuju.

“Sedikit pedas, dan manis.”

Setelah meletakan sisa sambosa ke piring, Karina melirik Evan yang menyuapkan haleem ke mulutnya. Dia terlihat menikmati makanan yang seperti sup hangat itu.

“Kamu mau coba,Karina?” Evan mengangkat sendoknya ke dekat bibir Karina.

Dada Karina terasa sesak, dia heran kenapa Evan begitu lihai dalam hal menggodanya.

Evan berpura-pura kelelahan menahan sendok, dia menompang tangannya ke tangan lain “Ayolah, ini enak,Karina.”

Karina menuruti pria itu dan memakan dari sendok pemberian Evan. Mereka seperti sepasang kekasih yang menghabiskan sabtu pagi bersama.

“Enak kan? Aku suka yang ini,tapi kurang manis.” Evan mengerlingkan mata genit.

Senyum lebar yang tertahan di bibir Evan membuatnya terlihat begitu tampan. Dia mengusap pipi Karina, dia harus berhenti menggoda gadis itu. Kalau tidak,Karina bisa kena masalah pencernaan setelah ini.

Karina menunggu di depan restoran. Evan bersikeras untuk membayar sarapan yang mengenyangkan itu. Dia meraba-raba isi tasnya dan mengeluarkan ponsel.

-Karina, kapan kamu pulang?

Tanya Papanya lewat pesan singkat.

-Aku belum tau. Apa Mama tidak akan marah kalau aku pulang lebih awal?

Jawab Karina, hubungan keluarganya agak kacau.

-Pulanglah,urusan Mama biar Papa yang menyelesaikan.

-Aku akan mengajukan cuti. Satu minggu, hanya satu minggu.

Karina bergegas memasukan ponsel saat Evan keluar menghampirinya. Dia kembali memakai kacamata hitamnya yang terlihat mahal.

Evan melangkah dan berhenti di sebelah Karina, pria itu menaruh tangannya di pundak Karina.

“Aku ingin sesuatu yang manis.” Bisik Evan.

Karina mendelik “Aku traktir es krim, sampai kamu kembung.”

“Aku punya ide yang lebih bagus,Karina.” Celetuk Evan menghentikan Karina yang sudah berjalan di depannya “Aku mau sesuatu yang lain.”

“Jangan aneh-aneh. Ini masih terlalu pagi,Evan.” Karina memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam mobil. Dia tidak bisa terus-terusan bicara dengan Evan yang tidak mengalihkan pandangan dari bibirnya.

Sesampainya di toko es krim, Karina langsung memilih dua jenis es krim favoritnya.

“Matcha dan coklat.”

Evan menarik lengan Karina “Matcha? Kamu suka, rasa rumput?”

“Kalau begitu aku seorang sapi. Itu minuman favorit ku.” Balas Karina, dia menerima cup es krim dengan warna kontras.

“Aku memesan rasa,ini dan itu.” Evan menunjuk rasa kopi dan vanila.

Selera Evan sangat klasik,tidak ada tantangan dalam wadah berisi es krim putih dan coklat kehitaman itu.

Bisa dibilang,sisi dewasa Evan itu terpancar dalam caranya memilih menu makanan dan minuman. Dia cenderung menghindari rasa baru yang tidak familiar.

Mereka duduk di bangku yang menghadap jalanan. Jendela dengan kusen hijau muda itu menjadi salah satu penghalang keduanya dari sisi jalan yang masih sepi.

“Aku ingin mengajak mu makan malam. Nanti ku jemput pukul 8 malam,bagaimana?” celetuk Evan memecah keheningan.

Karina mengangkat bahu, mulutnya penuh dengan es krim rasa matcha.

“Aku tidak ada acara. Tapi aku harus menolaknya.”

“Kenapa?” Evan mengusap bibir Karina yang meninggalkan sisa es krim.

“Kamu teman kencan Gina,Gina adalah teman ku. Apa perlu alasan lain?”

“Tapi kamu membalas ciuman ku. Dan aku suka mencium mu.” Evan mengikuti gaya bicara Karina yang angkuh.

Mata Karina berbinar, apa dia terlihat semenyebalkan itu saat sedang bicara. Karina menutup bibirnya hingga tipis, dia harus menjaga lisan mulai sekarang.

“Aku jemput atau kamu datang sendiri?” desak Evan, dia kembali ke nada suara yang rendah dan datar.

Karina melirik Evan “Apa kamu juga mengundang Gina?”

Evan menggeleng sembari memasukan sisa es krim terakhirnya ke dalam mulut. Dia menaikan sebelah alisnya ketika Karina menatapnya penuh tanya.

“Kalau begitu aku ke sana sendiri. Aku yang traktir.” Usul Karina, dia harus secepat kilat mengatakannya.

“Restoran di pinggir pantai. Jam 8.”

Mereka kemudian diam, saling menikmati pagi yang masih panjang ini. Karina sibuk dengan es krim yang mulai meleleh, bisa di lihat kalau Evan juga menikmati pemandangan itu.

Tanpa sengaja,Karina memakan es krimnya dengan kacau dan belepotan di bibirnya hingga dagu. Evan melihat itu dan langsung menarik wajah Karina.

Sapuan bibir Evan di bibir Karina membuat gadis itu tidak bisa berkata-kata. Es krim itu dingin, namun bibir Evan hangat. Kombinasi yang nikmat.

Ketika menyelipkan lidahnya ke sela bibir Karina, sensasi aneh juga Evan rasakan. Ia tidak pernah merasa bibir seseorang bisa selembut dan semanis ini.

Evan menyukai ini, hembusan nafas Karina terasa begitu hangat. Menggelitik ujung bibir Evan seperti sedang menggodanya.

Karina menggeluarkan geraman kecil,ketika Evan menyudahi ciuman yang salah tempat itu.

“Aku suka matcha sekarang.”

Karina mengusap bibirnya “Kopi itu.. Enak juga.” Bisik Karina, mungkin itu pujian yang sangat aneh. Tapi aslinya Karina kurang menikmati kopi, dia lebih memilih pahitnya matcha dari pada apa pun.

Berciuman sebelum memiliki status hubungan. Jelas itu bukan gaya Karina, tapi dia tidak bisa bohong, dia menikmati waktu bersama Evan. Termasuk ciumannya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status