Share

06. Di depan mata

Mereka berdua berhenti di sebuah rest area. Sekitar 2 jam lagi mereka akan sampai. Bahkan sekarang, mereka sudah menjauh dari hiruk pikuk kota yang ramai.

Karina baru keluar dari toilet, dia duduk di bangku dekat mini market. Gadis itu menggeluarkan ponsel dan memberi pesan kepada Papa.

-Aku akan sampai dua jam lagi, aku akan menginap di hotel. Itu demi kebaikan bersama.

Karina menatap matahari yang rendah, memamerkan warna jingga yang apik. Biasanya dia tidak akan berhenti saat pulang. Dia heran, area ini ternyata cukup indah.

Angin yang menerpa wajah Karina, tidak membuat gadis itu kedinginan. Walau dia di paksa memakai jaket oleh Evan.

Evan menghampiri Karina dengan membawakan camilan. Evan tau kalau Karina tidak suka makanan manis dan lebih menikmati sesuatu yang gurih.

“Aku belikan camilan ini. Tidak ada matcha. Sayang sekali.” Canda Evan ketika menyodorkan minuman coklat.

“Asal tidak kopi.” Balas Karina, dia tersenyum nakal pada Evan.

Karina mengigit roti berisi ayam yang di belikan Evan. Seperti inilah sore yang ingin Karina habiskan. Waktu masih menunjukan pukul 5 sore. Dia ingin berlama-lama duduk di sana. Dengan lengan Evan yang merangkul erat pundaknya.

“Kita harus lebih sering berlibur,Karina. Lihat ini,indah sekali.” Evan mencium kening Karina.

Rupanya, bukan hanya Karina yang mendambakan ketenangan ini. Evan juga terlihat begitu tenang, dia menikmati kopinya.

“Kamu punya tato?” tanya Karina yang tidak sengaja melihat dari balik kemeja Evan.

“Aku belum cerita padamu?”

Karina menggeleng. Mungkin karena hubungan mereka berjalan dengan lambat di bandingkan pasangan luar negeri lain yang sudah melakukan hubungan intim di hari pertama hubungan mereka.

Perjalanan Karina masih jauh, dia baru saja menikmati berciuman dengan Evan. Tidak lebih dari itu.

“Ada tato serigala, ada beberapa tulisan dan apa lagi, aku lupa.” Jelas Evan acuh.

“Aku ingin lihat.” Karina memalingkan wajahnya, dia mendongak menatap Evan, sosok itu seperti mendambakan sesuatu yang akan langsung ia dapatkan.

“Sabar Karina. Aku akan membukanya nanti.” Pria itu menggeratkan pelukannya dan mencium pucuk rambut Karina.

Keduanya melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu memang lebih lama dari biasanya. Tapi Karina ingin agar mereka lebih lama di perjalanan.

Bercanda,bercerita dan bahkan hanya saling tatap. Nyatanya,Evan tidak pernah membuat Karina bosan.

***   

Sesampainya di hotel, Karina bersikeras agar mereka tinggal di sana. Untung saja Evan langsung menyetujui.

Karina dan Evan berjalan menuju kamar. Hanya satu kamar, untuk dua orang.

“Besok pagi, kita akan ke rumah ku. Ingat, jangan melihat Mama ku.” Tegas Karina, dia tampak was-was.

Selain wajah Karina yang cemas, Evan tidak takut dengan apa pun. Pria itu mendekati Karina dan mengusap tangannya “Aku mengerti. Ada yang harus aku ingat lagi?”

Evan mengecup Karina, dia mencoba mengalihkan perhatian gadis itu. Jelas terlihat kalau Karina sedang ketakutan sekarang, tubunya tegang dengan mata yang bergetar.

Walau Evan lebih terkenal sebagai seorang pemilik bisnis, bukan berarti ilmu psikologi yang ia dapatkan terlupakan sama sekali.

Pria itu terus memberikan kecupan yang membuat Karina tenang.

Pada saat itu, Karina sadar. Dia tidak perlu memperingatkan apa pun pada Evan. Ini Evan Reed, seorang yang begitu menakjubkan bagi Karina. Gadis itu tidak perduli kalau ada yang menentang hubungan ini. Asal Evan tetap menjadi miliknya.

Karina terobsesi pada Evan.

“Evan, terimakasih sudah menemani ku.” Bisik Karina, wajahnya berhadapan dengan dada bidang Evan.

Evan mengangkat sebelah alisnya “Oke, tapi itu tidak perlu,Karina. Aku kekasih mu, dan aku serius dengan hubungan ini.”

Karina membuka bibir hendak bicara, sebelum itu Evan sudah meraup wajah gadis itu dan mencium mesra bibir tipis,lembut milik Karina.

Kenikmatan melesat ke dalam jantung Karina, mengirimkan sinyal bahagia ke seluruh tubuhnya. Gadis itu membalas ciuman Evan.

Ciuman itu kian dalam, hingga Karina mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada Evan. Kalau saja tidak di lepas dia bisa pingsan kehabisan nafas.

“Sekarang kita mandi.” Ucap Evan dengan parau, dia masih meraup wajah Karina.

“Kita?” Karina mempertanyakan kata yang seharusnya tidak di gunakan saat ini.

“Ayolah, aku hanya akan melihatnya. Aku juga akan memperlihatkan tato ku.” Rengek Evan, dia lebih mirip anak kecil kalau menyangkut hal ini.

“Sayangnya aku tidak percaya.”

Evan melepas tangannya dari wajah Karina dan melipanya “Aku juga, aku tidak percaya pada diriku sendiri.” Evan menggolok dirinya sendiri dan melesat ke dalam kamar mandi.

***  

Sebelum berangkat ke rumah Karina, gadis itu sibuk menyisir rambut dan mengikatnya berkali-kali. Wajahnya pucat pasi, dia di landa kepanikan lagi.

Evan baru keluar dari kamar mandi, dia menghampiri Karina dan mengusap punggung gadis itu.

“Perlu aku bantu?” tawar Evan.

“Mama ku tidak suka saat ada rambut yang menutupi wajah.” Oceh Karina, dia seperti sedang bicara sendiri “Tapi poni ini,astaga.” Dia menarik poni yang menutup keningnya.

“Hei..” Evan mengambil alih rambut itu sebelum rontok semua “Aku ingat kamu membawa jepit rambut warna hitam.”

Karina menutupi wajahnya dan mendesah putus asa. Dia bahkan tidak bisa menatap pantulan dirinya dari kaca meja rias. Dia benci gadis yang sok kuat yang ada di dalam cermin,dia tidak suka dengan wajahnya yang sangat berbeda dari kakak dan Mama. Dia membenci dirinya.

“Sayang.” Panggil Evan, dia melihat Karina melamun dengan tatapan kosong “Aku sudah merapikan rambut mu.”

Sejak kapan rambut Karina di urus oleh orang lain. Evan menjepit poni Karina dan mengikat rambut gadis itu dengan cantik.

Ketika Karina sadar kalau dia sudah siap, Karina hanya bisa tersenyum kecut pada Evan.

Sebenarnya, apa yang membuat Karina setakut itu?

Akhirnya, keduanya siap untuk berangkat ke rumah Karina. Sepanjang perjalan,bibir Karina tidak berhenti komat-kamit. Dia amat takut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status