Mereka berdua berhenti di sebuah rest area. Sekitar 2 jam lagi mereka akan sampai. Bahkan sekarang, mereka sudah menjauh dari hiruk pikuk kota yang ramai.
Karina baru keluar dari toilet, dia duduk di bangku dekat mini market. Gadis itu menggeluarkan ponsel dan memberi pesan kepada Papa.
-Aku akan sampai dua jam lagi, aku akan menginap di hotel. Itu demi kebaikan bersama.
Karina menatap matahari yang rendah, memamerkan warna jingga yang apik. Biasanya dia tidak akan berhenti saat pulang. Dia heran, area ini ternyata cukup indah.
Angin yang menerpa wajah Karina, tidak membuat gadis itu kedinginan. Walau dia di paksa memakai jaket oleh Evan.
Evan menghampiri Karina dengan membawakan camilan. Evan tau kalau Karina tidak suka makanan manis dan lebih menikmati sesuatu yang gurih.
“Aku belikan camilan ini. Tidak ada matcha. Sayang sekali.” Canda Evan ketika menyodorkan minuman coklat.
“Asal tidak kopi.” Balas Karina, dia tersenyum nakal pada Evan.
Karina mengigit roti berisi ayam yang di belikan Evan. Seperti inilah sore yang ingin Karina habiskan. Waktu masih menunjukan pukul 5 sore. Dia ingin berlama-lama duduk di sana. Dengan lengan Evan yang merangkul erat pundaknya.
“Kita harus lebih sering berlibur,Karina. Lihat ini,indah sekali.” Evan mencium kening Karina.
Rupanya, bukan hanya Karina yang mendambakan ketenangan ini. Evan juga terlihat begitu tenang, dia menikmati kopinya.
“Kamu punya tato?” tanya Karina yang tidak sengaja melihat dari balik kemeja Evan.
“Aku belum cerita padamu?”
Karina menggeleng. Mungkin karena hubungan mereka berjalan dengan lambat di bandingkan pasangan luar negeri lain yang sudah melakukan hubungan intim di hari pertama hubungan mereka.
Perjalanan Karina masih jauh, dia baru saja menikmati berciuman dengan Evan. Tidak lebih dari itu.
“Ada tato serigala, ada beberapa tulisan dan apa lagi, aku lupa.” Jelas Evan acuh.
“Aku ingin lihat.” Karina memalingkan wajahnya, dia mendongak menatap Evan, sosok itu seperti mendambakan sesuatu yang akan langsung ia dapatkan.
“Sabar Karina. Aku akan membukanya nanti.” Pria itu menggeratkan pelukannya dan mencium pucuk rambut Karina.
Keduanya melanjutkan perjalanan. Perjalanan itu memang lebih lama dari biasanya. Tapi Karina ingin agar mereka lebih lama di perjalanan.
Bercanda,bercerita dan bahkan hanya saling tatap. Nyatanya,Evan tidak pernah membuat Karina bosan.
***
Sesampainya di hotel, Karina bersikeras agar mereka tinggal di sana. Untung saja Evan langsung menyetujui.
Karina dan Evan berjalan menuju kamar. Hanya satu kamar, untuk dua orang.
“Besok pagi, kita akan ke rumah ku. Ingat, jangan melihat Mama ku.” Tegas Karina, dia tampak was-was.
Selain wajah Karina yang cemas, Evan tidak takut dengan apa pun. Pria itu mendekati Karina dan mengusap tangannya “Aku mengerti. Ada yang harus aku ingat lagi?”
Evan mengecup Karina, dia mencoba mengalihkan perhatian gadis itu. Jelas terlihat kalau Karina sedang ketakutan sekarang, tubunya tegang dengan mata yang bergetar.
Walau Evan lebih terkenal sebagai seorang pemilik bisnis, bukan berarti ilmu psikologi yang ia dapatkan terlupakan sama sekali.
Pria itu terus memberikan kecupan yang membuat Karina tenang.
Pada saat itu, Karina sadar. Dia tidak perlu memperingatkan apa pun pada Evan. Ini Evan Reed, seorang yang begitu menakjubkan bagi Karina. Gadis itu tidak perduli kalau ada yang menentang hubungan ini. Asal Evan tetap menjadi miliknya.
