Maren membeliak tidak percaya, lebih-lebih Wira. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan terdiam untuk beberapa saat lamanya. "Apa? Jadi kamu benar benar mengenalnya, Marren?" tanya Wira dengan terkejut hingga tanpa sengaja la meninggikan suaranya. Marren meletakkan jari telunjuk pada bibirnya dan membuat Wira langsung membekap mulutnya sendiri. "Sorry, Saya tidak sengaja Ini benar-benar mengejutkan. Oh, ya ampun," desah Wira dengan wajah keheranan. "Saya hanya sekedar kenal. Itu Papanya Arthur, mantan kekasih Saya waktu masih SMA dulu," papar Marren mengendikan bahunya."Seingat Saya hanya dua atau tiga kali bertemu, itu saja," ungkap Marren dengan wajah masih tidak percaya dengan apa yang telah dilihatnya, hingga ia harus menatap lagi foto lama itu. Wira mengangguk paham, "Ya, Saya paham. Tetapi sepertinya kamu tidak pemah menceritakan padaku tentang Arthur'' ungkap Wira mengingat-ingat. "Ya, karena Saya pikir, tidak akan bertemu dia lagi sejak dia menghilang saat kami
Arsan tertegun tapi senang saat mendapati Marren menyambut kedatangannya di depan pintu utama rumah. "Marren? Apa yang kamu lakukan? Seharusnya Kamu masih beristirahat di kamar," tegur Arsan seraya berjalan mendekat. "Tidak apa- apa, Saya sudah sehat. Dan Saya ingin menyambutmu pulang kerja. Karena Saya tidak melihat kamu berangkat dan kamu pulang terlambat dari biasanya," papar Marren dengan senyum ringan. Arsan segera meraih punggung Marren untuk memeluknya. Lalu mengecup puncak kepalanya dalam. "Saya pulang, Marren," ucap Arsan dengan lembut dan penuh cinta. "Selamat datang, Arsan," bisik Marren dalam dekapan Arsan dan membalas pelukan Arsan dengan erat untuk sesaat. "Apa kamu sangat sibuk hari ini, sampai pulang selarut ini?" tanya Marren berjalan beriringan bersama Arsan. "lya, dan semua urusan itu membuat saya pusing, benar-benar melelahkan, seolah tidak ada habisnya. Sudahlah, Saya tidak ingin membawa pulang ke rumah masalah kantor," sahut Arsan mengelak menjelaskan saa
Jantung Marren berdegup sangat kencang, akan tetapi Marren segera menguasainya agar Arsan tidak merasakan segala kegelisahannya itu."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa kamu sedang menuduh Saya?" Marren balik bertanya menanggapi pertanyaan Arsan. Arsan menghela napas panjang, "Bukan seperti itu, Marren. Maksud Saya, kalau kamu ada masalah tentang diri Saya yang tidak berkenan di hatimu, sebaiknya kamu jujur saja pada Saya. Agar, Saya tahu harus bagaimana. Saya tidak mau melihatmu sakit seperti kemarin. Kamu pikir bagaimana perasaan Saya saat melihatmu pingsan, tergeletak di lantai?" papar Arsan dengan tatapan penuh dengan kekhawatiran. "Untung saja kemarin kamu tidak terluka. Coba hagaimana kalau kepalamu terbentur atau semacamnya? Kamu pikir Saya idtak panik? Kamu pikir saya tidak khawatir? Rasa-rasanya Saya tidak mau sedikit pun memejamkan mata sebelum kamu terbangun," Imbuh Arsan berbicara dengan wajah bersungut-sungut dan membuat Marren mengemyit menahan kedukaan di wajah ca
Siang itu, Marren telah berada di sebuah mall untuk makan siang bersama Arsan.Tidak berapa lama Wira datang dan bergabung bersama mereka. "Baiklah, sudah waktunya Saya pergi. Bersenang-senanglah kalian. Sayq akan kembali ke kantor," sahut Arsan pada Marren dan Wira. Arsan mengecup lembut pipi dan bibir Marren, "Jaga dirimu, jangan terlalu lelah," ucap Arsan dengan lembut pada Marren yang menatapnya dalam. "lya, terima kasih, Arsan. Kamu juga, ya, Saya tidak akan lama, hanya menemani Wira mencari buku lalu langsung pulang," sahut Marren membalas kecupan di bibir Arsan.Sebelum Arsan akhirnya beranjak pergi seraya menyapa Wira sekedarnya. "Sekarang Saya paham kenapa kamu sampai sakit seperti itu, Marren. Arsan seorang suami yang begitu sempurna. Dan bahkan saya merasakan bagaimana ia sangat mencintaimu hanya dengan menatapnya saja. Rasa cintanya terlalu jelas untukmu, Marren," ucap Wira sepeninggal Arsan.Mereka masih menatap sosok Arsan dari belakang yang berjalan menjauh menuju
Sesampainya di rumah, Marren yang sudah bisa menguasai dirinya, berjalan tertatih-tatih diiringi Wira.Sementara Arland memarkirkan kendaraannya. Melihat rombongan yang tidak biasa itu, Madya segera menyongsong Marren yang terlihat pucat pasi. "Ada apa ini? Apa yang sudah terjadi? Oh, apa Marren kambuh lagi?" cecar Madya terlihat panik diikuti oleh para pelayan rumah. Melihat kondisi Marren yang tak baik-baik saja para pelayan berinisiatif mengambilkan minuman untuk Marren dan para tamu. "Kami melihat kecelakaan maut. Tante. Di depan mata kami. Dan Marren sangat syok karena itu," sahut Wira yang kini ikut duduk di sofa tunggal bersebelahan dengan Marren yang kini duduk bertelekan kepala sofa.Wira menceritakan secara detailnya kepada Madya yang membelalak kaget, bertepatan Arlqnd memasuki rumah. "Oh, Arland, terima kasih, Nak. Kamu datang tepat pada waktunya," ucap Madya berterima kasih dan menyambut Arland dengan memberinya pelukan. "Iya, Ma, sebenarnya saya juga tak sengaja ke
Seharian itu Marren hanya bisa gelisah menunggu kepulangan Arsan, dua kali ia menghubungi nomor ponselnya tidak sekali pun Arsan mengangkatnya. Marren menatap jam dinding yang bertengger di dinding ruang tengah, di mana ia duduk menunggu Arsan seraya menonton televisi. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh lima menit malam. Sejak pukul sembilan para asisten rumah tangga telah berada di kamar masing-masing karena mereka harus bangun lebih awal dari para majikan. "Sudahlah, Nak, sebaiknya, Marren tidur lebih dulu. Mungkin Arsan sedang sibuk dengan keluarga Tuan Wilson, Mungkin Arsan sibuk mengurusi administrasi jenazahnya," Hibur Madya yang melihat Marren tak bisa menutupi gelisahnya setelah panggilan teleponnya tidak mendapatkan respons dari suaminya. "Iya, Mom, tapi Marren belum mengantuk. Sebaiknya Mommy tidur, ya. Sebentar lagi mungkin Arsan akan pulang," sahut Marren seraya berdiri mengantarkan ibunya ke kamar. Dan benar saja, tidak berapa lama Madya memasuki kamar, t
"Apa, maksudmu?" ulang Arsan perlahan seolah menegaskan perkataannya."Jangan berpura-pura tak paham, banyak pasangan yang menuduh pasangannya berselingkuh, tapi itu hanya sebagai dalih, padahal dialah yang sebenarnya berselingkuh," papar Marren dengan wajah kesal. "Saya tidak menuduhmu. Saya hanya bertanya kenapa kamu menemui Arland di belakang Saya? Bahkan setelah Saya melarangmu. Itu saja," elak Arsan dengan tatapan dingin "Seharusnya Kamu cukup bilang pada Saya, itu tidak sengaja. Tapi, kamu terlalu banyak bicara dan bahkan menangis seperti ini" imbuh Arsan seolah dalam satu tarikan napas. Marren tercekat mendengar ucapan Arsan yang sinis dan terdengar sarkasme. Itu tandanya kemarahan Arsan telah memuncak. Dan Marren lebih memilih diam tanpa menjawab."Kenapa diam?" tegur Arsan dengan mendesak, tidak henti-hentinya menatap tajam Marren."Apalagi yang harus saya katakan? Semua ucapan Saya tak ada artinya buatmu. Semua penjelasan saya tak berguna untukmu. Yang kamu butuh hanya p
Marren mencoba mengabaikan pesan kode rahasia dari Arland. la hanya ingin fokus memperbaiki hubungannya dengan Arsan yang tiba-tiba memburuk karena saling salah paham.Marren menghela napasnya dengan berat seraya menghapus pesan masuk dari Arland. 'Saya merasa semua ini harus dihentikan dan harus diakhiri sampai di sini. Entah benar atau tidak, Saya merasa orang-orang itu meninggal karena korban dari dalang di balik tragedi itu. Dan sepertinya orang ini terlalu besar dan kuat untuk dijamah,' pikir Marren dengan wajah lelah. Marren menghela napas dengan berat, tanpa diketahuinya Arsan telah berada di belakangnya dan memperhatikan setiap gerak geriknya yang terlihat gelisah seraya sesekali memandang ponselnya. Dan karena melihat Marren yang melamun tak berdaya membuat Arsan berniat sedikit menjahilinya.'Arsan juga tak sekali pun mengirim pesan, apalagi menelepon. Dia pasti semarah itu denganku.''Oh, ya ampun, Saya harus bagaimana lagi sekarang?' pikir Marren seraya meletakkan ponse
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau