"Bibi Camilia, ayo cari Mama, Bi!" rengek gadis kecil- anak sang majikan yang sejak pagi tidak bertemu dengan ibunya.
"Bentar, Sayang, tunggu Nenek dulu, ya! Apalagi di luar baru turun hujan." Gadis berusia 24 tahun itu berusaha menenangkan anak majikannya tersebut. Tak selang berapa lama, Camilia menuntun gadis kecil itu menuju kamarnya. Sementara hujan masih turun dengan derasnya disertai angin dan bunyi petir yang bersahutan.
Camilia melangkah menuju sisi jendela dan menatap luar kamar. Air mengalir di balik kaca jendela. Sesekali dirinya menoleh ke arah gadis kecil yang masih tampak sedih karena tidak sabar untuk menemui ibunya tersebut.
Tok, tok, tok!
"Camilia! Apa kamu ada di dalam?" Di luar terdengar ketukan pintu diiringi suara sang Nyonya Besar yaitu Nyonya Merry.
"Iya, Nyonya!" sahut Camilia lantang sembari bergegas melangkah menuju pintu. Perlahan pintu dibukanya, kemudian gadis yang berprofesi sebagai perawat dan pengasuh anak itu sesaat memandang sang Nyonya Besar yang telah menggunakan jas tebal.
"Apakah akan berangkat sekarang, Nyonya?" tanyanya kemudian.
"Iya. Ajak Nona kecil sekalian agar tidak menangis lagi!" seru wanita yang berangsur lanjut usia itu.
"Baiklah, Nyonya!" sahutnya kemudian.
Sang Nyonya Besar meninggalkan kamar menuju ruangan depan untuk menanti Camilia dan Nona kecil untuk bersiap berangkat menuju rumah sakit.
Camilia bergegas mengajak anak majikannya tersebut menuju ruangan depan rumah mewah berukuran besar itu. Gadis itu kemudian menuntun bocah berusia 5 tahun tersebut.
Tak berapa lama Camilia tiba di ruang depan, kemudian berjalan beriringan menuju halaman dan bergegas masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan sang asisten pribadi kepercayaan Tuan Muda Alfonso.
Mobil yang dikendarai mereka membelah jalanan yang diliputi hujan deras dan gelapnya malam. Sesekali Camilia menoleh ke arah luar jendela kaca mobil sembari sebelah tangannya mengelus lembut pucuk kepala anak majikannya tersebut. Tak banyak kata terucap dari bibir mereka yang berada di dalam mobil tersebut.
Setelah hampir satu jam berada di dalam kendaraan, akhirnya mereka tiba di halaman rumah sakit bersalin ternama yang ada di kota tersebut. Camilia beserta majikannya turun dari mobil dan bergegas menuju ruangan di mana Nyonya Agatha melahirkan.
"Camilia, ayo mampir sebentar ke ruang peribadatan!" Sang Nyonya Besar mendadak berhenti dan mengajak Camilia mampir ke sebuah ruangan tak jauh dari ruang persalinan Nyonya Agatha.
"Iya, Nyonya." Camilia lantas mengikuti langkah majikannya itu sambil menggandeng lengan gadis kecil yang tampak membawa boneka beruangnya.
Sembari memegang butiran rosario, Nyonya Merry tampak komat-kamit membaca doa. Sedangkan Camilia yang berada di belakangnya tampak terdiam dan menundukkan wajah.
Pyaar!
Untaian rosario yang berada di genggaman Nyonya Besar tiba-tiba terlepas dan terjatuh membuat untaian itu berhamburan ke lantai. Camilia yang melihat hal itu bergegas berjongkok dan memunguti satu persatu bulatan manik-manik yang berhamburan itu.
"Firasat buruk apa ini?" gumam sang Nyonya Besar membuat Camilia mendongak dan menatap lekat wanita tua itu.
Usai bergumam sendirian, tak berapa lama wanita tua itu menajamkan indera pendengarannya karena mendengar suara tangisan bayi di ruangan yang tak jauh dari tempatnya berdiri itu. Hal tersebut juga yang dilakukan Camilia, membuat gadis itu sontak berdiri.
"Sepertinya Agatha telah melahirkan. Ayo, kita menuju ke ruangannya! Kira-kira berjenis kelamin apa anaknya!" seru sang majikan.
Camilia mengangguk dan bergegas melangkah beriringan menuju ruang persalinan sang Nyonya Muda yang sedang melahirkan anak keduanya.
