“Kontrasepsi.” Marc menjawab santai.Sarah tertegun sejenak sebelum akhirnya menelan obat tersebut. Hatinya pedih namun ia tahan sekuat tenaga untuk tidak terlihat kesal.Mereka tidur saling memunggungi seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Apa yang Sarah harapkan dari lelaki yang memang berniat menceraikannya?Esok paginya, Sarah bangun lebih dulu. Ia membilas tubuh, berpakaian rapi dan memoles wajahnya dengan make up.“Mau ke mana?” Marc yang masuk ke kamar mandi heran melihat istrinya berdandan.“Kerja.” Singkat dan jelas, Sarah menjawab.Namun, Marc kembali menatapnya dengan satu alis terangkat tinggi.“Bukannya kamu bekerja remote? Untuk apa dandan?”Apa pedulinya? Sarah menggumam dalam hati. Ia menghela napas sebelum membalas.“Terkadang Bosku melakukan panggilan videocall.”Tidak ada komentar lagi dari Marc. Ia membuka piyamanya di depan Sarah dan berjalan ke pancuran air.Sarah segera keluar dari kamar mandi. Bagaimanapun, ia wanita normal yang juga menyukai visual lelaki
Sarah melempar ponselnya. Sebuah nomer telepon tak dikenal telah mengirimi foto-foto kemesraan Marc dan Marsha. Pantas saja Marc bilang ia akan terlambat pulang, pasti karena setelah jam kantor usai, lelaki itu pergi dengan kakak tirinya.“Biarkan saja, Sarah.” Sarah menggumam dalam hati.Namun kemudian kepalanya menggeleng. Tidak. Ia tidak merasa cemburu.Hanya saja, ia merasa Marc benar-benar lelaki yang kurang ajar. Semalam mereka bercinta, esoknya ia pergi dengan wanita lain. Dirinya dianggap apa?Sesaat kemudian ia merasa kasihan pada Frank. Apa jadinya jika benar Marc menikahi Marsha. Karena ia yakin Marsha hanya mengincar harta keluarga Carrington saja. Pusing memikirkan prilaku Marc, Sarah menelepon Ibu Irma. Sambil tiduran menghadap langit-langit, Sarah menunggu teleponnya dibalas. “Sarah? Nak?” Ibu Irma menjawab dengan suara tergesa.“Ibu kenapa? Kok suaranya seperti terengah-engah?” Sarah menjawab dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa, Nak. Hanya saja Ibu takut kamu kenapa
“Kupikir kamu nggak akan pulang tadi malam.” Sarah sedang melayani Marc sarapan.Ketika bangun, Sarah terkejut melihat Marc ternyata tidur di sampingnya. Wanita itu tidak membangunkan suaminya karena tau pasti Marc pulang dini hari.“Aku sempat ketiduran sebentar di rumah Papa.” Marc menjawab.“Oh, kenapa ke rumah Papa?”“Mengantar Marsha yang menginap di sana.”Sarah tidak berkomentar lagi. Mereka makan dalam diam. Sarah mengamati Marc yanng tampak masih mengantuk.Bahkan Marc meminta segelas kopi pahit lagi pada pelayan. Pasti karena cangkir kopi pertama belum bisa membuatnya segar.“Mungkin sebaiknya kamu tidur lagi sejam atau dua jam. Kamu terlihat sangat mengantuk dan belum siap bekerja pagi ini.” Sarah menyarankan suaminya.Tanpa berkata apa-apa, Marc meninggalkan Sarah. Wanita itu menoleh dan mengamati suaminya yang berjalan kembali ke kamar mereka.Agaknya Marc menuruti saran Sarah untuk beristirahat kembali. Marc sampai lupa membawa ponselnya. Alat komunikasi canggih itu berd
Sarah hanya menggeleng mendengar gerutuan Mama mertuanya. Apa hubungannya sakit Frank dengan kedatangannya?“Wah, wah ... sok sibuk sekali yang kerjanya tidak jelas.”Jari-jari Sarah yang sedang mengetik jadi terhenti mendengar suara di belakangnya. Marsha kemudian duduk di sampingnya dan melihat ke layar laptop. Sarah segera menutup laptop.“Apa kamu sendiri tidak bekerja?” Sarah memicingkan mata pada Marsha. Lalu terang-terangan mengamati cara berpakaian Marsha yang menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas.“Bosku ‘kan ada di sini. Aku ikut ke mana pun Bos-ku pergi.” Marsha menyeringai menyebalkan.“Bukannya seharusnya kamu malah menyelesaikan pekerjaan Bosmu saat Bosmu tidak ada di kantor? Akh, ya, aku lupa. Kamu sebenarnya memang tidak bisa bekerja menjadi sekretaris.” Sarah menyahut dengan nada menyindir.Wajah Marsha merah hingga ke telinga. Ia mendengus kasar lalu menghentakkan kaki meninggalkan Sarah.Baru lima belas menit kembali bekerja, Sarah mendengar langkah-langkah kaki m
Sarah tertegun. Sial. Wanita itu mengutuk dirinya dalam hati. Ia kelepasan bicara dan kini baik Frank maupun Adrian menatapnya meminta penjelasan.“Mmm sebenarnya, waktu aku ke luar kota ... aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit perut.” Sarah akhirnya harus berbohong.Pelan-pelan, Sarah mengembuskan napas lega saat Frank terlihat percaya. Ia lalu berusaha mengalihkan perbincangan.“Papa, kalau aku mau menjual emas batangan, bagaimana?”“Untuk apa, Nak? Kamu butuh uang banyak?”“Rencananya Sarah mau melanjutkan kuliah dan membuka bisnis, Pa.”Mata Frank berbinar mendengar rencana menantunya. “Kamu mau melanjutkan sekolah S2?”Sarah mengangguk. “Sebenarnya Sarah sudah pernah mendaftar, tetapi saat itu Ayah sakit, jadi Sarah tunda dulu.”Frank mengangguk mengerti. Ia meminta Adrian mengurus pembelian emas batangan yang dimiliki Sarah saat ini. Asisten cekatan itu langsung mengangguk mengerti.“Memangnya kamu mau melanjutkan kuliah di mana, Nak?”“Rencananya setelah bercerai, Sar
Selembar tisu terjulur ke arah Sarah. Setelah mengusir Sarah dari kamar utama, wanita itu langsung berpamitan pada Frank yang hanya bisa tersenyum prihatin.Sarah mengambil tisu dari tangan Adrian. Asisten pribadi Frank itu mendapat kode dari Bos-nya untuk menemani Sarah. Dan kini mereka sedang berada di mobil.Kadang, Sarah bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana reaksi Lucy jika tau ternyata ia yanng mendonorkan ginjal untuk suaminya?Lalu, Sarah menggeleng. Ia mendonasikan ginjal untuk Frank bukan untuk mencari simpati. Murni karena ia menyayangi Frank sebagai sahabat Ayahnya yang memang selalu baik pada keluarganya.“Om turut prihatin pada semua yang diucapkan Nyonya Lucy padamu.” Adrian kembali menjulurkan tisu pada Sarah.Sarah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sambil menghela napas panjang, ia berkata. “Apa Om percaya bahwa aku adalah wanita pembawa sial?”“Tidak.”“Kenapa tidak?” Sarah terisak pelan lalu melanjutkan. “Setelah melahirkan aku, Ibu jadi sakit-sakitan hi
Tak disangka ternyata Marc pulang tepat waktu. Saat itu, Sarah malah masih bekerja di ruang kerja.“Belum selesai?” Marc masuk ke ruang kerja tanpa mengetuk pintu.“Maaf. Lima belas menit lagi selesai.” Sarah berkata dengan mata tetap pada layar laptop.Marc berjalan ke pojok ruangan. Ia mengangkat sebuah lukisan di dinding. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah brankas besar.Sarah tidak memperhatikan lagi karena bosnya melakukan panggilan videocall. Suara laki-laki dari laptop membuat Marc menoleh.“Kerjamu bagus, Sarah. Mungkin minggu depan kita harus bertemu untuk project selanjutnya. Bagaimana?” Laki-laki itu berkata sesuatu yang membuat Marc mengerutkan dahi.“Selama pertemuan dilakukan di kota ini, saya bersedia, Tuan. Maaf, saya belum bisa pergi jauh.” Sarah menyahut santun.Lima menit, Marc mendengar pembicaraan tersebut. Semuanya memang tentang pekerjaan yang dilakukan Sarah. Namun begitu, Marc merasa hatinya kesal.Saat Sarah selesai, Marc dengan kasar meletakkan sebuah
“Arrggghhhh!”“Praanggg!”“Marsha! Apa-apaan kamu ini!”Tinna melotot pada putrinya yang sedang mengamuk. Isi apartemen mereka berantakan.Sambil menjatuhkan bokongnya di sofa, Marsha memberengut. Ia mengamati Ibunya yang membereskan benda-benda di lantai.“Setelah laptop mahal, sekarang Marc membelikan wanita pembawa sial itu mobil mewah. Bagaimana aku tidak kesal?!”Memdengar pernyataan putrinya, Tinna menghentikan aktifitasnya beres-beres. Ia menoleh dan menatap Marsha.“Sarah dibelikan mobil mewah oleh Marc?” ulangnya dengan nada tak percaya.Marsha tidak menjawab. Ia kembali melempar benda-benda yang berada di dekatnya.“Sudah! Hentikan!” Kemarahanmu tidak akan menyelesaikan masalah.” Tinna berucap nada tinggi.“Huhuhu.” Marsha menangis kesal. “Percuma rasanya pengorbananku.”“Tidak. Semua tidak sia-sia. Kita sekarang lebih dekat dengan keluarga kaya raya itu. Bahkan Lucy sangat mempercayai kita.” Tinna menyangkal pernyataan Marsha.“Tapi, tidak dengan Marc. Ia tetap datar padaku