"Kalung kamu bagus banget, An."Mendengar pujian dari neneknya, Andina tersenyum. Reflek jemarinya mengelus bandul kalung yang melingkar di leher. Hatinya masih begitu gembira mendapatkan hadiah spesial yang tanpa dia duga-duga dari Bram. "Mas Bram yang beliin, Oma." Jawab Andina jujur. "Oh ya? Cantik dan cocok sekali sama kamu, An!" Wajah Mursiati nampak begitu gembira, senyumnya mereka dengan sorot mata bahagia. Andina kehabisan kata-kata. Entah mengapa malam ini rasa bahagianya bertumpuk-tumpuk. Terlebih ekspresi dan nada suara adiknya tadi ... Kenapa Andina baru sadar jika rasanya menang itu semenyenangkan ini? Selama ini dia yang selalu jadi pecundang, dan malam ini ... Andina bertekad bahwa dia tidak ingin menjadi dirinya yang dulu. "Jadi gimana, An? Oma yang menang, kan?"Mendengar itu kontan Andina terkejut, ia mengangkat wajah dan menatap Mursiati yang menatapnya dengan kedua alis dinaikkan. Sedetik kemudian Andina terkekeh. Ia teringat taruhan mereka kala itu, sebuah kom
"Darimana?"Ken sama sekali tidak terkejut mendengar pertanyaan dengan nada ketus itu. Ia dengan santai masuk ke dalam kamarnya, mengabaikan tetapan tajam menyelidik yang Tamara layangkan kepadanya. "Lembur, kerjaan numpuk. Mama sama papa lusa balik Indo. Suruh beresin semua." Ucap Ken yang tidak seratus persen berbohong. Memang papa mamanya akan pulang ke Indonesia dua hari lagi, tapi untuk lembur menyelesaikan pekerjaan, pekerjaan macam apa yang Ken maksud? Menguras spermanya dengan Hani yang dia jadikan alat? "Kenapa kamu nggak ngabarin dulu? Ke aku? Eyang? Kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi? Ke--.""Ponsel aku mati, Tam! Kau lihat itu charger jejeran ada di sana sama punyamu?" Potong Ken yang entah mengapa sama sekali tidak takut. "Di kantor kamu nggak ada charger lain? Powerbank? Kantor nggak ada telepon yang bisa kamu gunakan buat kabarin aku?" Tamara tak gentar, sorot mata itu sama tajamnya dengan sorot mata Ken. "Ah sudahlah. Aku capek banget hari ini. Kalo kamu masih m
"Semalam kamu kemana?" Tanya Mar ketika pagi ini dia melihat Ken duduk di kursi.Ken tersenyum masam ia buru-buru menelan nasi di mulut sebelum menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. "Mendadak harus beresin kerjaan di kantor, Eyang. Mama-papa lusa katanya pulang. Jadi harus diberesin semua." Jawab Ken sama dengan jawabannya semalam, saat Tamara menginterogasinya. "Oh ya? Papa kamu mau pulang?" Wajah Mar berseri-seri, ia membatalkan niatnya menyuapkan nasi ke dalam mulut. "Iya. Emang Eyang nggak dikasih tau sama papa? Ini dia masih di Singapore dulu, Yang." Jelas Ken yang kali ini tak berbohong. "Nggak. Sama sekali tidak. Kalau pakdhe kamu malah bilang ke eyang."Mata Ken membulat, bersamaan dengan Bram yang nampak terkejut dengan apa yang baru dia dengar. Sesaat Bram menatap Ken yang ternyata juga tengah menatapnya. Mereka saling pandang beberapa menit hingga kemudian suara Mursiati memecah keheningan. "Wah, ngumpul semua dong anakmu, Jeng. Rame bakalan." Gumamnya di sela-
"Besok beneran aku nggak perlu cuti, Mas?"Andina menatap Bram dengan tatapan serius, bukan apa-apa, besok anak nomor dua keluarga Narendra akan datang. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah mantan calon mertua Andina. "Nggak perlu, buat apa? Malah stress kamu kalau ada di rumah. Sebisa mungkin nggak usah lah banyak interaksi sama mereka. Apalagi sama itu mak Lampir." Jawab Bram yang membuat Andina hampir terbahak. Tak perlu dijelaskan siapa yang dimaksud Bram dengan sebutan mak Lampir, tentu tak lain dan bukan adalah mama Ken. Wanita yang hampir menjadi mama mertua Andina. "Kurang-kurangin banyak ngobrol sama dia, An. Pengang omonganku, bakalan banyak kekacauan yang dia bikin. Harap-harap sih nggak lama dia di rumah." Gerutu Bram yang tumben sekali pagi ini banyak sekali bicaranya. "Udah pernah kejadian dulu?" Andina merasa bahwa Bram sudah 'kena' tidak hanya sekali, membuat suaminya ini trauma dan terus memperingati Andina agar menjaga jarak dengan mama Ken. "Sebenarnya aku
"Kamu masih betah seperti ini, Bram?"Kini meja makan keluarga Narendra hampir terisi penuh. Jika biasanya hanya lima orang yang duduk, makan di sana, kali ini ada sembilan orang. Andina menghela napas panjang, ia berusaha untuk tetap mengingat pesan yang Bram beri padanya bahkan jauh-jauh hari sebelum kedatangan mereka. "Seperti ini yang bagaimana yang Mbak maksud?"Dengan sangat santai Bram menjawab, lelaki itu seperti sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Yang Andina heran, kakak paling tua Bram, mas Dharmawan sejak awal kedatangan tidak pernah berbicara yang tidak-tidak pada suaminya, tidak seperti papa Ken yang terus menyindir dan menyerang Bram lewat candaan yang bagi Andina sama sekali tidak lucu. "Ya ngganggur, jadi beban mama kayak gini." Ucap wanita itu sambil melirik Andina dengan tatapan merendahkan. Andina kembali menghela napas panjang, kalau saja Bram tidak memintanya tetap diam, sudah Andina siram wanita itu dengan segelas air yang ada tak jauh darinya. Bukan
"Mas nggak pernah bilang kalau punya rumah sama aku." Andina protes, ia yakin masih ada banyak sekali rahasia yang Bram sembunyikan darinya. Bram menoleh, ia tersenyum simpul seraya melangkah ke arah sang istri. Dengan lembut ia mengusap kepala Andina, lalu meraih tangan istrinya dan membawanya duduk di atas ranjang mereka. "Tunggu sini sebentar!"Setelah Bram mendudukkan istrinya, ia berbalik dan melangkah menuju kabinet yang berada di dekat lemari pakaian. Ia menarik laci paling bawah, mengambil map plastik warna hitam dari sana dan membawanya ke arah Andina. "Buka coba!"Bram duduk di sebelah Andina setelah menyodorkan map itu. Andina buru-buru membuka map dan tertegun ketika mendapati dokumen dengan lambang Garuda berwarna hijau muda ada di sana. "I-ni ..." Andina kehilangan kata-kata, ia menoleh dan menatap Bram dengan penuh tanda tanya. "Hadiah pernikahan kita, ya bisa dibilang kejutan yang aku katakan kemarin." Jawab Bram sambil garuk-garuk kepala. Andina tidak menanggapi
"Sudah semua?"Bram melangkah dari kamar mandi, ia sudah rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans. Andina berdiri di depan tiga buah koper besar, hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Paras wajahnya begitu bahagia. Meskipun di sini Mar memperlakukan dia dengan begitu baik dan penuh kasih sayang, namun tentu saja Andina ingin berada di rumahnya sendiri, istananya sendiri. "Yuk berangkat sekarang." Bram meraih dua koper paling besar, hendak membawanya keluar kamar ketika tangan Andina mencekal tangannya. "Kenapa?""Kita nggak sarapan dulu?" Tanya Andina yang hafal betul kalau sebentar lagi adalah jam sarapan. "Nanti sarapan di rumah kita."Kening Andina refleks berkerut. Ia menatap Bram dengan tatapan tidak percaya. Sarapan di rumah mereka? Apakah .... "Yuk, udah ditunggu." Bram menarik dua koper, ia meninggalkan Andina yang masih mematung di tempatnya berdiri. Andina baru tersadar ketika Bram sudah keluar dari kamar mereka. Buru-buru Andina menyusul dan kemba
"Ma-Mas."Bukan salah Andina kalau dia sampai kehabisan kata-kata. Andina masih duduk di jok mobil, lengkap dengan seatbelt dan tas selempang di pangkuan. Namun matanya menatap lurus ke depan, melihat bagaimana bangunan megah itu berdiri kokoh di sana.Rumah dua lantai itu bergaya classic dengan arsitektur khas Eropa. Pagar dan gerbangnya senada dengan cat bangunan. Ada pos security yang dengan dua orang petugas yang berjaga dan membuka gerbang lebar-lebar. Ini benar rumah yang Bram belikan untuknya? "Kita nggak salah rumah kan, Bram?" Tanya Mar dengan nada tidak percaya. Rumah ini bahkan lebih mewah dari rumah keluarga Narendra! Bagaimana bisa seorang Bram me--."Tentu tidak! Selamat datang di rumah Bram, Ma. Ayo turun."Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Bram bergegas turun. Andina dan Mar nampak saling pandang dengan tatapan terkejut. Mereka akan terus saling lempar pandangan kalau saja pintu mobil itu tidak terbuka. Nampak Bram dan seorang security sudah berdiri guna membantu
"Loh, Om ngapain ke sini?"Ken sangat terkejut ketika mendapati Bram keluar dari ruangan Dharma dengan setelan jas yang begitu rapi. Kening Ken berkerut, jangan bilang kalau .... "Katanya nggak sudi jadi budak korporat, Om? Berubah pikiran nih?" Kejar Ken ketika sosok itu hanya tersenyum tanpa menjawab. "Emang enggak, siapa yang bilang aku ke sini buat jadi budak korporat?" Balas Bram sembari membalas tatapan menyelidik yang Ken tujukan padanya. "Lah? Terus?" Nampak wajah itu belum puas. Kalau bukan untuk melamar pekerjaan di sini, untuk apa omnya itu datang kemari dengan setelan jas rapi? "Ada lah, ntar kamu juga tau." Balas Bram lantas berlalu. Ditinggal begitu saja oleh Bram tanpa diberi jawaban, membuat Ken makin penasaran. Ia lantas melangkah ke depan pintu ruangan Dharma, baru saja ia hendak mengetuk pintu itu, Dharma ternyata sudah lebih dulu keluar dan membuatnya terkejut. "Astaga, Pakdhe!" Hampir Ken memekik, bagaimana tidak kalau tahu-tahu pintu terbuka dan sosok itu m
"Kamu ganteng bener loh kalau pakai jas begini!" Bram menoleh, ia menatap Andina yang berdiri sembari menatap ke arahnya. Bram tersenyum, merapikan dasinya lalu memakai jas sudah disiapkan Andina. "Lebih suka pakai kaos sama celana." Sahut Bram sembari memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Aku lebih suka kamu nggak pake baju."Bram membelalak, ia memutar tubuhnya hingga kini ia bisa melihat secara langsung Andina yang masih tegak berdiri menatap ke arahnya. Wajahnya nampak menahan tawa membuat Bram mendengus sembari melangkah menghampiri sang istri. "Eh apaan?" Andina bergegas menghindar, tawanya pecah sementara Bram, ia masih terus mengejar sang istri sampai akhirnya bisa menarik tubuh itu dalam pelukannya. "Lepasin ih!" Protes Andina sembari berusaha melepaskan diri. "Nggak! Nggak ada lepas! Tadi bilang apa?" Tanya Bram yang malah mempererat pelukannya. "Canda doang! Udah sana berangkat!" Usir Andina yang masih belum bisa melepaskan diri. Bram mendengus, ia mendekatkan
"Mas yakin dia nggak ngamuk nanti?" Andina melirik Bram, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sementara Dharma, tentu ia harus kembali ke kantor. "Kenapa ngamuk? Aku salah apa?" Tanya Bram santai. Andina mendengus, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil dengan mata terpejam. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, tentu Andina paham bagaimana karakter orang satu itu, komplit berserta istri dan anak bungsunya. Kalau dua anaknya yang lain, Andina tidak tahu karena mereka hidup di luar negeri dan dengar-dengar sudah berpindah kewarganegaraan. "Coba aja suruh ngamuk, udah berapa banyak dia bikin rugi aku." Desis Bram ketika istrinya terdiam. "Bukan soal duitnya aja, Mas. Tapi kan sama aja dia dibohongi sama kalian selama ini." Jelas Andina yang tengah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Bodo amat. Punya hak apa dia ingin tahu hal-hal pribadiku?"Andina mengalah, ia tidak lagi membantah. Masing-masing mereka fokus pada kegiatan masing-masing. Br
"Kita mau ketemu siapa?"Mereka sudah berada di dalam mobil, hendak pergi entah ke Selendra dulu atau Lajendra, Andina tidak tahu. Sejak tadi Bram bungkam, dilihat dari sorot wajahnya, ia tengah berpikir keras sekarang. "Banyak orang, Sayang. Nanti kamu juga akan tahu." Jawab Bram sekenanya. Andina menghela napas panjang, kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak banyak bertanya dan menunggu nanti siapa orang yang subuh tadi membuat janji dengan Bram. Apakah benar Dharmawan seperti dugaan Andina? Kalau benar dia, itu artinya selama ini Bram punya andil di perusahaan keluarga yang katanya sudah berpindah kepemilikan. 'Melunasi semua hutang Gunawan dan mengambil alih perusahaan? Rasanya tidak mungkin! Tapi apa yang tidak mungkin kalau--.'"An? Mikir apa?"Sontak Andina terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram tengah menatap ke arahnya dengan sorot penasaran. Seketika Andina tergagap, jujur rasanya ia ingin mengungkapkan semua rasa penasaran, namun Andina tidak mau dicap lancang, m
Pancingan Andina berhasil. Mar menceritakan semua dengan detail persis seperti obrolannya dengan Bram yang Andina curi dengar kemarin. Mar tidak berusaha menutupi apapun yang itu artinya, pertanyaan Andina perihal siapa yang ditelpon Bram belum mendapatkan jawaban. Andina menatap jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, agaknya memang ia harus bersabar untuk tahu apa-apa saja yang Bram masih rahasiakan darinya. Ia hendak membalikkan badan ketika tangan itu merengkuh tubuh Andina dari belakang. "Astaga! Mas!" Andina memekik terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram terkekeh tanpa melepaskan dekapan. "Kata mama tadi nyariin aku?" Tanya Bram malah mempererat pelukan itu. "Iyalah, orang bangun tau-tau nggak ada. Gimana nggak nyariin?" Jawab Andina dengan wajah masam. "Ada urusan tadi, jadi ya harus keluar sebentar." Jawab Bram santai, kini pelukan itu dia lepas. Kening Andina berkerut, ia membalikkan badan dan memperhatikan Bram dengan saksama. Tidak ada yang mencurigakan dari
Andina menggeliat, ia meraba sebelahnya. Kosong! Spontan mata Andina terbuka. Ia menarik selimut untuk menutupi dada dan tertegun sejenak sembari mengembalikan nyawanya yang masih sebagian belum kembali. Pukul dua dini hari. Andina perlahan bangkit. Ia mendapati pakaiannya ada di atas nakas, padahal beberapa jam yang lalu saat ia dan Bram akhirnya kembali masuk ke kamar, pakaian itu tercecer di segala sudut. "Mas?"Sembari perlahan-lahan turun, Andina mencoba memancing, memanggil suaminya berharap dia tengah berada di kamar mandi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Akhirnya Andina meraih baju-bajunya, memakai pakaian itu satu persatu lalu melangkah masuk ke walk in closet mereka. Benar, pintu kamar mandi terbuka dan kosong. Bram tidak ada di sana. Lalu kemana suaminya itu pergi pagi buta begini? Ia sudah membuka semua identitasnya, apakah Bram masih harus diam-diam pergi seperti dulu? Karena penasaran, Andina melangkah keluar kamar. Matanya menyipit ketika melihat cahaya dari ruang kerj
"Papa nggak nginep sini aja?" Andina mengantar tamu besar hari ini ke depan rumah. Bukan hanya dia, Bram dan Mar pun ikut mengantarkan. Sudah pukul sepuluh malam dan ini sudah masuk waktunya istirahat. "Nggak usahlah. Orang cuma deket kan rumahnya. Kapan-kapan aja papa sama mama mampir ke sini." Hendra menoleh, mengulaskan senyum di wajah sembari menatap Andina dengan saksama. Papa dan mama? Andina tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Memang wanita itu mau kembali berkunjung kemari? Andina meliriknya sekilas, bisa ia lihat wajah perempuan itu sangat tidak senang, meskipun berusaha menutupi dengan senyum, Andina yang sudah cukup lama hidup satu rumah dengan perempuan itu, tentu paham dan hafal betul tiap mimik dan topeng yang dia pakai."Intinya, rumah Bram sama Andina itu rumah Papa juga, jangan sungkan dan sering-sering main kemari ya, Pa." Bram ikut menambahi, sama seperti sang istri, hanya papa yang disebut olehnya, sedangkan Sandra? Agaknya tidak perlu dijelaskan lagi kenapa
"Ibu juga nggak nyangka ini, Hen. Ketipu sama Bram selama ini. Dikasih duit dibalikin, nggak pernah di rumah, ditawari kerjaan nggak mau, udah pikiran ibu kemana-mana." Curhat Mar di sela-sela makan malam, sementara Bram hanya menyimak sambil menahan tawa. "Hendra paham, Bu. Ya mungkin Bram lebih suka bekerja dalam diam. Ada kan beberapa orang yang begitu." Meskipun Mar adalah besannya, Hendra masih memanggilnya dengan panggilan ibu. Sudah sejak ia kecil dibiasakan memanggil Mar dengan sebutan ibu. Ketika sudah punya anak, sesekali di depan anak-anak, Hendra memanggil Mar dengan sebutan eyang. "Ya tapikan sebagai orang tua pikiran tetap kemana-mana kan, Hen? Mana kawin dua kali gagal. Makanya kemarin begitu Andina nggak jadi nikah sama Ken, ibu kawinin aja dia sama Andina." Hampir Andina tersedak, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia dan Bram nampak saling lirik dan lempar pandangan beberapa saat. Kenapa malah membahas hal ini? "Hendra seneng banget, Bu, liat Andina se
"Pas?"Andina tersenyum ketika heels soft pink itu terpasang di kaki. Sangat pas dan cantik di kakinya. Ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajah. Jadi anak buah Clara selama beberapa bulan memberi banyak sekali keuntungan untuk Andina. Dia jadi melek fashion untuk dirinya sendiri, pintar merawat tubuh dan juga bermake-up! Ditunjang dengan segala fasilitas yang Bram sodorkan, Andina yang sekarang sangat berbeda dengan Andina yang dulu. Andina bediri, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang ada di walk in closet. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Andina benar-benar sempurna. Crop blazer dan skirt knit membungkus tubuhnya dengan pas. Belum lagi rambutnya yang dia curly sedikit dan dia beri jepit mutiara, sungguh ini benar-benar sangat cantik! Andina bahkan sampai tidak bisa mengenali dirinya lagi. "An, su--."Andina segera menoleh, ia mendapat Bram tertegun menatapnya tanpa kedip. Andina tersenyum, ia melangkah menghampiri sang suami. "Kurang apa?" Tanyanya yang s