Begitu tiba di depan ruangan tersebut sang Nyonya Besar bergegas memutar handel pintu dan melangkah masuk. Camilia yang setia menggandeng anak majikannya tersebut juga tampak menyusul memasuki ruangan tersebut.
Camilia menatap bergantian wajah sang Nyonya Besar berdiri di sisi ranjang brankar, kemudian beralih ke wajah Nyonya Agatha yang berbaring sembari melengos ke arah dinding ruangan itu.
"Dasar persalinan yang tidak berguna! Tak bisa diharapkan untuk mewarisi perusahaan yang selama ini dirintis!" cibir Nyonya Merry yang mengarah kepada menantunya itu. Camilia yang mendengar hal itu hanya terdiam dan tertunduk. Dalam batin gadis 24 tahun itu begitu paham perasaan para majikannya itu. Satu sisi Nyonya Agatha memang menginginkan anak laki-laki sebagai pewaris tunggal perusahaan sang suami. Sedangkan sang Nyonya Besar pun berharap demikian juga. Namun, lagi-lagi takdir seakan-akan mempermainkan keluarga itu. Kehadiran keturunan laki-laki nyatanya tidak hadir lagi dari rahim sang Nyonya Muda.
Tak berselang lama, tanpa berkata apa-apa lagi, dengan raut wajah kecewa, Nyonya Merry keluar dari ruangan itu.
"Ajak Nona kecil keluar dari ruangan ini juga sekarang, Camilia!" seru Nyonya Agatha usai membalikkan badan.
"Tapi, Nyonya ... bolehkah sebentar lagi di sini? Sejak tadi Nona kecil menangis mencari Nyonya." Camilia berusaha membujuk Nyonya Agatha yang masih terbaring di brankar itu. Perawat keluarga itu berharap majikannya mau meluangkan waktu untuk berbicara dengan buah hatinya walaupun sesaat.
"Sudah kubilang ajak pulang, ya, pulang! Tinggalkan aku sendiri di ruangan ini!" bentak Nyonya Agatha.
"Baiklah, Nyonya!" sahut Camilia yang merasa ketakutan. Dengan terpaksa gadis 24 tahun itu lantas menggandeng lengan gadis kecil yang tampak berkaca-kaca, menuju pintu dan keluar dari ruangan itu.
Camilia berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju halaman. Sang Nyonya Besar telah menunggunya di dalam mobil untuk bergegas pulang.
"Saat hendak ke sini, saya melihat Tuan Reinhard menuju ruangan Nyonya Agatha, Nyonya," ujar Camilia saat memasuki mobil.
"Iya, dia menyampaikan pesan Tuan Alfonso jika tidak bisa datang menjenguk ke rumah sakit," sahut wanita tua itu sambil memegang tas yang ada di pangkuannya.
Camilia beserta gadis kecil dan wanita tua itu kemudian menunggu di dalam mobil. Sesekali perawat keluarga yang merangkap menjadi seorang pengasuh itu menatap gadis kecil yang duduk di sebelahnya. Batin Camilia sedih melihat raut kecewa anak majikannya itu.
Tak berapa lama, seseorang yang dinantinya berusaha membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.
"Apa yang dikatakan Nyonya Muda, mendengar pesan dari Tuanmu?" tanya wanita tua itu sebelum mobil melaju.
"Nyonya Muda tampak kecewa Tuan Alfonso tidak berusaha menjenguk ke sini, Nyonya," sahut lelaki yang usianya sebaya dengan Tuan Alfonso.
"Terang saja Tuanmu kecewa." Wanita tua itu bergumam saat mobil perlahan melaju.
Kendaraan roda empat itu akhirnya melaju menuju rumah mewah kediaman Tuan Alfonso. Camilia sebentar-sebentar melirik ke arah wanita tua yang duduk paling tepi bersebelahan dengan cucunya itu. Wajah wanita tua itu tampak dingin dan kecewa bahkan terdengar saat bergumam, ada kebencian terhadap sang menantu.
***
Camilia berlari menuju pintu ketika mendengar mobil sang majikan lelakinya berhenti di halaman. Dia bergegas membuka pintu dan memandang keadaan luar rumah yang sedang diguyur hujan yang sangat deras.
