Setelah acara pemakaman dan tahlilan selesai, Amat mulai kembali merasakan kesepian. Walaupun di rumah itu ada keluarga kakaknya, tetapi itu sama sekali tidak bisa mengusir rasa sepi yang dia rasakan. Apalagi sekarang jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Malam yang gelap, udara dingin yang menyengat, membuat perasaannya semakin masuk ke dalam kesendirian. Amat duduk di bangku panjang didepan rumahnya. Bangku itulah tempat biasanya Amat dan almarhum ayahnya duduk untuk sekedar berbincang santai atau saling bertukar pikiran. Berbagai kenangan seketika juga muncul dari bangku tua itu. Dari Amat kecil hingga sekarang ini. Dimanapun Amat berada ayahnya selalu mendukungnya dan apapun yang Amat kerjakan ayahnya selalu mengarahkannya agar lebih baik. Kenangan itu berkecamuk di hati dan pikiran Amat membuatnya merasakan sakit yang mendalam. Akan tetapi, dengan tekat dan ketenguhan hatinya dia mampu mengatasi rasa sakit itu.
Sementara itu, Bainah sedang merapikan rumah. D
Hari-hari di kampung Amat lalui dengan bekerja menjadi buruh di kebun pak Darman. Dia bekerja di sana bersama dengan Kamal. Kamal terlihat sangat giat bekerja untuk bekerja."Kamu semangat sekali, Mal? tegur Amat."Ya iya, Mat! Supaya bos senang dan kita dapat upah yang besar," jawab Kamal sambil tersenyum."Bukan itu maksudku," sahut Amat singkat."Terus?" Kamal menatap Amat serius."Tentang Tuti," jelas Amat singkat."Oh itu! Sudah pastilah, Mat!" jawab Kamal sambil tersenyum."Sudah senyakin itu kamu, Mal?" tanya Amat kembali."Ya, yakinlah! Aku sudah berjanji untuk segera menikahinya," jawab kamal serius."Baguslah! Biar ga lapuk dimakan rayap" sahut Amat tertawa."Maksud kamu apa, Mat? Si otong?" sahut Kamal dengan wajah penasaran."Ya iyalah, apalagi?" ejek Amat sambil tertawa."Kamprett kamu, Mat!" ucap Kamal kesal."Emangnya udah beneran tidak tahan?" tanya Amat sambil me
Setelah berpamitan, mereka semua kembali ke rumah mereka masing-masing. Amat dan Kamal pulang dengan menumpang motor dua teman mereka yang tinggal diperbatasan desa. Setelah itu mereka harus berjalan kaki sekitar dua puluh menit untuk sampai ke desa. Amat dan Kamal berpisah di sebuah pertigaan. Amat belok ke kanan dan Kamal kearah sebaliknya.Ketika Amat baru masuk ke rumahnya, Diah keponakannya memberikan sebuah surat."Dari siapa?" tanya Amat."Dari tukang pos tadi," jawab Diah."Ya sudah, terima kasih ya!" ucap Amat.Kemudian, Amat membaca pengirim surat itu dan ternyata surat itu dari Irwan. Dia membawa surat itu masuk ke dalam kamarnya dan meletakkannya diatas meja.Setelah itu, dia pergi kebelakang untuk mandi. Selesai mandi, dia kembali ke kamar untuk membaca surat dari Irwan tadi. Dia membuka surat itu dan mulai membacanya. Dari surat itu Irwan menanyakan kabar Andi saat ini. Dia juga memberitahu bahwa kea
Pagi yang cerah telah tiba. Amat sudah bersiap-siap untuk ke makam ayahnya. Sebelum berangkat ke sana, Amat sarapan terlebih dahulu."Jangan lupa pamitan juga dengan pak Darman" Kakaknya mengingatkan."Iya! Nanti habis dari makam ayah langsung ke rumah pak Darman," sahut Amat."Bawa barang-barang ini." Kakaknya menyerahkan beberapa buah benda peninggalan almarhum ayahnya."Iya, Kak! Terima kasih," jawab Amat."Ya sudah! Aku berangkat duluan kalau begitu." Kakaknya beranjak meninggalkan meja makan."Memangnya hari ini kakak kerja?" tanya Amat."Seharusnya tidak, tapi bosnya meminta kami untuk ke sana," jelas kakaknya."Oh.. lembur?" sahut Amat."Mungkin," jawab kakaknya singkat."Diah kemana, Kak?" Amat mengalihkan pandangannya ke kamar kakaknya."Dia sedang belajar kelompok di rumah temannya," jawab Kakaknya sambil berjalan meninggalkan Amat."Ya sudah, aku berangkat dulu," sambunh kakaknya pamit kep
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya pak Darman datang. Beliau keluar dari mobil dan menyapa Amat yang telah menunggunya."Kamu tidak kerja, Mat?" tanya pak Darman."Tidak Pak," Amat menyahut."Kenapa?" tanya beliau sambil mendekati Amat."Saya mau pergi ke kota, Pak!" Amat menjelaskan."Memangnya kamu tidak betah kerja di sini?" Pak Darman duduk dibangku.Amat segera menjawab "Betah pak!""Terus?" Beliau ingin mencari kejelasan.Kemudian, Amat menjelaskan semuanya.Pak Darman mendengarkan dengan penuh perhatian."Kota sekarang sedang kurang aman, Mat!" ucap pak Darman memberitahu Amat."Tidak aman kenapa, Pak?" Amat pura-pura tidak tahu.Kemudian, pak Darman menceritakan sesuatu yang baru saja beliau alami."Malam tadi waktu saya menurunkan barang-barang saya di pasar subuh, saya didatangi oleh sekelompok preman.Mereka meminta uang keamanan kepada saya. Saya bingung kar
Setibanya di kebun, Amat langsung memanggil kamal."Mal!" teriak Amat sambil melambaikan tangannya.Kamal menoleh dan segera menghampiri sahabatnya itu."Mau kemana kamu, Mat?" Kamal menatap pakaian Amat."Aku mau ke kota, Mal!" jawab Amat tersenyum."Ke kota?" Kamal tampak heran."Iya! Ke kota!" balas Andi serius.Huu.... Kamal menghembuskanya."Kamu yakin, Mat?" Kamal sedikit khawatir."Iya! Aku sudah yakin!" sahut Amat mantap."Kamu kan tahu! Bagaimana kehidupan di kota?" Kamal sedikit menahan Amat untuk pergi."Iya, aku tahu! Tetapi ini sudah menjadi keputusanku," jawab Amat dengan yakin."Memangnya kamu mau ngapain ke kota?" tanya Kamal kembali."Aku mau kerja di sana, Mal!" jawab Amat singkat."Kerja apa? Di sini kan juga kerja!" Kamal bertanya dengan serius."Jaga toko!" jawab Amat sembarangan."Iya, tapikan kerjanya beda dan aku mau cari pengalaman baru disana!" je
Setelah itu, Amat segera mencari ojek untuk menuju rumah Irwan. Diperjalanan Amat terus memperhatikan tempat-tempat yang dia lewati. Dan benar saja keamanan setiap tempat di kota tampaknya telah diperketat dari biasanya. Terlihat di setiap tempat itu beberapa pasang mata selalu mengawasi gerak-gerik orang-orang yang melewati kawasan kekuasaan mereka. Dari cara mereka memandang seperti menaruh kecurigaan kepada setiap orang-orang yang lewat itu. Amat yang melihat itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan berat. Huu....Setelah sampai di sana dan membayar ongkos ojeknya, Amat tidak langsung ke rumah Irwan. Akan tetapi, dia terlebih dahulu singgah di sebuah warung untuk mengisi perutnya."Nasi goreng pedas satu, Mas? pinta Amat."Makan di sini?" tanya penjual nasi goreng."Iya!" jawab Amat singkat."Minumnya apa, Mas? tanya istri penjual nasi goreng itu. "Air putih hangat saja, Mba!" jawab Amat.Sembari menunggu p
Tok, tok! "Sayang, bukain!" Irwan memanggil Istrinya." Iya, Bang!" jawab Istrinya dari balik pintu.Kreek.... Istrinya membukakan pintu dan segera menpersilahkan mereka masuk.Setelah mereka masuk, Irwan meminta Istrinya untuk membuatkan mereka kopi."Yang, kopinya ya!" pinta Irwan."Iya!" jawab Istrinya singkat.Kemudian, Irwan memulai pembicaraan dengan menceritakan dan menjelaskan secara rinci tujuannya meminta Amat untuk datang ke sini."Jadi begini, dalam beberapa hari ini sudah ada beberapa preman yang mengintai tempat kekuasaan kami."Beberapa dari mereka itu ada yang tidak hanya mengintai, tetapi sudah berani mengintimidasi pedagang di sini untuk pindah ke tempat mereka. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memancing emosi Broto hingga terjadi perkelahian. Dalam perkelahian itu Broto memang menang, tetapi preman itu mengancam akan membawa kelompoknya untuk menyerang balik ke sini. Dan sete
"I-itu mereka, Bang!" ucap Adit sambil ketakutan."Halo, Bang Irwan! Masih Ingat dengan ku?" ledek Sahri.Ckckck! "Mana mungkin aku lupa dengan orang yang pernah bersujud minta ampun dihadapanku!" ejek Irwan.Wajah Sahril seketika memerah karena marah."Itu dulu! Sekarang kamulah yang akan sujud dihadapanku, Irwan!""Dulu atau sekarang, itu sama saja!" balas Irwan.Cuih! "Irwan, coba lihat sekelilingmu!" Sahril merentangkan kedua tangannya.Terlihat ada sekitar dua puluh lebih orang disekitarnya.Ckckck! Huuh.... "Buat apa kamu bawa gerombolan srigala untuk menyerang Singa? Kamu sudah tahu hasilnya, Kan?" balas Irwan sambil tertawa."Hah! Singa? Apakah aku tidak salah dengar? Kalian hanya segerombolan domba yang akan menjadi mangsa kami," ledek Sahril."Hahaha!" Anak buah Sahril tertawa.Amat yang melihat itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya."Singkat saja! Apa yang kalian mau?" tanya Irwan dengan