"Kamu masih betah seperti ini, Bram?"Kini meja makan keluarga Narendra hampir terisi penuh. Jika biasanya hanya lima orang yang duduk, makan di sana, kali ini ada sembilan orang. Andina menghela napas panjang, ia berusaha untuk tetap mengingat pesan yang Bram beri padanya bahkan jauh-jauh hari sebelum kedatangan mereka. "Seperti ini yang bagaimana yang Mbak maksud?"Dengan sangat santai Bram menjawab, lelaki itu seperti sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Yang Andina heran, kakak paling tua Bram, mas Dharmawan sejak awal kedatangan tidak pernah berbicara yang tidak-tidak pada suaminya, tidak seperti papa Ken yang terus menyindir dan menyerang Bram lewat candaan yang bagi Andina sama sekali tidak lucu. "Ya ngganggur, jadi beban mama kayak gini." Ucap wanita itu sambil melirik Andina dengan tatapan merendahkan. Andina kembali menghela napas panjang, kalau saja Bram tidak memintanya tetap diam, sudah Andina siram wanita itu dengan segelas air yang ada tak jauh darinya. Bukan
"Mas nggak pernah bilang kalau punya rumah sama aku." Andina protes, ia yakin masih ada banyak sekali rahasia yang Bram sembunyikan darinya. Bram menoleh, ia tersenyum simpul seraya melangkah ke arah sang istri. Dengan lembut ia mengusap kepala Andina, lalu meraih tangan istrinya dan membawanya duduk di atas ranjang mereka. "Tunggu sini sebentar!"Setelah Bram mendudukkan istrinya, ia berbalik dan melangkah menuju kabinet yang berada di dekat lemari pakaian. Ia menarik laci paling bawah, mengambil map plastik warna hitam dari sana dan membawanya ke arah Andina. "Buka coba!"Bram duduk di sebelah Andina setelah menyodorkan map itu. Andina buru-buru membuka map dan tertegun ketika mendapati dokumen dengan lambang Garuda berwarna hijau muda ada di sana. "I-ni ..." Andina kehilangan kata-kata, ia menoleh dan menatap Bram dengan penuh tanda tanya. "Hadiah pernikahan kita, ya bisa dibilang kejutan yang aku katakan kemarin." Jawab Bram sambil garuk-garuk kepala. Andina tidak menanggapi
"Sudah semua?"Bram melangkah dari kamar mandi, ia sudah rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans. Andina berdiri di depan tiga buah koper besar, hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Paras wajahnya begitu bahagia. Meskipun di sini Mar memperlakukan dia dengan begitu baik dan penuh kasih sayang, namun tentu saja Andina ingin berada di rumahnya sendiri, istananya sendiri. "Yuk berangkat sekarang." Bram meraih dua koper paling besar, hendak membawanya keluar kamar ketika tangan Andina mencekal tangannya. "Kenapa?""Kita nggak sarapan dulu?" Tanya Andina yang hafal betul kalau sebentar lagi adalah jam sarapan. "Nanti sarapan di rumah kita."Kening Andina refleks berkerut. Ia menatap Bram dengan tatapan tidak percaya. Sarapan di rumah mereka? Apakah .... "Yuk, udah ditunggu." Bram menarik dua koper, ia meninggalkan Andina yang masih mematung di tempatnya berdiri. Andina baru tersadar ketika Bram sudah keluar dari kamar mereka. Buru-buru Andina menyusul dan kemba
