Beberapa bulan kemudian
Tuan Alfonso duduk termenung sendirian di ruangan kerjanya yang terpisah dengan rumah utama. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar yang tersekat oleh dinding. Presiden Direktur perusahaan property itu kemudian menghampiri lemari kaca yang berada di sudut kamar.
Lemari kaca telah dibukanya. Dia kemudian menyentuh sebuah kotak yang berisi peralatan pendeteksi tekanan darah. Hal itu mengingatkannya pada Camilia yang telah beberapa bulan menghilang. Batin Tuan Alfonso merasa rindu dengan perawatnya itu yang telah membuat dirinya jatuh cinta.
Sementara, di rumah utama, Nyonya Merry menunggu kedatangan asisten pribadi kepercayaan anaknya. Nyonya Besar itu, sesekali mendongak ke arah benda bulat yang menempel di dinding.
"Permisi, Nyonya Besar! Saya telah datang," panggil Tuan Reinhard yang telah berdiri di depan pintu ruangan Nyonya Merry.
"Masuklah! Aku telah menunggu sejak tadi." Nyonya Besar mempersilakan Tuan Reinhard untuk segera masuk ruangannya.
Tuan Reinhard pun segera memutar handel pintu dan masuk ke ruangan itu. Dia duduk berhadapan dengan Nyonya Merry.
"Bagaimana dengan anak itu? Apakah kamu telah mencarinya? Aku sedang membicarakan Camilia, apakah kamu mengerti?" tanya Nyonya Merry setelah beberapa bulan merasa kebingungan dengan keberadaan Camilia.
"Iya, Nyonya. Bahkan, saya juga telah menyuruh beberapa orang untuk mencari ke kota kelahirannya dan tempat-tempat yang biasa dikunjunginya," sahut Tuan Reinhard kemudian.
"Terus, bagaimana hasilnya? Apakah sudah ada laporan mengenai anak itu?" cecar sang Nyonya Besar.
"Saya kehilangan jejaknya, Nyonya. Apalagi dia tidak mempunyai kerabat," balas sang asisten pribadi Tuan Alfonso.
"Betulkah?" Nyonya Merry tersentak mendengar kabar jika Camilia tidak ada kerabat satupun di kota kelahirannya. Nyonya Besar merasa telah putus harapan untuk menemukan Camilia. Wanita tua itu menarik napas berat.
"Iya, Nyonya."
"Kandungan anak itu pasti telah membesar," gumam Nyonya Merry sembari menoleh ke arah jendela.
"Saya akan segera mengirim orang yang banyak untuk mencarinya lagi hingga ke sudut-sudut kampung sekitar kota kelahirannya, Nyonya. Jadi, saya mohon jangan cemas, Nyonya!" Tuan Reinhard berusaha membujuk Nyonya Besar itu agar tenang dengan kebohongan yang ia ciptakan. Selama ini, asisten pribadi Tuan Alfonso itu tidak bersungguh-sungguh mencari keberadaan Camilia.
"Lalu ... pada siapa kamu berpihak? Kepada anakku atau kepada istrinya? Untuk siapa kamu bekerja di sini?" tanya Nyonya Merry saat asisten pribadi anaknya itu hendak undur diri. Tuan Reinhard terkejut mendengar pertanyaan wanita tua itu yang tiba-tiba. Lelaki itu merasa disudutkan.
Tuan Reinhard terdiam sejenak. Dia teringat dengan Nyonya Agatha yang telah mengandung 3 bulan benih cinta bersamanya. Nyonya Agatha mengatakan jika perusahaan property itu kelak menjadi milik anak yang dikandungnya.
"Bekerja untuk siapa dirimu?" tanya Nyonya Merry lagi, membuat lamunan Tuan Reinhard buyar seketika.
"Sa-saya bekerja untuk perusahaan Cakrawala Abadi Property, Nyonya. Demi pertumbuhan dan kejayaan perusahaan." Tuan Reinhard menjawab dengan hati-hati atas pertanyaan Nyonya Merry. Dia takut jika Nyonya Besar itu menjebak dirinya.
"Jangan sampai tujuanmu keluar dari motivasi itu! Lebih baik kamu temukan Camilia terlebih dahulu! Bawa dia kembali ke sini dalam keadaan baik-baik saja!" desak Nyonya Besar.
