Acara makan malam yang semula canggung menjadi lebih tegang. Frank kembali membentak pelan istrinya. Meminta Lucy untuk bersikap sopan sebagai nyonya rumah.Sementara Lucy tampak tidak mengindahkan ucapan suaminya. Ia terus saja mendesak putranya untuk segera menikahi Marsha.“Tidak!” Marc menggeleng dan berkata tegas. “Aku justru mempertahankan pernikahan ini demi nama baik keluarga kita.”Semua terdiam mendengar pernyataan Marc. Frank menatap putra dan menantunya bergantian seolah ingin meminta penjelasan.“Kami baru menikah satu bulan. Media berita pasti akan berkicau negatif tentang keluarga Carrington secara keluarga kita selalu dianggap keluarga ideal.” Marc mengungkapkan alasanya pada semua orang di ruangan.Frank mengangguk keras tanda setuju. “Betul.” Lalu menoleh pada Lucy. “Kamu harusnya juga mempertimbangkan nama baik kita.”Namun Lucy mendengus kasar dan membalas ucapan Frank. “Perduli apa kata orang. Bukankah kamu dan Marc biasanya tidak mau tau apa pendapat orang?”“Ka
Setelah mengeluh nyeri. Tinna membuka atasan Marsha. Marc ikut membungkuk dan menenangkan Marsha membuat Sarah penasaran dan mendekati Marsha.Dan sekarang, ia melihat sayatan panjang di samping perut Marsha. Sayatan itu bahkan masih merah dan basah. Sarah menggeleng tak mengerti.“A – Apa itu?” Sarah terbata bertanya.“Jangan berlagak bodoh!” hardik Lucy pada Sarah. “Kamu lihat sendiri, itu adalah bekas luka sayatan pendonor ginjal.”“Hah?” Sarah luar biasa terkejut. Ia mundur beberapa langkah saat semua orang kini memberi perhatian pada Marsha.Tinna berjongkok di depan Marsha dan membersihkan luka berair itu. Lucy mengelus-elus sayang kepala Marsha. Frank berdiri sambil menenangkan Marsha.Yang paling membuat Sarah tak bisa berkata-kata lagi adalah suaminya yang datar itu membantu mengoleskan salep pada luka dan membalutnya. Seketika Sarah terhuyung, namun tak ada yang melihatnya.Sarah berpegangan pada kursi. Bertanya-tanya bagaimana Marsha mendapat luka sayatan tersebut. Dan kena
Sarah menoleh cepat memandang Marc dengan dahi berkerut. Apa kata Marc tadi? Warisan ayahnya banyak?“Tau dari mana ada warisan banyak?”“Marsha yang cerita. Kamu mendapat semua bagian dari warisan Ayahmu sementara ia dan Ibu Tinna tidak mendapat apa pun.”Sarah berdecak pelan. “Sepertinya kamu percaya sekali pada Marsha, ya.”“Aku bicara sesuai fakta.”“Fakta yang mana? Kamu tau mereka menjual rumah Ayah?”Marc tidak berkomentar. Ia tampak fokus menyetir dengan ekspresi seperti tidak mau membahas topik perbincangan mereka lebih lanjut.Sarah tidak perduli, ia melanjutkan dengan nada tinggi. “Kalau mereka tidak mendapat bagian apa-apa, bagaimana mereka bisa menjual rumah Ayah dan membeli apartemen mewah?”Sambil melirik Marc yang masih terdiam, Sarah akhirnya menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuh pada kursi mobil. Batinnya lelah dengan segala kebohongan di depan matanya.Sekali lagi, Sarah mengembuskan napas berat kala ingat ancaman Ibu Tinna. Mereka memang terlihat sudah sang
Beberapa detik Sarah hanya terpaku di tempat. Kemudian, perlahan mengambil salah satu benda. Batang berwarna orange mengilat itu ia angkat dak keluarkan dari loker.“E – Emas batangan?” Sarah menggumam dengan suara bergetar.Ada lima emas batangan di dalam. Selain itu ada juga kotak beludru berwarna merah dan beberapa lembar map.Setelah meletakkan emas batangan, Sarah mengambil kotak beludru dan membukanya. Perhiasan mulai dari anting-anting, kalung, gelang bermata berlian dan cincin terdapat di dalamnya berikut sertifikat. Bukan hanya satu set, Sarah melihat beberapa perhiasan lain dengan jenis beragam.Tiga map di sana adalah sertifikat tanah, sebuah apartemen dan saham perusahaan. Sarah menggeleng tak percaya. Saat itulah matanya tertuju pada sebuah amplop berwarna ungu muda.Sarah duduk memegang amplop dan membukanya. Matanya basah oleh air mata. Ia menghapusnya cepat lalu membaca tulisan yang ia kenali sebagai tulisan Ayah.‘Sarah sayang. Jika kamu membaca surat ini, artinya Aya
Sadar Adrian memperhatikan dirinya, Sarah mencoba bersikap normal. Untung saja Adrian tidak lagi bertanya macam-macam hingga mereka sampai di toko komputer.“Ini toko langganan perusahaan. Kamu bisa bertemu managernya dan beritahu bahwa kamu istri Tuan Marc. Nanti akan dibantu.” Adrian berkata pada Sarah yang langsung mengangguk.Sekali lagi, sebelum turun dari mobil, Sarah mengucapkan terima kasih. Adrian mengangguk dan tersenyum. Mobilnya kemudian meninggalkan Sarah sendiri di depan toko.Masuk ke toko, Sarah disambut seorang pegawai. Karena keramahan pegawai tersebut, Sarah jadi merasa tidak perlu meminta bantuan manager toko.Beberapa pilihan laptop kini diperlihatkan kepada Sarah. Semuanya adalah laptop dengan harga mahal. Ia pun bingung memilih yang mana.Akhirnya Sarah memutuskan memfoto dan mengirimkannya ke ponsel pribadi Marc. Untung saja Frank memberikan nomer tersebut saat ia berkeluh kesah sulit menghubungi suaminya sendiri.Tak lama kemudian, Marc malah menelepon Sarah.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Marc menghela napas kala membaca pesan dari Mama-nya. Lucy marah karena Marc meminta Marsha bekerja keras hingga bekas lukanya sakit kembali.Setelah mengeluh sakit, Marc meminta Marsha pulang dan beristirahat. Namun karena masih banyak pekerjaan, Marc tidak mengantar Marsha pulang yang membuat wanita itu kembali kesal.Selama Sarah pergi, Marsha memang cukup dekat dengan Marc. Terutama saat wanita itu kembali dari Korea untuk pemulihan. Saat itu Tinna mengatakan bahwa putrinya terpaksa berhenti bekerja karena kini hanya memiliki satu ginjal.Namun, Tinna juga mengeluh pada keluarga Carrington bahwa Thomas – suaminya tidak meninggalkan banyak warisan untuk biaya hidup. Akhirnya Lucy berinisiatif menjadikan Marsha sebagai sekretaris pribadi Marc.Marc tidak membalas omelan Mama-nya di telepon. Sampai di rumah, ia melihat ruang kerjanya terbuka. Sarah duduk di kursi sambil mengetik di komputer.“Kenapa tidak pakai laptop?” Marc masuk dan menegur istriny
“Kontrasepsi.” Marc menjawab santai.Sarah tertegun sejenak sebelum akhirnya menelan obat tersebut. Hatinya pedih namun ia tahan sekuat tenaga untuk tidak terlihat kesal.Mereka tidur saling memunggungi seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Apa yang Sarah harapkan dari lelaki yang memang berniat menceraikannya?Esok paginya, Sarah bangun lebih dulu. Ia membilas tubuh, berpakaian rapi dan memoles wajahnya dengan make up.“Mau ke mana?” Marc yang masuk ke kamar mandi heran melihat istrinya berdandan.“Kerja.” Singkat dan jelas, Sarah menjawab.Namun, Marc kembali menatapnya dengan satu alis terangkat tinggi.“Bukannya kamu bekerja remote? Untuk apa dandan?”Apa pedulinya? Sarah menggumam dalam hati. Ia menghela napas sebelum membalas.“Terkadang Bosku melakukan panggilan videocall.”Tidak ada komentar lagi dari Marc. Ia membuka piyamanya di depan Sarah dan berjalan ke pancuran air.Sarah segera keluar dari kamar mandi. Bagaimanapun, ia wanita normal yang juga menyukai visual lelaki
Sarah melempar ponselnya. Sebuah nomer telepon tak dikenal telah mengirimi foto-foto kemesraan Marc dan Marsha. Pantas saja Marc bilang ia akan terlambat pulang, pasti karena setelah jam kantor usai, lelaki itu pergi dengan kakak tirinya.“Biarkan saja, Sarah.” Sarah menggumam dalam hati.Namun kemudian kepalanya menggeleng. Tidak. Ia tidak merasa cemburu.Hanya saja, ia merasa Marc benar-benar lelaki yang kurang ajar. Semalam mereka bercinta, esoknya ia pergi dengan wanita lain. Dirinya dianggap apa?Sesaat kemudian ia merasa kasihan pada Frank. Apa jadinya jika benar Marc menikahi Marsha. Karena ia yakin Marsha hanya mengincar harta keluarga Carrington saja. Pusing memikirkan prilaku Marc, Sarah menelepon Ibu Irma. Sambil tiduran menghadap langit-langit, Sarah menunggu teleponnya dibalas. “Sarah? Nak?” Ibu Irma menjawab dengan suara tergesa.“Ibu kenapa? Kok suaranya seperti terengah-engah?” Sarah menjawab dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa, Nak. Hanya saja Ibu takut kamu kenapa
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk
“Vivi sudah tidur, Sayang.” Marc membela diri. “Tapi, kami takut kamu marah.”Sarah mendengus pelan. Ia lalu pindah ke sisi Vivi dan mengamati putrinya. “Bisa-bisanya anak bayi ini berakting.”“Vivi sudah bisa pura-pura nangis, tertawa dan tidur lho, Sayang.” Marc dengan bangga berkata pada istrinya.“Iya, aku sudah tau. Tetapi, tidak menyangka ia menuruti permintaanmu untuk pura-pura tidur saat aku masuk dan ia berhasil.”Ternyata Vivi memang sedang rewel. Setelah diajak bermain sebentar lalu menyusu, Vivi baru tertidur. Perlahan, Sarah dan Marc pindah ke kamar mereka.Sarah dan Marc kini sudah berbaring di ranjang dengan piyama yang senada. Sarah meletakkan kepalanya di dada Marc hingga ia bisa mendengar detak jantung sang suami. Ia menceritakan percakapannya dengan Arzan barusan.“Anak itu tau mana yang paling menyayanginya.”Tangan Sarah memukul dada Marc. “Jangan begitu. Sudah kubilang kita tidak tau apa yang terjadi hingga Vania meninggalkan bayinya. Jangan selalu berpikiran neg
Makanan sisa dari restoran akhirnya dibawa Vania pulang. Vania membelikan pizza utuh sebagai oleh-oleh untuk keluarga Carrington. Mereka kini dalam perjalanan pulang.“Nanti cerita sama Ibu pengalaman kempingnya, ya.”“Iya.”“Minggu depan, kita ketemu di kafe Ibu Irma. Kata Ibu Irma, kamu suka di sana.”Arzan mengangguk. “Iya. Soalnya, aku suka sama Nenek Irma.”Vania tersenyum. Putranya dikelilingi orang-orang baik. Ia merasa malu karena masa lalunya.Begitu sampain di depan rumah, Vania juga mengantar Arzan. Pelayan meminta Vania menunggu di foyer. Wanita itu menunduk menatap putranya.“Apa Mama sudah tidur jam segini?”Arzan menggeleng. “Biasanya Mama Papa tidur malam sekali.”Tak lama berselang, mereka mendengar suara ketukan heels. Vania menoleh ke asal suara sementara Arzan berjalan mendekati Sarah yang telah terlihat sosoknya di kejauhan.“Mama. Arzan pulang.” Arzan segera memeluk Sarah yang membalasnya.“Hai, anak pintar.” Sarah mencium pipi Arzan, lalu menoleh pada Vania. “Te