“Jadi, malam ini kamu tidak pulang lagi?” Sarah berusaha menahan sesak di dada dan melirik Marc.
Lelaki tampan yang berstatus suaminya itu sedang mengepak pakaian ke dalam koper. Pagi tadi, ia baru saja pulang dan membawa satu tas penuh baju kotor.
“Kamu tau, aku harus menjaga Papa.”
“Bukankah sudah ada tim dokter dan beberapa perawat yang menjaga Papa?” Sarah menyahut dengan nada keberatan.
Bagaimana tidak? Mereka baru menikah satu bulan yang lalu. Satu minggu kemudian, Papa mertuanya sakit dan sejak itu kesehatannya terus menurun. Marc yang merupakan anak tunggal kemudian sering meninggalkan Sarah sendirian untuk menjaga Papanya.
“Kenapa kamu seperti tidak suka aku menjaga Papaku?” Marc membalas dengan tatapan dinginnya pada Sarah.
Sarah tersentak sedikit melihat sikap Zack. “Bukan begitu. Kita baru saja menikah, tetapi sangat jarang bersama.”
“Kita menikah karena dijodohkan, apa yang mau kamu harapkan?” Zack telah selesai berkemas. Ia menatap Sarah tanpa senyum.
Akhirnya, Sarah tidak menyahut lagi. Rasanya percuma ia meminta perhatian dari suaminya sendiri. Ia mengikuti Marc keluar kamar.
Paling tidak, Marc bersedia sarapan bersamanya. Sarah melayani suaminya makan dan tidak lagi bertanya-tanya tentang kepergian Marc.
Belum selesai makan, ponsel Marc berdering pelan. Sarah melirik layar ponsel dan melihat nama Mama mertuanya di sana. Tentu saja Marc langsung menjawab panggilan telepon tersebut.
Tidak banyak yang Marc ucapkan. Sarah melihat suaminya hanya berkali-kali berkata, ‘iya’ dan mengangguk pelan. Ia menduga pasti Mama mertuanya sedang mengabarkan kondisi Papa.
“Ada apa?” Sarah bertanya saat Marc telah selesai bicara pada alat komunikasinya.
“Kondisi Papa memburuk karena menolak cuci darah.” Marc membalas sambil memijat keningnya.
Sarah tampak prihatin. “Papa juga bilang begitu saat terakhir kali cuci darah. Merasa tubuhnya malah semakin sakit setelah proses itu dilakukan.”
Setelah itu, Marc tidak melanjutkan sarapan. Sarah mengelap ujung bibirnya saat melihat Marc berdiri dan hendak pergi.
“Bagaimana kalau aku ikut saja?” Sarah menawarkan diri. “Siapa tau aku bisa membujuk Papa.”
‘Ya, sudah. Cepatlah.” Marc mengangguk setuju.
Segera, Sarah pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Tidak butuh waktu lama, Sarah telah siap. Pakaiannya sederhana dan wajahnya tanpa make-up.
Dalam perjalanan, Sarah dan Marc saling berdiam diri. Marc lebih sering menatap ponselnya. Sementara Sarah memiliki mengamati jalanan.
Di rumah sakit, Sarah bertemu dengan Lucy, Mama mertuanya. Wajah wanita setengah baya itu terlihat ketus saat melihat ia datang.
Lucy adalah salah satu orang yang menolak perjodohan Sarah dan Marc. Ia bahkan membenci Sarah yang dianggap tidak akan membawa keberuntungan bagi keluarga.
“Kenapa kau bawa-bawa wanita pembawa sial ini?” Lucy menggeram kesal dengan mata menatap tajam pada Sarah.
“Sarah izin menjenguk Papa, Ma.” Sarah menunduk santun pada Mama mertuanya.
“Jangan!” Lucy menolak keras keinginan Sarah. “Nanti kondisi Papa malah semakin memburuk karena kedatanganmu.”
Dengan nada kesal, Lucy membentak Sarah. Berkata bahwa sejak dirinya masuk menjadi bagian keluarga, musibah selalu saja datang. Lalu, menghinanya dengan tatapan remeh dengan mengejek, ia tidak pantas menjadi istri Marc.
“Sejak awal aku tidak pernah setuju kau menikahi putraku. Bercerminlah, Sarah. Bahkan pegawai Marc di kantor saja lebih cantik dibanding kau!” Lucy melirik penampilan Sarah dari ujung rambut hingga kaki, lalu menarik tangan Marc untuk masuk ke ruang perawatan Frank.
Akhirnya, Sarah hanya duduk di depan kamar. Lucy memang tidak pernah menyukainya. Sarah tidak mengerti mengapa.
Sesungguhnya ia juga bisa mengerti apa yang dirasakan Marc saat ini. Orang tua kandung Sarah juga pernah dirawat hingga meninggal dunia di rumah sakit ini. Ibunya telah lebih dulu pergi saat ia berumur tujuh tahun.
Permintaan terakhir ayah Sarah adalah melihat putri kandungnya menikah. Didesak oleh rasa kasihan dan pertemanan, Frank membujuk Sarah dan Marc untuk mengabulkan keinginan teman dekatnya itu. Beberapa jam setelah Sarah dan Marc menikah, ayah Sarah meninggal dengan senyum di wajah.
Tidak ada waktu berduka bagi Sarah. Setelah ayahnya dimakamkan, ia langsung diboyong ke rumah pribadi Marc dan menjalankan perannya sebagai seorang istri.
Sebenarnya, ayah Sarah telah menikah kembali dengan teman Lucy. Ibu tirinya membawa anak perempuan mereka yang memiliki selisih umur hanya dua tahun dengan Sarah. Namun, mereka tidak pernah akrab. Bahkan seringkali tidak adil dan menghina Sarah.
“Mama pulang dulu. Tolong urus prosedur donor ginjal untuk papamu, ya.“
Sarah mendongak. Karena melamun, ia tak sadar Marc dan Lucy telah keluar dari kamar perawatan. Lucy pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya.
“Papa butuh donor ginjal?” Sarah bertanya pada Marc.
Marc hanya mengangguk singkat. Lelaki itu kini sibuk dengan laptop. Sarah melihat pengumuman untuk mencari donor ginjal dan semua persyaratannya. Uang sebesar lima milyar tertera sebagai kompensasi sebagai pendonor.
“Berapa lama Papa bisa bertahan sampai kita menemukan pendonor yang tepat?” Sarah menoleh menatap suaminya.
“Dokter hanya memberi waktu dua hari karena Papa tetap menolak cuci darah sambil menunggu.”
“Ya, Tuhan. Cepat sekali. Semoga kita segera menemukan pendonor.”
Sekali lagi, Sarah melirik persyaratan di layar laptop. Kesehatan fisik dan mentalnya baik. Ia juga tidak memiliki riwayat penyakit serius. Bahkan golongan darahnya sama dengan golongan darah Frank.
Melihat segala persyaratan itu cocok dengan dirinya. Dalam hati, Sarah berniat mendaftarkan diri demi rasa sayangnya pada sahabat ayahnya.
“Aku mau ke kamar mandi dulu, ya.” Sarah bergegas pergi meninggalkan Marc.
Wanita sederhana itu mencari seseorang yang ia percaya di rumah sakit tersebut. Dulu, saat menemani ayahnya sakit, Sarah memang mengenal cukup baik beberapa petugas kesehatan. Sarah berbisik-bisik dengan seorang suster kenalannya.
“Tolong rahasiakan data-dataku sebagai pendonor ginjal untuk Tuan Frank Carrington.”
Marc masih terlihat sibuk mondar-mandir ke rumah sakit.Belum ada satu pun pendonor yang cocok untuk Daddy-nya, meski sudah banyak yangmengajukan diri.Sarah mendapat giliran pemeriksaan di akhir pekan. Ia harusberpikir keras bagaimana caranya pergi agar tidak diketahui Marc. Sarah tau, Lucytidak akan mau menerima ginjalnya. Jadi, lebih baik ia terus merahasiakan ini.“Apa ada kabar dari rumah sakit?” Sarah bertanya saatmenelepon Marc.“Belum ada yang cocok.” Marc menjawab dengan hembusan napasberat.Satu hari telah berlalu. Dengan kompensasi besar sebagaipendonor, sebenarnya membuat banyak orang tertarik. Sayangnya, belasan orangyang dites, tidak satu pun cocok untuk menjadi pendonor.“Ya, sudah. Semoga malam ini ada kabar baik. Kamu jagakesehatan, ya.”“Hem.”Sarah menutup saluran telepon. Marc semakin dingindengannya. Jika tidak ditelepon, suaminya itu tidak akan memberi kabar. Padahal sebelumnya,Marc cukup hangat karena lelaki itu cukup dekat dengan mendiang ayah Sarahs
Beberapa jam setelah operasi, Sarah terbangun di sebuah ruang sederhana. Ia menatap sekeliling dengan kebingungan. Napasnya tertahan saat merasakan sakit di sisi kiri tulang rusuk bagian belakang.Sesaat ia teringat, ia baru saja mendonorkan ginjalnya pada Papa mertua. Tetapi di mana ia saat ini?“Oh, kamu sudah bangun?” Tinna berdiri di sisi ranjang sambil berkacak pinggang dengan angkuh.“Berapa lama aku tertidur? Apa operasinya berhasil?” cecar Sarah.“Kamu tidak perlu tau kabar Frank. Yang jelas, sebentar lagi kamu akan dipindahkan ke rumah sakit lain.”“Kenapa tidak di sini? Aku tidak mengerti.”“Bukankah kau sendiri yang ingin identitasmu sebagai pendonor dirahasiakan?” Kemudian Tinna berkata ia akan mengurus semuanya. Sarah diminta menjauhi keluarga Carrington. Karena tidak ada tenaga untuk melawan, Sarah hanya bisa diam lalukembali tertidur.Esok harinya, Sarah terbangun di sebuah bangsal rumah sakit. Luka sayatan di perutnya masih terasa nyeri namun sudah jauh berkurang. Net
“Apa di rumah sakit ada pekerjaan yang bisa aku lakukan,Bu?” Sarah bertanya pada Ibu Irma saat mereka makan malam bersama.Ibu Irma mengangkat kedua alisnya, lalu menggeleng pelan.“Kondisimu belum siap untuk bekerja, Nak.”“Tetapi, Sarah membutuhkan pekerjaan, Bu.” Sarah kemudianbercerita bahwa tabungannya sudah habis dan kini hanya tersisa beberaparatus ribu saja di dompetnya.Namun, Ibu Irma tetap menggeleng. Menurutnya, butuh waktusatu bulan untuk Sarah memulihkan diri. Masalah uang, Ibu Irma berkata ia tidakkeberatan Sarah tinggal bersamanya sampai Sarah sembuh total.Apa yang dikatakan Ibu Irma memang benar. Sarah akhirnyahanya mengangguk dan melanjutkan makan.Setelah membantu Ibu Irma membereskan peralatan makan, Sarahduduk di ruang tamu. Ia mengangkat blusnya dan mengamati hasil operasi.Luka sayatan itu masih terbungkus perekat khusus yang tidak boleh dibuka.“Apa terasa sakit?” Tiba-tiba, Ibu Irma duduk di sampingnyadan ikut memperhatikan luka Sarah.“Terkadang di b
Sarah menggeleng tak mengerti. Beberapa kali ia berusaha mencoba menghubungi Marc, namun teleponnya selalu dialihkan. Satu bulan telah berlalu dan ia benar-benar putus hubungan dengan suami dan keluarganya.Hal ini membuat Sarah bertekad bangkit dan kembali dengan pribadi yang lebih kokoh.Ia harus pulang ke kota dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa yang terjadi pasca operasi.“Lelaki itu pantas hidup lebih lama.” Ibu Irma berceloteh di samping Sarah sambil melirik ponsel Sarah.Layar kecil itu memang sedang menampilkan berita tentang Frank Carrington. Setelah dinyatakan sembuh, lelaki itu semakin melebarkan sayapnya ke berbagai yayasan sosial. Bersama Marc, putra satu-satunya, mereka kerap kali berdonasi besar-besaran untuk membantu orang-orang yang kekurangan.“Eh, siapa, Bu?” Sarah menoleh dan menatap Ibu Irma dengan raut bingung.“Itu.” Ibu Irma mengendikkan dagu pada layar ponsel Sarah. “Tuan Carrington sangat bermanfaat hidupnya untuk orang banyak, ia pantas mendap
“Kamu baik-baik saja?” Frank menatap Sarah yang terdiam dan tampak tegang.Sarah mengangkat sedikit kepala dan menatap Papa mertua-nya. “I – Iya, Pa. Maaf, Sarah hanya kaget saja bahwa ternyata Marsha yang mendonorkan ginjalnya untuk Papa.”“Kamu tidak tau? Apa saat itu kamu sudah pergi?”Kepala Sarah hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Frank. Sungguh ia masih shock. Lalu, tiba-tiba ia ingat sesuatu.“Pa, boleh Sarah tau berapa hutang Ayah?”Frank yang sedang minum air putih hampir tersedak. Ia berdehem sedikit lalu menatap Sarah dengan pandangan bingung.“Hutang apa, Nak?”“Bukannya Ayah berhutang pada Papa? Biaya rumah sakit, sekolah aku dan Marsha dan cicilan rumah. Papa tidak tau?”Kepala Frank menggeleng-geleng. “Dari mana kamu dapat informasi itu? Tidak. Thomas, ayahmu tidak berhutang pada siapa pun. Papa tau pasti tentang itu.”Apa Ayah berhutang pada bank? Atau jangan-jangan hutang Ayah dianggap lunas oleh Papa karena ia mau menikah dengan Marc? Sarah bertanya-tanya di dala
“Nyo-Nyonya Sarah?” Menjelang jam kantor usai, Sarah tiba di kantor suaminya. Ia sengaja memilih jam tersebut, karena ingin membuat efek kejut yang luar biasa.Upayanya juga tidak main-main. Sebelum ke sini ... Ia menyempatkan diri ke salon dan butik langganan. Wajahnya yang semula polos tanpa riasan, kini terlihat bersinar. Belum lagi rambutnya yang biasa dikuncir, kini digerai dengan bagian bawah yang dibuat bergelombang, indah. Lenggak-lenggok Sarah yang melangkah dalam balutan heels itu membuat mata-mata para karyawan tertuju padanya. Nyonya yang sebelumnya terlihat begitu apa adanya ... Kini terlihat begitu berbeda.Sengaja melangkah anggun dan pelan, Sarah membiarkan semua pegawai Marc melihat kedatangannya dan menatapnya kagum. Tentu saja mereka berbisik-bisik melihat penampilan baru istri presiden direktur mereka.“Bukankah itu Nyonya Sarah, istri Presdir kita?”“Dia sangat cantik sekarang.”“Tuan Marc pasti menyesal karena berniat menceraikan istrinya.”Dahi Sarah kini berkerut
Usai berkata demikian, Sarah langsung masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh supir pribadi Marc.“Antarkan Marsha lebih dulu,” pesan Marc pada sopirnya yang kemudian diangguki.Begitu mobil berjalan, Sarah tiba-tiba merasa lebih emosional. Meski saat ini Marsha duduk di depan, di samping supir ... Tapi tidak menutup kemungkinan mereka pernah atau bahkan sering duduk bersisian seperti ia dan Marc saat ini.Pikiran Sarah yang semrawut itu baru terdistraksi saat mobil berhenti di sebuah lingkungan apartemen mewah.Marsha menoleh ke belakang, “Terima kasih sudah mengantarku, Marc.” Gadis itu menatap Marc dengan senyumnya, lalu menatap Sarah dengan tatapan dingin. “Sampai jumpa lagi, Sarah.”Sarah tidak menjawab selain mengangguk heran. Ia mengamati sekeliling dan merasa asing. “Apa yang Marsha lakukan di gedung itu? Bukannya tadi ia mau pulang?”Dahi Marc berkerut mendapat pertanyaan Marsha. “Apa kalian benar-benar tidak saling menghubungi? Kamu tidak tau ibu dan kakakmu t
“Kamu setuju kita bercerai? Marc menatap heran pada Sarah.“Kenapa bingung? Bukannya kamu yang menyarankan begitu?” Sarah seolah menantang suaminya.“Apa syaratnya?” Marc duduk tegak dan siap mendengarkan.Sarah mengatakan bahwa ia memikirkan nama baik keluarga. Baginya, keluarga Carrington akan mendapat cibiran saat mereka bercerai padahal baru sebulan menikah. Belum lagi, Frank yang palling mendukung mereka akan sangat terkejut mendapat berita ini.“Kita harus bertahan dalam pernikahan ini setidaknya tiga bulan.”Marc berpikir sejenak. Lalu, lelaki itu mengangguk. “Demi nama baik keluarga dan pemulihan Papa, aku setuju.”“Kita harus menjadi suami-istri yang baik di depan semua orang terutama Papa dan Mama.”“Berarti kamu juga harus menjalankan peran sebagai istri, termasuk melayaniku di ranjang.”“Dan kamu sebagai suami yang perhatian dan melindungi istri.” Sarah tak mau kalah.Syarat-syarat itu akhirnya disepakati bersama. Bahkan mereka berjabatan tangan meresmikan perjanjian terse