Setelah itu mereka pergi dengan susah payah meninggalkan Amat sendirian. Beberapa hari kemudian, pesangon dari para karyawan yang di PHK telah di berikan oleh pihak perusahaan. Dan dalam perjalanan pulang, Amat bertemu dengan lagi dengan preman yang telah dihajarnya beberapa hari sebelumnya.
Disana preman tersebut bertanya, "Apakah pesangon dari karyawan yang di PKH telah diberikan oleh pihak pabrik?".
Amat menjawab "iya! pasti kalian yang melakukan ini?" Sambil memperhatikan wajah preman itu.
Preman itu menjawab "Iya, kami yang memaksa pemilik pabrik itu untuk membayar pesangon kepada karyawan yang di PHK ... Kami juga menyandra anaknya sebagai jaminan dan jika dia tidal memenuhinya maka nyawa anaknya akan melayang!".
Amat berkata dalam hatinya "jadi ini yang namanya senjata makan tuan."
Kemudian, Amat berkata "Terima kasih atas batuannya, dan jangan lupa lepaskan anak pemilik perusahaan itu! Kami telah mendapatkan apa yang menjadi hak kami."
"Itu sudah pasti! Dan kami juga bersyukur bisa menepati janji kami padamu," jawab preman itu.
Di situ juga preman itu meminta amat untuk menjadi gurunya dan dia meminta untuk diajari ilmu beladiri serta tenaga dalam yang dimiliki oleh Amat.
Amat hanya menjawab "Nanti jika kamu sudah benar-benar putih datanglah ke kampungku, akan aku berikan apa yang kamu mau ... dan sampaikan ucapan terima kasihku kepada teman-temanmu yang telah membantuku."
Amat menambahkan lagi, "Ingat diatas langit masih ada langit."
Kemudian Amat dan Kamal pergi meninggalkan preman tersebut.
Setelah mendapatkan pesangon sore itu, Amat berserta Kamal menyiapkan barang bawaan mereka untuk pulang ke kampung halaman. Tak lupa Kamal berpamitan kepada Tuti wanita yang sangat dia cintai.
Kamal berkata, "Sayang aku pamit untuk pulang tetapi, aku berjanji aku pasti kembali untukmu ... percayalah jiwa ragaku dan kasih sayangku hanya untukmu, tak perduli apapun caranya aku akan menikahimu dan ku berharap kau mau menungguku ... " (sambil memeluk Tuti).
Tuti yang ada dalam pelukan Kamal hanya bisa menangis.
Kamal berkata lagi " Sudahi air matamu sayang, aku tak ingin kau menangis begini ...." (sambil mengeluarkan air mata).
Kemudian dengan berat hati Kamal melepaskan pelukannya yang terasa berat itu.
Tuti yang masih terisak-isak menangis berkata "i-iya sayang! A-aku ... (terus menangis) akan slalu menunggumu."
Di sana banyak juga dari teman-teman mereka yang tak sanggup menahan air mata karena kepergian mereka. Bahkan orang-orang yang pernah dihajarnya sekalipun juga ikut terharu. Amat memang orang yang kuat tetapi, dia juga orang yang baik. Kekuatannya digunakan untuk kebaikan dan memberikan pelajaran kepada orang yang berbuat jahat sesuai dengan perbuatannya. Bahkan, preman yang tadi pagi menemuinya datang kembali dengan memberikan sebuah jam tangan kesayangannya kepada Amat. Dia memberikan ini sebagai kenang-kenangan. Dia berterima kasih kepada Amat yang telah menghajarnya sehingga, dia sadar akan kemampuannya. Dan dia juga berjanji akan mengikuti semua yang telah disampaikan oleh Amat. Amat langsung memakai jam tangan itu, sebagai tanda penghargaannya terhadap pemberian itu. Preman yang melihat itu merasa bangga karena pemeriannya dihargai dan dia segera memeluk Amat beserta Kamal sebagai tanda perpisahan.
Seiring lambaian tangan dari teman-temannya Amat dan Kamal berjalan pergi meninggalkan mereka. Memang berat meninggalkan kenangan tetapi kampung halaman lebih dirindukan. Bukan perpisahan yang mereka tangisi hanya pertemuan singkat yang mereka sesali.
Amat dan Kamal sudah berada di terminal untuk menunggu taksi. Namun, sudah pukul 18.00 sore taksi yang mereka tunggu belum juga terlihat. Kamal mulai gelisah karena takut ke malaman di jalan. Sedangkan, Amat duduk sambil ngopi di warung dekat terminal itu.
Amat yang melihat Kamal gelisah memanggi kamal "Mal, duduk! Kita ngopi dulu." Sambil melambaikan tangannya.
Kamal menjawabnya "Bentar!" Sambil terus memandangi setiap taksi yang lewat.
Namun, karena taksi yang dia tunggu tidak kunjung datang, akhirnya kamal mengikuti ajakan Amat tadi.
Tak terasa waktu azan Magrib tiba. Mereka masih saja duduk di warung itu sambil menunggu taksi yang singgah di terminal itu.
Kemudian, Amat berkata kepada Kamal "Jika sampai pukul 21.00 malam nanti taksi yang kita tunggu tidak datang juga, maka lebih baik kita mencari penginapan dan esok kita baru pulang."
Kamal mengangguk sambil berkata "Iya! Memang begitu baiknya ku rasa."
Mereka membicarakan banyak hal di warung itu sampai tak terasa sekarang sudah hampir pukul 21.00. Amat mengajak Kamal untuk segera mencari penginapan dan membayar kopi mereka. Baru beberapa langkah berjalan, tampak ada sebuah taksi yang singgah di terminal itu. Kamal langsung berlari dan menanyai sopir itu ke mana tujuan taksi ini. Setelah menyebutkan tujuan yang sama dengan tujuan mereka, Kamal berteriak memanggil Amat untuk masuk. Amat mendatanginya dan langsung masuk ke dalam taksi menyusul Kamal.
Taksi itu tak langsung pergi dari terminal itu. Namun, menunggu beberapa orang yang sepertinya sudah menghubungi taksi itu. Setelah tiga orang yang masuk ke dalam taksi, taksi langsung berangkat meninggalkan terminal itu.Supir taksi itu memilih jalur alternatif yang jarang dilalui orang agar bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Jalur itu melewati beberapa kampung dan tempat sepi yang tak berpenghuni. Keheningan malam menjadi teman perjalan mereka saat itu. Malam sudah menujukkan pukul 22.00, Amat merasa kantuk datang padanya. Dia menghela napas panjang dan menutup matanya. Namun, lima belas menit kemudian, taksi yang mereka tumpangi mendadak berhenti. Amat membuka matanya dan melihat beberapa orang mencegat taksi mereka. Para pencegat itu menyuruh Amat dan Kamal untuk keluar. Tanpa rasa takut Amat keluar dari taksi itu. Sedangkan, Kamal sebenarnya tidak ingin keluar karena merasa sedikit takut, tetapi karena tidak ingin meninggalkan sahabatnya sendirian, d
Polisi kemudian bertanya, "Apakah orang yang tertusuk itu temanmu?.""Iya, dia teman kami!" jawab Amat."Dan berarti orang yang ada disampingmu juga temanmu?" tanya polisi itu sambil melirik orang yang disamping Amat."I-iya dia juga teman kami!" Sambil memandang orang yang ada disampingnya.Orang itu terlihat sedikit tersenyum mendengar itu.Polisi tadi juga tersenyum sinis mendengar itu dan berkata "Apakah kamu tahu bahwa orang disampingmu itu juga seorang preman?".Dengan berani, Amat menjawab "Dia memang dulu preman, tetapi sekarang dia sudah berubah!".Polisi itu hanya tersenyum sambil berkata, "Sangat sulit bagi seorang preman untuk berubah, karena pikiran dan hatinya telah tertempa oleh kekerasan!".Kemudian, orang yang disamping Amat itu menjawab, "Hanya Tuhan yang mampu membolakbalikkan hati hambanya ... Bukankah dulu Sayyidina Umar bin Khatab juga begitu?". Polisi itu terdiam dan melanjutkan introgasinya. 
Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Kamal yang dirawat di rumah sakit sudah baikkan dan esok sudah bisa pulang. Para preman yang menyerang mereka kemarin juga sudah ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara.Pagi itu, Amat pergi ke kantin rumah sakit untuk sarapan. Dia memesan Soto Banjar kesukaannya dan segelas kopi. Setelah selesai makan, Amat duduk santai sambil menunggu seseorang. Tak lama berselang orang yang ditunggunya tiba. Setelah membayar makanannya, Amat pergi bersama orang itu memasuki sebuah mobil mewah. Didalam mobil itu, dia dipertemukan dengan seseorang yang memakai setelan Jas. Orang itu menyerahkan dua buah benda yang misterius kepada Amat. Setelah menerima itu, Amat dan orang yang membawanya masuk tadi keluar dari mobil itu dan bersama-sama pergi menaiki sebuah motor.Kemudian, mereka berhenti pada sebuah rumah yang cukup besar. Amat turun dan memasuki rumah itu, secara diam-diam. Setelah sepuluh menit berla
Namun, tak berselang lama, Irwan datang dari arah belakang Amat. Wajahnya terlihat lesu dan seperti seseorang yang lagi kesusahan.Kemudian, Amat bertanya, "Kamu kenapa, Wan? Seperti lagi ada masalah!." Irwan tak langsung menjawab, matanya tajam memandang ke arah Amat.Dia menghela nafas panjang dan berkata "Ketiga temanku diserang anak buah Udin Sangar, mereka sedang mencari orang yang menyerang bos mereka! Aku dan ketiga temanku yang tidak termasuk kedalam komplotannya, menjadi tersangka dan tanpa basa-basi langsung diserang."Mendengar itu, Kamal secara spontan memandang kearah Amat.Namun, Amat tetap terlihat tenang dan bertanya, "Lalu bagaimana keadaan ke tiga temanmu itu, Wan?".Dengan wajah yang marah, Irwan berkata "Mereka sedang dirawat di ruang IGD dan mudah-mudahan tidak terlalu parah, sehingga tidak perlu dirawat berlama-lama disini."Mendengar itu, Kamal berkomentar "Bukannya bagus jika dirawat di sini, agar mereka benar-benar p
Amat keluar dari rumah sakit itu dan berjalan sebentar menuju pangkalan ojek di sana. Disana ada seorang tukang ojek yang sedang mangkal. Amat bertanya kepada tukang ojek itu "Terminal KM. 17 berapa Mas?". Dengan sedikit kaget tukang ojek itu menjawab, "lima puluh Mas, kalo mau?". "Mahal banget Mas! Bisa kurang tidak?" tanya Amat kembali. "Ga bisa Mas! Selain tempatnya cukup jauh, di sana juga rawan Mas." Tukang ojek itu berkata dengan serius. "Oh.. ya sudah kalo gitu" jawab Amat singkat. Amat naik ke motor tukang ojek itu dan mereka meluncur menuju rumah Irwan. Sepanjang perjalanan Amat memperhatikan kehidupan malam kota yang begitu hidup seakan-akan masih siang. Para muda-mudi masih berkeliaran mencari kesenangan. Orang-orang masih sibuk mencari nafkah. Semakin dekat dengan terminal itu, semakin terasa kumuh dan kotornya perkotaan. Kemudian, tukang ojek itu menghentikan motornya di sebuah terminal kecil. Walaup
Kemudian, Amat segera masuk ke ruangan Kamal. Terlihat kamal sudah tertidur di kasurnya. Setelah itu, Amat menghidupkan tv sambil duduk bersila menonton berita. Berita hari ini didominasi oleh berita tentang tewasnya Badarrudin dan perkelahian antarkelompok preman. Namun, berita itu tidak membuat Amat tertarik dan akhirnya dia memutuskan untuk tidur. Tak lupa, sebelum tidur dia mematikan tv itu dan merapikan barang bawaannya untuk pulang esok. Keheningan malam membawa dingin yang begitu menusuk. Secara samar-samar dia mendengar seperti banyak orang yang melewati ruangannya. Dan kemudian, beberapa orang masuk sehingga membangunkannya. Terlihat beberapa perawat sedang membawa pasien ke ruangan itu. Namun, dia tak mau ambil pusing dan kembali melanjutkan tidurnya. Suara-suara itu perlahan menghilang dan hanya meninggalkan keheningan malam yang tak berkesudahan. Pagi yang cerah telah tiba, Amat segera bangun dari tidurnya. Dia melirik kearah
Setelah itu, Amat dan Kamal berpamitan untuk segera masuk ke dalam taksi. Taksi yang sudah penuh segera berangkat meninggalkan terminal itu. Irwan dan teman-temannya hanya bisa melambaikan tangan mereka untuk mengantarkan kepergian Amat dan kamal. Setelah hampir tujuh jam perjalanan, suasana desa yang asri mulai terlihat. Gunung yang hijau dan rimbunya pepohonan menyambut mereka di kiri dan kanan jalan. Suasana tenang seperti ini yang selalu Amat rindukan. Kamal yang berada disebelahnya bertanya, "Kita sudah sampai mana?" Sambil menggosok-gosok matanya. Amat tak langsung menjawabnya. Dia melihat kearah luar dan berkata "Kita sudah sampai Huwai!." "Hah! Berarti kita Kelewatan!" sahut Kamal panik. "Siapa suruh tidur terus!?" jawab Amat sambil tertawa. Kamal langsung membuka matanya lebar-lebar dan mulai memperhatikan sekitarnya. "Huwaian!" teriaknya kesal. Amat hanya tertawa diiringi oleh penumpang lain yan
Setelah acara pemakaman dan tahlilan selesai, Amat mulai kembali merasakan kesepian. Walaupun di rumah itu ada keluarga kakaknya, tetapi itu sama sekali tidak bisa mengusir rasa sepi yang dia rasakan. Apalagi sekarang jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Malam yang gelap, udara dingin yang menyengat, membuat perasaannya semakin masuk ke dalam kesendirian. Amat duduk di bangku panjang didepan rumahnya. Bangku itulah tempat biasanya Amat dan almarhum ayahnya duduk untuk sekedar berbincang santai atau saling bertukar pikiran. Berbagai kenangan seketika juga muncul dari bangku tua itu. Dari Amat kecil hingga sekarang ini. Dimanapun Amat berada ayahnya selalu mendukungnya dan apapun yang Amat kerjakan ayahnya selalu mengarahkannya agar lebih baik. Kenangan itu berkecamuk di hati dan pikiran Amat membuatnya merasakan sakit yang mendalam. Akan tetapi, dengan tekat dan ketenguhan hatinya dia mampu mengatasi rasa sakit itu. Sementara itu, Bainah sedang merapikan rumah. D