“Masa? Yang benar?”
“Iya, aku dengar katanya begitu.”
“Anak tiri keluarga Dirgantara, kan?”
“Iya. Katanya dia bisa masuk ke sini karena Ibunya menggoda Pak Aryo.”
“Ah yang benar kamu?”
“Ngga tahu juga deh tapi gossip-nya sih begitu.”
“Ya ampun geli banget deh.”
Seperti dugaan awalku. Bekerja di perusahaan Dirgantara tidak semudah yang aku bayangkan. Bukan karena lembaran-lembaran dokumen yang menumpuk di meja kerjaku tapi karena tatapan tidak bersahabat dari orang-orang di sekitarku.
Tak berapa lama yang lalu, kepala divisiku menatapku dengan tatapan yang penuh dengan penilaian dan saat aku berbalik aku mendengar percakapannya dengan kakak tiriku, Safira, lewat telepon.
“Semua aman, dia dalam pengawasanku. Aku yakin dia ngga akan betah di sini. Semua orang bergunjing tentangnya.” Vivian, kepala divisiku terkekeh geli di telepon, seolah aku tidak mendengarnya saja.
Rupanya Safira sudah menyebarkan gossip tentang aku yang merupakan seorang anak tiri keluarga Dirgantara dan bagaimana mendiang mama menjadi seorang penggoda untuk bisa memasukkanku ke dalam perusahaan.
‘Dasar perempuan-perempuan peng-gossip.’ Rutukku dalam hati. Sementara percakapan lainnya terdengar dari sudut ruangan divisiku dan aku masih tak percaya jika para pria pun juga ikutan bergosip.
“Seriusan? Itu anak tirinya?”
“Cantik gila, man..”
“Kalau memang Ibunya perempuan penggoda, saya juga mau digoda sama anaknya.”
“Tidak usah kamu, saya juga mau. Kamu lihat, kan badannya? Semok..”
“Pantes Pak Aryo tertarik sama Ibunya, anaknya aja aduhai, apalagi Ibunya.” Kudengar cekikikan dari para pria yang berada tak jauh dari balik bilik kerjaku.
Aku dengan sengaja menghentakkan kursiku dengan kasar hingga menimbulkan suara gaduh yang memecah kebisingan ruangan. Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku di sini dan aku mendengar mereka. Kini semua mata tertuju kepadaku.
Beberapa karyawan wanita menatapku sengit dan beberapa karyawan pria bersiul pelan. Mereka menyunggingkan senyum menyeringai saat mereka menatapku lamat. Aku menciut, keberanianku tiba-tiba saja lenyap.
“DUK!”
Kaki seorang wanita terulur begitu saja ketika aku berjalan dan mengakibatkan aku terjatuh dengan rok yang sedikit tersingkap. Kudengar para pria kini kembali bersiul, dengan cepat aku membetulkan rokku.
“Ada apa ini ribut-ribut?” aku terhenyak. Suara Bayu Putra Dirgantara tiba-tiba mengudara di ruangan.
Bayu Putra Dirgantara. Anak sulung keluarga Dirgantara. Kakak tiriku. Sekaligus..
Cinta Pertamaku.
Tatapan kami bertemu. Namun Bayu memutus kontak mata kami terlebih dahulu. Entah apa yang ada dalam benaknya melihat posisiku saat ini.
“Rinata, kembali ke kursimu!” titahnya melanjutkan. Aku bergegas berdiri dan kembali ke mejaku. Terbiasa dengan sikap dinginnya padaku. Tak beberapa lama kemudian jejeran dewan direksi memasuki ruangan tim marketing untuk memberikan briefing.
Setelah briefing berakhir, satu per satu karyawan kembali ke bilik kerja mereka masing-masing, tidak terkecuali aku.
“Rinata!” Bayu lagi-lagi memanggilku. Suara baritone-nya terdengar sedikit serak, “Kemasi barang-barangmu dan ikuti aku!” aku terdiam beberapa saat untuk mencerna maksud ucapannya.
Suara percakapan manusia-manusia di ruangan kembali terdengar. Bayu kembali melanjutkan, “Sasa bantu Rinata berkemas.”
“Baik, Pak!”
Selang tak berapa lama, gadis bernama Sasa itu mengarahkanku untuk mengikuti Bayu dan membantuku membawa barang-barangku dalam dus-dus kotak besar.
“Duduk!” perintah Bayu padaku sambil menunjuk pada sebuah sofa hitam di depan meja kerjanya. “Kerjakan di sini dan jika kau sudah selesai, kau bisa memberikannya pada Sasa, sekretarisku. Selebihnya dia yang akan mengurusnya dan jika ada pekerjaan lainnya untukmu, dia yang akan memberikannya langsung kepadamu, kau mengerti?” aku mengangguk walaupun sejujurnya aku masih berusaha membaca situasiku saat ini. Aku masih tak berkutik dalam beberapa menit saat Bayu kembali duduk dan berkutat dengan berkas-berkas yang telah ditinggalkan para dewan direksi di mejanya. Aku di ruangan Bayu. Mengerjakan tugasku sebagai seorang staff marketing biasa. Aku di ruangan Bayu dan ia adalah boss-ku. Aku di ruangan Bayu dan ia menyuruhku untuk tinggal dan mengerjakan seluruh pekerjaanku di ruangannya. Aku di ruangan Bayu dan ia adalah cinta pertamaku!
‘Mimpi apa aku semalam?’ batinku menjerit senang.
***
Aku baru saja hendak menapakkan kakiku ke anak tangga terbawah rumah keluarga Dirgantara ketika kurasakan seseorang menjambak rambutku dengan keras dan menyudutkanku ke penyangga tangga di sampingku. Safira—anak ketiga keluarga Dirgantara. Kakak tiriku yang lainnya. Aku terbelalak kaget karena matanya menyalak marah kepadaku.
‘Ada apa?’ batinku berucap. Seingatku, aku belum melakukan satu hal pun yang dapat menggugah emosinya yang sadis ini.
“Dasar, jalang!” teriaknya menghempaskanku ke lantai sehingga membuatku tersungkur. Aku meringis kesakitan saat sikuku menggores kaki meja ruang keluarga.
“Kak, aku salah apa?” berusaha untuk membela diriku.’
“Kamu masih bertanya kenapa? Dasar, Jalang!” ia menghempaskan kepalaku sekali lagi saat rambutku kembali ditarik olehnya. Ia berbicara tepat di wajahku dan dari mulutnya aku dapat mencium bau alkohol yang menguar. ‘Dia mabuk.’
“Apa yang kamu lakukan di ruangan, Kak Bayu, huh?!” teriaknya lagi. Meributkan masalah kepindahan ruanganku.
“Kamu ingin bersembunyi dan meminta pertolongan Kak Bayu?! Dasar, jalang! Kamu seharusnya mendengarkan celaan orang-orang di kantor, bukan malah bersembunyi. Kamu pantas mendapatkan hinaan itu.” ucapnya cepat hendak menamparku.
“Safira, CUKUP!” aku mendapati ayah tiriku dan Kak Bayu yang datang dari arah pintu depan.
Ayah tiriku berjalan dengan cepat namun dengan langkah yang tertatih berusaha menghampiri Safira, disusul Kak Bayu yang membantuku untuk berdiri.
“Papa..” Safira bergumam pelan dan wajahnya memucat melihat papa yang menatap dengan sorot mata yang tajam. Tatapan Kak Bayu juga terlihat lebih dingin kepada Safira.
“Cukup Safira! Papa sudah cukup jengah dengan sikapmu ini.”
“Tapi pa, wanita ini memanfaatkan kekuasaan yang papa berikan untuk berleha-leha di ruangan Kak Bayu. Tindakan macam apa itu? Kak Bayu bahkan harus mendapatkan celaan karena sikapnya itu.”
“Safira! Aku yang memintanya untuk bekerja di ruanganku. Jadi, ini bukan salahnya.” Bela Bayu padaku.
“Kakak! Atas dasar apa kakak membelanya? Aku tahu ini semua pasti salah satu bagian dari rencananya untuk mendekati Kakak dan mendapatkan harta Dirgantara, iya kan?” aku terperanjat kaget bersamaan dengan suara tamparan keras ayah tiriku pada pipi Safira.
PLAAKKK!!
“Papa!!” jerit Safira meringis sakit sambil memegangi pipinya yang memerah karena tamparan ayah tiriku padanya.
“Sekarang masuk ke kamarmu dan jangan keluar sampai papa menemuimu!” titah ayah tiriku diikuti dengan hentakan kaki Safira yang kesal dan mulai menangis.
“Bayu, papa rasa kita harus mempercepat pestanya. Sudah cukup pembicaraan kita untuk persiapan pesta ini. Papa ingin pestanya terselenggara di akhir pekan minggu ini.” ucap ayah tiriku dengan nada bicara yang serius kepada Bayu.
‘Pesta? Pesta apa?’ batinku berharap bisa bergabung dalam pembicaraan mereka dan mengerti akan maksud pesta yang mereka bicarakan.
“Baik, Pa. Semuanya akan beres dalam sepekan.” ucap Bayu patuh seperti biasanya.
“Sekarang beristirahatlah, Nak. Kamu pasti lelah hari ini.” kini ayah tiriku itu berbicara padaku dengan tatapan yang lembut dan penuh kasih. Aku mengangguk dan kembali berjalan menaiki anak tangga sambil memegangi sikuku yang tergores tadi, meninggalkan ayah tiriku dan Bayu yang masih berbicara serius di lantai bawah.
***
Flashback Aku membuka pintu kamarku pada ketukan yang kedua dan mendapati wajah lelah Bayu terdiam mematung di depan pintu kamarku. Tangannya menggenggam sebuah kotak obat saat menatapku dingin. “Boleh aku masuk?” aku mengangguk. Bayu melihatku masih terdiam di ambang pintu, tentu saja karena takjub akan kedatangannya malam ini. Ia mengacungkan jari telunjuknya menyuruhku untuk duduk di tepian ranjang. Dengan kikuk aku mengikuti perintahnya, sementara ia mulai membuka kotak obat dan mengolesi semacam salep ke area luka di siku tangan kiriku. Wajahnya fokus pada luka di sikuku dan aku fokus menatap wajah Bayu yang sedingin es. “Selesai!” ungkapnya menutup kotak obat dan menarik diriku kembali ke alam sadar. “Terima kasih.” kataku sebelum Bayu beranjak pergi. “Tidak perlu, aku hanya merasa bertanggung jawab atas perbuatan Safira kepadamu. Jadi, jangan berpikir aku melakukannya karena khawatir padamu.” balasnya membuatku kembali mengingat kata-katanya saat menolongku dari serangan Ke
“Maaf, Nona. Tuan Aryo memanggil Anda ke ruangannya.” Katanya sopan dengan wajah yang tertunduk. “Terima kasih, Bi. Aku akan segera menemuinya sebentar lagi.” “Baik, Nona.”Sahutnya dan ia pun menghilang di sudut tengah lorong utama tempat anak tangga menuju lantai dua berada. Aku berjalan keluar dari pintu kamarku, menyusuri sepanjang lorong di lantai dua sambil mengamati beberapa lorong menuju ke kamar Safira, Kevin, dan Bayu yang terpisah dalam lorong-lorong yang berbeda. Hanya kamarku yang berada di ujung lorong utama sebelah selatan. Sesampainya dibelokan di tengah lorong utama, aku menuruni anak tangga dan berputar lantai bawah untuk menuju ke ruang kerja Aryo Wicak Dirgantara, kepala keluarga Dirgantara. Aku mengetuk pintu kamar pelan sebanyak dua ketukan dan terdengar dari dalam suara serak Aryo yang menyuruhku masuk. “Duduk!” perintahnya padaku. Aku menurutinya dan terdiam menunggu sampai ia membuka suara. Ia lagi-lagi tengah membaca buku yang sama persis dengan buku yang
“Mmm.. Kak.” aku memanggil Bayu ragu saat ia sedang serius bekerja dengan notebook di hadapannya. “Apa?” jawabnya tak lama kemudian tanpa menatapku dan fokus membolak-balik lembaran kertas di samping notebook-nya, seperti mengecek keakuratan data di notebook dan lembaran kertas tersebut. “Soal.. Soal pesta itu..” “Papa sudah memberitahumu rupanya.” sergahnya menatapku tanpa mengangkat wajahnya. “Iya dan aku ingin bertanya, siapa pasangan..” tiba-tiba telephon di atas meja kantor Bayu berbunyi nyaring. Bayu menekan tombol speaker dan terdengar suara Sasa di sana. “Iya ada apa, Sasa?” jawab Bayu menerima panggilan dengan nada tegas yang bijaksana seperti biasa. “Maaf, Pak tapi Bapak ada tamu yang menunggu di luar?” “Siapa?” “Nona Armenita Chandra. Ia mengaku sebagai teman karib, Bapak.” ‘Armenita Chandra?’ Bayu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut seolah baru saja mengingat sesuatu yang terlupakan. “Ya, Sasa. Suruh dia masuk.” Pangg
Aku kembali mematut diriku di cermin. Tak percaya dengan hasil karyaku sendiri. Aku memoleskan make-up tipis pada wajahku agar menampilkan kesan senatural mungkin. Rambut hitamku kugelung ke atas dan menyisakan sedikit bagian anak-anak rambut yang bebas pada tengkukku. Aku kini memperhatikan tubuhku yang dibalut oleh gaun yang panjang sebatas mata kaki. ‘Ini merupakan gaun yang indah.’ Batinku. Gaun hitam dengan aksen glitter yang tak berlebihan. Gaun ini memiliki model lengan yang terbelah dan menampakkan belahan dada dan punggungku, namun tak cukup jelas karena tertutupi oleh kain transparan yang menyambung pada tanganku. Ya, aku bagaikan memiliki sepasang sayap untuk terbang. Aku memutar tubuhku sekali lagi dan terlihat jelas heels dengan warna perak di kakiku. Penampilanku sempurna dan terima kasih untuk ayah tiriku. Hal ini mengingatkanku pada percakapan kami siang tadi. Flashback “Bagaimana jika aku tak pergi ke pesta?”kataku pada ayah tiriku yang sedang menikmati waktunya
5 Hari Sebelum Pesta “Ini laporan apa, huh? Kacau semua isinya, coba kamu lihat!!” Vivian, kepala divisiku melempar kasar map biru yang berisi lembaran-lembaran dokumen pekerjaanku ke atas meja. Aku mengerjap kaget mendapati reaksinya tersebut. Aku terlalu fokus memikirkan tentang Bayu yang tengah bersama Ara. Menghabiskan waktu berdua dengannya. Hal itulah sebenarnya yang juga melatarbelakangi kekacauan pekerjaanku belakangan ini. Semenjak Armenita hadir, Bayu lebih sering berada di luar kantor. Aku baru saja mengetahui dari Sasa bahwa Ara adalah teman SMA Bayu dulu dan merupakan seorang fashion designer yang sebenarnya telah lama berdomisili di Perancis. Keberadaan Armenita yang mendominasi Bayu ternyata membawa dampak buruk bagi diriku. Bayu bahkan tidak menyukaiku. Aku selalu hanya dapat berharap agar Bayu dapat membalas perasaanku. Tapi itu tidak mungkin, jadi aku menurunkan perasaanku sampai pada level ‘aku berharap agar aku selalu dapat berada di sisinya, walaupun tanpa memi
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya secara perlahan dengan intonasi suara yang tegas dan dalam. Aku masih tertunduk tidak dapat mengangkat wajahku untuk menatap matanya. Terbersit dibenakku saat ini tentang kepergiaan mama, lalu tentang betapa konyolnya peraturan ayah tiriku sehingga membuatku kembali terjebak dalam keluarga Dirgantara, tentang celaan orang-orang yang tiada habisnya, pesta itu, kedekatan Bayu dengan Ara, pekerjaan, café, dan saat ini Dandy. Tiba-tiba semua pemikiran itu menyerbuku bersamaan dan tepat sebelum air mataku jatuh, tangan Bayu menggapai tanganku dan menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dadanya yang bidang. Wangi tubuhnya yang maskulin menguar di sekelilingku. “Syukurlah aku menemukanmu di sini!” katanya membuat jantungku berdegup kencang tidak karuan. “Papa mencemaskanmu, ayo ikut aku pulang sekarang.” Bayu menatap wajahku sesaat sebelum akhirnya menuntunku untuk duduk di mobilnya. “Maafkan aku, Kak.. aku merepotkanmu. Ada se
Sesampainya di kantor, aku langsung menekan tombol lift menuju ke lantai 23A. Pintu lift terbuka dan aku langsung disuguhi oleh pemandangan wajah Sasa yang menghadangku di depan pintu lift di lantai 23A. Raut wajahnya terlihat mantap dan gelisah secara bersamaan. “Maaf Rin, aku harus mengatakan ini.” “Ada apa?” aku bahkan belum keluar dari lift saat ia mengatakan hal itu padaku. “Pak Bayu telah memindahkanmu ke salah satu ruangan di lantai tujuh. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sana.” “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?” “Aku juga tidak tahu tapi beliau sedang tidak ingin diganggu saat ini.” Tiba-tiba hatiku menciut. Teringat kembali olehku peristiwa semalam. ‘Sepertinya kami baik-baik saja semalam, lalu kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan Bayu?’Hatiku terasa semakin hampa karena tidak dapat memandang wajah Bayu lagi terutama di sela-sela rasa frustasiku oleh semua permasalahanku saat ini. “Kamu serius denga
Waktu Saat Ini Satu permasalahan telah selesai. Aku sudah mendapatkan partner untuk pesta itu tapi muncul permasalahan baru lainnya. Bayu. Semenjak kejadian di mana ia menjemputku, ia sudah jarang sekali terlihat di rumah. Begitu pula di kantor. Ruanganku berada di koridor pojok lantai tujuh dan selama di kantor aku hanya bolak-balik pergi ke ruangan divisi marketing. Di cafeteria, aku juga tak pernah lagi melihatnya. 'Apa ia menghindariku?' “Arrgghhhh!!” aku mengerang frustasi saat aku kembali memikirkannya. Selain itu, ini sudah memasuki hari kelima semenjak Dandy menghilang tanpa kabar dan Anton yang tetap tak bisa dihubungi. Rasa frustasi itu juga tergambar jelas pada wajah Sasa. Ia nampak tak bersemangat setiap kali kami meluangkan waktu untuk makan bersama di cafeteria. Berkat semua peristiwa membingungkan yang terjadi belakangan ini akhirnya Sasa pun mengetahui perasaanku yang sebenarnya pada kakak tiriku. Awalnya ia sempat terkejut namun, rasa keterkejutannya tak berlangsu