Flashback
Aku membuka pintu kamarku pada ketukan yang kedua dan mendapati wajah lelah Bayu terdiam mematung di depan pintu kamarku. Tangannya menggenggam sebuah kotak obat saat menatapku dingin.
“Boleh aku masuk?” aku mengangguk. Bayu melihatku masih terdiam di ambang pintu, tentu saja karena takjub akan kedatangannya malam ini. Ia mengacungkan jari telunjuknya menyuruhku untuk duduk di tepian ranjang. Dengan kikuk aku mengikuti perintahnya, sementara ia mulai membuka kotak obat dan mengolesi semacam salep ke area luka di siku tangan kiriku. Wajahnya fokus pada luka di sikuku dan aku fokus menatap wajah Bayu yang sedingin es.
“Selesai!” ungkapnya menutup kotak obat dan menarik diriku kembali ke alam sadar.
“Terima kasih.” kataku sebelum Bayu beranjak pergi.
“Tidak perlu, aku hanya merasa bertanggung jawab atas perbuatan Safira kepadamu. Jadi, jangan berpikir aku melakukannya karena khawatir padamu.” balasnya membuatku kembali mengingat kata-katanya saat menolongku dari serangan Kevin tempo lalu setelah pemakaman mama.
End Of Flashback
“Ri-Na-Ta!” suara Dandy mengejutkanku.
“Kau melamun.” aku tersenyum kecil sambil mengedikkan bahuku saat Dandy mengambil posisi duduk di hadapanku.
“Apa yang kamu lamunkan? Mukamu memerah.” katanya membuatku spontan menyentuh pipiku dengan kedua tanganku.
“Bukan apa-apa.” kilahku menggelengkan kepalaku cepat. Tidak mungkin kan aku mengatakan bahwa aku melamunkan seorang Bayu yang bahkan tidak dikenal oleh seorang Dandy?
“Kau tidak sedang melamunkan yang jorok-jorok, kan?” ucapnya membuatku membelalakkan mata membuatnya tertawa geli.
“Tentu saja tidak!”
“Baiklah, aku percaya.” Dandy masih terkekeh geli padaku.
“Ada apa?”
“Koki di pantry menyerahkan ini padaku, mereka ingin kau mencicipinya. Mungkin ini bisa menjadi menu baru di café.” Dandy menyodorkan sepiring masakan dengan warna semerah darah padaku dengan potongan-potongan daging kecil menyerupai dadu. Aku mengambil sendok dan dengan waspada mencicipi menu di hadapanku.
“Enak?” tanya Dandy terlihat menerka-nerka reaksiku. Aku mengangguk pelan saat merasakan sensasi asam yang menyegarkan dengan rasa pedas yang menyerang kerongkonganku.
“Ini namanya ‘asam katak bumbu rempah’.” Seringainya dan dengan cepat aku terbatuk. Aku tersedak dengan pedasnya rasa rempah yang menyengat di kerongkongan dan hidungku. Dandy menyeringai sambil memukul punggungku pelan. Sebelah tangannya yang lain menyodorkan segelas minuman yang telah terisi penuh air mineral.
“Kamu terlalu kaget untuk menu baru kita.”
“Tentu saja aku kaget karena seingatku, aku tidak pernah mengizikan peredaran menu berbahan baku utama katak.” Tegasku padanya.
“Chill, Rinata. Aku hanya bercanda. Koki itu bilang nama menunya adalah asam kambing bumbu rempah.” Jelasnya lagi.
“Apa kau tidak bisa merasakan tekstur dagingnya?” katanya lagi menyuap menu baru itu dengan sendok yang tadi kugunakan. Aku menggeleng.
“Aku tidak memperhatikannya tadi.” belaku cepat.
“Hmmm ini.. enak dan aku rasa kamu harus setuju untuk menambahkannya ke menu hidangan café kita.”
Begitulah Dandy, seminggu sudah ia bekerja menggantikanku dan karakternya kini terbaca dengan sangat jelas. Ia adalah tipikal yang usil dan senang bermain-main, walaupun kuakui kerjaannya sangat apik dan tanpa cela.
Awalnya aku ingin memaki diri Anton karena mengirimkan seorang ‘Dandy’ padaku, tapi niatku kembali kuurungkan mengingat Dandy ternyata tidak seburuk penampilannya.
“Baiklah, kalian bisa memasukkannya setelah mengurangi takaran jumlah rempahnya. Hal itu yang membuatku tersedak tadi.” kilahku.
“Aku pikir kau tersedak karena kubilang menu barunya adalah katak.”
“Whatever!” seruku memutar bola mataku kesal.
“Dandy, apa kamu tahu di mana keberadaan Anton? Sudah seminggu aku tidak bisa menghubunginya.” Dandy kini beralih menatapku. Mulutnya kini sudah belepotan dengan saus merah kental. Spontan aku mengambil tissue dan menyeka mulutnya.
“Kamu seharusnya menyebutku dengan panggilan Kakak, Rinata.” ia menyeringai menyentuh pergelangan tanganku dan dengan cepat aku menarik kembali tanganku darinya. Entah kenapa sesaat aku melihat ada yang berbeda dengan tatapan Dandy barusan kepadaku.
“Sayangnya aku juga tidak tahu. Setelah menyuruhku datang ke tempatmu, ia juga tidak pernah menghubungiku lagi.” Aku menghela napas pelan, sedikit kecewa dengan absennya Anton padahal banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya.
Aku tidak mungkin menemuinya di kantor ataupun di rumahnya. Papanya membenciku karena ikut termakan hasutan orang-orang tentang diriku dan mama.
Aku bertemu Anton tepatnya lima tahun yang lalu saat kami sama-sama berkuliah di jurusan bisnis manajemen. Ia seniorku ketika itu dan berkat ia pulalah aku bisa dengan mudah membuka bisnis café-ku ini.
Anton memiliki seseorang yang ia sukai sejak lama terlepas dari karakter player yang melekat pada dirinya. Nama gadis itu Sasa, sekretaris kakakku. Aku juga baru mengetahuinya setelah tak lama bergabung di perusahaan Dirgantara.
“Ri-Na-Ta.” Aku terlonjak kaget saat Dandy kembali mengguncang pundakku.
“Kau melamun lagi! Apa itu hobimu? Melamun?” tanyanya sedikit menyindir dengan gayanya yang usil. Aku hendak menjawab ketika sebuah mobil Alpard hitam memasuki halaman parkir café.
“Hai, sweety!” sapa Anton langsung menghambur ke dalam pelukanku. Kulihat Dandy yang berada tidak jauh dari kami mengernyitkan dahi sambil menggeleng dengan sebuah senyuman yang sedikit berbeda.
“Hai, man!” Dandy dan Anton saling menubrukan badan mereka memberikan pelukan persahabatan layaknya seorang pria.
“Jadi kalian sudah saling mengenal, kan?” Anton meneguk habis sisa air mineral yang tadi disodorkan Dandy kepadaku.
“Ya.” kataku bersemangat saat kembali dapat melihat wajah player seorang Anton.
“Oh syukurlah, aku pikir kau akan memarahiku mengingat nada bicara terakhirmu di telephon.” Dandy lagi-lagi mengernyitkan dahi seolah meminta penjelasan tentang hal itu, namun aku tidak menggubrisnya.
“Jadi, ke mana saja kau selama ini?”
“Woopss.. seseorang terlihat khawatir.” Sindir Dandy meledekku saat mendengar pertanyaanku pada Anton.
“Kau pasti merindukanku, kan Sayang?” Anton meremas tanganku yang berada di atas meja.
“Maaf, belakangan ini aku sibuk sekali. Aku melakukan beberapa perjalanan ke Bangkok dan Singapore sehingga tidak sempat untuk menghubungimu." jelas Anton tulus, “kau pasti mengalami hari yang berat.” Anton terlihat bersimpati padaku. Sementara Dandy menyeringai sebelum akhirnya berkata.
“Kurasa tidak karena kehadiranku.” aku memutar mataku cepat dan meninju lengan atas Dandy dengan cukup keras.
“Awww!” ia merintih berpura-pura sakit.
“Senang rasanya mengetahui bahwa kalian cepat akrab.” Aku membelalakan mataku pada Anton.
“Baiklah, aku minta maaf. Sebenarnya aku ke sini, selain merindukanmu juga ingin menunjukkan ini.” Anton menyodorkan sebuah undangan dari balik jasnya ke atas meja. Undangan dengan design yang elegan, perpanduan antara warna ungu dan coklat yang mengkilap. Undangan itu sontak membuat perhatian kami teralihkan. Aku membuka undangan itu dan mendapati tulisan yang tertera di atasnya untuk kemudian membacanya dengan keras.
“Dirgantara Family Welcome Party! Pekan depan?” pekikku terkejut karena tidak mengetahui barang sedikitpun tentang akan adanya undangan tersebut.
“Kau tahu undangan apa ini?” aku menggeleng cepat.
“Undangan ini baru saja sampai ke kantor Papa tadi siang.” Jelas Anton, "apa kau betul-betul tidak tahu tentang undangan ini?” Anton terlihat masih sangat penasaran dan lagi-lagi aku hanya menggeleng.
“Maaf, Nona. Tuan Aryo memanggil Anda ke ruangannya.” Katanya sopan dengan wajah yang tertunduk. “Terima kasih, Bi. Aku akan segera menemuinya sebentar lagi.” “Baik, Nona.”Sahutnya dan ia pun menghilang di sudut tengah lorong utama tempat anak tangga menuju lantai dua berada. Aku berjalan keluar dari pintu kamarku, menyusuri sepanjang lorong di lantai dua sambil mengamati beberapa lorong menuju ke kamar Safira, Kevin, dan Bayu yang terpisah dalam lorong-lorong yang berbeda. Hanya kamarku yang berada di ujung lorong utama sebelah selatan. Sesampainya dibelokan di tengah lorong utama, aku menuruni anak tangga dan berputar lantai bawah untuk menuju ke ruang kerja Aryo Wicak Dirgantara, kepala keluarga Dirgantara. Aku mengetuk pintu kamar pelan sebanyak dua ketukan dan terdengar dari dalam suara serak Aryo yang menyuruhku masuk. “Duduk!” perintahnya padaku. Aku menurutinya dan terdiam menunggu sampai ia membuka suara. Ia lagi-lagi tengah membaca buku yang sama persis dengan buku yang
“Mmm.. Kak.” aku memanggil Bayu ragu saat ia sedang serius bekerja dengan notebook di hadapannya. “Apa?” jawabnya tak lama kemudian tanpa menatapku dan fokus membolak-balik lembaran kertas di samping notebook-nya, seperti mengecek keakuratan data di notebook dan lembaran kertas tersebut. “Soal.. Soal pesta itu..” “Papa sudah memberitahumu rupanya.” sergahnya menatapku tanpa mengangkat wajahnya. “Iya dan aku ingin bertanya, siapa pasangan..” tiba-tiba telephon di atas meja kantor Bayu berbunyi nyaring. Bayu menekan tombol speaker dan terdengar suara Sasa di sana. “Iya ada apa, Sasa?” jawab Bayu menerima panggilan dengan nada tegas yang bijaksana seperti biasa. “Maaf, Pak tapi Bapak ada tamu yang menunggu di luar?” “Siapa?” “Nona Armenita Chandra. Ia mengaku sebagai teman karib, Bapak.” ‘Armenita Chandra?’ Bayu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut seolah baru saja mengingat sesuatu yang terlupakan. “Ya, Sasa. Suruh dia masuk.” Pangg
Aku kembali mematut diriku di cermin. Tak percaya dengan hasil karyaku sendiri. Aku memoleskan make-up tipis pada wajahku agar menampilkan kesan senatural mungkin. Rambut hitamku kugelung ke atas dan menyisakan sedikit bagian anak-anak rambut yang bebas pada tengkukku. Aku kini memperhatikan tubuhku yang dibalut oleh gaun yang panjang sebatas mata kaki. ‘Ini merupakan gaun yang indah.’ Batinku. Gaun hitam dengan aksen glitter yang tak berlebihan. Gaun ini memiliki model lengan yang terbelah dan menampakkan belahan dada dan punggungku, namun tak cukup jelas karena tertutupi oleh kain transparan yang menyambung pada tanganku. Ya, aku bagaikan memiliki sepasang sayap untuk terbang. Aku memutar tubuhku sekali lagi dan terlihat jelas heels dengan warna perak di kakiku. Penampilanku sempurna dan terima kasih untuk ayah tiriku. Hal ini mengingatkanku pada percakapan kami siang tadi. Flashback “Bagaimana jika aku tak pergi ke pesta?”kataku pada ayah tiriku yang sedang menikmati waktunya
5 Hari Sebelum Pesta “Ini laporan apa, huh? Kacau semua isinya, coba kamu lihat!!” Vivian, kepala divisiku melempar kasar map biru yang berisi lembaran-lembaran dokumen pekerjaanku ke atas meja. Aku mengerjap kaget mendapati reaksinya tersebut. Aku terlalu fokus memikirkan tentang Bayu yang tengah bersama Ara. Menghabiskan waktu berdua dengannya. Hal itulah sebenarnya yang juga melatarbelakangi kekacauan pekerjaanku belakangan ini. Semenjak Armenita hadir, Bayu lebih sering berada di luar kantor. Aku baru saja mengetahui dari Sasa bahwa Ara adalah teman SMA Bayu dulu dan merupakan seorang fashion designer yang sebenarnya telah lama berdomisili di Perancis. Keberadaan Armenita yang mendominasi Bayu ternyata membawa dampak buruk bagi diriku. Bayu bahkan tidak menyukaiku. Aku selalu hanya dapat berharap agar Bayu dapat membalas perasaanku. Tapi itu tidak mungkin, jadi aku menurunkan perasaanku sampai pada level ‘aku berharap agar aku selalu dapat berada di sisinya, walaupun tanpa memi
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya secara perlahan dengan intonasi suara yang tegas dan dalam. Aku masih tertunduk tidak dapat mengangkat wajahku untuk menatap matanya. Terbersit dibenakku saat ini tentang kepergiaan mama, lalu tentang betapa konyolnya peraturan ayah tiriku sehingga membuatku kembali terjebak dalam keluarga Dirgantara, tentang celaan orang-orang yang tiada habisnya, pesta itu, kedekatan Bayu dengan Ara, pekerjaan, café, dan saat ini Dandy. Tiba-tiba semua pemikiran itu menyerbuku bersamaan dan tepat sebelum air mataku jatuh, tangan Bayu menggapai tanganku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Wangi tubuhnya yang maskulin menguar di sekelilingku. “Syukurlah aku menemukanmu di sini!” katanya membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. “Papa mencemaskanmu, ayo ikut aku pulang sekarang.” Bayu menatap wajahku sesaat sebelum akhirnya menuntunku untuk duduk di mobilnya. “Maafkan aku, Kak.. aku merepotkanmu. Ada se
Sesampainya di kantor, aku langsung menekan tombol lift menuju ke lantai 23A. Pintu lift terbuka dan aku langsung disuguhi oleh pemandangan wajah Sasa yang menghadangku di depan pintu lift di lantai 23A. Raut wajahnya terlihat mantap dan gelisah secara bersamaan. “Maaf Rin, aku harus mengatakan ini.” “Ada apa?” aku bahkan belum keluar dari lift saat ia mengatakan hal itu padaku. “Pak Bayu telah memindahkanmu ke salah satu ruangan di lantai tujuh. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sana.” “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?” “Aku juga tidak tahu tapi beliau sedang tidak ingin diganggu saat ini.” Tiba-tiba hatiku menciut. Teringat kembali olehku peristiwa semalam. ‘Sepertinya kami baik-baik saja semalam, lalu kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan Bayu?’Hatiku terasa semakin hampa karena tidak dapat memandang wajah Bayu lagi terutama di sela-sela rasa frustasiku oleh semua permasalahanku saat ini. “Kamu serius denga
Waktu Saat Ini Satu permasalahan telah selesai. Aku sudah mendapatkan partner untuk pesta itu tapi muncul permasalahan baru lainnya. Bayu. Semenjak kejadian di mana ia menjemputku, ia sudah jarang sekali terlihat di rumah. Begitu pula di kantor. Ruanganku berada di koridor pojok lantai tujuh dan selama di kantor aku hanya bolak-balik pergi ke ruangan divisi marketing. Di cafeteria, aku juga tak pernah lagi melihatnya. 'Apa ia menghindariku?' “Arrgghhhh!!” aku mengerang frustasi saat aku kembali memikirkannya. Selain itu, ini sudah memasuki hari kelima semenjak Dandy menghilang tanpa kabar dan Anton yang tetap tak bisa dihubungi. Rasa frustasi itu juga tergambar jelas pada wajah Sasa. Ia nampak tak bersemangat setiap kali kami meluangkan waktu untuk makan bersama di cafeteria. Berkat semua peristiwa membingungkan yang terjadi belakangan ini akhirnya Sasa pun mengetahui perasaanku yang sebenarnya pada kakak tiriku. Awalnya ia sempat terkejut namun, rasa keterkejutannya tak berlangsu
"Apakah harus sekarang? Di sini? Di hadapanku? Dengan situasiku saat ini?" Tanyaku bahkan tak digubris oleh pasangan kasmaran di hadapanku ini. Beberapa pasang mata berbisik dan menatap mereka dengan wajah yang berbinar, seolah juga senang akan permintaan Anton untuk Sasa, walaupun mereka hanya sekadar lalu-lalang sambil sesekali memperhatikan. “Pergilah bersamaku, Sasa. Kita tinggalkan semuanya yang menghalangi cinta kita dan menikahlah denganku.” ucapnya sekali lagi membuatku terbelalak. Pergi? Melarikan diri, maksudnya? “Whatever, Anton! Haruskah kau membicarakan semua ini di sini? Saat ini juga?” Selaku kembali tetapi mereka tetap tak menggubris pertanyaanku. Kulihat binar-binar pada wajah Sasa. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya namun hal itu tak sampai membuat make-up-nya berantakan. “I do, Anton. Aku bersedia.” “APA?!” seruku lagi kali ini dengan lebih keras. Kulihat Anton mengeluarkan sebuah cincin dari saku jasnya dan memasangkannya pada jari manis Sasa. Aku bahkan