Share

7. Istri Sahmu Telah Kembali

“Nyo-Nyonya Sarah?”

Menjelang jam kantor usai, Sarah tiba di kantor suaminya. Ia sengaja memilih jam tersebut, karena ingin membuat efek kejut yang luar biasa.

Upayanya juga tidak main-main. Sebelum ke sini ... Ia menyempatkan diri ke salon dan butik langganan. Wajahnya yang semula polos tanpa riasan, kini terlihat bersinar.

Belum lagi rambutnya yang biasa dikuncir, kini digerai dengan bagian bawah yang dibuat bergelombang, indah.

Lenggak-lenggok Sarah yang melangkah dalam balutan heels itu membuat mata-mata para karyawan tertuju padanya. Nyonya yang sebelumnya terlihat begitu apa adanya ... Kini terlihat begitu berbeda.

Sengaja melangkah anggun dan pelan, Sarah membiarkan semua pegawai Marc melihat kedatangannya dan menatapnya kagum. Tentu saja mereka berbisik-bisik melihat penampilan baru istri presiden direktur mereka. “Bukankah itu Nyonya Sarah, istri Presdir kita?” “Dia sangat cantik sekarang.” “Tuan Marc pasti menyesal karena berniat menceraikan istrinya.” Dahi Sarah kini berkerut dalam. Bercerai? Sial! Ada apa lagi ini? Sarah mengumpat dalam hati. Namun, ia tidak ingin gegabah begitu saja. Sedari awal, sebelum memutuskan untuk kembali ke kota dan mencari tahu fakta dibalik putusnya komunikasi ia dan sang suami, Sarah memang telah menyiapkan semua.

'Kita lihat saja, siapa yang akan berhasil nantinya?' ujar Sarah, sebelum kemudian memasuki ruang kerja suaminya. "Selamat sore," sapa Sarah usai membuka lebar pintu ruangan sang suami. Ia kemudian menatap Marsha yang duduk dan menyilangkan kaki di atas meja kerja Marc. "Ups, maaf ... Aku tidak tau kalau sedang ada tamu." Marsha segera turun dari meja dan mengamati Sarah dari ujung rambut hingga kaki.

Sarah sama sekali tidak menyapa kakak tirinya. Hanya melewatinya seolah wanita itu tidak ada. “Akhirnya kamu tau jalan pulang.” Marc berkata pada Sarah setelah sebelumnya memperhatikan perubahan istrinya. Sarah menghampiri Marc dengan senyum menawannya, lalu memberikan kecupan mesra di pipi sang suami. “Tau, kok. Lagipula, bukankah aku sudah izin padamu?” Marc mengerutkan kening. “Menghubungiku? Rasanya aku tidak mendapat kabar apa pun darimu.” “Masa? Lima belas email, tiga puluh pesan yang kukirim tidak ada satu pun yang kamu baca?” Sarah berpura-pura kaget. “Tetapi, aku juga heran setiap meneleponmu, selalu dialihkan dan tidak pernah berbalas.” Lelaki di depan Sarah melirik Marsha. Sarah akhirnya membalik tubuh dan kini berdiri berhadapan dengan kakak tirinya. “Sarah ... syukurlah kamu baik-baik saja.” Marsha segera menyapa dengan nada yang dibuat semanis mungkin. “Hai, Marsha. Kamu tampak lebih cantik. Apa kamu merubah wajahmu?” Sarah memicingkan mata mengamati wajah sang kakak tiri. Cepat, Marsha menyanggah. “Tidak. Ini hanya make-up.” Sarah lalu melipat kedua tangannya di perut. Tatapannya beralih dari Marc lalu Marsha. Tersenyum setengah bibir pada keduanya. “Apa yang kamu lakukan di sini, Marsha?” “Marsha adalah sekretarisku sekarang.” Marc yang menjawab pertanyaannya. Ekspresi Sarah dibuat terkejut mendengar pernyataan Marc. Jarinya menunjuk Marsha dengan wajah pura-pura takjub. “Marsha? Sekretarismu? Wah, aku baru tau kalau mahasiswi jurusan pariwisata yang belum lulus bisa menjadi sekretaris seorang presiden direktur di perusahaan besar.” Wajah Marsha seketika memerah. Wanita cantik yang senang berpakaian ketat dan bermake-up lengkap itu terlihat salah tingkah namun kemudian segera menguasai diri dengan senyum palsu. “Aku memang masih belajar. Marc banyak membantuku," ujarnya dengan nada merendah. Sarah tersenyum penuh arti. “Selamat atas pekerjaan barumu kalau begitu. Sekarang, bisakah kamu jelaskan kenapa email dan pesan-pesanku untuk Marc tidak kamu sampaikan?" Dengan mati-matian berusaha tenang, Marsha pun menjawab, "Maaf untuk itu. Aku pikir, akan lebih bijak jika memberimu waktu untuk lebih tenang." Tatapan gadis itu dibuat-buat seperti orang bersalah. "Kamu tau, aku sangat paham kalau kamu butuh waktu untuk menghibur dirimu dari kehilangan."

Meski muak pada jawaban Marsha, Sarah akhirnya tidak bereaksi.

Hampir satu setengah jam, Sarah berada di ruangan Marc. Ia menyaksikan sang suami bekerja, juga melihat bagaimana pekerjaan sang kakak tiri--yang terlihat lebih berusaha untuk menarik perhatian suaminya.

Pakaian Marsha sungguh ketat dan terbuka. Gestur wanita itu bila di dekat Marc pun membuat Sarah gerah.

Beruntung, ketika kesabarannya hampir meledak, Marsha keluar ruangan sang presdir.

Tidak lama setelahnya Marc bangkit, bersiap untuk pulang. "Kita antar Marsha pulang dulu.”

Kerutan muncul di dahi Sarah. “Tuan Presdir baik sekali sampai mau mengantar sekretaris pribadinya,” sindirnya. “Jangan iri pada Marsha." Marc menyahut, datar. Akan tetapi itu tetap membuat sebuah goresan di hati Sarah. "Kamu tau kan, Marsha adalah pendonor ginjal untuk Papa. Aku melakukannya semua ini karena kebaikannya.”

“Orang yang tulus menolong tidak akan menuntut apa pun sebagai balas budi.” Sarah berkata pelan namun tegas.

Saat keduanya keluar dari ruang kerja Marc, Marsha sudah menunggu. Dengan tak tau diri, ia berjalan di samping kiri sementara Sarah di samping kanan Marc. Tentu saja penampakan pemilik perusahaan dengan dua wanita cantik di sampingnya membuat semua orang melirik dengan rasa penasaran.

Sarah menghela napas panjang, terlebih saat beberapa pegawai wanita bersikap ramah pada Marsha. “Aku dengar gosip di kantor ini bahwa akan ada yang menggantikan posisiku sebagai istrimu.” Sarah menatap Marc lalu melirik Marsha dengan senyum tipis. “Aku minta maaf, tapi siapa pun dia ... kurasa kalian harus bersedih, sebab aku, istri sahmu telah kembali!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status