“Maaf, Nona. Tuan Aryo memanggil Anda ke ruangannya.” Katanya sopan dengan wajah yang tertunduk.
“Terima kasih, Bi. Aku akan segera menemuinya sebentar lagi.”
“Baik, Nona.”Sahutnya dan ia pun menghilang di sudut tengah lorong utama tempat anak tangga menuju lantai dua berada.
Aku berjalan keluar dari pintu kamarku, menyusuri sepanjang lorong di lantai dua sambil mengamati beberapa lorong menuju ke kamar Safira, Kevin, dan Bayu yang terpisah dalam lorong-lorong yang berbeda. Hanya kamarku yang berada di ujung lorong utama sebelah selatan. Sesampainya dibelokan di tengah lorong utama, aku menuruni anak tangga dan berputar lantai bawah untuk menuju ke ruang kerja Aryo Wicak Dirgantara, kepala keluarga Dirgantara.
Aku mengetuk pintu kamar pelan sebanyak dua ketukan dan terdengar dari dalam suara serak Aryo yang menyuruhku masuk.
“Duduk!” perintahnya padaku. Aku menurutinya dan terdiam menunggu sampai ia membuka suara. Ia lagi-lagi tengah membaca buku yang sama persis dengan buku yang terakhir kali aku lihat ia baca. Ia menutup bukunya dan melepaskan kacamata bacanya ke atas meja. Perutnya yang besar mencuat tatkala ia bersandar pada kursi kerjanya dan menatapku lamat sambil mematut kedua jari tangannya bersamaan.
“Tujuanku memanggilmu ke mari adalah untuk memberitahukan perihal pesta keluarga Dirgantara yang akan berlangsung pekan depan.” aku hanya mengangguk tidak terkejut namun penasaran dengan penjelasannya akan pesta ini. Otakku haus akan jawaban dari semua pertanyaan di pikiranku.
“Kalau boleh tahu pesta apa ini, Pa?” Aryo tersenyum menanggapi pertanyaanku.
“Pesta untuk menyambut keluarga Dirgantara.” Aku terdiam. Masih belum paham dengan maksud menyambut keluarga Dirgantara.
‘Menyambut siapa?’
Jeda. Tak lama kemudian Aryo kembali menjawab.
“Seharusnya aku memperkenalkan kalian sejak lama. Sejak saat kau dan mamamu melangkahkan kaki kalian di rumah ini.” aku tertegun mendapati penjelasan Aryo. Matanya menerawang pada pigura foto kecil di atas meja kerjanya.
“Mamamu menyuruhku untuk tidak melakukannya, tapi aku tidak bisa lagi mengatakan tidak sementara kau harus bertahan menerima cemoohan orang lain.”
“Kau tahu?” kataku sedikit menaikkan nada bicaraku walaupun tidak sesengit itu menunjukkan sikap kurang ajarku padanya. Aryo tertawa pelan menanggapi komentarku.
“Jelas aku tahu. Aku adalah seorang Dirgantara, sayang. Bisnisku tidak hanya terbatas pada bidang perkebunan, tapi juga sampai pada pengelolaan hasil kebunku. Itulah yang membuat aku kaya. Dengan kekayaanku, apa yang tidak bisa aku lakukan dan apa yang tidak kuketahui? Aku bahkan tahu tentang kau dan bisnis café-mu itu.”
“Apa? Kau tahu?” kini kurasa nadaku benar-benar sengit di hadapannya.
“Jadi apa mama juga tahu?” ia mengangguk pelan.
“Ia tahu semua kebohongan yang dikatakan putri kecilnya.” ucapnya membuatku berkaca-kaca jika mengingat kenangan tentang mama.
“Lalu kenapa kalian diam?”
Aryo bangkit dari kursinya dan berjalan secara perlahan ke arahku.
“Karena kau yang menginginkannya begitu.”
“Lalu kenapa kau tetap memaksaku untuk bekerja di perusahaan keluarga Dirgantara?” tanyaku berusaha menahan air mataku yang akan tumpah. Aryo menyentuh pundakku dan meremasnya pelan.
“Karena itu yang mamamu inginkan. Keinginan terakhirnya agar kau bisa bergabung di perusahaan Dirgantara.”
“Tapi kenapa? Apa hanya karena itu keinginan mama lantas kau mengabulkannya?”
Aryo menatapku lamat. Ada gurat kesedihan saat aku menengadahkan wajahku dan ia balas menatap mataku. Jeda terjadi cukup lama sebelum Aryo melepas tatapan matanya padaku.
“Aku belum bisa mengatakannya.”
“Kenapa?”
“Karena aku baru bisa mengatakannya jika kau memang benar-benar sudah menginginkannya.”
“Maksudmu?”
“Tidak perlu banyak bertanya. Kau cukup persiapkan dirimu untuk pekan depan dan jangan lupa kau membutuhkan partner, dear. Kau akan menjadi pemeran utama dalam pesta pekan depan dan apakah aku sudah mengatakannya padamu, kalau kau yang akan melakukan dansa pertama sebagai puncak acaranya?” kini pertanyaan-pertanyaan itu menghilang begitu saja. Mendadak pikiranku kosong. Apa dia bilang? Aku pemeran utama? Dansa dan partner? Aku bahkan tidak bisa mengikuti pelajaran seni tari waktu sekolah dasar dulu dan partner? Siapa yang bisa aku ajak? Tidak mungkin aku mengajak Bayu. Anton? Mungkin aku bisa menanyakannya pada Anton, tapi kenapa aku ragu? Kenapa tiba-tiba saja perasaanku mendadak menjadi khawatir mengetahui semua fakta tentang pesta ini. Bisakah aku melewatinya?
“Mmm.. Kak.” aku memanggil Bayu ragu saat ia sedang serius bekerja dengan notebook di hadapannya. “Apa?” jawabnya tak lama kemudian tanpa menatapku dan fokus membolak-balik lembaran kertas di samping notebook-nya, seperti mengecek keakuratan data di notebook dan lembaran kertas tersebut. “Soal.. Soal pesta itu..” “Papa sudah memberitahumu rupanya.” sergahnya menatapku tanpa mengangkat wajahnya. “Iya dan aku ingin bertanya, siapa pasangan..” tiba-tiba telephon di atas meja kantor Bayu berbunyi nyaring. Bayu menekan tombol speaker dan terdengar suara Sasa di sana. “Iya ada apa, Sasa?” jawab Bayu menerima panggilan dengan nada tegas yang bijaksana seperti biasa. “Maaf, Pak tapi Bapak ada tamu yang menunggu di luar?” “Siapa?” “Nona Armenita Chandra. Ia mengaku sebagai teman karib, Bapak.” ‘Armenita Chandra?’ Bayu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut seolah baru saja mengingat sesuatu yang terlupakan. “Ya, Sasa. Suruh dia masuk.” Pangg
Aku kembali mematut diriku di cermin. Tak percaya dengan hasil karyaku sendiri. Aku memoleskan make-up tipis pada wajahku agar menampilkan kesan senatural mungkin. Rambut hitamku kugelung ke atas dan menyisakan sedikit bagian anak-anak rambut yang bebas pada tengkukku. Aku kini memperhatikan tubuhku yang dibalut oleh gaun yang panjang sebatas mata kaki. ‘Ini merupakan gaun yang indah.’ Batinku. Gaun hitam dengan aksen glitter yang tak berlebihan. Gaun ini memiliki model lengan yang terbelah dan menampakkan belahan dada dan punggungku, namun tak cukup jelas karena tertutupi oleh kain transparan yang menyambung pada tanganku. Ya, aku bagaikan memiliki sepasang sayap untuk terbang. Aku memutar tubuhku sekali lagi dan terlihat jelas heels dengan warna perak di kakiku. Penampilanku sempurna dan terima kasih untuk ayah tiriku. Hal ini mengingatkanku pada percakapan kami siang tadi. Flashback “Bagaimana jika aku tak pergi ke pesta?”kataku pada ayah tiriku yang sedang menikmati waktunya
5 Hari Sebelum Pesta “Ini laporan apa, huh? Kacau semua isinya, coba kamu lihat!!” Vivian, kepala divisiku melempar kasar map biru yang berisi lembaran-lembaran dokumen pekerjaanku ke atas meja. Aku mengerjap kaget mendapati reaksinya tersebut. Aku terlalu fokus memikirkan tentang Bayu yang tengah bersama Ara. Menghabiskan waktu berdua dengannya. Hal itulah sebenarnya yang juga melatarbelakangi kekacauan pekerjaanku belakangan ini. Semenjak Armenita hadir, Bayu lebih sering berada di luar kantor. Aku baru saja mengetahui dari Sasa bahwa Ara adalah teman SMA Bayu dulu dan merupakan seorang fashion designer yang sebenarnya telah lama berdomisili di Perancis. Keberadaan Armenita yang mendominasi Bayu ternyata membawa dampak buruk bagi diriku. Bayu bahkan tidak menyukaiku. Aku selalu hanya dapat berharap agar Bayu dapat membalas perasaanku. Tapi itu tidak mungkin, jadi aku menurunkan perasaanku sampai pada level ‘aku berharap agar aku selalu dapat berada di sisinya, walaupun tanpa memi
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya secara perlahan dengan intonasi suara yang tegas dan dalam. Aku masih tertunduk tidak dapat mengangkat wajahku untuk menatap matanya. Terbersit dibenakku saat ini tentang kepergiaan mama, lalu tentang betapa konyolnya peraturan ayah tiriku sehingga membuatku kembali terjebak dalam keluarga Dirgantara, tentang celaan orang-orang yang tiada habisnya, pesta itu, kedekatan Bayu dengan Ara, pekerjaan, café, dan saat ini Dandy. Tiba-tiba semua pemikiran itu menyerbuku bersamaan dan tepat sebelum air mataku jatuh, tangan Bayu menggapai tanganku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Wangi tubuhnya yang maskulin menguar di sekelilingku. “Syukurlah aku menemukanmu di sini!” katanya membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. “Papa mencemaskanmu, ayo ikut aku pulang sekarang.” Bayu menatap wajahku sesaat sebelum akhirnya menuntunku untuk duduk di mobilnya. “Maafkan aku, Kak.. aku merepotkanmu. Ada se
Sesampainya di kantor, aku langsung menekan tombol lift menuju ke lantai 23A. Pintu lift terbuka dan aku langsung disuguhi oleh pemandangan wajah Sasa yang menghadangku di depan pintu lift di lantai 23A. Raut wajahnya terlihat mantap dan gelisah secara bersamaan. “Maaf Rin, aku harus mengatakan ini.” “Ada apa?” aku bahkan belum keluar dari lift saat ia mengatakan hal itu padaku. “Pak Bayu telah memindahkanmu ke salah satu ruangan di lantai tujuh. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sana.” “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?” “Aku juga tidak tahu tapi beliau sedang tidak ingin diganggu saat ini.” Tiba-tiba hatiku menciut. Teringat kembali olehku peristiwa semalam. ‘Sepertinya kami baik-baik saja semalam, lalu kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan Bayu?’Hatiku terasa semakin hampa karena tidak dapat memandang wajah Bayu lagi terutama di sela-sela rasa frustasiku oleh semua permasalahanku saat ini. “Kamu serius denga
Waktu Saat Ini Satu permasalahan telah selesai. Aku sudah mendapatkan partner untuk pesta itu tapi muncul permasalahan baru lainnya. Bayu. Semenjak kejadian di mana ia menjemputku, ia sudah jarang sekali terlihat di rumah. Begitu pula di kantor. Ruanganku berada di koridor pojok lantai tujuh dan selama di kantor aku hanya bolak-balik pergi ke ruangan divisi marketing. Di cafeteria, aku juga tak pernah lagi melihatnya. 'Apa ia menghindariku?' “Arrgghhhh!!” aku mengerang frustasi saat aku kembali memikirkannya. Selain itu, ini sudah memasuki hari kelima semenjak Dandy menghilang tanpa kabar dan Anton yang tetap tak bisa dihubungi. Rasa frustasi itu juga tergambar jelas pada wajah Sasa. Ia nampak tak bersemangat setiap kali kami meluangkan waktu untuk makan bersama di cafeteria. Berkat semua peristiwa membingungkan yang terjadi belakangan ini akhirnya Sasa pun mengetahui perasaanku yang sebenarnya pada kakak tiriku. Awalnya ia sempat terkejut namun, rasa keterkejutannya tak berlangsu
"Apakah harus sekarang? Di sini? Di hadapanku? Dengan situasiku saat ini?" Tanyaku bahkan tak digubris oleh pasangan kasmaran di hadapanku ini. Beberapa pasang mata berbisik dan menatap mereka dengan wajah yang berbinar, seolah juga senang akan permintaan Anton untuk Sasa, walaupun mereka hanya sekadar lalu-lalang sambil sesekali memperhatikan. “Pergilah bersamaku, Sasa. Kita tinggalkan semuanya yang menghalangi cinta kita dan menikahlah denganku.” ucapnya sekali lagi membuatku terbelalak. Pergi? Melarikan diri, maksudnya? “Whatever, Anton! Haruskah kau membicarakan semua ini di sini? Saat ini juga?” Selaku kembali tetapi mereka tetap tak menggubris pertanyaanku. Kulihat binar-binar pada wajah Sasa. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya namun hal itu tak sampai membuat make-up-nya berantakan. “I do, Anton. Aku bersedia.” “APA?!” seruku lagi kali ini dengan lebih keras. Kulihat Anton mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya dan memasangkannya pada jari manis Sasa. Aku bahkan
Aku menggamit lengan Dandy erat saat memasuki gedung aula. Sorot lampu warna-warni menyambut kedatangan kami. Seluruh pasang mata seolah terhenti untuk menatap kami. Begitu pula musik dari band pengiring yang membawakan lagu-lagu jazz. Mereka bahkan terpana dan berhenti memainkan musik untuk beberapa saat seolah ada jeda. Entah kenapa jantungku tak kunjung berhenti membuat keributan di dalam sana akibat tatapan orang-orang padaku. Oh tidak! Tentu saja, mereka menatap pada Dandy! Aku melirik sekilas pada Dandy yang berada di sampingku. Pembawaannya nampak tenang saat ini. ‘Ke mana perginya aura berandalan itu?’ Dandy tersenyum saat mendapati aku mengeratkan genggaman tangannya. Aku melihat sekilas ia mengerling nakal padaku. “Tenanglah, babe. Semua akan baik-baik saja.” katanya seolah mengerti akan kekhawatiran terbesarku. Sepertinya kekahwatiranku tergambar jelas pada wajahku. Tapi tunggu, dia bilang apa barusan? Babe? Aku tidak salah dengar, kan? Aku menggelengkan kepalaku cepat s