“Yang sabar ya, Mbak. Hidup memang berat. Tetapi kita harus berjuang. Makanya Allah beri kita masalah, karena Allah tahu kita mampu,” ujar supir taksi yang membuatku kaget. Dia lalu melihatku sejenak lewat spion yang ada dalam mobil, lalu lanjut berkata, “semua manusia punya ujiannya masing-masing. Semangat, Mbak.”
Mungkin supir taksi ini bisa menebak jika aku sedang mengalami masalah yang berat, karena sejak tadi aku terus saja menangis. Sebenarnya malu karena harus menangis di dalam taksi. Hanya saja air mata ini tak bisa untuk ditahan. “Makasih ya, Pak.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Aku merasa seperti dinasehati oleh seorang ayah. Supir taksi ini sudah tidak muda lagi. Aku perkirakan usianya sekitar 50 tahun lebih. Jika ayah masih hidup, mungkin usia ayah juga sudah lima puluh tahun. Andaikan aku memiliki orang tua yang lengkap, mungkin aku tidak akan serapuh ini. Ketika ada masalah, aku akan pulang ke rumah orang tua untuk berkeluh kesah. Nyatanya nasibku tak sebaik orang lain. Tetapi benar juga kata bapak ini, Allah mengujiku karena Allah tahu aku mampu melewati semuanya. Jika mengeluh, berarti aku tidak percaya dengan diri sendiri. Allah saja percaya padaku, kenapa aku tak percaya. “Pak, ini bonus untuk bapak,” ujarku sambil menyodorkan uang tiga ratus ribu. Bapak ini pantas mendapatkan uang lebih. Setidaknya, setelah mendapatkan motivasi dari si bapak, pikiranku bisa sedikit lebih jernih. “Nggak usah. Mbak ‘kan sudah bayar,” ujar supir sambil tersenyum, dia menoleh padaku yang masih duduk di kursi belakang. “Hehe, ini uang untuk rasa terimakasih karena bapak sudah menasehati saya. Setidaknya perasaan saya sudah lebih baik setelah mendengarkan nasehat dari bapak.” “Kalau begitu uangnya saya ambil ya, Mbak. Semoga Allah melimpahkan rezeki untuk mbak, Allah sehatkan dan lancarkan kehidupan mbak. Terimakasih.” “Terimakasih kembali, Pak.” Setelah berkata, aku langsung keluar dari taksi. Aku langsung memasuki penginapan. Sebelumnya aku pernah ke sini. Penginapan ini cukup bersih. Meskipun tidak semewah beberapa penginapan yang pernah aku kunjungi. Setidaknya tinggal di sini untuk seminggu bisa lebih murah. Sekarang aku harus banyak menghemat. Aku langsung mengirim pesan pada Lufi setelah masuk ke dalam kamar. Dia harus tahu keadaanku sekarang. Hanya dia yang aku kenal untuk bisa membantu. Lama menunggu balasan yang tak kunjung ada, aku akhirnya memilih untuk menelpon. Dering pertama tidak diangkat. Dering kedua pun masih sama. Dering kegiatan, suara Lufi terdengar. “Assalamualaikum, Fi, sibuk nggak?” [“Nggak kok, gimana? Sorry, aku baru lihat hp. Kamu ada pesan dari kamu.”] [Fi, aku sudah memutuskan untuk pergi dari hidup Mas Anjas] [“What? Sekarang kamu di mana?”] [Aku di Penginapan Zaitun. Baru aja sampai] [“Tunggu, aku ke situ sekarang. Aku nggak bisa dengar penjelasan kamu lewat handphone.”] Panggilan langsung dimatikan secara sepihak oleh Lufi. Aku yakin dia sangat kaget mendengar ucapanku. Semua terdengar jelas dari suaranya. Aku menulis pesan pada Lufi untuk singgah membelikan makan. Sebenarnya tidak merasa lapar, tetapi janin di dalam perut membutuhkan asupan. Sekarang sudah sore, dan aku belum makan siang. Tak membutuhkan waktu lama, aku mendengar suara ketukan dari balik pintu kamar. Siapa lagi orangnya kalau bukan Lufi? Aku langsung bergegas untuk membuka. Lufi langsung memelukku. Bibirnya pun mengucap kata, “ada apa dengan kamu? Bukannya kemarin kamu katakan sudah memaafkan Mas Anjas. Kamu ikhlas asalkan Mas Anjas tetap mencintai kamu.” “Masuk dulu, masa iya aku cerita di pintu. Setelah makan, baru aku ceritain. Mana makananku, aku lapar.” Aku langsung mengambil plastik berisi makanan yang ada di tangan Lufi. Dia seperti terheran melihatku. Aku pun berjalan masuk, Lufi mengikut di belakang. “Vara, kamu sebenarnya lagi ada masalah atau tidak sih? Kok kamu nggak nangis?” ujar Lufi yang menampilkan wajah heran. Aku menaikkan sebelah alis. Bibir pun berkata, “udah capek nangis. Kasian janin dalam perutku, dia lapar. Bentar aja lagi baru lanjut nangis.” Lufi tertawa terbahak. Aku mengerutkan alis. Memangnya apa yang lucu dari ucapanku? Sepertinya tidak ada. Lalu apa yang membuatnya tertawa. “Kamu lucu, Vara. Mungkin karena bawaan ibu hamil ya. Haha,” ujar Lufi masih dengan wajahnya yang seolah mengejek. Lufi tahu jika aku sedang hamil. Dia bahkan menjadi orang pertama yang mendengar berita tentang kehamilan ku. Padahal aku ingin Mas Anjas menjadi orang pertama. “Vara, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Lufi sambil menatapku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Kini aku memasukan makanan terakhir dalam mulut. Entah apa yang terjadi padaku karena tidak merasakan kenyang sama sekali. Padahal makanan yang bawa oleh Lufi cukup banyak. Rasanya biasa saja seperti tadi. Mungkin ini bawaan hamil. Tadi juga aku tidak merasakan lapar, sekarang seperti tak juga kenyang. “Sekarang kamu cerita ke aku! Nggak usah buat banyak alasan!” Lufi langsung duduk di depanku. “Hari ini aku capek bangat, Fi. Aku dari rumah orang tua Anjas. Pergi dan pulang juga hari ini,” ujarku setelah minum. Perempuan ini sama sekali tidak mengizinkan aku untuk beristirahat. “Vara, aku udah ngerti apa yang akan kamu bahas.” Lufi langsung memelukku. Tetapi aku tidak membalas pelukannya. “Jangan peluk aku, Fi. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku capek menangis terus. Sudahlah, aku ingin melupakan semuanya. Tetapi, kalau dipeluk kayak gini, aku nanginya bisa nangis,” ujarku sambil menahan sesak di dada. Sungguh, aku tak bisa jika mendapat pelukan seperti. Aku merasa sudah cukup kuat setelah tidak menangis sejam lebih. Tetapi mendapat pelukan hangat dari Lufi membuat jiwa rapuh. “Lepaskan aku, Fi.” Tangisanku akhirnya pecah juga. “Menangis lah. Jangan di tahan. Aku tidak suka melihatmu berpura-pura tegar. Jangan sok kuat. Aku tahu sekarang kamu butuh dipeluk,” ujar Lufi yang perlahan melepaskan pelukannya. “Mas Anjas bohong, Fi. Dia bilang hanya aku perempuan yang dia suka. Padahal tadi aku melihatnya begitu bahagia dengan Ana. Aku tidak percaya kalau hanya aku perempuan yang dia suka. Mustahil, apalagi dia tinggal sekamar dengan Ana. Aku sakit, Fi. Sumpah, rasanya sakit sekali.” Sesekali aku menghapus air mata yang kini membanjiri pipi. Tadi aku sudah berjanji untuk tidak menangis. Namun, saat disuruh bercerita, air mata ini pasti menghujan dengan derasnya. “Aku kecewa, Fi. Kenapa