"Ma-Mas."Bukan salah Andina kalau dia sampai kehabisan kata-kata. Andina masih duduk di jok mobil, lengkap dengan seatbelt dan tas selempang di pangkuan. Namun matanya menatap lurus ke depan, melihat bagaimana bangunan megah itu berdiri kokoh di sana.Rumah dua lantai itu bergaya classic dengan arsitektur khas Eropa. Pagar dan gerbangnya senada dengan cat bangunan. Ada pos security yang dengan dua orang petugas yang berjaga dan membuka gerbang lebar-lebar. Ini benar rumah yang Bram belikan untuknya? "Kita nggak salah rumah kan, Bram?" Tanya Mar dengan nada tidak percaya. Rumah ini bahkan lebih mewah dari rumah keluarga Narendra! Bagaimana bisa seorang Bram me--."Tentu tidak! Selamat datang di rumah Bram, Ma. Ayo turun."Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Bram bergegas turun. Andina dan Mar nampak saling pandang dengan tatapan terkejut. Mereka akan terus saling lempar pandangan kalau saja pintu mobil itu tidak terbuka. Nampak Bram dan seorang security sudah berdiri guna membantu
"Nggak mungkin! Nggak mungkin Bram bisa beli rumah ini hanya dari profit Selendra!"Gunawan menyanggah, acara sarapan pagi ini seperti acara intrograsi dan debat terbuka, namun Bram tidak peduli. Ia tetap asyik makan sementara Roy menghadapi Gunawan dan istrinya. "Selendra punya tiga cabang di kota besar yang semuanya kawasan elit. Customer kita pun kalangan high class dengan sajian premium dan harga yang bisa dibilang fantastis jika berpedoman pada UMK daerah tempat Selendra berdiri. Selain Selendra, Bram juga punya caffe dan bakery yang semua saya yang handel. Jadi apa yang tidak mungkin?" Jawab Roy dengan begitu tenang. Semua hening, Gunawan nampak saling pandang dengan sang istri, sementara yang lain menyimak dengan wajah haus akan rasa penasaran. Hanya Bram dan Dharmawan yang santai makan, lainnya masih serius menyimak Roy bersuara. "Jangan bilang kalau nama caffe-nya Lajendra?" Andina bersuara, membuat semua orang menoleh dan menatap ke arahnya. "Yak betul, Ibu. Lajendra itu
"Mama nggak bakalan percaya sama apa yang aku lihat, Ma!" Desis Tamara lirih, ia makin menjauhkan diri, mencari sudut ruangan yang sepi dan bisa leluasa mengobrol dengan ibunya. "Apa? Mereka cuma ngontrak? Atau gimana?" Tanya suara itu yang makin membuat Tamara gusar. Tanpa memberi aba-aba, Tamara merubah panggilan jadi panggilan video. Tanpa menunggu lama, Sandra menerima panggilan itu, wajahnya sudah memenuhi layar ponsel Tamara. "Jadi gimana?" Kejarnya penasaran. Tamara menghela napas panjang, ia segera mengubah setelan kamera, membuat video yang ada di layar Sandra tidak penuh oleh wajahnya lagi. "Mama lihat sendiri." Ucap Tamara yang bingung harus dari mana ia menjelaskan semua ini. Dia pun masih begitu syok dan terkejut saat ini.Benar saja! Sama seperti Tamara, mimik wajah itu benar-benar terkejut dan syok luar biasa. Bukan salah Sandra kalau dia sampai seperti ini. "I-ini ...." Sandra terbata, sementara Tamara ia hanya tersenyum getir melihat bagaimana reaksi ibunya. "I
"Ayo masuk dulu, Ma!"Andina menoleh, para tamu sudah pulang kecuali mama mertua Andina yang berhasil dipaksa Bram menginap semalam di sini. Andina masih berdiri di depan pintu rumah setelah mobil-mobil itu meninggalkan halaman rumah.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat dengan saksama bagaimana apik dan mewah hunian yang perhari ini akan dia tempati. Siapa sangka Andina akan tinggal di rumah semewah ini sebagai nyonya pemilik rumah? Seulas senyum terukir di wajahnya, ia menghela napas sejenak lalu membalikkan badan dan menyusul Bram berserta ibunya yang sudah lebih dulu masuk. Total ada empat pegawai yang Bram pekerjakan di rumah ini. Dua orang security, dua orang lagi yang membantu Andina mengurus rumah mereka. Setidaknya Andina jadi tidak kesepian jika Bram pergi keluar. "Mas Bram sama mama tadi kemana, Mbak?" Andina menyapa Sari, wanita paruh baya itu tengah mengelap meja makan yang tadi digunakan. "Naik ke lantai atas, Bu." Jawabnya sopan. "Jangan panggil 'bu' ah,
Mariani menatap nanar pemandangan dari jendela kamar yang dia tempati di rumah baru anak bungsunya, Bram. Anak yang sedari dulu sekali selalu dicap orang-orang manja dan tidak mau susah-susah bekerja. Benalu dan entah apa lagi cap yang diberikan untuk anak bungsu Mariani itu dan malam ini, semua orang termasuk dia, seperti ditampar begitu keras dengan sebuah realita bahwa Bram bukan pengganguran sukses! Restoran yang pernah beberapa kali Mariani kunjungi itu rupanya milik Bram! Siapa sangka bahwa di balik semua sikap acuh Bram terhadap pandangan orang, dia mampu sesukses ini. "Huft!"Mariani mendengus perlahan, ia menundukkan kepala sembari mengingat obrolannya bersama Bram beberapa saat yang lalu. 'Mas Gun kalah main kasino beberapa milyar dalam satu malam.''Perusahaan itu sudah bukan milik keluarga Narendra lagi.'Dua kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Mariani. Ia benar-benar tidak menyangka, perusahaan yang dulu dibangun setengah mati oleh Alan, suaminya, harus bera
"Siap?"Mereka sudah berdiri di depan pintu ruang inap Tamara, Andina menoleh ke arah Bram, mengangguk cepat lalu meraih knop pintu. Perlahan ia mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam dan berdiri mematung sembari menatap yang ada di sana. Baik Andina maupun Tamara sama-sama tertegun, mereka saling pandang sampai kemudian Tamara bangkit dari sofa dan berhambur memeluk Andina."Kenapa nangis?" Andina tak sadar bahwa di detik dia bertanya pada sang adik, dia pun tenah menitikkan air mata."Aku minta maaf, Kak. Aku udah banyak banget dosa sama kamu. Aku jahat, aku bukan adik yang baik. Demi apapun, tolong maafkan aku." desis suara itu bercampur tangis. Andina mengela napas panjang, dibiarkan air matanya menitik. Ia mengusap punggung Tamara, membawa wanita itu melangkah ke sofa yang ada di ruangan. Andina mendudukkan Tamara di sofa, mencengkeram lembut bahu sang adik sembari menatapnya dengan saksama."Kamu mau aku memaafkan mu?" tanya Andina tanpa memalingkan wajah. Bisa dia lihat T
"Tamara nungguin di sini aja, Pa. Boleh?"Hendra menghela napas panjang, hari ini Tamara sudah boleh pulang karena kondisinya sudah stabil, hanya saja untuk bayinya, dokter masih harus merawatnya secara intensif sampai kondisinya stabil dan bisa ikut dibawa pulang. "Kalau begitu, biar papa nego sama pihak rumah sakit untuk perpanjangan kamarmu."Mereka tidak pakai asuransi dan kamar yang mereka sewa bukan kamar komersil. Agaknya dari pihak rumah sakit tidak akan keberatan jika mereka memperpanjang sewa kamar sampai bayi Tamara bisa ikut pulang. "Terimakasih banyak, Pa." ucap Tamara dengan nada getir. Hendra tersenyum, ia melangkah mendekati anak bungsunya itu, menatap mata yang seketika memerah dan menitikkan air mata. Hendra tidak pernah mengira, bahwa Tamara yang sejak kecil selalu dia manjakan, harus bernasib semalang ini. "Kamu sudah tentukan keputusan-keputusan apa yang akan kamu ambil setelah ini?" sebuah obrolan dewasa yang terdengar sangat serius. Mendapat pertanyaan itu,
"Papa sangat bersyukur dan berterimakasih kamu sudah mau memaafkan papamu ini, An."Hendra melangkah keluar rumah, ditemani Bram dan Andina yang turut mengantarkan Hendra ke depan. Setelah bicara dari hati ke hati, Andina akhirnya luluh dan memilih untuk memaafkan semua. Ya ... semua yang sudah terjadi kecuali wanita jahat itu. Hati Andina sudah lebih tenang. Sakit yang dia rasakan sampai membuat sesak dada, kini sudah lenyap tak bersisa. "Andina tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi dulu, Pa. Lagi pun, semua sudah terjadi, apapun yang kita lakukan tidak akan bisa membuat semua balik lagi. Jadi berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan." ucap Andina dengan mata memerah. "Papa paham, An. Papa benar-benar bangga sama kamu. Kamu putri terbaik yang papa miliki, An."Dipuji begitu Andina hanya tersenyum getir, ia menghela napas panjang, memalingkan wajah sejenak untuk menyembunyikan air mata yang kembali mengambang. "Papa izin pamit, ya. Kalian ist
"Mama denger kakak nolak ajakan Ken buat berhubungan badan, Oma. Waktu itu malam hari, pas rumah sepi dan dia main ke rumah." Tamara mulai menceritakan petaka apa yang dia ciptakan sendiri kala itu. Sebuah petaka yang sungguh sangat dia sesali kini. "Mereka ribut, Ken terus pamit pulang. Dan setelah malam itu mama punya rencana buat nyingkirin kakak dari perjodohan itu."Mursiyati menghela napas panjang, tidak ada kemarahan di wajah itu. Toh mau marah pun tidak ada artinya sekarang. Tamara sudah mendapatkan hukuman dari apa yang sudah dia lakukan, jadi untuk apa marah? "Terus mulai kapan rencana mamamu jalan?" rasa penasaran Mursiyati masih besar, peristiwa itu sangat memalukan, ia tidak akan pernah lupa akan hari itu. "Seminggu setelahnya, waktu ulang tahun papa. Oma ingat kita undang Ken buat gabung makan malam?"Ingatan Mursiyati kembali pada masa itu. Ah benar! Ken ikut datang dan makan malam bersama mereka saat itu. Ia masuk kamar lebih dulu, jadi tidak tahu apa-apa saja yang
"Mengapa aku harus kesana?" tanya Andina dengan nada dingin. Wajah Sandra terus terbayang-bayang, membuat emosi Andina kembali bergejolak jika teringat apa yang sudah perempuan itu lakukan pada ibunya. "Bagaimanapun, kalian saudara kandung, An. Ibu kalian boleh beda, tapi asal mula kalian tetap satu, papa Hendra. Kalian dari sumber sperma yang sama." jelas Bram tanpa memalingkan wajah. Andina menghela napas panjang, matanya tiba-tiba memanas. Namun ia berusaha menahan semua perasaan yang mulai bergejolak memporak-porandakan dirinya. "Faktanya, dia yang tidak mau bersaudara denganku, Mas. Aku masih ingat dulu ... aku membawakan dia hasil kerajinan tangan dari sekolah yang aku buat khusus untuknya, kubelikan beberapa tangkai mawar untuk dia, tapi Mas tahu apa yang dia lakukan?"Andina menjeda ceritanya, melirik Bram yang pada saat yang sama tengah melirik juga ke arah Andina. "Biar ku tebak, dia tak mau menerima hadiah dari mu?"Andina tersenyum getir. "Dia terima vas berserta maw
'Mamamu yang menyebabkan kecelakaan itu, Tam. Dia yang membunuh mama Andina.'Dunia Tamara seolah terhenti seketika. Obrolan itu sudah berakhir beberapa saat yang lalu, namun tiap detail obrolan masih berdengung di telinga Tamara. Masalah apa lagi ini? Jadi bukan hanya Ken yang akan dipenjara, tetapi juga mamanya? Lalu bagaimana hidup Tamara selanjutnya? Setelah ini dia harus bagaimana? "Tam ... ngelamun?" Tamara tersentak, Hendra tersenyum getir, ia datang membawa kotak pizza dan sushi yang sama, seperti yang dia pesan untuk Tamara tadi."Kamu tadi belum jadi makan, kan? Ayo sekarang makan." Hendra membuka kotak pizza, menyodorkan tepat di depan Tamara. Melihat bagaimana Hendra men-treat dirinya, Tamara kontan menitikkan air mata. Hatinya yang kalut dan kacau mendadak berubah sedikit lebih tenang, ia masih punya Hendra dan laki-laki ini adalah orang yang mencintai Tamara tanpa syarat, tanpa batas waktu berakhir. "Aku nggak lapar, Pa. Nggak napsu mau makan." jawab Tamara yang hany
"Rahasia apa lagi yang kalian tutupi dari aku?"Selera makan Tamara lenyap seketika, ia yakin masih ada yang ditutupi darinya, oleh karena itu ia mencecar empat orang yang duduk di sekeliling bed. Ada Mur yang baru saja datang beberapa saat yang lalu, bisa Tamara lihat neneknya itu terkejut, mungkin dia juga baru tahu, berbeda dengan tiga orang yang lain. Tamara merasa tubuhnya begitu ringan. Ia kehilangan semangat dan apapun itu. Bisa dibayangkan, kamu yang belum menerima kenyataan bahwa suamimu bangkrut dan semua aset disita, berikut milik mertuamu, lalu mendadak harus melahirkan lebih awal, masih ditambah mendapat kenyataan bahwa suamimu ternyata menghamili wanita lain dan harus berhadapan dengan hukum. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Tamara saat ini? "Lebih baik kamu istirahat dulu, Tam. Kamu butuh banyak istirahat setelah apa yang terjadi." Mar tersenyum kikuk, sangat ketara sekali bahwa dia ingin mengalihkan pembicaraan. "Nggak bisa gitu, Eyang! Aku yakin masih ada yang d
"Jangan dicabut lagi, ya? Kecuali nanti dokter yang suruh." Hendra berbisik, infus sudah kembali terpasang di tempatnya, sementara Tamara, ia masih berada dalam pelukan Hendra, terisak dengan nada lirih. "Sudah tenang? Papa nunggu kamu cerita, Tam."Walau sebenarnya Hendra sudah tahu semua masalah yang bahkan Tamara mungkin belum tahu, tapi tentu dia perlu berpura-pura pada awalnya. Mendadak kalimat Andina kembali terngiang-ngiang di kepala.'Aku yang dapat karmanya, Pa! Aku yang harus nanggung semua dosa Papa!'Apakah mungkin bukan hanya Andina yang harus menanggung karma dan dosa atas apa yang dulu Hendra lakukan? Rasanya Hendra ingin bunuh diri! Bagaimana tidak, dua anak gadisnya sedang sama-sama hancur seperti ini! Rasanya hati Hendra remuk redam, rasanya benar-benar sakit luar biasa! Tapi kalau Hendra bunuh diri, lalu bagaimana dengan nasib anak-anaknya? Lebih tepatnya Tamara. Dengan kondisi mertua yang bangkrut, suami tersandung permasalahan hukum sepelik ini yang bahkan sudah
Mata Tamara berbinar cerah melihat kotak berisi sushi kenamaan itu sudah berada di meja kecil dipangkuannya. Bukan hanya sushi, tapi juga satu pan mini pizza lengkap dengan fusili kesukaan Tamara. Ada rasa haru menyeruak di hati Tamara. Papanya selalu ingat apa-apa saja yang dia suka dan tak peduli kini dia sudah menjadi seorang ibu, Hendra tetap menganggapnya putri kecil dan selalu memanjakan Tamara. "Habiskan, oke?" Hendra mengacak rambut Tamara dengan gemas, membuat Tamara mencebik dan menatap papanya itu dengan penuh bahagia. "Oke! Siapa takut?" tantang Tamara yang mulai meraih sumpit dan mengambil varian sushi yang ingin ia makan untuk pertama kali. Nasi yang digulung dengan isian salmon dan pepaya serta taburan tobiko ditepiannya adalah varian yang Tamara pilih. Lidahnya sudah begitu rindu citarasa ini. Tamara memejamkan mata ketika ia mengunyah makanan itu pertama kali. Rasa bahagianya meledak-ledak, ia tersenyum sembari satu tangannya meraih ponsel, hendak memotret makanann