"Nggak mungkin! Nggak mungkin Bram bisa beli rumah ini hanya dari profit Selendra!"Gunawan menyanggah, acara sarapan pagi ini seperti acara intrograsi dan debat terbuka, namun Bram tidak peduli. Ia tetap asyik makan sementara Roy menghadapi Gunawan dan istrinya. "Selendra punya tiga cabang di kota besar yang semuanya kawasan elit. Customer kita pun kalangan high class dengan sajian premium dan harga yang bisa dibilang fantastis jika berpedoman pada UMK daerah tempat Selendra berdiri. Selain Selendra, Bram juga punya caffe dan bakery yang semua saya yang handel. Jadi apa yang tidak mungkin?" Jawab Roy dengan begitu tenang. Semua hening, Gunawan nampak saling pandang dengan sang istri, sementara yang lain menyimak dengan wajah haus akan rasa penasaran. Hanya Bram dan Dharmawan yang santai makan, lainnya masih serius menyimak Roy bersuara. "Jangan bilang kalau nama caffe-nya Lajendra?" Andina bersuara, membuat semua orang menoleh dan menatap ke arahnya. "Yak betul, Ibu. Lajendra itu
"Mama nggak bakalan percaya sama apa yang aku lihat, Ma!" Desis Tamara lirih, ia makin menjauhkan diri, mencari sudut ruangan yang sepi dan bisa leluasa mengobrol dengan ibunya. "Apa? Mereka cuma ngontrak? Atau gimana?" Tanya suara itu yang makin membuat Tamara gusar. Tanpa memberi aba-aba, Tamara merubah panggilan jadi panggilan video. Tanpa menunggu lama, Sandra menerima panggilan itu, wajahnya sudah memenuhi layar ponsel Tamara. "Jadi gimana?" Kejarnya penasaran. Tamara menghela napas panjang, ia segera mengubah setelan kamera, membuat video yang ada di layar Sandra tidak penuh oleh wajahnya lagi. "Mama lihat sendiri." Ucap Tamara yang bingung harus dari mana ia menjelaskan semua ini. Dia pun masih begitu syok dan terkejut saat ini.Benar saja! Sama seperti Tamara, mimik wajah itu benar-benar terkejut dan syok luar biasa. Bukan salah Sandra kalau dia sampai seperti ini. "I-ini ...." Sandra terbata, sementara Tamara ia hanya tersenyum getir melihat bagaimana reaksi ibunya. "I
"Ayo masuk dulu, Ma!"Andina menoleh, para tamu sudah pulang kecuali mama mertua Andina yang berhasil dipaksa Bram menginap semalam di sini. Andina masih berdiri di depan pintu rumah setelah mobil-mobil itu meninggalkan halaman rumah.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat dengan saksama bagaimana apik dan mewah hunian yang perhari ini akan dia tempati. Siapa sangka Andina akan tinggal di rumah semewah ini sebagai nyonya pemilik rumah? Seulas senyum terukir di wajahnya, ia menghela napas sejenak lalu membalikkan badan dan menyusul Bram berserta ibunya yang sudah lebih dulu masuk. Total ada empat pegawai yang Bram pekerjakan di rumah ini. Dua orang security, dua orang lagi yang membantu Andina mengurus rumah mereka. Setidaknya Andina jadi tidak kesepian jika Bram pergi keluar. "Mas Bram sama mama tadi kemana, Mbak?" Andina menyapa Sari, wanita paruh baya itu tengah mengelap meja makan yang tadi digunakan. "Naik ke lantai atas, Bu." Jawabnya sopan. "Jangan panggil 'bu' ah,
Mariani menatap nanar pemandangan dari jendela kamar yang dia tempati di rumah baru anak bungsunya, Bram. Anak yang sedari dulu sekali selalu dicap orang-orang manja dan tidak mau susah-susah bekerja. Benalu dan entah apa lagi cap yang diberikan untuk anak bungsu Mariani itu dan malam ini, semua orang termasuk dia, seperti ditampar begitu keras dengan sebuah realita bahwa Bram bukan pengganguran sukses! Restoran yang pernah beberapa kali Mariani kunjungi itu rupanya milik Bram! Siapa sangka bahwa di balik semua sikap acuh Bram terhadap pandangan orang, dia mampu sesukses ini. "Huft!"Mariani mendengus perlahan, ia menundukkan kepala sembari mengingat obrolannya bersama Bram beberapa saat yang lalu. 'Mas Gun kalah main kasino beberapa milyar dalam satu malam.''Perusahaan itu sudah bukan milik keluarga Narendra lagi.'Dua kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Mariani. Ia benar-benar tidak menyangka, perusahaan yang dulu dibangun setengah mati oleh Alan, suaminya, harus bera
"GILA! SELENDRA SAMA LAJENDRA ITU PUNYA SUAMI KAMU, AN?"Clara sampai berteriak saking terkejutnya. Sementara Andina, ia melonjak terkejut sembari membalas tatapan syok yang Clara layangkan ke arahnya. "Jangan teriak begitu kenapa sih?" Protes Andina yang benar-benar terkejut dengan teriakan Clara. "RESTO EKSLUSIF LANGGANAN ARTIS LUAR NEGERI ITU PUNYA SUAMI KAMU?" bukannya menurunkan nada bicara, Clara malah berteriak lebih kencang lagi. "JACKPOT TAU NGGAK SIH, AN!" Clara histeris, sementara Andina, ia segera menonyor dahi sahabatnya itu agar segera tersadar. Entah kerasukan setan apa, Andina sendiri juga heran."Nggak usah pake teriak-teriak kenapa sih, Ra?" Andina mencebik, rasanya ia begitu gemas. "Sumpah ya, An ... Aku syok ini! Ya meskipun dari awal aku udah menduga-duga, nggak mungkin suami kamu punya income segitu nggak diputerin buat bisnis, secara dia dari keluarga pebisnis!" Clara tiba-tiba berubah ekspresi wajah, ia menatap Andina dengan mata membelalak, membuat Andina
"Jadi ini hari terakhir kamu kerja nih?"Clara memainkan pulpen sembari menatap Andina yang tengah menyelesaikan sebuah gaun pengantin. Tangan itu begitu terampil memasang payet di gaun putih dengan ekor panjang yang dia desain sendiri. "Jangan khawatir, kamu masih terima freelance designer, kan? Atau kalau repot bisa calling aku nanti." Andina menoleh sesaat, ia lantas kembali serius dengan jarum dan manik-manik. "Ah takut! Bos besar kok di suruh nyulam sama mayet sih? Minder nih."Kontan tawa Andina pecah, ia terbahak tanpa memalingkan wajah. Gaun itu sudah hampir selesai dan Andina sendiri yang ingin menyelesaikan gaun itu dengan tangannya sendiri. "Jangan begitu ah. Kamu ini kayak sama siapa aja!"Clara meletakkan pulpen, ia masih duduk mematung menatap Andina. Siapa sangka sahabat yang dulu selalu membuatnya gemas karena cerita menyebalkan tentang ibu tiri dan adiknya itu, sekarang sudah makmur dan sukses menikahi lelaki yang diam-diam tajir melintir. Mungkin sudah menjadi re
"Papa nggak pengen nyelidikin om Bram gitu?"Ken menemui papanya di ruangannya, bisa dia lihat wajah Gunawan masih menyimpan banyak sekali tanda tanya."Kamu benar. Kita lengah selama ini sampai-sampai bisa dibohongi sama dia." Gunawan menghela napas panjang, bagaimana bisa dia kecolongan? "Aku masih belum percaya sama semua itu, Pa. Rumahnya, mobilnya bahkan usaha-usahanya. Aku nggak percaya kalau itu punya dia." Tegas Ken yang lebih tepatnya menolak percaya. Gunawan nampak berpikir keras, ia mengusap dagunya berkali-kali. Sementara Ken, ia duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Gunawan dengan wajah kusut. "Tamara merengek minta Mini Cooper juga kayak Andina. Sekarang Ken kudu gimana, Pa?" Curhat Ken yang terbayang-bayang permintaan sang istri terus menerus. Seketika wajah Gunawan terangkat, ia menoleh dan menatap anak bungsunya itu. Sadar akan respon yang diberikan papanya, Ken balas menatap mata Gunawan, mereka saling pandang beberapa detik. "Berapa sih harga mobil Andina
"Hai!"Andina tersenyum, sapaan itu lengkap dengan seulas senyum manis khas Bram yang agaknya hanya Andina yang bisa melihatnya dengan bebas dan dengan jarak sedekat ini. "Makasih banyak buat semuanya, Mas." Ucap Andina tulus. Ia tentu tidak lupa dengan sajian makan siang dan hampers perpisahan untuk teman-teman dan Clara. "Makasih buat apa, Sayang? Happy tadi?" Tanpa membuang waktu, Bram membawa mobilnya pergi dari depan butik Clara, membaur dengan mobil lain di jalanan. "Ya buat semua tadi, Mas. Happy banget. Aku malah nggak kepikiran loh." Cerita Andina dengan riang. Bram tertawa kecil, pandangannya lurus ke depan sama halnya dengan Andina yang kini bersandar santai di jok mobil. "Sama-sama, Sayang. Aku yang pikirin, tenang. Besok siap pindah kantor, kan?"Mendengar itu kini Andina yang tertawa kecil. Mau bagaimana lagi, sebenarnya ia sudah nyaman di butik Clara. Sesuai dengan hobinya, tapi Andina bisa apa?"Siap deh siap. Ini sesuai yang kita omongin kemarin, kan?" Tentu Andi
"Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,