"Tuan Alfonso banyak minum tadi!" ujar sang asisten pribadi majikannya tersebut sembari menyodorkan atasan jas milik sang Tuan Muda ke arah Camilia. Setelah mengetahui sang Tuan Muda menuju kamarnya, lelaki yang menjabat asisten pribadi itu meninggalkan rumah tersebut sembari sesaat berbisik kepada Camilia. Sang perawat itu mengangguk seolah-olah paham dengan yang dikatakan Tuan Reinhard.
Camilia bergegas menuju kamar Tuan Alfonso, setelah sang asisten pribadi majikannya itu berlalu. Dia menatap lekat sang Tuan Muda yang duduk menyandar di sofa dengan wajah tampak lelah. Gadis 24 tahun itu lantas mengambil alat untuk mengukur tekanan darah di lemari kaca yang terletak di sudut kamar tersebut.
"Tuan, anda tampak lelah. Sebaiknya saya memeriksa tekanan darah Anda terlebih dahulu!" ujar Camilia sembari berjongkok dan memasang kain perekat di lengan atas siku majikan lelakinya tersebut.
Camilia tampak sigap menekan pompa alat pengukur tekanan darah tersebut. Sedangkan Tuan Alfonso menatap lekat gadis 24 tahun yang bekerja sebagai perawat sekaligus pengasuh di keluarganya tersebut.
"Tekanan darah Tuan naik sedikit dari biasanya. Sepertinya anda butuh istirahat!" ujar Camilia lagi usai memeriksa tekanan darah majikannya tersebut.
"Kamu sangat cantik," ucap Tuan Alfonso membuat gadis itu menunduk, wajahnya tampak merona. Camilia tersipu malu.
"Tetapi saya udah menjadi perawan tua, Tuan." Dengan gemetar gadis itu berusaha membalas ucapan sang Tuan.
"Tidak masalah. Oh ya, Nyonya apakah sudah pulang?" tanya Tuan Alfonso kepada perawatnya tersebut.
"Belum, Tuan. Padahal, tadi pagi hanya pamit sebentar untuk keluar rumah," balas Camilia.
Tuan Alfonso yang mendengar perkataan gadis itu, sontak berdiri dan melangkah mendekatinya. Tak berapa lama mereka berdua saling berdiri berhadapan. Camilia lantas mundur beberapa langkah dan tubuhnya menyentuh lemari kayu.
"Apa yang akan Tuan lakukan?" tanya Camilia dengan suara bergetar.
Tuan Alfonso tidak menjawab. Lelaki yang menjabat sebagai Presiden Direktur itu justru menggenggam wajah Camilia dan menatapnya lekat. Sementara gadis itu semakin gemetar sembari menggenggam dinding lemari kayu.
Jantung Camilia berdegup kencang, saat sang Tuan malah semakin mendekatkan wajah. Dia gugup dan tak mampu bergeser dari letaknya berdiri."Bibi! Bibi Camilia!" Suara langkah diikuti suara panggilan Nona Kecil terdengar di telinga Camilia. Namun, lagi-lagi dia tak mampu berbuat saat majikan lelakinya itu menyodorkan wajah dan mencium lembut bibirnya. Gadis bermata bulat itu kemudian tampak berkaca-kaca dan menatap lekat Tuan Alfonso.Camilia lantas melirik sejenak ke arah pintu saat terdengar ada seseorang yang menutupnya dari luar. Suara sang Nona Kecil yang memanggil-manggil namanya pun tidak terdengar lagi. Tak berapa lama, Tuan Alfonso menggandeng lengannya dengan lembut menuju ranjang.Tubuh ramping Camilia direbahkan perlahan di sisi ranjang. Dalam dinginnya ruangan ber-AC dan derasnya suara hujan, seolah-olah menggiring mereka untuk menikmati rasa dahaga yang sama. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Tuan Alfonso segera memeluk era
Nyonya Agatha bergegas menutup panggilan telepon dengan asisten sang suami, usai berbicara. Nyonya Muda itu kemudian menghampiri perawat keluarganya yang masih saja bersimpuh di lantai dengan berderai air mata."Cepatlah bersiap-siap, aku telah menyuruh Tuan Reinhard untuk mengurus segalanya di rumah sakit!" seru Nyonya Agatha sembari melipat kedua tangan di depan dada."Nyonya! Saya mohon jangan lakukan itu!" rengek Camilia sembari meraih kaki jenjang sang Nyonya Muda yang masih berdiri angkuh."Tidak bisa! Secepatnya gugurkan kandungan itu!" teriak wanita yang telah mempunyai 2 keturunan itu.Mendengar sang Nyonya Muda berteriak, membuat Nyonya Merry kembali keluar dari kamar. Wanita tua itu menghampiri ruang keluarga lagi."Apa-apaan, masih ribut saja di sini! Apa yang kamu lakukan terhadap Camilia lagi. Biarkan dia istirahat di kamarnya!" seru wanita lanjut usia itu sembari memandang sengi
Camilia menghentikan langkahnya sejenak, sebelum tiba di depan pintu ruangan. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Banyak pasangan suami istri juga mondar-mandir di depan ruangan tersebut. Namun, tiba-tiba gadis bermata bulat itu semakin gemetar ketika melihat seorang perawat keluar dari ruangan sambil menoleh ke sana ke mari, seolah-olah mencari seseorang.'Ya Tuhan, saya tidak ingin melakukan hal ini. Beri petunjuk, Tuhan!' ratapnya dalam batin. Camilia kemudian berusaha menguatkan hatinya dan melangkah menghampiri seorang perawat yang masih berdiri di depan pintu dan mendekap sebuah map."Suster! Sa-saya ...." Camilia tak melanjutkan ucapannya karena merasa gugup di depan perawat rumah sakit itu."Iya. Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang tampak ramah itu kepada Camilia."Bisakah saya pergi dari rumah sakit ini?" tanya Ca
Beberapa bulan kemudianTuan Alfonso duduk termenung sendirian di ruangan kerjanya yang terpisah dengan rumah utama. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar yang tersekat oleh dinding. Presiden Direktur perusahaan property itu kemudian menghampiri lemari kaca yang berada di sudut kamar.Lemari kaca telah dibukanya. Dia kemudian menyentuh sebuah kotak yang berisi peralatan pendeteksi tekanan darah. Hal itu mengingatkannya pada Camilia yang telah beberapa bulan menghilang. Batin Tuan Alfonso merasa rindu dengan perawatnya itu yang telah membuat dirinya jatuh cinta.Sementara, di rumah utama, Nyonya Merry menunggu kedatangan asisten pribadi kepercayaan anaknya. Nyonya Besar itu, sesekali mendongak ke arah benda bulat yang menempel di dinding."Permisi, Nyonya Besar! Saya telah datang," panggil Tuan Reinhard yang telah berdiri di depan pintu ruangan Nyonya Merry."Masuklah! A
Tuan Reinhard mengarahkan sebelah kakinya ke arah pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka. Dia lantas merangsek ke dalam kandang sapi tersebut. Camilia yang mendengar hal itu lantas mendelik ketakutan sambil menahan nyeri. Namun, wanita itu tak bisa berbuat apa-apa saat Tuan Reinhard telah berdiri di depannya."Jangan, Tuan! Saya mohon." Camilia lantas memohon iba dari Tuan Reinhard yang tampak berdiri angkuh dengan tatapan menyeringai. Lelaki itu seolah-olah ingin menerkam Camilia yang telah berhasil ditemukannya."Aduh!" teriak Camilia saat perutnya makin terasa berkontraksi. "Tolong saya, Tuan Reinhard! Tolong saya!" sambung wanita yang masih memakai seragam perawat itu. Dia lantas merangkak, meraih kaki Tuan Reinhard yang masih berdiri di tempatnya.Camilia terus mengiba memohon pertolongan, sedangkan Tuan Reinhard tampak termenung. Tak berapa lama, lelaki itu lantas membantu Camilia berdiri dan menuntunnya kembali menuju klinik.Perawat itu terus
12 tahun kemudianWaktu berlalu dengan cepat, Camilia bersama anak semata wayangnya hidup tenang dan damai. Sejak kelahiran Brandon, 12 tahun yang lalu, mantan perawat itu lebih memilih menyingkir jauh dari kehidupan Tuan Alfonso dan keluarga besarnya.Matahari telah menerobos celah dinding rumah kontrakan sederhana Camilia. Wanita yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat itu, kini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci dan setrika tetangga sekitar rumah kontrakannya. Dia terkadang membuat kue jika ada pesanan yang menghampiri dirinya.Brandon tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan sedikit emosional. Namun, kebiasaan buruknya yang malas mandi membuat Camilia sebagai sang ibu merasa jengkel."Kamu tidak mandi mau berangkat ke sekolah? Astaga, Brandon ... jangan membuat malu ibumu ini yang pernah bekerja sebagai perawat!" keluh Camilia saat mendapati Brandon hanya membasuh wajah dan langsung berganti seragam sekolah."Ibu ... kata teman-teman
Tuan Kecil Jason masih bersikeras tidak mau keluar dari kamarnya meskipun telah dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang dan hadiah berupa mainan oleh Nyonya Agatha."Jason, ayolah! Ayahmu sudah menunggu di bawah sejak tadi. Ganti bajumu!" seru Nyonya Agatha lagi, usai Nyonya Besar yang berteriak memanggilnya."Tidak! Aku tidak mau!" balas Jason yang terus menolak perintah ibunya tersebut."Jika kamu tidak mau keluar, aku akan memanggil orang untuk mendobrak pintu!" Nyonya Besar akhirnya berteriak lagi mengancam Jason.Anak lelaki berusia 12 tahun itu akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar. Rupanya, Jason takut dengan ancaman pintu akan didobrak paksa."Aku sudah keluar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jason mengarah pada sang Nenek."Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Ayahmu telah menunggu sejak tadi. Sedetik, semenit ... ayahmu selalu menghargai waktu daripada orang lain. Cepatlah ganti bajumu dan segera turun ke bawah! Kamu nanti men
"Tuan Reinhard, tolong pertimbangkan usulan penjaga keamanan untuk membawa anak-anak ini ke kantor polisi!" seru Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut."Baik, Tuan," balas Tuan Reinhard."Urus semuanya!" perintah Presiden Direktur itu lagi.Brandon bergegas lagi mendekati Tuan Alfonso setelah mendengar perintahnya kepada sang asisten pribadi."Maafkan saya, Tuan Presiden! Sekali ini saja. Saya tidak akan mengulanginya." Anak usia 12 tahun itu terus memberanikan diri memohon maaf."Kamu telah berani masuk ke sini dan mencuri. Itu tandanya, kamu harus memberanikan diri untuk bertanggung jawab apa yang telah kamu perbuat!" tegas Tuan Alfonso.Jason yang berdiri tidak jauh dari ayahnya tersenyum sinis melihat Brandon dan teman-temannya."Tuan Reinhard! Lebih baik panggil polisi ke sini saja!" perintah Tuan Alfonso. Kemudian Presiden Direktur itu melangkah menuju proyek."Tuan ... Tuan! Maafkan saya. Saya mohon, Tuan!" Ujar Brando
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d
Setelah beberapa lamanya mengikuti tes tertulis dan praktik tahap pertama, Brandon lolos dengan hasil yang cukup memuaskan. Dia yang hanya mengandalkan pengalaman belajarnya dengan sang ayah dan tidak mengikuti pendidikan formal khusus di bidang itu, wajar saja dengan hasil ujian yang dicapainya.Hari berganti Minggu, begitu seterusnya. Usai mengikuti beberapa tahapan ujian, Brandon dinyatakan lolos semuanya dan berhak diterima ikut bekerja di kantor konsultan sekaligus perusahaan property tersebut. Namun, sekian lama bekerja dan menimba ilmu di sana, orang yang dicarinya tak jua ketemu, hingga pemuda itu merasa frustrasi.Brandon mengemasi semua barang miliknya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Sejenak, dirinya berpamitan kepada Tuan Josh beserta keluarganya, tak terkecuali dengan Angel. Tuan Josh, membujuk dan menghalangi Brandon agar tidak meninggalkan mess. Namun, dengan berat hati Brandon tetap ingin pergi.***
"Tunggu, Kek!" teriak Brandon, sambil berlari mengejar lelaki tua tersebut. Lagi-lagi dirinya mengusap kasar air mata yang sempat membasahi pipinya.Lelaki lanjut usia itu tampak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Brandon. "Kakek, sepertinya aku memilih jalan yang kedua. Tapi bagaimana caranya masuk ke rumah itu untuk menyampaikan pilihan itu, Kek?" tanya Brandon begitu telah sampai di dekat lelaki tua itu. Napasnya tampak tersengal-sengal, meskipun hanya berlari dengan jarak yang dekat."Serius, kamu dengan pilihanmu?" tanya lelaki tua itu.Brandon mengangguk. Sejurus kemudian lelaki tua itu membalikkan badan dan berjalan ke arah rumah yang merangkap kantor konsultan property di seberang jalan. Anak dari Camilia itu lantas mengikuti langkah orang yang dipanggilnya kakek itu."Maaf, Kakek, kenapa tidak langsung ke gudang? Orang itu berada di sana, Kek," protes Brandon yang merasa heran, karena
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham