"Sudah semua?"Bram melangkah dari kamar mandi, ia sudah rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans. Andina berdiri di depan tiga buah koper besar, hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Paras wajahnya begitu bahagia. Meskipun di sini Mar memperlakukan dia dengan begitu baik dan penuh kasih sayang, namun tentu saja Andina ingin berada di rumahnya sendiri, istananya sendiri. "Yuk berangkat sekarang." Bram meraih dua koper paling besar, hendak membawanya keluar kamar ketika tangan Andina mencekal tangannya. "Kenapa?""Kita nggak sarapan dulu?" Tanya Andina yang hafal betul kalau sebentar lagi adalah jam sarapan. "Nanti sarapan di rumah kita."Kening Andina refleks berkerut. Ia menatap Bram dengan tatapan tidak percaya. Sarapan di rumah mereka? Apakah .... "Yuk, udah ditunggu." Bram menarik dua koper, ia meninggalkan Andina yang masih mematung di tempatnya berdiri. Andina baru tersadar ketika Bram sudah keluar dari kamar mereka. Buru-buru Andina menyusul dan kemba
"Ma-Mas."Bukan salah Andina kalau dia sampai kehabisan kata-kata. Andina masih duduk di jok mobil, lengkap dengan seatbelt dan tas selempang di pangkuan. Namun matanya menatap lurus ke depan, melihat bagaimana bangunan megah itu berdiri kokoh di sana.Rumah dua lantai itu bergaya classic dengan arsitektur khas Eropa. Pagar dan gerbangnya senada dengan cat bangunan. Ada pos security yang dengan dua orang petugas yang berjaga dan membuka gerbang lebar-lebar. Ini benar rumah yang Bram belikan untuknya? "Kita nggak salah rumah kan, Bram?" Tanya Mar dengan nada tidak percaya. Rumah ini bahkan lebih mewah dari rumah keluarga Narendra! Bagaimana bisa seorang Bram me--."Tentu tidak! Selamat datang di rumah Bram, Ma. Ayo turun."Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Bram bergegas turun. Andina dan Mar nampak saling pandang dengan tatapan terkejut. Mereka akan terus saling lempar pandangan kalau saja pintu mobil itu tidak terbuka. Nampak Bram dan seorang security sudah berdiri guna membantu
"Nggak mungkin! Nggak mungkin Bram bisa beli rumah ini hanya dari profit Selendra!"Gunawan menyanggah, acara sarapan pagi ini seperti acara intrograsi dan debat terbuka, namun Bram tidak peduli. Ia tetap asyik makan sementara Roy menghadapi Gunawan dan istrinya. "Selendra punya tiga cabang di kota besar yang semuanya kawasan elit. Customer kita pun kalangan high class dengan sajian premium dan harga yang bisa dibilang fantastis jika berpedoman pada UMK daerah tempat Selendra berdiri. Selain Selendra, Bram juga punya caffe dan bakery yang semua saya yang handel. Jadi apa yang tidak mungkin?" Jawab Roy dengan begitu tenang. Semua hening, Gunawan nampak saling pandang dengan sang istri, sementara yang lain menyimak dengan wajah haus akan rasa penasaran. Hanya Bram dan Dharmawan yang santai makan, lainnya masih serius menyimak Roy bersuara. "Jangan bilang kalau nama caffe-nya Lajendra?" Andina bersuara, membuat semua orang menoleh dan menatap ke arahnya. "Yak betul, Ibu. Lajendra itu
"Mama nggak bakalan percaya sama apa yang aku lihat, Ma!" Desis Tamara lirih, ia makin menjauhkan diri, mencari sudut ruangan yang sepi dan bisa leluasa mengobrol dengan ibunya. "Apa? Mereka cuma ngontrak? Atau gimana?" Tanya suara itu yang makin membuat Tamara gusar. Tanpa memberi aba-aba, Tamara merubah panggilan jadi panggilan video. Tanpa menunggu lama, Sandra menerima panggilan itu, wajahnya sudah memenuhi layar ponsel Tamara. "Jadi gimana?" Kejarnya penasaran. Tamara menghela napas panjang, ia segera mengubah setelan kamera, membuat video yang ada di layar Sandra tidak penuh oleh wajahnya lagi. "Mama lihat sendiri." Ucap Tamara yang bingung harus dari mana ia menjelaskan semua ini. Dia pun masih begitu syok dan terkejut saat ini.Benar saja! Sama seperti Tamara, mimik wajah itu benar-benar terkejut dan syok luar biasa. Bukan salah Sandra kalau dia sampai seperti ini. "I-ini ...." Sandra terbata, sementara Tamara ia hanya tersenyum getir melihat bagaimana reaksi ibunya. "I
"Ayo masuk dulu, Ma!"Andina menoleh, para tamu sudah pulang kecuali mama mertua Andina yang berhasil dipaksa Bram menginap semalam di sini. Andina masih berdiri di depan pintu rumah setelah mobil-mobil itu meninggalkan halaman rumah.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat dengan saksama bagaimana apik dan mewah hunian yang perhari ini akan dia tempati. Siapa sangka Andina akan tinggal di rumah semewah ini sebagai nyonya pemilik rumah? Seulas senyum terukir di wajahnya, ia menghela napas sejenak lalu membalikkan badan dan menyusul Bram berserta ibunya yang sudah lebih dulu masuk. Total ada empat pegawai yang Bram pekerjakan di rumah ini. Dua orang security, dua orang lagi yang membantu Andina mengurus rumah mereka. Setidaknya Andina jadi tidak kesepian jika Bram pergi keluar. "Mas Bram sama mama tadi kemana, Mbak?" Andina menyapa Sari, wanita paruh baya itu tengah mengelap meja makan yang tadi digunakan. "Naik ke lantai atas, Bu." Jawabnya sopan. "Jangan panggil 'bu' ah,
Mariani menatap nanar pemandangan dari jendela kamar yang dia tempati di rumah baru anak bungsunya, Bram. Anak yang sedari dulu sekali selalu dicap orang-orang manja dan tidak mau susah-susah bekerja. Benalu dan entah apa lagi cap yang diberikan untuk anak bungsu Mariani itu dan malam ini, semua orang termasuk dia, seperti ditampar begitu keras dengan sebuah realita bahwa Bram bukan pengganguran sukses! Restoran yang pernah beberapa kali Mariani kunjungi itu rupanya milik Bram! Siapa sangka bahwa di balik semua sikap acuh Bram terhadap pandangan orang, dia mampu sesukses ini. "Huft!"Mariani mendengus perlahan, ia menundukkan kepala sembari mengingat obrolannya bersama Bram beberapa saat yang lalu. 'Mas Gun kalah main kasino beberapa milyar dalam satu malam.''Perusahaan itu sudah bukan milik keluarga Narendra lagi.'Dua kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Mariani. Ia benar-benar tidak menyangka, perusahaan yang dulu dibangun setengah mati oleh Alan, suaminya, harus bera
"GILA! SELENDRA SAMA LAJENDRA ITU PUNYA SUAMI KAMU, AN?"Clara sampai berteriak saking terkejutnya. Sementara Andina, ia melonjak terkejut sembari membalas tatapan syok yang Clara layangkan ke arahnya. "Jangan teriak begitu kenapa sih?" Protes Andina yang benar-benar terkejut dengan teriakan Clara. "RESTO EKSLUSIF LANGGANAN ARTIS LUAR NEGERI ITU PUNYA SUAMI KAMU?" bukannya menurunkan nada bicara, Clara malah berteriak lebih kencang lagi. "JACKPOT TAU NGGAK SIH, AN!" Clara histeris, sementara Andina, ia segera menonyor dahi sahabatnya itu agar segera tersadar. Entah kerasukan setan apa, Andina sendiri juga heran."Nggak usah pake teriak-teriak kenapa sih, Ra?" Andina mencebik, rasanya ia begitu gemas. "Sumpah ya, An ... Aku syok ini! Ya meskipun dari awal aku udah menduga-duga, nggak mungkin suami kamu punya income segitu nggak diputerin buat bisnis, secara dia dari keluarga pebisnis!" Clara tiba-tiba berubah ekspresi wajah, ia menatap Andina dengan mata membelalak, membuat Andina
"Jadi ini hari terakhir kamu kerja nih?"Clara memainkan pulpen sembari menatap Andina yang tengah menyelesaikan sebuah gaun pengantin. Tangan itu begitu terampil memasang payet di gaun putih dengan ekor panjang yang dia desain sendiri. "Jangan khawatir, kamu masih terima freelance designer, kan? Atau kalau repot bisa calling aku nanti." Andina menoleh sesaat, ia lantas kembali serius dengan jarum dan manik-manik. "Ah takut! Bos besar kok di suruh nyulam sama mayet sih? Minder nih."Kontan tawa Andina pecah, ia terbahak tanpa memalingkan wajah. Gaun itu sudah hampir selesai dan Andina sendiri yang ingin menyelesaikan gaun itu dengan tangannya sendiri. "Jangan begitu ah. Kamu ini kayak sama siapa aja!"Clara meletakkan pulpen, ia masih duduk mematung menatap Andina. Siapa sangka sahabat yang dulu selalu membuatnya gemas karena cerita menyebalkan tentang ibu tiri dan adiknya itu, sekarang sudah makmur dan sukses menikahi lelaki yang diam-diam tajir melintir. Mungkin sudah menjadi re
"Loh, Om ngapain ke sini?"Ken sangat terkejut ketika mendapati Bram keluar dari ruangan Dharma dengan setelan jas yang begitu rapi. Kening Ken berkerut, jangan bilang kalau .... "Katanya nggak sudi jadi budak korporat, Om? Berubah pikiran nih?" Kejar Ken ketika sosok itu hanya tersenyum tanpa menjawab. "Emang enggak, siapa yang bilang aku ke sini buat jadi budak korporat?" Balas Bram sembari membalas tatapan menyelidik yang Ken tujukan padanya. "Lah? Terus?" Nampak wajah itu belum puas. Kalau bukan untuk melamar pekerjaan di sini, untuk apa omnya itu datang kemari dengan setelan jas rapi? "Ada lah, ntar kamu juga tau." Balas Bram lantas berlalu. Ditinggal begitu saja oleh Bram tanpa diberi jawaban, membuat Ken makin penasaran. Ia lantas melangkah ke depan pintu ruangan Dharma, baru saja ia hendak mengetuk pintu itu, Dharma ternyata sudah lebih dulu keluar dan membuatnya terkejut. "Astaga, Pakdhe!" Hampir Ken memekik, bagaimana tidak kalau tahu-tahu pintu terbuka dan sosok itu m
"Kamu ganteng bener loh kalau pakai jas begini!" Bram menoleh, ia menatap Andina yang berdiri sembari menatap ke arahnya. Bram tersenyum, merapikan dasinya lalu memakai jas sudah disiapkan Andina. "Lebih suka pakai kaos sama celana." Sahut Bram sembari memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Aku lebih suka kamu nggak pake baju."Bram membelalak, ia memutar tubuhnya hingga kini ia bisa melihat secara langsung Andina yang masih tegak berdiri menatap ke arahnya. Wajahnya nampak menahan tawa membuat Bram mendengus sembari melangkah menghampiri sang istri. "Eh apaan?" Andina bergegas menghindar, tawanya pecah sementara Bram, ia masih terus mengejar sang istri sampai akhirnya bisa menarik tubuh itu dalam pelukannya. "Lepasin ih!" Protes Andina sembari berusaha melepaskan diri. "Nggak! Nggak ada lepas! Tadi bilang apa?" Tanya Bram yang malah mempererat pelukannya. "Canda doang! Udah sana berangkat!" Usir Andina yang masih belum bisa melepaskan diri. Bram mendengus, ia mendekatkan
"Mas yakin dia nggak ngamuk nanti?" Andina melirik Bram, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sementara Dharma, tentu ia harus kembali ke kantor. "Kenapa ngamuk? Aku salah apa?" Tanya Bram santai. Andina mendengus, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil dengan mata terpejam. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, tentu Andina paham bagaimana karakter orang satu itu, komplit berserta istri dan anak bungsunya. Kalau dua anaknya yang lain, Andina tidak tahu karena mereka hidup di luar negeri dan dengar-dengar sudah berpindah kewarganegaraan. "Coba aja suruh ngamuk, udah berapa banyak dia bikin rugi aku." Desis Bram ketika istrinya terdiam. "Bukan soal duitnya aja, Mas. Tapi kan sama aja dia dibohongi sama kalian selama ini." Jelas Andina yang tengah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Bodo amat. Punya hak apa dia ingin tahu hal-hal pribadiku?"Andina mengalah, ia tidak lagi membantah. Masing-masing mereka fokus pada kegiatan masing-masing. Br
"Kita mau ketemu siapa?"Mereka sudah berada di dalam mobil, hendak pergi entah ke Selendra dulu atau Lajendra, Andina tidak tahu. Sejak tadi Bram bungkam, dilihat dari sorot wajahnya, ia tengah berpikir keras sekarang. "Banyak orang, Sayang. Nanti kamu juga akan tahu." Jawab Bram sekenanya. Andina menghela napas panjang, kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak banyak bertanya dan menunggu nanti siapa orang yang subuh tadi membuat janji dengan Bram. Apakah benar Dharmawan seperti dugaan Andina? Kalau benar dia, itu artinya selama ini Bram punya andil di perusahaan keluarga yang katanya sudah berpindah kepemilikan. 'Melunasi semua hutang Gunawan dan mengambil alih perusahaan? Rasanya tidak mungkin! Tapi apa yang tidak mungkin kalau--.'"An? Mikir apa?"Sontak Andina terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram tengah menatap ke arahnya dengan sorot penasaran. Seketika Andina tergagap, jujur rasanya ia ingin mengungkapkan semua rasa penasaran, namun Andina tidak mau dicap lancang, m
Pancingan Andina berhasil. Mar menceritakan semua dengan detail persis seperti obrolannya dengan Bram yang Andina curi dengar kemarin. Mar tidak berusaha menutupi apapun yang itu artinya, pertanyaan Andina perihal siapa yang ditelpon Bram belum mendapatkan jawaban. Andina menatap jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, agaknya memang ia harus bersabar untuk tahu apa-apa saja yang Bram masih rahasiakan darinya. Ia hendak membalikkan badan ketika tangan itu merengkuh tubuh Andina dari belakang. "Astaga! Mas!" Andina memekik terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram terkekeh tanpa melepaskan dekapan. "Kata mama tadi nyariin aku?" Tanya Bram malah mempererat pelukan itu. "Iyalah, orang bangun tau-tau nggak ada. Gimana nggak nyariin?" Jawab Andina dengan wajah masam. "Ada urusan tadi, jadi ya harus keluar sebentar." Jawab Bram santai, kini pelukan itu dia lepas. Kening Andina berkerut, ia membalikkan badan dan memperhatikan Bram dengan saksama. Tidak ada yang mencurigakan dari
Andina menggeliat, ia meraba sebelahnya. Kosong! Spontan mata Andina terbuka. Ia menarik selimut untuk menutupi dada dan tertegun sejenak sembari mengembalikan nyawanya yang masih sebagian belum kembali. Pukul dua dini hari. Andina perlahan bangkit. Ia mendapati pakaiannya ada di atas nakas, padahal beberapa jam yang lalu saat ia dan Bram akhirnya kembali masuk ke kamar, pakaian itu tercecer di segala sudut. "Mas?"Sembari perlahan-lahan turun, Andina mencoba memancing, memanggil suaminya berharap dia tengah berada di kamar mandi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Akhirnya Andina meraih baju-bajunya, memakai pakaian itu satu persatu lalu melangkah masuk ke walk in closet mereka. Benar, pintu kamar mandi terbuka dan kosong. Bram tidak ada di sana. Lalu kemana suaminya itu pergi pagi buta begini? Ia sudah membuka semua identitasnya, apakah Bram masih harus diam-diam pergi seperti dulu? Karena penasaran, Andina melangkah keluar kamar. Matanya menyipit ketika melihat cahaya dari ruang kerj
"Papa nggak nginep sini aja?" Andina mengantar tamu besar hari ini ke depan rumah. Bukan hanya dia, Bram dan Mar pun ikut mengantarkan. Sudah pukul sepuluh malam dan ini sudah masuk waktunya istirahat. "Nggak usahlah. Orang cuma deket kan rumahnya. Kapan-kapan aja papa sama mama mampir ke sini." Hendra menoleh, mengulaskan senyum di wajah sembari menatap Andina dengan saksama. Papa dan mama? Andina tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Memang wanita itu mau kembali berkunjung kemari? Andina meliriknya sekilas, bisa ia lihat wajah perempuan itu sangat tidak senang, meskipun berusaha menutupi dengan senyum, Andina yang sudah cukup lama hidup satu rumah dengan perempuan itu, tentu paham dan hafal betul tiap mimik dan topeng yang dia pakai."Intinya, rumah Bram sama Andina itu rumah Papa juga, jangan sungkan dan sering-sering main kemari ya, Pa." Bram ikut menambahi, sama seperti sang istri, hanya papa yang disebut olehnya, sedangkan Sandra? Agaknya tidak perlu dijelaskan lagi kenapa
"Ibu juga nggak nyangka ini, Hen. Ketipu sama Bram selama ini. Dikasih duit dibalikin, nggak pernah di rumah, ditawari kerjaan nggak mau, udah pikiran ibu kemana-mana." Curhat Mar di sela-sela makan malam, sementara Bram hanya menyimak sambil menahan tawa. "Hendra paham, Bu. Ya mungkin Bram lebih suka bekerja dalam diam. Ada kan beberapa orang yang begitu." Meskipun Mar adalah besannya, Hendra masih memanggilnya dengan panggilan ibu. Sudah sejak ia kecil dibiasakan memanggil Mar dengan sebutan ibu. Ketika sudah punya anak, sesekali di depan anak-anak, Hendra memanggil Mar dengan sebutan eyang. "Ya tapikan sebagai orang tua pikiran tetap kemana-mana kan, Hen? Mana kawin dua kali gagal. Makanya kemarin begitu Andina nggak jadi nikah sama Ken, ibu kawinin aja dia sama Andina." Hampir Andina tersedak, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia dan Bram nampak saling lirik dan lempar pandangan beberapa saat. Kenapa malah membahas hal ini? "Hendra seneng banget, Bu, liat Andina se
"Pas?"Andina tersenyum ketika heels soft pink itu terpasang di kaki. Sangat pas dan cantik di kakinya. Ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajah. Jadi anak buah Clara selama beberapa bulan memberi banyak sekali keuntungan untuk Andina. Dia jadi melek fashion untuk dirinya sendiri, pintar merawat tubuh dan juga bermake-up! Ditunjang dengan segala fasilitas yang Bram sodorkan, Andina yang sekarang sangat berbeda dengan Andina yang dulu. Andina bediri, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang ada di walk in closet. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Andina benar-benar sempurna. Crop blazer dan skirt knit membungkus tubuhnya dengan pas. Belum lagi rambutnya yang dia curly sedikit dan dia beri jepit mutiara, sungguh ini benar-benar sangat cantik! Andina bahkan sampai tidak bisa mengenali dirinya lagi. "An, su--."Andina segera menoleh, ia mendapat Bram tertegun menatapnya tanpa kedip. Andina tersenyum, ia melangkah menghampiri sang suami. "Kurang apa?" Tanyanya yang s