Mas Anjas dan Ana sangat jahat padaku. Padahal aku merasa tidak punya salah pada mereka. Aku sangat kecewa pada Ana. Bahkan aku pernah cerita ke dia jika mendapat kabar jika Mas Anjas selingkuh, tetapi respon Ana malah seolah kalau Mas Anjas tuh lelaki setia. Aku sangat bodoh, Fi. Ternyata Ana yang menjadi selingkuhan Mas Anjas. Mereka berdua terlalu hebat dalam membohongi aku. Mereka jahat, Fi,” tuturku sambil sesegukan. “Aku yang salah, Var. Maafin aku. Seharusnya sejak dulu aku memberitahu kamu kalau yang jadi selingkuhan suami kamu tuh Ana. Perempuan yang selalu kamu banggain ke aku karena kalian sudah lama dekat, bahkan sejak kita berdua belum bersahabat. Aku jadi merasa bersalah sama kamu, Var. Mereka sudah lama menikah.” Vara berkata sambil mengusap lenganku. Aku menggeleng, “bukan salah kamu, Fi. Aku ngerti kenapa kamu nggak ngomong, siapa selingkuhan Mas Anjas. Pasti kamu nggak enak untuk ngomong itu. Aku ngerti kok.” “Maafin aku, Var. Aku memang cerita ke kamu kalau Mas Anjas selingkuh, tetapi aku tidak ceritakan secara lengkap soal perselingkuhan mereka. Sebenarnya mereka sudah lama menikah. Bukan baru setahun dua tahun ini. Usia pernikahan mereka sebanarnya hanya beda dua bulan dengan pernikahanmu. Jadi setelah Mas Anjas menikahi kamu, dua bulan berikutnya dia menikah dengan Ana.” Aku membelalakkan mata mendengar penjelasan Lufi. Kepala menggeleng. Bibir pun berkata, “maksud kamu apa, Fi. Katanya kalau yang baru saja kamu ucapkan adalah bohong.”“Aku nggak bohong, Var. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku menceritakan semuanya. Aku yakin setelah mendengar ceritaku, kamu akan semakin terpuruk. Tetapi kamu berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka,” ucap Lufi, tatapannya sangat sendu melihatku. Ada rasa ingin menghentikan Lufi agar tidak bercerita. Namun, ada pula rasa penasaran. Apa saja yang tidak aku ketahui selama ini? Benarkah ada banyak hal yang mereka sembunyikan dari aku? Sebanyak apa rahasia diantara Mas Anjas dan Ana? “Kamu tahu nggak, kenapa selama ini aku selalu mengatakan, jangan mudah percaya dengan kepolosan seseorang?” Aku hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ana. Otak terasa lemot untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Heheh, aku sudah menduga, kamu tidak paham dengan ucapanku, Vara. Orang yang aku maksud itu Ana. Selama ini kamu selalu memuji Ana di hadapanku dan aku sangat membenci itu. Dia munafik, Vara. Dia tidak sebaik yang kamu sangkakan selama i
***“Sayang, apa lagi yang kalian perdebatkan? Langsung makan saja kenapa sih?” Teriak ku dari dapur.Sedangkan di meja makan, kedua putriku masih saja berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan, sepertinya sangat seru. Hingga suara mereka terdengar hingga ke dapur. Mereka masih asyik berdebat tanpa menggubris perkataanku. Setelah membersihkan semua peralatan masak pagi ini, aku langsung mendekati Candi dan Candu — Kedua putri kembarku yang kini sudah berusia dua puluh tahun. “Kalian berdebat tentang apa? Kenapa bunda tidak diajak?”“Nih Kak Candu. Sangat menyebalkan. Masa dia mengatakan kalau Yislam jelek,” ujar Candi dengan sangat lembut.“Lah emang jelek. Aku tuh heran kenapa Candi suka sama lelaki modelan kayak Kak Yislam. Kamu tuh bisa dapat laki-laki yang lebih dibandingkan dia.” Kali ini Candu yang berbicara. Aku mengerutkan alis. Siapa lelaki yang sedang mereka bahas? “Yislam itu siapa, Nak. Orang mana? Kok kalian bisa kenal dia? Kenalnya dari mana?” tuturku dengan kedua
“Apa ini, Mas? Jujur pada aku, selama ini kamu berbohong ‘kan!” Aku berkata histeris. Melempar semua foto yang diberikan oleh Lufi sahabatku. Awalnya aku tak percaya. Sudah berulang kali Lufi mengatakan jika Mas Anjas berselingkuh, tetapi aku tak percaya. Bukan hanya Lufi yang pernah berkata begitu padaku, tetapi aku sungguh tak pernah percaya. Bagaimana mungkin bisa percaya, Mas Anjas sangat baik padaku. Dia memperlakukan aku bagai ratu. Dia tak pernah marah. Semua keinginanku selalu dipenuhi. Dia tak pernah berkata kasar. Semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi. Lantas dengan dasar alasan apa aku bisa percaya pada orang-orang yang mengatakan jika Mas Anjas selingkuh?“Sayang, dengar dulu penjelasan ku. Semua tidak seperti yang kamu katakan. Tolong dengarkan aku dulu,” ujar Mas Anjas memohon.“Penjelasan apa, Mas? Bukti foto itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini kamu meminta izin keluar kota untuk bekerja, nyatanya kamu berbohong. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!” Aku sangat histe
“Sayang, aku tak akan pernah menceraikan kamu. Aku akan hidup bersamamu seumur hidup. Aku pastikan, akan hidup menua bersama kamu. Tolong, jangan berkata seperti itu, Sayang. Kita tidak akan pernah berpisah.” Mas Anjas berkata dengan derai air yang keluar dari kelopak. “Berhenti panggil aku sayang! Tolong berhenti! Aku tidak suka mendengarnya. Mas itu pembohong! Mas itu pengkhianat! Berpura-pura baik di depanku agar aku tidak tahu tentang keburukan mas dibelakang. Aku bodoh, Mas! Aku sangat bodoh!” ujarku histeris. Tangan terus saja memukul-mukul dada Mas Anjas.Mas Anjas berusaha mendekapku, tetapi aku terus saja berupaya agar tak masuk dalam pelukannya. Aku tak bisa berdiri dan menjauh, Mas Anjas terlalu kuat menahan agar aku tak lari darinya. Aku membenci posisi kami saat ini.Akhirnya aku lelah. Tangan telah berhenti untuk memukul. Hanya derai tangisan yang memenuhi ruang kamar ini.“Aku benci kamu, Mas! Kenapa harus Ana? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus An
Saat itu, aku hanya bisa terdiam. Bibirku membisu. Mata mulai berkaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Mas Anjas pernah berkata jika dia sering menceritakan aku ke ibunya dan ibunya senang setiap kali mendengar cerita tentangku. “Vara,” panggil Mas Anjas sambil menyentuh lenganku, “nggak usah pikirkan ucapan ibuku. Nggak apa-apa kok. Ibu emang gitu kalau sedang ada masalah.”Aku langsung minum. Tidak banyak, cukup satu tegukan untuk membasahi tenggorokan. Kedua bola mataku rasanya tak mampu melihat wajah Mas Anjas.“Aku pulang ya, Mas,” ujarku yang langsung berdiri. Makanan di piring ku saat itu belum habis. Tetapi aku sudah tidak bernafsu untuk makan. Rasa hidangan yang enak terasa tawar. Aku tidak bisa berlama lama lagi di rumah itu. Mas Anjas menahan tanganku. Bibirnya pun berkata, “aku akan mengantarmu pulang. Aku yang membawa kamu ke sini dan aku juga yang akan mengantarmu.” Saat itu, aku hanya mengikuti keinginan Mas Anjas untuk mengantar pulang, tanpa membantah. Cukup lama
“Apa kamu tidak bisa melihat bagaimana perjuanganku agar kita bisa menikah, Vara. Aku tahu, aku salah. Aku tahu jika jalan yang aku ambil salah, tapi hanya itu satu satunya cara agar ibu ku merestui hubungan kita. Semua ini keinginan kamu, Vara. Kamu yang menuntut mau menikah dengan syarat direstui oleh orang tuaku. Aku mengikuti keinginanmu.”Aku tidak mengerti dengan perkataan Mas Anjas. Perjuangan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat? Selama ini dia tidak pernah bercerita apapun padaku.“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku atas pernikahanmu dengan Ana. Okey, aku yang salah dan sebagai permohonan maaf, tolong ceraikan aku,” tuturku dengan pelan. Kalimat ini terlalu berat untuk keluar dari bibir. Bagaimana mungkin Mas Anjas menyalahkan aku atas keputusannya untuk menikah lagi. “Bukan begitu maksud aku, Vara. Bisa tidak, kamu melihat dari sisi yang lain. Aku melakukan semua ini agar kita bisa menikah, Sayang. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku hanya berusaha untuk melakukan cara apapu
***Aku mengusap perut yang masih rata. Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan pada Mas Anjas, tetapi sudah dua bulan lebih dia tidak pulang. Berulang kali coba menghubungi, tetapi nomor Mas Anjas tidak aktif. Aku sudah menghubungi salah satu rekan di kampus tempat Mas Anjas mengajar. Tetapi katanya, Mas Anjas juga tidak masuk kampus, dia sudah meminta izin ke atasannya untuk melakukan perkuliahan online. Aku sungguh gelisah dan panik. Setiap malam tidurku tak pernah nyenyak. Dokter kandungan menyuruhku untuk istirahat yang cukup, tetapi aku tidak mungkin bisa. Suamiku hingga kini tak ada kabar, bagaimana aku bisa tenang. “Kamu di mana, Mas? Aku rindu. Aku butuh kamu saat ini,” lirihku sambil menatap keluar jendela. Inilah aktivitas yang sudah sebulan lebih aku lakukan, duduk termenung menatap keluar jendela yang langsung menghadap pagar rumah. Aku selalu berharap pagar itu terbuka dan menampakan sosok Mas Anjas. “Mas, aku hamil. Apa kamu tidak ingin mendengar kabar baik ini? Ap
Aku pun berbalik dan melangkah. Mas Anjas berulang kali memanggil namaku dengan lembut. Tetapi aku tak kunjung menghentikan langkah. “Eh, Mbak nggak makan dulu. Kok baru datang langsung mau pulang?” ujar seorang bapak yang tadi menyuruhku masuk.“Hehe, nggak usah, Pak. Saya buru-buru,” ujarku lembut dengan senyum yang menghiasi wajah.Baru saja ingin melanjutkan langkah, ibu dan Ayah Mas Anjas terlihat memasuki pintu rumah. Aku tersenyum pada mereka yang cukup kaget melihat keberadaan ku di sini. Aku menoleh pada Mas Anjas yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Lalu kembali tersenyum pada orang tua Mas Anjas.“Eh, Tante dan Om apa kabar?” ucapku ramah dan langsung menyalami tangan mereka.Tak ada balasan ucapanku. Mungkin mereka masih kaget melihat keberadaan ku di sini. Ayah dan ibu Mas Anjas saling menatap beberapa detik, lalu kembali melihatku.Raut wajah mereka terlihat panik. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka, takut jika aku membuat onar di sini. Mana mungkin mereka lupa j