Karina terobsesi pada Evan.
“Evan, terimakasih sudah menemani ku.” Bisik Karina, wajahnya berhadapan dengan dada bidang Evan.
Evan mengangkat sebelah alisnya “Oke, tapi itu tidak perlu,Karina. Aku kekasih mu, dan aku serius dengan hubungan ini.”
Karina membuka bibir hendak bicara, sebelum itu Evan sudah meraup wajah gadis itu dan mencium mesra bibir tipis,lembut milik Karina.
Kenikmatan melesat ke dalam jantung Karina, mengirimkan sinyal bahagia ke seluruh tubuhnya. Gadis itu membalas ciuman Evan.
Ciuman itu kian dalam, hingga Karina mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada Evan. Kalau saja tidak di lepas dia bisa pingsan kehabisan nafas.
“Sekarang kita mandi.” Ucap Evan dengan parau, dia masih meraup wajah Karina.
“Kita?” Karina mempertanyakan kata yang seharusnya tidak di gunakan saat ini.
“Ayolah, aku hanya akan melihatnya. Aku juga akan memperlihatkan tato ku.” Rengek Evan, dia lebih mirip anak kecil kalau menyangkut hal ini.
“Sayangnya aku tidak percaya.”
Evan melepas tangannya dari wajah Karina dan melipanya “Aku juga, aku tidak percaya pada diriku sendiri.” Evan menggolok dirinya sendiri dan melesat ke dalam kamar mandi.
***
Sebelum berangkat ke rumah Karina, gadis itu sibuk menyisir rambut dan mengikatnya berkali-kali. Wajahnya pucat pasi, dia di landa kepanikan lagi.
Evan baru keluar dari kamar mandi, dia menghampiri Karina dan mengusap punggung gadis itu.
“Perlu aku bantu?” tawar Evan.
“Mama ku tidak suka saat ada rambut yang menutupi wajah.” Oceh Karina, dia seperti sedang bicara sendiri “Tapi poni ini,astaga.” Dia menarik poni yang menutup keningnya.
“Hei..” Evan mengambil alih rambut itu sebelum rontok semua “Aku ingat kamu membawa jepit rambut warna hitam.”
Karina menutupi wajahnya dan mendesah putus asa. Dia bahkan tidak bisa menatap pantulan dirinya dari kaca meja rias. Dia benci gadis yang sok kuat yang ada di dalam cermin,dia tidak suka dengan wajahnya yang sangat berbeda dari kakak dan Mama. Dia membenci dirinya.
“Sayang.” Panggil Evan, dia melihat Karina melamun dengan tatapan kosong “Aku sudah merapikan rambut mu.”
Sejak kapan rambut Karina di urus oleh orang lain. Evan menjepit poni Karina dan mengikat rambut gadis itu dengan cantik.
Ketika Karina sadar kalau dia sudah siap, Karina hanya bisa tersenyum kecut pada Evan.
Sebenarnya, apa yang membuat Karina setakut itu?
Akhirnya, keduanya siap untuk berangkat ke rumah Karina. Sepanjang perjalan,bibir Karina tidak berhenti komat-kamit. Dia amat takut.
Di depan rumah dengan model yang minimalis. Warna rumah itu sedikit pudar,putih yang sudah tidak indah lagi lebih tepatnya. Karina keluar dari mobil, menghirup udara yang sejuk namun membuatnya takut.Gadis itu terhuyung, dia memegang erat mobil seperti akan jatuh ke jurang.Jantungnya seperti berhenti namun tiba-tiba berpacu begitu cepat. Ini amat melelahkan.“Karina..” panggil seorang pria dengan wajah yang lelah. Pria itu adalah Alex, calon kakak iparnya yang juga orang yang paling Karina hindari.“Alex.” Jawab Karina, dia menelan isi tenggorokannya dengan susah payah.Rasanya seluruh tubuh Karina panas hanya karena melihat Alex. Pria itu tak tau malu, benar-benar tidak pernah terbayang betapa munafiknya Alex.Bukan masalah kalau dulu Alex tidak bermanis-manis dengan Karina. Yang membuat Karina trauma bertemu dengan Alex adalah, pria berusia 30 tahun itu ikut menjelek-jelekan Karina kepada kakaknya,Tia.Pria itu bahkan membuat fitnah bahwa Karina pernah tidur dengannya. Dan Alex la
Tidak ada jamuan makan malam untuk Karina yang datang jauh-jauh dari kota lain. Namun itu malah terlihat lebih natural, dan tidak di buat-buat.Sayangnya, gadis itu malah mendapat sambutan seperti seorang penjahat yang tidak pernah di harapkan kehadirannya.Terutama Tia dan Mama, mereka berdua memandang Karina ketus sembari berkomat-kamit. Untung saja Karina tidak tertarik dengan perbincangan keduanya.Acara makan malam sebelum pernikahan Tia dan Alex. Ini semacam tradisi di keluarga Papa.Semua hidangan yang tersaji di meja makan adalah pemberian Karina. Dia membeli dari restoran kesukaan semua anggota keluarganya.“Ma, kita sudah lama tidak memakan Tostadas.” Tia girang. Dia memang sangat menyukai makahan khas Mexico dengan toping udang yang menggiurkan itu.Mama mendengus “Tapi tidak ada wine.” Sindir Mama.Dia sangat sebal dengan Karina yang tidak bisa minum. Mama dan Tia menganggap hal itu sangat
Acara melarikan diri itu gagal total. Karina tertahan karena keluarga dari pihak Papa mengajak Karina untuk mengikuti tradisi foto keluarga.Walau Mama dan Tia jelas menolak memajang wajah Karina di rumah mereka. Dalam sekejab, tubuh Karina di tarik oleh Evan agar dia bisa melindungi Karina.“Sebaikannya kalian foto tanpa aku.” Karina mendongak dan memaksakan senyuman pada bibinya.“Benar. Karina ingin pulang, dia tidak pernah betah saat tinggal di rumah.” Sahut Mama, dia melirik Karina dan Evan bergantian.Entah kenapa,Evan lebih marah daripada Karina. Jelas-jelas gadis itu tidak pernah mengatakan apa pun perihal rumah yang tidak pernah menyambutnya itu.Seperti itulah Karina, dia tidak akan membantah Mama apa pun yang Mama ucapkan. Dia akan menerima semua, karena Karina merasa dia memang pantas mendapatkan semua cacian itu.Papa yang tadi sedang menyalami tamu kini sudah ikut bergabung. Pria paruh baya itu mendekati istrinya dan merangkul
Setelah semua masalah yang terjadi. Karina tetap ngotot ingin berpamitan dengan keluarganya. Dia sudah baik-baik saja. Semua itu berkat reaksi Evan yang tidak berlebihan.Pagi ini mereka akan kembali, meski jatah cuti Karina masih sangat banyak. Dia lebih memilih kembali kembali ke kota untuk bekerja.“Aku saja yang masuk. Aku hanya ingin berpamitan,Evan.” Ucap Karina memohon, mereka sudah berada di depan rumah yang tampak sepi itu hampir 10 menit.Evan mengusap wajahnya kasar “Setelah semua yang mereka ucapkan,kamu masih mau menemuinya? Aku tidak tau kalau kamu sebaik itu,Karina.”Entah mengapa, Karina malah tersenyum. Dia merasa terhibur saat Evan mencemaskannya.“Aku cukup berpamitan 5 menit. Setelah itu aku akan keluar dengan senyuman.” Janji Karina.Semua hampir selesai, tinggal satu langkah lagi agar hati Karina pulang dengan tenang. Jujur saja dia masih ingin bertemu dengan Papa.“Kalau begitu,aku ikut masuk.” Evan melepas sabu
Sesuai janji Evan kepada Karina. Pria itu lantas mengantar gadis itu pulang ke apartemennya dengan selamat. Apartemen Karina tidak jauh, hanya sekitar 15 menit dan mereka sudah sampai.Mereka berjalan bersama-sama sambil bergandeng tangan menyusuri koridor bangunan yang sudah sepi.Apartemen Karina lebih kecil dan sederhana. Tidak ada pembatas untuk dapur,ruang makan, ruang Tv. Semua jadi satu.Sesampainya di depan apartemen milik Karina. Pria itu mendekap gadis itu, memberikan kecupan selamat tinggal. Jujur saja, Evan terlalu berat meninggalkan Karina sendirian. Dia masih ingin bersama gadis itu.“Besok kita harus bertemu lagi.” Bisik Evan tidak mau menganggu para tetangga Karina.Karina mengangguk di pelukan Evan “Oke,aku tidak akan kerja lembur besok.”Evan tertawa ringan. Kepala Karina kini bersandar di dadanya. Gadis itu bisa mendengarkan detak jantung Evan dengan jelas.Pelan,berirama, detak jantung Evan begitu teratur. Rasanya
Malam ini, Karina memilih untuk mandi terlebih dahulu, membersihkan badan karena seharian dia beraktifitas di luar rumah.Karina bukan penggila bersih. Namun dia selalu merasa cemas saat tubuhnya tidak di basuh air setelah seharian berada di luar rumah.Dia meminjam kamar mandi serta baju Evan yang paling kecil. Kalau soal dalaman, dia bisa menggurusnya nanti.Karina menatap tubuhnya yang menurutnya rata dan tidak menarik. Tidak ada yang bisa di pamerkan. Itu pikirnya.Handuk yang menutupi bagian dada hingga paha Karina berwarna biru muda. Gadis itu keluar dengan malu malu, rambutnya yang masih basah meneteskan air ke pundaknya.“Aku ke kamar. Eh, tidak. Itu kamar mu.” Ucap Karina gagap, dia berjalan miring seperti kepiting.“Silahkan, ini bukan kali pertama mu.”Karina berlari, melewati ruang tamu Evan yang sebesar kamarnya.Evan yang melihat itu hanya menyunggingkan senyuman. Karina seperti baru saja t
Beberapa minggu setelah kejadian di mana Evan tidak ingin Karina ‘berfikir’.Tidak ada perubahan yang berarti, mereka masih saling makan malam bersama, kadang pergi ke toserba dan menghabiskan waktu di apartemen bergantian.Sayangnya,Evan tidak lagi mencoba mencium Karina. Hal itu membuat Karina sedikit kecewa.Dia yakin,Evan masih kesal soal kejadian tempo hari. Ia sendiri saja marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia mematahkan semangat Evan dengan cara terburuk.Namun hari ini ada yang berbeda, ini adalah peringatan ke dua bulan hubungan mereka.Memang tidak biasanya sebuah hubungan di hitung dalam bentuk bulan. Tapi Karina tidak mau melewatkan kesempatan membuat Evan terkejut.Dia harus membuat malam yang berkesan untuk pria itu. Dia siap untuk memberikan semuanya. Ya benar, semuanya. Termasuk kepercayaan dan tubuhnya.Rencananya,Karina akan mengajak Evan makan di restoran di mana mereka pertama kali bertemu.It
Waktunya pulang, salah satu rekan Evan yang bermana Liam menawarkan Karina tumpangan. Tampaknya,Liam juga terkesan dengan paras cantik dan kepintaran Karina.Evan yang sedang di sibukan dengan Gina yang merenggek agar pria itu memberi tumpangan tampak tak suka saat Liam tidak mengindahkan penolakan Karina.“Aku membawa mobil sendiri,Liam. Terimakasih.” Ujar Karina, dia bisa mempertahankan senyuman di bibirnya.Liam mengangguk “Kalau begitu, aku harap kita bisa makan siang bersama besok.”Sejenak,Karina menatap Evan.“Sepertinya aku tidak bisa menjanjikan hal itu. Lebih baik aku datang ke kantor mu setelah proposalnya selesai ku buat.” Karina mengangguk, dan segera melesat ke dalam mobilnya.Gadis itu terdiam di dalam mobilnya beberapa saat. Matanya tertuju pada Evan yang terlihat tidak nyaman.Rupanya,Evan masuk ke dalam mobil Gina. Karina membuang muka tidak sanggup melihat semua ini. Dia ingin membawa Evan pergi dari sana. Dia tidak