Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Kamal yang dirawat di rumah sakit sudah baikkan dan esok sudah bisa pulang. Para preman yang menyerang mereka kemarin juga sudah ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara.
Pagi itu, Amat pergi ke kantin rumah sakit untuk sarapan. Dia memesan Soto Banjar kesukaannya dan segelas kopi. Setelah selesai makan, Amat duduk santai sambil menunggu seseorang. Tak lama berselang orang yang ditunggunya tiba. Setelah membayar makanannya, Amat pergi bersama orang itu memasuki sebuah mobil mewah. Didalam mobil itu, dia dipertemukan dengan seseorang yang memakai setelan Jas. Orang itu menyerahkan dua buah benda yang misterius kepada Amat. Setelah menerima itu, Amat dan orang yang membawanya masuk tadi keluar dari mobil itu dan bersama-sama pergi menaiki sebuah motor.
Kemudian, mereka berhenti pada sebuah rumah yang cukup besar. Amat turun dan memasuki rumah itu, secara diam-diam. Setelah sepuluh menit berlalu, Amat keluar dari rumah itu dan menghampiri temannya yang telah menunggunya di sebuah taman. Kemudian, mereka pergi entah ke mana?.
Sementara itu, Irwan datang untuk menjenguk Kamal di ruangannya. Dia bertanya kepada Kamal, ke mana Amat sekarang?. Kamal hanya menjawab, mungkin dia sedang sarapan di luar. Tanpa rasa curiga, Irwan tetap menunggu Amat di ruangan Kamal.
Tak lama berselang, Amat kembali ke ruangan Kamal. Dia membawa beberapa makanan untuk mereka. Amat juga merasa senang melihat kedatangan sahabat barunya itu. Mereka berpelukan dan saling menanyakan kabar satu sama lain. Mereka mengobrol sambil menikmati makanan yang dibawa Amat tadi. Namun, di sini Kamal sedikit merasa aneh melihat pakaian yang digunakan oleh Amat. Karena seingatnya, saat Amat pergi tadi, dia tidak menggunakan pakaian itu. Dan pakaian yang sekarang Amat gunakan juga terlihat baru, tetapi karena tidak ingin mengganggu obrolan mereka, Kamal memilih diam saja.
Ketika mereka bertiga asik mengobrol, mata mereka teralihkan oleh sebuah berita terbaru di televisi. Berita itu berisi tentang penusukkan salah satu Calon Wali Kota oleh orang misterius. Dari keterangan saksi mata, orang yang menusuk majikkannya itu berpakaian serba hitam dan menggunakan sebuah topeng. Dari TKP polisi juga menemukan sebuah pisau dapur dan beberapa dokumen. Dan saat ini korban dan saksi mata sedang dilarikan ke rumah sakit. Korban mengalami luka yang sangat parah dengan beberapa luka tusukkan di badannya. Sedangkan, dua orang saksi mata mengalami luka patah tulang. Dan kasus ini ditangani langsung oleh Kepolisian Daerah.
Berita itu cukup mengagetkan mereka semua. Apalagi, orang-orang yang mengenal korban, yang salah satunya adalah Irwan. Bagi Irwan, korban memang pantas mendapatkan itu semua. Karena selama ini, korban telah banyak merugikan orang lain.
Mendengar itu semua, Kamal bertanya, "Memangnya siapa dia sebenarnya?".
"Dia adalah M. Badaruddin atau yang lebih dikenal sebagai Udin Sangar, dia merupakan pimpinan preman di kota ini ... Dia telah melakukan banyak kejahatan dan mungkin, ini merupakan salah satu bentuk balas dendam mereka!" jawab Irwan sambil sedikit tersenyum.
Melihat ekspresi Irwan yang tampak tersenyum, Kamal bertanya, "Apakah ini ulahmu?".
Sambil menggelengkan kepalanya, Irwan menjawab, "Aku memang ada dendam dengannya, tetapi dia terlalu kuat untuku! Ditambah lagi para pengawal pribadinya yang selalu bersamanya."
"Kalau memang seperti itu, berarti orang yang menyerangnya sangat kuat, dong?" tanya Kamal kembali kepada Irwan sambil melirik Amat.
Sebelum Irwan menjawab, Amat juga bertanya, "Kalau memang dia memilik banyak anak buah berarti, anak buahnya akan mencari pelakunya tersebut, dong?".
Irwan menjawab, "Itu sudah pasti! Dan orang kuat itu menurutku tidak akan sanggup menghadapi banyaknya anak buahnya itu!".
Mereka berdua yang mendengarkan itu saling menatap satu sama lain.
Kemudian, Irwan melanjutkan ceritanya tentang sosok Udin Sangar.
Tak terasa, jam telah menunjukkan pukul 13.00. Amat meminta izin kepada mereka berdua untuk pergi sebentar, karena ada urusan yang harus dia selesaikan. Dan sekalian untuk membelikan mereka makan siang.
Kamal hanya mengangguk dan berkata "iya!" Sambil sedikit tersenyum.
Sedangkan, Irwan memberi kode kepada Amat agar membelikannya rokok.
Kemudian, Amat segera keluar dari rumah sakit itu. Dia berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di seberang rumah sakit itu. Orang yang berada didalam mobil itu kemudian, memberikan sebuah amplop uang yang terlihat cukup banyak.
Dan tak lupa dia berkata "Terima kasih! Semuanya berjalan sesuai rencana."
Setelah itu, mobil tersebut langsung pergi meninggalkan Amat sendirian. Ketika, Amat ingin membuka amplop itu, dia merasakan seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Oleh sebab itu, dia mengurungkan niatnya untuk membukanya. Dia langsung bergegas pergi ke warung untuk membeli tiga bungkus nasi beserta air minumnya dan dua bungkus rokok Gudang Garam.
Setelah membayar semuanya, Amat bergegas menuju ruangan Kamal. Di ruangan itu, dia hanya menemukan Kamal yang tertidur lelap. Sedangkan, Irwan sedang tidak ada di sana. Kemudian, dia keluar untuk mencari Irwan, tetapi dia tidak menemukannya. Dia kembali lagi ke ruangan Kamal dan melihat Kamal sudah terbangun. Amat mengajak Kamal untuk makan siang dan menanyakan keberadaan Irwan. Sambil terus mengunyah makanannya, Kamal mengatakan bahwa Irwan tadi meminta izin untuk ke toilet. Amat tampak sedikit bingung mendengar itu semua.
Namun, tak berselang lama, Irwan datang dari arah belakang Amat. Wajahnya terlihat lesu dan seperti seseorang yang lagi kesusahan.Kemudian, Amat bertanya, "Kamu kenapa, Wan? Seperti lagi ada masalah!." Irwan tak langsung menjawab, matanya tajam memandang ke arah Amat.Dia menghela nafas panjang dan berkata "Ketiga temanku diserang anak buah Udin Sangar, mereka sedang mencari orang yang menyerang bos mereka! Aku dan ketiga temanku yang tidak termasuk kedalam komplotannya, menjadi tersangka dan tanpa basa-basi langsung diserang."Mendengar itu, Kamal secara spontan memandang kearah Amat.Namun, Amat tetap terlihat tenang dan bertanya, "Lalu bagaimana keadaan ke tiga temanmu itu, Wan?".Dengan wajah yang marah, Irwan berkata "Mereka sedang dirawat di ruang IGD dan mudah-mudahan tidak terlalu parah, sehingga tidak perlu dirawat berlama-lama disini."Mendengar itu, Kamal berkomentar "Bukannya bagus jika dirawat di sini, agar mereka benar-benar p
Amat keluar dari rumah sakit itu dan berjalan sebentar menuju pangkalan ojek di sana. Disana ada seorang tukang ojek yang sedang mangkal. Amat bertanya kepada tukang ojek itu "Terminal KM. 17 berapa Mas?". Dengan sedikit kaget tukang ojek itu menjawab, "lima puluh Mas, kalo mau?". "Mahal banget Mas! Bisa kurang tidak?" tanya Amat kembali. "Ga bisa Mas! Selain tempatnya cukup jauh, di sana juga rawan Mas." Tukang ojek itu berkata dengan serius. "Oh.. ya sudah kalo gitu" jawab Amat singkat. Amat naik ke motor tukang ojek itu dan mereka meluncur menuju rumah Irwan. Sepanjang perjalanan Amat memperhatikan kehidupan malam kota yang begitu hidup seakan-akan masih siang. Para muda-mudi masih berkeliaran mencari kesenangan. Orang-orang masih sibuk mencari nafkah. Semakin dekat dengan terminal itu, semakin terasa kumuh dan kotornya perkotaan. Kemudian, tukang ojek itu menghentikan motornya di sebuah terminal kecil. Walaup
Kemudian, Amat segera masuk ke ruangan Kamal. Terlihat kamal sudah tertidur di kasurnya. Setelah itu, Amat menghidupkan tv sambil duduk bersila menonton berita. Berita hari ini didominasi oleh berita tentang tewasnya Badarrudin dan perkelahian antarkelompok preman. Namun, berita itu tidak membuat Amat tertarik dan akhirnya dia memutuskan untuk tidur. Tak lupa, sebelum tidur dia mematikan tv itu dan merapikan barang bawaannya untuk pulang esok. Keheningan malam membawa dingin yang begitu menusuk. Secara samar-samar dia mendengar seperti banyak orang yang melewati ruangannya. Dan kemudian, beberapa orang masuk sehingga membangunkannya. Terlihat beberapa perawat sedang membawa pasien ke ruangan itu. Namun, dia tak mau ambil pusing dan kembali melanjutkan tidurnya. Suara-suara itu perlahan menghilang dan hanya meninggalkan keheningan malam yang tak berkesudahan. Pagi yang cerah telah tiba, Amat segera bangun dari tidurnya. Dia melirik kearah
Setelah itu, Amat dan Kamal berpamitan untuk segera masuk ke dalam taksi. Taksi yang sudah penuh segera berangkat meninggalkan terminal itu. Irwan dan teman-temannya hanya bisa melambaikan tangan mereka untuk mengantarkan kepergian Amat dan kamal. Setelah hampir tujuh jam perjalanan, suasana desa yang asri mulai terlihat. Gunung yang hijau dan rimbunya pepohonan menyambut mereka di kiri dan kanan jalan. Suasana tenang seperti ini yang selalu Amat rindukan. Kamal yang berada disebelahnya bertanya, "Kita sudah sampai mana?" Sambil menggosok-gosok matanya. Amat tak langsung menjawabnya. Dia melihat kearah luar dan berkata "Kita sudah sampai Huwai!." "Hah! Berarti kita Kelewatan!" sahut Kamal panik. "Siapa suruh tidur terus!?" jawab Amat sambil tertawa. Kamal langsung membuka matanya lebar-lebar dan mulai memperhatikan sekitarnya. "Huwaian!" teriaknya kesal. Amat hanya tertawa diiringi oleh penumpang lain yan
Setelah acara pemakaman dan tahlilan selesai, Amat mulai kembali merasakan kesepian. Walaupun di rumah itu ada keluarga kakaknya, tetapi itu sama sekali tidak bisa mengusir rasa sepi yang dia rasakan. Apalagi sekarang jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Malam yang gelap, udara dingin yang menyengat, membuat perasaannya semakin masuk ke dalam kesendirian. Amat duduk di bangku panjang didepan rumahnya. Bangku itulah tempat biasanya Amat dan almarhum ayahnya duduk untuk sekedar berbincang santai atau saling bertukar pikiran. Berbagai kenangan seketika juga muncul dari bangku tua itu. Dari Amat kecil hingga sekarang ini. Dimanapun Amat berada ayahnya selalu mendukungnya dan apapun yang Amat kerjakan ayahnya selalu mengarahkannya agar lebih baik. Kenangan itu berkecamuk di hati dan pikiran Amat membuatnya merasakan sakit yang mendalam. Akan tetapi, dengan tekat dan ketenguhan hatinya dia mampu mengatasi rasa sakit itu. Sementara itu, Bainah sedang merapikan rumah. D
Hari-hari di kampung Amat lalui dengan bekerja menjadi buruh di kebun pak Darman. Dia bekerja di sana bersama dengan Kamal. Kamal terlihat sangat giat bekerja untuk bekerja."Kamu semangat sekali, Mal? tegur Amat."Ya iya, Mat! Supaya bos senang dan kita dapat upah yang besar," jawab Kamal sambil tersenyum."Bukan itu maksudku," sahut Amat singkat."Terus?" Kamal menatap Amat serius."Tentang Tuti," jelas Amat singkat."Oh itu! Sudah pastilah, Mat!" jawab Kamal sambil tersenyum."Sudah senyakin itu kamu, Mal?" tanya Amat kembali."Ya, yakinlah! Aku sudah berjanji untuk segera menikahinya," jawab kamal serius."Baguslah! Biar ga lapuk dimakan rayap" sahut Amat tertawa."Maksud kamu apa, Mat? Si otong?" sahut Kamal dengan wajah penasaran."Ya iyalah, apalagi?" ejek Amat sambil tertawa."Kamprett kamu, Mat!" ucap Kamal kesal."Emangnya udah beneran tidak tahan?" tanya Amat sambil me
Setelah berpamitan, mereka semua kembali ke rumah mereka masing-masing. Amat dan Kamal pulang dengan menumpang motor dua teman mereka yang tinggal diperbatasan desa. Setelah itu mereka harus berjalan kaki sekitar dua puluh menit untuk sampai ke desa. Amat dan Kamal berpisah di sebuah pertigaan. Amat belok ke kanan dan Kamal kearah sebaliknya.Ketika Amat baru masuk ke rumahnya, Diah keponakannya memberikan sebuah surat."Dari siapa?" tanya Amat."Dari tukang pos tadi," jawab Diah."Ya sudah, terima kasih ya!" ucap Amat.Kemudian, Amat membaca pengirim surat itu dan ternyata surat itu dari Irwan. Dia membawa surat itu masuk ke dalam kamarnya dan meletakkannya diatas meja.Setelah itu, dia pergi kebelakang untuk mandi. Selesai mandi, dia kembali ke kamar untuk membaca surat dari Irwan tadi. Dia membuka surat itu dan mulai membacanya. Dari surat itu Irwan menanyakan kabar Andi saat ini. Dia juga memberitahu bahwa kea
Pagi yang cerah telah tiba. Amat sudah bersiap-siap untuk ke makam ayahnya. Sebelum berangkat ke sana, Amat sarapan terlebih dahulu."Jangan lupa pamitan juga dengan pak Darman" Kakaknya mengingatkan."Iya! Nanti habis dari makam ayah langsung ke rumah pak Darman," sahut Amat."Bawa barang-barang ini." Kakaknya menyerahkan beberapa buah benda peninggalan almarhum ayahnya."Iya, Kak! Terima kasih," jawab Amat."Ya sudah! Aku berangkat duluan kalau begitu." Kakaknya beranjak meninggalkan meja makan."Memangnya hari ini kakak kerja?" tanya Amat."Seharusnya tidak, tapi bosnya meminta kami untuk ke sana," jelas kakaknya."Oh.. lembur?" sahut Amat."Mungkin," jawab kakaknya singkat."Diah kemana, Kak?" Amat mengalihkan pandangannya ke kamar kakaknya."Dia sedang belajar kelompok di rumah temannya," jawab Kakaknya sambil berjalan meninggalkan Amat."Ya sudah, aku berangkat dulu," sambunh kakaknya pamit kep