Tuan Reinhard teringat lagi ucapan Nyonya Agatha yang saat ini mengandung buah hati bersamanya. Satu sisi wanita yang dicintainya menginginkan dirinya untuk mencari Camilia dan membuang bayi yang dikandungnya. Sedangkan sisi yang lain, Nyonya Merry yang juga majikannya, menyuruh membawa Camilia kembali dengan keadaan baik-baik saja. Tuan Reinhard saat ini merasa dilema, tetapi hatinya tahu persis dia harus berbuat apa.
"Baik, Nyonya," jawabnya kemudian. Tuan Reinhard lantas berpamitan untuk kembali ke kantor.
Nyonya Merry yang menatap punggung asisten pribadi anaknya itu lantas tersenyum penuh arti. Wanita tua itu seolah-olah tahu apa yang disembunyikan Tuan Reinhard.
Tuan Reinhard melajukan mobil dengan kencang menuju perusahaan. Tak berapa lama, lelaki itu tiba dan bergegas masuk ke ruangannya. Baru sejenak dirinya duduk di kursi kerjanya, telepon terdengar berdering. Dia lantas berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
Pembicaraan Tuan Reinhard selesai dan ditutup dengan senyuman menyeringai. Lelaki itu lantas bergegas keluar ruangan lagi dan meninggalkan perusahaan. Dia juga mengajak beberapa orang untuk menumpang di mobil yang sama menuju suatu tempat.
Tuan Reinhard memberikan komando kepada orang-orang yang diajaknya sembari mengemudikan mobil. Mereka yang berada satu mobil merasa paham dan menurut pada setiap ucapan dan perintah Tuan Reinhard.
Mobil yang dikemudikan tangan kanan Tuan Alfonso itu tiba di sebuah klinik terpadu milik pemerintah yang berada di pinggiran kota. Mereka lantas turun dan melangkah beriringan menuju klinik tersebut.
Tuan Reinhard dan rombongannya tampak duduk di ruang tunggu depan sebuah ruang pemeriksaan.
"Giliran selanjutnya silahkan masuk!" perintah seorang Dokter dari dalam ruangan membuat rombongan Tuan Reinhard merangsek masuk.
Dokter yang berada di depan meja kerjanya seketika berdiri ketika Tuan Reinhard dan rombongan memasuki ruangannya.
"Kenapa anda datang ke sini?" tanya Dokter itu yang merasa heran.
"Apakah staf perawat anda ada yang bernama Camilia? Tolong panggilkan segera, saya ingin bertemu dengannya, sekarang! Ada hal penting yang akan saya sampaikan padanya!" seru Tuan Reinhard kemudian.
"Maksud, Anda?" tanya Dokter itu yang semakin curiga dengan sikap Tuan Reinhard.
"Siapa lagi pasiennya, Dok?" tanya Camilia yang tiba-tiba keluar dari ruangan pemeriksaan usai menangani seorang wanita lanjut usia.
Sang Dokter yang belum sempat mendengar jawaban Tuan Reinhard merasa terkejut. Camilia yang tiba-tiba keluar ruangan itu lantas menatap Tuan Reinhard yang telah dikenalnya cukup lama. Camilia yang keberadaannya merasa terancam bergegas berlari keluar klinik melalui pintu samping. Wanita yang kandungannya telah tampak membesar itu, seolah-olah mengetahui jika akan ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Tunggu! Jangan lari, kamu!" seru Tuan Reinhard mengejar Camilia. Namun, langkah lelaki dan rombongannya itu dihalang-halangi oleh Dokter jaga tersebut. Sehingga Camilia lolos begitu saja.
Tuan Reinhard dan rombongan berhasil menyingkirkan kedua lengan sang dokter yang mencoba menghalangi. Bahkan, salah satu anak buah asisten pribadi Tuan Alfonso itu menganiaya sang Dokter. Mereka lantas mengejar Camilia yang terus berlari sembari memegangi perutnya.
Camilia berkali-kali menengok ke belakang. Dia berlari sambil terus memegangi perutnya dengan napas tersengal-sengal. Perawat itu lantas bersembunyi di sebuah bangunan, bekas kandang sapi milik warga yang lumayan jauh dari klinik tempatnya bekerja. Suara langkah kaki rombongan Tuan Reinhard yang mengejarnya, membuat jantung Camilia berdegup kencang dan tubuhnya gemetar. Bahkan perutnya tiba-tiba terasa mulas hendak melahirkan.
"Ah ... sakit!" rintih Camilia dengan suara lirih saat menyandar di dinding sebuah bangunan yang berisi jerami.
Wanita yang masih mengenakan seragam perawat itu lantas memegang erat tiang dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan yang lain memegangi perut yang mengalami kontraksi. Camilia mengabaikan suara langkah berlarian orang-orang yang kemungkinan Tuan Reinhard beserta anak buah yang masih mengejarnya.
Camilia terus merintih menahan sakit. Dia merasa sebentar lagi akan melahirkan.
"Sakit ... tolong, Tuhan...." Camilia merintih meminta pertolongan. Kakinya terus bergerak dan menyentuh tumpukan kayu bakar yang tersusun rapi di antara jerami. Sehingga tumpukan kayu bakar itu berjatuhan.
Tuan Reinhard yang menoleh ke sana ke mari di depan bangunan bekas kandang sapi itupun curiga dengan arah sumber suara. Asisten pribadi Tuan Alfonso itu lantas mendekati pintu bangunan tersebut.
Tuan Reinhard mengarahkan sebelah kakinya ke arah pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka. Dia lantas merangsek ke dalam kandang sapi tersebut. Camilia yang mendengar hal itu lantas mendelik ketakutan sambil menahan nyeri. Namun, wanita itu tak bisa berbuat apa-apa saat Tuan Reinhard telah berdiri di depannya."Jangan, Tuan! Saya mohon." Camilia lantas memohon iba dari Tuan Reinhard yang tampak berdiri angkuh dengan tatapan menyeringai. Lelaki itu seolah-olah ingin menerkam Camilia yang telah berhasil ditemukannya."Aduh!" teriak Camilia saat perutnya makin terasa berkontraksi. "Tolong saya, Tuan Reinhard! Tolong saya!" sambung wanita yang masih memakai seragam perawat itu. Dia lantas merangkak, meraih kaki Tuan Reinhard yang masih berdiri di tempatnya.Camilia terus mengiba memohon pertolongan, sedangkan Tuan Reinhard tampak termenung. Tak berapa lama, lelaki itu lantas membantu Camilia berdiri dan menuntunnya kembali menuju klinik.Perawat itu terus
12 tahun kemudianWaktu berlalu dengan cepat, Camilia bersama anak semata wayangnya hidup tenang dan damai. Sejak kelahiran Brandon, 12 tahun yang lalu, mantan perawat itu lebih memilih menyingkir jauh dari kehidupan Tuan Alfonso dan keluarga besarnya.Matahari telah menerobos celah dinding rumah kontrakan sederhana Camilia. Wanita yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat itu, kini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci dan setrika tetangga sekitar rumah kontrakannya. Dia terkadang membuat kue jika ada pesanan yang menghampiri dirinya.Brandon tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan sedikit emosional. Namun, kebiasaan buruknya yang malas mandi membuat Camilia sebagai sang ibu merasa jengkel."Kamu tidak mandi mau berangkat ke sekolah? Astaga, Brandon ... jangan membuat malu ibumu ini yang pernah bekerja sebagai perawat!" keluh Camilia saat mendapati Brandon hanya membasuh wajah dan langsung berganti seragam sekolah."Ibu ... kata teman-teman
Tuan Kecil Jason masih bersikeras tidak mau keluar dari kamarnya meskipun telah dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang dan hadiah berupa mainan oleh Nyonya Agatha."Jason, ayolah! Ayahmu sudah menunggu di bawah sejak tadi. Ganti bajumu!" seru Nyonya Agatha lagi, usai Nyonya Besar yang berteriak memanggilnya."Tidak! Aku tidak mau!" balas Jason yang terus menolak perintah ibunya tersebut."Jika kamu tidak mau keluar, aku akan memanggil orang untuk mendobrak pintu!" Nyonya Besar akhirnya berteriak lagi mengancam Jason.Anak lelaki berusia 12 tahun itu akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar. Rupanya, Jason takut dengan ancaman pintu akan didobrak paksa."Aku sudah keluar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jason mengarah pada sang Nenek."Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Ayahmu telah menunggu sejak tadi. Sedetik, semenit ... ayahmu selalu menghargai waktu daripada orang lain. Cepatlah ganti bajumu dan segera turun ke bawah! Kamu nanti men
"Tuan Reinhard, tolong pertimbangkan usulan penjaga keamanan untuk membawa anak-anak ini ke kantor polisi!" seru Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut."Baik, Tuan," balas Tuan Reinhard."Urus semuanya!" perintah Presiden Direktur itu lagi.Brandon bergegas lagi mendekati Tuan Alfonso setelah mendengar perintahnya kepada sang asisten pribadi."Maafkan saya, Tuan Presiden! Sekali ini saja. Saya tidak akan mengulanginya." Anak usia 12 tahun itu terus memberanikan diri memohon maaf."Kamu telah berani masuk ke sini dan mencuri. Itu tandanya, kamu harus memberanikan diri untuk bertanggung jawab apa yang telah kamu perbuat!" tegas Tuan Alfonso.Jason yang berdiri tidak jauh dari ayahnya tersenyum sinis melihat Brandon dan teman-temannya."Tuan Reinhard! Lebih baik panggil polisi ke sini saja!" perintah Tuan Alfonso. Kemudian Presiden Direktur itu melangkah menuju proyek."Tuan ... Tuan! Maafkan saya. Saya mohon, Tuan!" Ujar Brando
Jantung Camilia berdegup kencang saat dari kejauhan dirinya melihat rombongan Tuan Alfonso keluar dari ruangan. Dia lantas bergerak maju berniat untuk menemui Presiden Direktur itu. Namun, bekas perawat keluarga itu harus menghentikan langkah saat menatap Tuan Reinhard yang sedang membukakan pintu mobil.Camilia lantas segera bergeser dari tempatnya berdiri dan menyandar di balik dinding bangunan tersebut. Dia teringat pesan Tuan Reinhard kala itu. Ancaman dari asisten pribadi Tuan Alfonso itu selalu terngiang di telinganya. Tak berapa lama, dirinya mendengar suara mesin mobil yang siap melaju.Ibu kandung Brandon bergegas membalikkan tubuh menghadap dinding, saat Tuan Alfonso dan rombongan yang mengendarai mobil melintas tepat di depannya. Jantungnya semakin berdegup kencang, ada rasa cemas jika Tuan Alfonso atau Tuan Reinhard melihat dirinya.Tuan Alfonso yang berada di dalam mobil, sekilas melihat ke arah Camilia melalui kaca spion bagian dalam. Namun, Tua
"Jason ... keluarlah dari ruangan ini dan masuklah ke kamarmu, sekarang!" perintah Nyonya Agatha tanpa peduli dengan kemarahan sang ibu mertua."Agatha! Apa yang kamu lakukan?" teriak Nyonya Merry melihat kelakuan menantunya itu. Wanita yang telah lanjut usia itu teriakannya tampak diabaikan oleh sang menantu."Jason! Apakah kamu tidak dengar? Keluar dari sini sekarang juga!" seru Nyonya Agatha lagi kepada anak lelakinya tersebut. Jason yang masih menangis lantas berlari keluar ruangan.Nyonya Merry memandang heran kepada menantunya. Wanita tua itu menggeleng menanggapi tingkah laku sang menantu yang tidak peduli dengan keberadaannya."Agatha! Kamu pikir ... kamu siapa? Berani-beraninya berbuat seperti ini di depanku. Kamu melawan perintahku!" seru Nyonya Merry yang tampak tidak kuat menahan emosi."Ibu! Ibu mertua! Tolong hentikan yang Ibu mau! Jason adalah cucu laki-laki yang selama ini diidam-idamkan kelahirannya di keluarga ini. Bagaimana bisa, Ibu
"Brandon, kenapa belum berangkat sekolah? Kenapa masih di sini?" cecar Camilia sambil mengatasi rasa gugup yang mendera batinnya. Brandon terdiam, tetapi kedua matanya menatap tajam ke arah ibunya tersebut yang sedang membawa satu ember besar berisi pakaian."Aku sudah tahu, Bu," ujar Brandon kemudian. Dia lantas membungkuk dan segera membalikkan badan, kemudian berjalan kaki menuju sekolah.Brandon merenung sepanjang perjalanan menuju sekolah. Dia ingin mencari cara agar bisa membantu sang ibu. Anak semata wayang Camilia itu tiba-tiba mendapatkan ide mencari barang bekas untuk dijual kepada pemasok.Anak lelaki berusia 12 tahun itu sebentar-sebentar berhenti saat menuju sekolah. Dia memunguti barang bekas yang ditemuinya di jalan, kemudian mengumpulkannya di sebuah rumah kosong. Brandon berniat mengambil dan menjualnya saat pulang sekolah.Pikiran Brandon tidak konsentrasi sama sekali saat di sekolah. Perbincangan ibunya dengan pemilik kontrakan tereka
Tuan Alfonso masih terdiam dan kenangan saat bersama Camilia masih terukir indah di benaknya. Apalagi saat Camilia begitu lugu bertanya pada dirinya, apakah dirinya akan mengakui janin yang ada dalam kandungannya itu selama-lamanya."Baiklah, aku mengerti! Aku akan menerima uang ganti potongan besi itu," ujar Presiden Direktur itu setelah beberapa saat lamanya."Jadi ... itu tandanya kasus pencurian itu sudah hilang, Tuan Presiden?" tanya Brandon sambil tersenyum malu."Bukan hilang, tapi dihapuskan," sahut Tuan Alfonso."Benarkah? Terima kasih, Tuan." Brandon sangat senang mendengar ucapan Presiden Direktur tersebut."Kamu adalah anak yang pemberani dan bertanggung jawab. Aku salut padamu!" puji Tuan Alfonso."Terima kasih, Tuan Presiden. Saya sangat senang mendengarnya, sekarang," balas Brandon tidak berhenti tersenyum. Batin bocah 12 tahun itu sangat bahagia."Kalau begitu, pulanglah!" seru Tuan Alfonso kemudian."Baiklah, Tuan Pres
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d
Setelah beberapa lamanya mengikuti tes tertulis dan praktik tahap pertama, Brandon lolos dengan hasil yang cukup memuaskan. Dia yang hanya mengandalkan pengalaman belajarnya dengan sang ayah dan tidak mengikuti pendidikan formal khusus di bidang itu, wajar saja dengan hasil ujian yang dicapainya.Hari berganti Minggu, begitu seterusnya. Usai mengikuti beberapa tahapan ujian, Brandon dinyatakan lolos semuanya dan berhak diterima ikut bekerja di kantor konsultan sekaligus perusahaan property tersebut. Namun, sekian lama bekerja dan menimba ilmu di sana, orang yang dicarinya tak jua ketemu, hingga pemuda itu merasa frustrasi.Brandon mengemasi semua barang miliknya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Sejenak, dirinya berpamitan kepada Tuan Josh beserta keluarganya, tak terkecuali dengan Angel. Tuan Josh, membujuk dan menghalangi Brandon agar tidak meninggalkan mess. Namun, dengan berat hati Brandon tetap ingin pergi.***
"Tunggu, Kek!" teriak Brandon, sambil berlari mengejar lelaki tua tersebut. Lagi-lagi dirinya mengusap kasar air mata yang sempat membasahi pipinya.Lelaki lanjut usia itu tampak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Brandon. "Kakek, sepertinya aku memilih jalan yang kedua. Tapi bagaimana caranya masuk ke rumah itu untuk menyampaikan pilihan itu, Kek?" tanya Brandon begitu telah sampai di dekat lelaki tua itu. Napasnya tampak tersengal-sengal, meskipun hanya berlari dengan jarak yang dekat."Serius, kamu dengan pilihanmu?" tanya lelaki tua itu.Brandon mengangguk. Sejurus kemudian lelaki tua itu membalikkan badan dan berjalan ke arah rumah yang merangkap kantor konsultan property di seberang jalan. Anak dari Camilia itu lantas mengikuti langkah orang yang dipanggilnya kakek itu."Maaf, Kakek, kenapa tidak langsung ke gudang? Orang itu berada di sana, Kek," protes Brandon yang merasa heran, karena
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham