"I'm sorry to say.. Rinata menghilang!" Suara di seberang membuyarkan alur berpikir pria itu ketika sedang fokus mengerjakan tugas-tugas kantornya yang menumpuk di atas meja. Kepergiannya dari Dirgantara tak lantas membuat status kepemimpinannya lepas dari dirinya. Tidak sebagai Alexandre."Kau bilang apa El?" Pria itu menggeram marah dan bangkit dari kursi kebesarannya.Pria itu memandang pria kaku yang berdiri di sampingnya. Pria kaku itu mengangguk seolah mengerti."Bukankah aku sudah mengingatkanmu. Tetap berada di sisinya. Apa fungsinya kau dan Dion jika kalian tidak becus dengan semua tugas yang kuberikan!" maki pria itu dengan nada merendahkan yang amat kentara.Sementara suara wanita di seberang terdengar bergetar, panik, mencoba membela diri."Kami juga sedang mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di sini. Petugas keamanan di Peferta melapor, seseorang menabrak mobil kami saat tengah terparkir di halaman Peferta. Aku pikir itu hanya kejadian biasa. Aku dan Dion mencoba me
"Anakku, kau akhirnya muncul?"Aryo menyambut Dandy dan Rinata bersama. Ia terlihat begitu bahagia seakan-akan dari pelupuk matanya akan keluar air mata."Hallo, Pa."Keduanya saling memberikan pelukan rindu."Kau baik-baik saja, Nak?"Rinata mengangguk tak berani membuka suara saat tatapannya dan Bayu kembali bertemu. Rinata yang memutus terlebih dahulu kontak matanya dan Rinata tahu diam-diam Bayu menggeram marah padanya."Apa yang terjadi sebenarnya ini?" Tanya Salma. Kehadirannya selalu paling mencolok di antara keluarga Dirgantara lainnya."Kau tidak bisa lagi ditemui setelah pertemuan di kantor dan kau menghilang, huh!" Salma mendecak sinis. Menatap pada Rinata tidak suka dan meremehkan."Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi," Sambung Radian terdengar begitu acuh, "Tapi kau menghilang begitu saja. Para dewan direksi akan menganggap kau tidak becus dalam memimpin." Tambah Radian lagi terdengar tidak suka. "Apalagi di masa-masa kepemimpinan awalmu." "Dia ada bersamaku." Se
Para pramusaji mulai mengeluarkan hidangan dan mulai menyuguhkannya ke meja para tamu undangan. Konsep ini sedikit berbeda dengan pesta penyambutan kemarin.Jika pesta penyambutan sebelumnya para tamu undangan dipersilakan mengambil hidangan mereka sendiri, maka untuk konsep pesta kali ini para tamu undangan dipersilakan untuk menempati meja masing-masing dan menunggu pramusaji yang menyajikan hidangan mereka.Beberapa hidangan mulai tersuguh, mulai dari seafood, daging, sup, salad, buah-buahan, dessert hingga menu-menu terbaik yang diantarkan ke meja masing-masing.Namun, sebaik apapun menu yang tersaji di sana Rinata tidak tertarik. Perutnya tidak terasa lapar dan mulutnya bahkan terasa kesulitan untuk menelan makanan-makanan tersebut."Apa yang kau lakukan belakangan, Bayu?" Tanya Aryo di sela-sela kenikmatan santapan makan malam mereka."Menculik seseorang kurasa." Sindir Dandy terkesan sarkastik dan tanpa rasa bersalah sedikitpun memakan potongan daging di piringnya.Bayu terseny
“Kim..” Dengan cepat Dandy memanggil Kim yang berdiri tidak jauh darinya untuk mendekat. “Urus para pers. Katakan bahwa waktu untuk meliput telah selesai. Rinata tidak sedang dalam kondisi yang baik.” Pinta Dandy dengan suara yang pelan namun tetap penuh wibawa. “Tapi puncak acara malam ini?” Dandy mendelik padanya dengan tajam. Pertanda bahwa keputusannya tidak bisa dibantah. Kim mengangguk dan undur diri. Berikutnya ia menemui kerumuman para pers diikuti juru bicara yang mewakili Dirgantara dan juga Pieterson. Bayu memperhatikan hal itu dan ia tidak berusaha menyela menyadari bahwa keputusan Dandy saat ini adalah yang terbaik untuk melindungi Rinata. “Nak, bukankah lidahmu tergigit?” Aryo dengan cepat menyela percakapan Rinata dan Armenita. Tidak lagi mempersoalkan masalah pers yang telah Dandy usir keluar. Pintu Gedung aula pun tertutup menyisakan hanya hingar bingar tamu undangan di tempat duduknya masing-masing. “Oh ya Papa.. kau benar.. lidahku tergigit.” Tak berapa la
"BUK!"Satu pukulan telak tepat menghantam muka Bayu. Membuat sudut kiri bibirnya berdarah tapi tidak cukup kuat untuk membuatnya oleng. Rinata tersentak dan dengan cepat genggaman tangan Bayu pada tangannya terlepas. Hanya butuh waktu singkat bagi Bayu mendeteksi serangan itu dan menghantam balik wajah pelaku yang memukulnya. "Rex! Bawa Rinata pergi terlebih dahulu." Pinta Bayu cepat setelah orang yang dipukulnya tersungkur dan sebuah memar meninggalkan bekas gesekan di pipi kiri orang tersebut."Tidak! Kim!"Langkah Rex terhenti. Ia sudah merangkul Rinata tapi ia harus berhadapan dengan Kim saat ini. diiringi oleh para bodyguard Kim yang mengikuti di belakang."Tim satu! Kami membutuhkan kalian saat ini!"Dengan cepat Rex berbicara melalui earpiece-nya. Selang tak berapa lama tim satu yang merupakan tim keamanan khusus yang berada tak jauh dari sana telah hadir. Mereka saling berhadapan tapi belum mulai beradu pukulan kembali."Kau ingin pers melihat semua ini? Kau ingin mereka me
“Masa? Yang benar?” “Iya, aku dengar katanya begitu.” “Anak tiri keluarga Dirgantara, kan?” “Iya. Katanya dia bisa masuk ke sini karena Ibunya menggoda Pak Aryo.” “Ah yang benar kamu?” “Ngga tahu juga deh tapi gossip-nya sih begitu.” “Ya ampun geli banget deh.” Seperti dugaan awalku. Bekerja di perusahaan Dirgantara tidak semudah yang aku bayangkan. Bukan karena lembaran-lembaran dokumen yang menumpuk di meja kerjaku tapi karena tatapan tidak bersahabat dari orang-orang di sekitarku. Tak berapa lama yang lalu, kepala divisiku menatapku dengan tatapan yang penuh dengan penilaian dan saat aku berbalik aku mendengar percakapannya dengan kakak tiriku, Safira, lewat telepon. “Semua aman, dia dalam pengawasanku. Aku yakin dia ngga akan betah di sini. Semua orang bergunjing tentangnya.” Vivian, kepala divisiku terkekeh geli di telepon, seolah aku tidak mendengarnya saja. Rupanya Safira sudah menyebarkan gossip tentang aku yang merupakan seorang anak tiri keluarga Dirgantara dan baga
Flashback Aku membuka pintu kamarku pada ketukan yang kedua dan mendapati wajah lelah Bayu terdiam mematung di depan pintu kamarku. Tangannya menggenggam sebuah kotak obat saat menatapku dingin. “Boleh aku masuk?” aku mengangguk. Bayu melihatku masih terdiam di ambang pintu, tentu saja karena takjub akan kedatangannya malam ini. Ia mengacungkan jari telunjuknya menyuruhku untuk duduk di tepian ranjang. Dengan kikuk aku mengikuti perintahnya, sementara ia mulai membuka kotak obat dan mengolesi semacam salep ke area luka di siku tangan kiriku. Wajahnya fokus pada luka di sikuku dan aku fokus menatap wajah Bayu yang sedingin es. “Selesai!” ungkapnya menutup kotak obat dan menarik diriku kembali ke alam sadar. “Terima kasih.” kataku sebelum Bayu beranjak pergi. “Tidak perlu, aku hanya merasa bertanggung jawab atas perbuatan Safira kepadamu. Jadi, jangan berpikir aku melakukannya karena khawatir padamu.” balasnya membuatku kembali mengingat kata-katanya saat menolongku dari serangan Ke
“Maaf, Nona. Tuan Aryo memanggil Anda ke ruangannya.” Katanya sopan dengan wajah yang tertunduk. “Terima kasih, Bi. Aku akan segera menemuinya sebentar lagi.” “Baik, Nona.”Sahutnya dan ia pun menghilang di sudut tengah lorong utama tempat anak tangga menuju lantai dua berada. Aku berjalan keluar dari pintu kamarku, menyusuri sepanjang lorong di lantai dua sambil mengamati beberapa lorong menuju ke kamar Safira, Kevin, dan Bayu yang terpisah dalam lorong-lorong yang berbeda. Hanya kamarku yang berada di ujung lorong utama sebelah selatan. Sesampainya dibelokan di tengah lorong utama, aku menuruni anak tangga dan berputar lantai bawah untuk menuju ke ruang kerja Aryo Wicak Dirgantara, kepala keluarga Dirgantara. Aku mengetuk pintu kamar pelan sebanyak dua ketukan dan terdengar dari dalam suara serak Aryo yang menyuruhku masuk. “Duduk!” perintahnya padaku. Aku menurutinya dan terdiam menunggu sampai ia membuka suara. Ia lagi-lagi tengah membaca buku yang sama persis dengan buku yang