Aroma lavender, seprei satin yang dingin namun nyaman. Karina membuka matanya perlahan, dia samar-samar melihat beberapa buku yang tersusun di nakas dekat rajang. Lampu tidur menyala dengan redup.
“Sudah bangun?” Evan baru datang membawakan dua cangkir kopi yang masih hangat.
Karina mengangguk “Maaf, tapi kenapa aku di sini?”
“Kamu pingsan.” Evan menaruh kopinya di meja, kamarnya besar dan bersih. Tidak pernah terbayangkan kamar seorang pria lajang akan serapi ini.
Karina memijat pelipisnya, dia masih terbaring di ranjang king size milik Evan. Wajahnya memancarkan ekspresi sangat menyesal,itu langsung terbaca oleh Evan.
“Aku tidak keberatan kamu tidur di sini,Karina.” Evan duduk di pinggir ranjang dan menempelkan telapak tangannya di dahi Karina “Apa kamu sakit?”
“Aku... ini cuma serangan panik.” Gumam Karina, dia malu mengakui kelemahannya itu.
“Separah ini, tapi aku tidak tau. Aku minta maaf,Karina.” Bohong Evan, dia tidak mau membuat Karina malu karena dirinya yang tau soal masalah mental Karina di hari pertama pertemuan mereka.
Karina diam, kenapa Evan yang meminta maaf padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Ini adalah kesalahan Karina karena merepotkan Evan. Tidak ada seorang pun yang benar-benar perduli dengan Karina.
Karina memalingkan wajahnya, dia tidak bisa menerima tatapan lembut dari Evan. Dia takut jatuh cinta.
“Karina, lihat aku.” Evan menyentuh dagu Karina,membuat gadis itu berpaling melihatnya.
Mata Karina memerah,dia senang tapi sedih. Ini benar-benar perasaan baru bagi gadis itu. Ternyata selama ini dia kesepian.
“Aku suka padamu. Sejak pertama, di restoran, pria pendamping dan setelah itu..” Bibir Evan terangkat, dia sekuat tenanga menahan senyuman gemas.
“Tidak ada yang menyukai orang secepat itu,Evan. Cinta itu fiksi.”
“Mungkin kita pemeran utamanya. Aku hanya percaya pada hatiku.” Pria itu mendekatkan wajahnya pada Karina yang menahan nafas.
Aroma kopi dari mulut Evan begitu memabukan Karina. Selama ini, bagi Karina, kopi adalah minuman aneh. Semua itu berubah, mungkin dia harus mencoba kopi mulai saat ini.
Bibir Evan merapa bibir Karina yang lembut, pria itu tersenyum sebelum memberikan ciuman yang dalam dan menuntut.
Semua ini sangat baru bagi Karina, sentuhan Evan di punggungnya mampu membuat seluruh bulu kuduk Karina meremang.
Tubuh Karina menegang, dia meremas rambut Evan yang tertata ketika pria itu memasukan lidahnya.
“Maafkan aku, Karina.” Evan melepas ciuman yang menuntut itu.
Karina tersengal-sengal, ia menyukai bibir Evan. Bukan, dia menyukai Evan. Hanya Evan Reed, tidak ada yang lain.
“Evan..” panggil Karina meraih wajah Evan. Dia tidak perduli akan di cap wanita murahan. Asal dia bisa bersama Evan.
Gadis itu mencium Evan. Pria itu langsung tau kalau Karina tidak berpengalaman. Ciuman Karina serampangan, namun Evan bisa mengetahui kalau gadis itu sedang mencoba memperbaikinya.
“Begini.” Evan merapatkan tubuhnya, memperdalam pelukan itu hingga tidak berjarak. Deru nafas Karina seperti menggelitik di telinga Evan.
Indah. Walau ini bukan pertama kali bagi Evan. Tapi bisa di pastikan, kalau ini akan menjadi pengalaman terakhirnya. Karina adalah wanita yang ia cari selama ini.
Jari-jari Evan kembali menggelus punggung Karina. Evan mencumbu dengan cara yang sempurna, dia memang sangat berpengalaman. Jam terbangnya soal urusan ranjang tidak perlu di ragukan lagi.
Semakin lama, Karina semakin mengerti kenapa pasangan melakukan hal ini. Dia tidak membencinya sama sekali, walau bayangan masa lalu masih lewat di kepalanya.
“Aku tidak mau melakukan itu sekarang.” Ucap Karina, nafasnya pendek namun terdengar menggoda di telinga Evan.
Evan mengangguk “Kalau begitu ini cukup.” Dia mengusap bibir Karina “Sekarang kita pasangan?”
“Hah?Apa?”
“Pasangan, hubungan khusus.”
Tiba-tiba Karina teringat soal pernikahan kakaknya, dia menepuk jidatnya perlahan dan menghela nafas. Bisa –bisanya dia melupakan itu lagi.
“Sebenarnya, aku harus pulang minggu depan. Kakak ku menikah...” Karina memilin selimut Evan, dia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Mengingat kakaknya akan menikah dengan pria yang pernah memberikan harapan palsu padanya.
“Mau aku temani?”
Karina menggeleng “Aku lebih suka sendiri kalau bersangkutan dengan keluarga ku. Kami, sedikit rumit.”
Evan tertawa, dia memisah jemari Karina yang masih saling terjalin. Meremas tangan kiri Karina dengan lembut. Dia menarik tangan itu dan mencium punggung tangan Karina “Aku tidak akan menghakimi,Karina. Bisa jadi kamu malu membawa pria yang jauh lebih tua dari pada mu.”
“Tidak, bukan itu.” Sahut Karina cepat, pipinya kembali memerah. Bagaimana dia akan memperkenalakan Evan kepada keluarganya.
Hari di mana Evan akan ikut Karina ke rumahnya. Pria itu akhirnya mendapatkan ijin dari sang kekasih untuk mengantarnya.
Evan berjanji tidak akan ikut campur dan fokus pada Karina saja.
Hubungan mereka juga masih di rahasiakan di kantor. Mengingat Gina belum bisa move on dari Evan dan selalu meminta Karina kencan dengan Adam.
Mereka sepakat untuk memakai mobil Evan. Selain karena Evan memiliki lebih dari satu jenis mobil, dia juga kurang nyaman mengendarai mobil listrik untuk jarak jauh. Alhasil mereka mengendarai Lamborghini Urus berwarna silver.
“Aku sudah memasukan tempat tujuannya.” Ucap Karina saat mereka duduk bersebelahan.
Evan mengangguk dan memasang sabuk pengaman “4 jam?”
“Iya, kita akan gantian tiap dua jam.Bagaimana?”
Evan menggertakan gigi “Kamu pikir aku selemah itu?”
“Bukan, tapi ini perjalanan yang jauh.”
Alis Evan saling bertautan, pria itu menatap Karina dengan cukup intens. Gadis itu tak tahan untuk tidak tersipu.
“Kamu belum mengenal ku,Karina. Aku ini sangat kuat.” Pamer Evan.
Karina heran, dia mengangguk dan memalingkan wajahnya.
Akhirnya dia tidak pulang sendirian lagi. Ada Evan sekarang, perubahan yang amat signifikan.
Mereka berdua berhenti di sebuah rest area. Sekitar 2 jam lagi mereka akan sampai. Bahkan sekarang, mereka sudah menjauh dari hiruk pikuk kota yang ramai.Karina baru keluar dari toilet, dia duduk di bangku dekat mini market. Gadis itu menggeluarkan ponsel dan memberi pesan kepada Papa.-Aku akan sampai dua jam lagi, aku akan menginap di hotel. Itu demi kebaikan bersama.Karina menatap matahari yang rendah, memamerkan warna jingga yang apik. Biasanya dia tidak akan berhenti saat pulang. Dia heran, area ini ternyata cukup indah.Angin yang menerpa wajah Karina, tidak membuat gadis itu kedinginan. Walau dia di paksa memakai jaket oleh Evan.Evan menghampiri Karina dengan membawakan camilan. Evan tau kalau Karina tidak suka makanan manis dan lebih menikmati sesuatu yang gurih.“Aku belikan camilan ini. Tidak ada matcha. Sayang sekali.” Canda Evan ketika menyodorkan minuman coklat.“Asal tidak kopi.” Balas Karina, dia tersenyum nakal pada Evan.Karina mengigit roti berisi ayam yang di bel
Di depan rumah dengan model yang minimalis. Warna rumah itu sedikit pudar,putih yang sudah tidak indah lagi lebih tepatnya. Karina keluar dari mobil, menghirup udara yang sejuk namun membuatnya takut.Gadis itu terhuyung, dia memegang erat mobil seperti akan jatuh ke jurang.Jantungnya seperti berhenti namun tiba-tiba berpacu begitu cepat. Ini amat melelahkan.“Karina..” panggil seorang pria dengan wajah yang lelah. Pria itu adalah Alex, calon kakak iparnya yang juga orang yang paling Karina hindari.“Alex.” Jawab Karina, dia menelan isi tenggorokannya dengan susah payah.Rasanya seluruh tubuh Karina panas hanya karena melihat Alex. Pria itu tak tau malu, benar-benar tidak pernah terbayang betapa munafiknya Alex.Bukan masalah kalau dulu Alex tidak bermanis-manis dengan Karina. Yang membuat Karina trauma bertemu dengan Alex adalah, pria berusia 30 tahun itu ikut menjelek-jelekan Karina kepada kakaknya,Tia.Pria itu bahkan membuat fitnah bahwa Karina pernah tidur dengannya. Dan Alex la
Tidak ada jamuan makan malam untuk Karina yang datang jauh-jauh dari kota lain. Namun itu malah terlihat lebih natural, dan tidak di buat-buat.Sayangnya, gadis itu malah mendapat sambutan seperti seorang penjahat yang tidak pernah di harapkan kehadirannya.Terutama Tia dan Mama, mereka berdua memandang Karina ketus sembari berkomat-kamit. Untung saja Karina tidak tertarik dengan perbincangan keduanya.Acara makan malam sebelum pernikahan Tia dan Alex. Ini semacam tradisi di keluarga Papa.Semua hidangan yang tersaji di meja makan adalah pemberian Karina. Dia membeli dari restoran kesukaan semua anggota keluarganya.“Ma, kita sudah lama tidak memakan Tostadas.” Tia girang. Dia memang sangat menyukai makahan khas Mexico dengan toping udang yang menggiurkan itu.Mama mendengus “Tapi tidak ada wine.” Sindir Mama.Dia sangat sebal dengan Karina yang tidak bisa minum. Mama dan Tia menganggap hal itu sangat
Acara melarikan diri itu gagal total. Karina tertahan karena keluarga dari pihak Papa mengajak Karina untuk mengikuti tradisi foto keluarga.Walau Mama dan Tia jelas menolak memajang wajah Karina di rumah mereka. Dalam sekejab, tubuh Karina di tarik oleh Evan agar dia bisa melindungi Karina.“Sebaikannya kalian foto tanpa aku.” Karina mendongak dan memaksakan senyuman pada bibinya.“Benar. Karina ingin pulang, dia tidak pernah betah saat tinggal di rumah.” Sahut Mama, dia melirik Karina dan Evan bergantian.Entah kenapa,Evan lebih marah daripada Karina. Jelas-jelas gadis itu tidak pernah mengatakan apa pun perihal rumah yang tidak pernah menyambutnya itu.Seperti itulah Karina, dia tidak akan membantah Mama apa pun yang Mama ucapkan. Dia akan menerima semua, karena Karina merasa dia memang pantas mendapatkan semua cacian itu.Papa yang tadi sedang menyalami tamu kini sudah ikut bergabung. Pria paruh baya itu mendekati istrinya dan merangkul
Setelah semua masalah yang terjadi. Karina tetap ngotot ingin berpamitan dengan keluarganya. Dia sudah baik-baik saja. Semua itu berkat reaksi Evan yang tidak berlebihan.Pagi ini mereka akan kembali, meski jatah cuti Karina masih sangat banyak. Dia lebih memilih kembali kembali ke kota untuk bekerja.“Aku saja yang masuk. Aku hanya ingin berpamitan,Evan.” Ucap Karina memohon, mereka sudah berada di depan rumah yang tampak sepi itu hampir 10 menit.Evan mengusap wajahnya kasar “Setelah semua yang mereka ucapkan,kamu masih mau menemuinya? Aku tidak tau kalau kamu sebaik itu,Karina.”Entah mengapa, Karina malah tersenyum. Dia merasa terhibur saat Evan mencemaskannya.“Aku cukup berpamitan 5 menit. Setelah itu aku akan keluar dengan senyuman.” Janji Karina.Semua hampir selesai, tinggal satu langkah lagi agar hati Karina pulang dengan tenang. Jujur saja dia masih ingin bertemu dengan Papa.“Kalau begitu,aku ikut masuk.” Evan melepas sabu
Sesuai janji Evan kepada Karina. Pria itu lantas mengantar gadis itu pulang ke apartemennya dengan selamat. Apartemen Karina tidak jauh, hanya sekitar 15 menit dan mereka sudah sampai.Mereka berjalan bersama-sama sambil bergandeng tangan menyusuri koridor bangunan yang sudah sepi.Apartemen Karina lebih kecil dan sederhana. Tidak ada pembatas untuk dapur,ruang makan, ruang Tv. Semua jadi satu.Sesampainya di depan apartemen milik Karina. Pria itu mendekap gadis itu, memberikan kecupan selamat tinggal. Jujur saja, Evan terlalu berat meninggalkan Karina sendirian. Dia masih ingin bersama gadis itu.“Besok kita harus bertemu lagi.” Bisik Evan tidak mau menganggu para tetangga Karina.Karina mengangguk di pelukan Evan “Oke,aku tidak akan kerja lembur besok.”Evan tertawa ringan. Kepala Karina kini bersandar di dadanya. Gadis itu bisa mendengarkan detak jantung Evan dengan jelas.Pelan,berirama, detak jantung Evan begitu teratur. Rasanya
Malam ini, Karina memilih untuk mandi terlebih dahulu, membersihkan badan karena seharian dia beraktifitas di luar rumah.Karina bukan penggila bersih. Namun dia selalu merasa cemas saat tubuhnya tidak di basuh air setelah seharian berada di luar rumah.Dia meminjam kamar mandi serta baju Evan yang paling kecil. Kalau soal dalaman, dia bisa menggurusnya nanti.Karina menatap tubuhnya yang menurutnya rata dan tidak menarik. Tidak ada yang bisa di pamerkan. Itu pikirnya.Handuk yang menutupi bagian dada hingga paha Karina berwarna biru muda. Gadis itu keluar dengan malu malu, rambutnya yang masih basah meneteskan air ke pundaknya.“Aku ke kamar. Eh, tidak. Itu kamar mu.” Ucap Karina gagap, dia berjalan miring seperti kepiting.“Silahkan, ini bukan kali pertama mu.”Karina berlari, melewati ruang tamu Evan yang sebesar kamarnya.Evan yang melihat itu hanya menyunggingkan senyuman. Karina seperti baru saja t
Beberapa minggu setelah kejadian di mana Evan tidak ingin Karina ‘berfikir’.Tidak ada perubahan yang berarti, mereka masih saling makan malam bersama, kadang pergi ke toserba dan menghabiskan waktu di apartemen bergantian.Sayangnya,Evan tidak lagi mencoba mencium Karina. Hal itu membuat Karina sedikit kecewa.Dia yakin,Evan masih kesal soal kejadian tempo hari. Ia sendiri saja marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia mematahkan semangat Evan dengan cara terburuk.Namun hari ini ada yang berbeda, ini adalah peringatan ke dua bulan hubungan mereka.Memang tidak biasanya sebuah hubungan di hitung dalam bentuk bulan. Tapi Karina tidak mau melewatkan kesempatan membuat Evan terkejut.Dia harus membuat malam yang berkesan untuk pria itu. Dia siap untuk memberikan semuanya. Ya benar, semuanya. Termasuk kepercayaan dan tubuhnya.Rencananya,Karina akan mengajak Evan makan di restoran di mana mereka pertama kali bertemu.It
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert