"Darimana?"Ken sama sekali tidak terkejut mendengar pertanyaan dengan nada ketus itu. Ia dengan santai masuk ke dalam kamarnya, mengabaikan tetapan tajam menyelidik yang Tamara layangkan kepadanya. "Lembur, kerjaan numpuk. Mama sama papa lusa balik Indo. Suruh beresin semua." Ucap Ken yang tidak seratus persen berbohong. Memang papa mamanya akan pulang ke Indonesia dua hari lagi, tapi untuk lembur menyelesaikan pekerjaan, pekerjaan macam apa yang Ken maksud? Menguras spermanya dengan Hani yang dia jadikan alat? "Kenapa kamu nggak ngabarin dulu? Ke aku? Eyang? Kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi? Ke--.""Ponsel aku mati, Tam! Kau lihat itu charger jejeran ada di sana sama punyamu?" Potong Ken yang entah mengapa sama sekali tidak takut. "Di kantor kamu nggak ada charger lain? Powerbank? Kantor nggak ada telepon yang bisa kamu gunakan buat kabarin aku?" Tamara tak gentar, sorot mata itu sama tajamnya dengan sorot mata Ken. "Ah sudahlah. Aku capek banget hari ini. Kalo kamu masih m
"Semalam kamu kemana?" Tanya Mar ketika pagi ini dia melihat Ken duduk di kursi.Ken tersenyum masam ia buru-buru menelan nasi di mulut sebelum menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. "Mendadak harus beresin kerjaan di kantor, Eyang. Mama-papa lusa katanya pulang. Jadi harus diberesin semua." Jawab Ken sama dengan jawabannya semalam, saat Tamara menginterogasinya. "Oh ya? Papa kamu mau pulang?" Wajah Mar berseri-seri, ia membatalkan niatnya menyuapkan nasi ke dalam mulut. "Iya. Emang Eyang nggak dikasih tau sama papa? Ini dia masih di Singapore dulu, Yang." Jelas Ken yang kali ini tak berbohong. "Nggak. Sama sekali tidak. Kalau pakdhe kamu malah bilang ke eyang."Mata Ken membulat, bersamaan dengan Bram yang nampak terkejut dengan apa yang baru dia dengar. Sesaat Bram menatap Ken yang ternyata juga tengah menatapnya. Mereka saling pandang beberapa menit hingga kemudian suara Mursiati memecah keheningan. "Wah, ngumpul semua dong anakmu, Jeng. Rame bakalan." Gumamnya di sela-
"Besok beneran aku nggak perlu cuti, Mas?"Andina menatap Bram dengan tatapan serius, bukan apa-apa, besok anak nomor dua keluarga Narendra akan datang. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah mantan calon mertua Andina. "Nggak perlu, buat apa? Malah stress kamu kalau ada di rumah. Sebisa mungkin nggak usah lah banyak interaksi sama mereka. Apalagi sama itu mak Lampir." Jawab Bram yang membuat Andina hampir terbahak. Tak perlu dijelaskan siapa yang dimaksud Bram dengan sebutan mak Lampir, tentu tak lain dan bukan adalah mama Ken. Wanita yang hampir menjadi mama mertua Andina. "Kurang-kurangin banyak ngobrol sama dia, An. Pengang omonganku, bakalan banyak kekacauan yang dia bikin. Harap-harap sih nggak lama dia di rumah." Gerutu Bram yang tumben sekali pagi ini banyak sekali bicaranya. "Udah pernah kejadian dulu?" Andina merasa bahwa Bram sudah 'kena' tidak hanya sekali, membuat suaminya ini trauma dan terus memperingati Andina agar menjaga jarak dengan mama Ken. "Sebenarnya aku
"Kamu masih betah seperti ini, Bram?"Kini meja makan keluarga Narendra hampir terisi penuh. Jika biasanya hanya lima orang yang duduk, makan di sana, kali ini ada sembilan orang. Andina menghela napas panjang, ia berusaha untuk tetap mengingat pesan yang Bram beri padanya bahkan jauh-jauh hari sebelum kedatangan mereka. "Seperti ini yang bagaimana yang Mbak maksud?"Dengan sangat santai Bram menjawab, lelaki itu seperti sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Yang Andina heran, kakak paling tua Bram, mas Dharmawan sejak awal kedatangan tidak pernah berbicara yang tidak-tidak pada suaminya, tidak seperti papa Ken yang terus menyindir dan menyerang Bram lewat candaan yang bagi Andina sama sekali tidak lucu. "Ya ngganggur, jadi beban mama kayak gini." Ucap wanita itu sambil melirik Andina dengan tatapan merendahkan. Andina kembali menghela napas panjang, kalau saja Bram tidak memintanya tetap diam, sudah Andina siram wanita itu dengan segelas air yang ada tak jauh darinya. Bukan
"Mas nggak pernah bilang kalau punya rumah sama aku." Andina protes, ia yakin masih ada banyak sekali rahasia yang Bram sembunyikan darinya. Bram menoleh, ia tersenyum simpul seraya melangkah ke arah sang istri. Dengan lembut ia mengusap kepala Andina, lalu meraih tangan istrinya dan membawanya duduk di atas ranjang mereka. "Tunggu sini sebentar!"Setelah Bram mendudukkan istrinya, ia berbalik dan melangkah menuju kabinet yang berada di dekat lemari pakaian. Ia menarik laci paling bawah, mengambil map plastik warna hitam dari sana dan membawanya ke arah Andina. "Buka coba!"Bram duduk di sebelah Andina setelah menyodorkan map itu. Andina buru-buru membuka map dan tertegun ketika mendapati dokumen dengan lambang Garuda berwarna hijau muda ada di sana. "I-ni ..." Andina kehilangan kata-kata, ia menoleh dan menatap Bram dengan penuh tanda tanya. "Hadiah pernikahan kita, ya bisa dibilang kejutan yang aku katakan kemarin." Jawab Bram sambil garuk-garuk kepala. Andina tidak menanggapi
"Sudah semua?"Bram melangkah dari kamar mandi, ia sudah rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans. Andina berdiri di depan tiga buah koper besar, hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Paras wajahnya begitu bahagia. Meskipun di sini Mar memperlakukan dia dengan begitu baik dan penuh kasih sayang, namun tentu saja Andina ingin berada di rumahnya sendiri, istananya sendiri. "Yuk berangkat sekarang." Bram meraih dua koper paling besar, hendak membawanya keluar kamar ketika tangan Andina mencekal tangannya. "Kenapa?""Kita nggak sarapan dulu?" Tanya Andina yang hafal betul kalau sebentar lagi adalah jam sarapan. "Nanti sarapan di rumah kita."Kening Andina refleks berkerut. Ia menatap Bram dengan tatapan tidak percaya. Sarapan di rumah mereka? Apakah .... "Yuk, udah ditunggu." Bram menarik dua koper, ia meninggalkan Andina yang masih mematung di tempatnya berdiri. Andina baru tersadar ketika Bram sudah keluar dari kamar mereka. Buru-buru Andina menyusul dan kemba
"Ma-Mas."Bukan salah Andina kalau dia sampai kehabisan kata-kata. Andina masih duduk di jok mobil, lengkap dengan seatbelt dan tas selempang di pangkuan. Namun matanya menatap lurus ke depan, melihat bagaimana bangunan megah itu berdiri kokoh di sana.Rumah dua lantai itu bergaya classic dengan arsitektur khas Eropa. Pagar dan gerbangnya senada dengan cat bangunan. Ada pos security yang dengan dua orang petugas yang berjaga dan membuka gerbang lebar-lebar. Ini benar rumah yang Bram belikan untuknya? "Kita nggak salah rumah kan, Bram?" Tanya Mar dengan nada tidak percaya. Rumah ini bahkan lebih mewah dari rumah keluarga Narendra! Bagaimana bisa seorang Bram me--."Tentu tidak! Selamat datang di rumah Bram, Ma. Ayo turun."Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Bram bergegas turun. Andina dan Mar nampak saling pandang dengan tatapan terkejut. Mereka akan terus saling lempar pandangan kalau saja pintu mobil itu tidak terbuka. Nampak Bram dan seorang security sudah berdiri guna membantu
"Nggak mungkin! Nggak mungkin Bram bisa beli rumah ini hanya dari profit Selendra!"Gunawan menyanggah, acara sarapan pagi ini seperti acara intrograsi dan debat terbuka, namun Bram tidak peduli. Ia tetap asyik makan sementara Roy menghadapi Gunawan dan istrinya. "Selendra punya tiga cabang di kota besar yang semuanya kawasan elit. Customer kita pun kalangan high class dengan sajian premium dan harga yang bisa dibilang fantastis jika berpedoman pada UMK daerah tempat Selendra berdiri. Selain Selendra, Bram juga punya caffe dan bakery yang semua saya yang handel. Jadi apa yang tidak mungkin?" Jawab Roy dengan begitu tenang. Semua hening, Gunawan nampak saling pandang dengan sang istri, sementara yang lain menyimak dengan wajah haus akan rasa penasaran. Hanya Bram dan Dharmawan yang santai makan, lainnya masih serius menyimak Roy bersuara. "Jangan bilang kalau nama caffe-nya Lajendra?" Andina bersuara, membuat semua orang menoleh dan menatap ke arahnya. "Yak betul, Ibu. Lajendra itu
"Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,