Jantung Camilia berdegup kencang, saat sang Tuan malah semakin mendekatkan wajah. Dia gugup dan tak mampu bergeser dari letaknya berdiri.
"Bibi! Bibi Camilia!" Suara langkah diikuti suara panggilan Nona Kecil terdengar di telinga Camilia. Namun, lagi-lagi dia tak mampu berbuat saat majikan lelakinya itu menyodorkan wajah dan mencium lembut bibirnya. Gadis bermata bulat itu kemudian tampak berkaca-kaca dan menatap lekat Tuan Alfonso.
Camilia lantas melirik sejenak ke arah pintu saat terdengar ada seseorang yang menutupnya dari luar. Suara sang Nona Kecil yang memanggil-manggil namanya pun tidak terdengar lagi. Tak berapa lama, Tuan Alfonso menggandeng lengannya dengan lembut menuju ranjang.
Tubuh ramping Camilia direbahkan perlahan di sisi ranjang. Dalam dinginnya ruangan ber-AC dan derasnya suara hujan, seolah-olah menggiring mereka untuk menikmati rasa dahaga yang sama. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Tuan Alfonso segera memeluk erat dari belakang tubuh Camilia yang terbaring miring dengan tangan terlipat di depan dada. Gadis itu tampak gemetar.
Keduanya tak banyak bicara, sang Tuan yang tampak agresif bergegas membalikkan tubuh Camilia hingga saling berhadapan. Wajahnya lantas dielus lembut oleh majikan lelakinya, kemudian bagian dagu dibiarkan perlahan mendongak dan saling menatap lekat.
Jantung Camilia berdegup semakin kencang saat hembusan napas sang Tuan terasa semakin memburu. Dalam hitungan menit, keduanya lantas mengalirkan sesuatu dalam dada yang selama ini terpendam. Tak berapa lama mereka berdua merasakan sensasi terbang ke awan. Meskipun, sebenarnya bukan keinginan Camilia hingga harus melakukannya bersama majikannya tersebut.
Camilia bergegas membalikkan badan menghadap dinding lagi. Dia menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Sementara buliran bening mulai meleleh, membasahi kedua pipinya.
"Jangan takut, aku akan bertanggung jawab!" Tuan Alfonso mengelus lembut lengan gadis bermata bulat itu.
"Bagaimana jika Nyonya Muda mengetahuinya, Tuan?" tanya Camilia dengan suara bergetar usai membalikkan badan menghadap ke arah Tuan Alfonso lagi.
"Jangan takut!" seru majikannya itu sembari menggenggam wajah Camilia dan menatap lekat.
'Tak biasanya Tuan Alfonso tersenyum hangat seperti ini. Biasanya sepulang dari kantor, dia mengurung diri di ruang kerjanya.' Camilia bergumam dalam batinnya.
"Kelak, jika kamu melahirkan anak lelaki, darah dagingku ... beri dia nama Sanjaya di belakang. Itu nama almarhum ayahku yang berarti kakeknya juga," bisik Tuan Alfonso sambil mengusap pelan punggung gadis itu yang membenamkan wajah di dadanya.
Malam terus beranjak naik, membuat Camilia perlahan merasakan tenang berada dalam dekapan lelaki itu hingga memejamkan mata. Sementara Tuan Alfonso juga merasakan kebahagiaan yang selama ini dicarinya. Pernikahannya dengan Nyonya Agatha sejak awal tidak pernah harmonis. Semua karena ada kepentingan bisnis di dalam pernikahan itu.
Tak terasa waktu menjelang pagi, tetapi suasana di luar masih tertutup kabut, sisa hujan semalam. Camilia menyingkirkan pelan lengan sang majikan yang masih tampak terlelap. Sejenak, dia menatap lelaki itu kemudian tersenyum.
Usai menyibakkan selimut dan menutupkannya kembali ke tubuh Tuan Alfonso, perawat keluarga itu bergegas meninggalkan kamar. Dia berjalan pelan sambil menahan perih setelah melewati kejadian yang tak pernah dibayangkannya selama ini.
Camilia memutar handel pintu dan membukanya pelan. Setelah mengedarkan pandangan ke segala arah dan merasa tak ada yang melihat, dia lantas menuju kamarnya. Suasana rumah mewah itu memang tampak sepi jika Nyonya Agatha tidak ada di rumah. Tak ada pertengkaran antara wanita itu dengan sang mertua.
Perawat keluarga itu telah tiba di kamarnya, kemudian bersiap melanjutkan rutinitas paginya mengurus sang Nona kecil. Dia keluar dari kamar usai membereskan tempat tidur yang tadi malam tidak ditempatinya.
"Sayang, bangun yuk! Udah pagi, saatnya bersiap ke sekolah," ujar Camilia sambil mengelus lengan gadis kecil yang masih terlelap di ranjang.
"Bibi Camilia ... apa Mama udah pulang?" Dengan mengucek mata, gadis kecil menanyakan keberadaan ibunya.
"Belum, Sayang. Nanti kita main ke taman, ya!" bujuk Camilia agar sang Nona kecil tidak menangis mencari ibunya terus-menerus.
Tak berapa lama, Camilia bergegas mengurus gadis kecil yang telah terbangun itu untuk bersiap ke sekolah. Dia telah menyiapkan seragam yang akan dipakai anak majikannya itu.
Camilia mendampingi gadis kecil itu hingga sarapan sebelum berangkat sekolah. Rutinitas yang ia jalani di rumah keluarga Tuan Alfonso sejak dirinya kehilangan orangtua selama-lamanya akibat kecelakaan. Orangtua Camilia merupakan sahabat akrab Nyonya Merry. Saat itu dirinya masih menempuh pendidikan keperawatan.
Gadis cantik bermata bulat itu, kemudian mengantar Nona kecil hingga masuk ke mobil. Anak majikannya tersebut lantas melambaikan tangan ke arah dirinya hingga kendaraan roda empat itu melaju secara perlahan meninggalkan rumah.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Sejak melahirkan 2 bulan yang lalu, Nyonya Agatha sering bepergian selama berminggu-minggu meninggalkan kedua anaknya. Nyonya Muda itu mempercayakan kedua anaknya kepada Camilia. Hal tersebut membuat perawat itu merasa kerepotan. Apalagi akhir-akhir ini, dia merasakan tubuhnya lemah dan sering mengalami mual. Camilia tahu persis apa yang dialaminya kali ini.
Camilia seringkali tak berdaya saat merawat dan mengasuh kedua anak sang majikan, saat Nyonya Agatha pergi. Bahkan, dirinya sering kehilangan waktu untuk bermain bersama dengan kedua Nona kecil. Seperti saat ini, Camilia dalam keadaan lemas dan berjongkok di sudut kamar sembari memegangi perutnya yang terasa mual. Sejak kejadian pertama kali, Camilia melakukan hubungan intim dengan Tuan Alfonso dan beberapa kali, majikan lelakinya itu memanfaatkan kesempatan saat istrinya tidak ada di rumah. Kini, dirinya merasakan sedang mengandung benih cinta sang Tuan.
Sebuah mobil terhenti di halaman rumah membuat Camilia gemetar ketakutan. Dia tahu jika yang datang adalah Nyonya Agatha. Sebentar lagi dirinya pasti diinterogasi majikan perempuannya itu tentang mengasuh kedua anaknya selama Nyonya Agatha bepergian.
"Sebentar, Sayang ...! Huek, huek!" Camilia berteriak diikuti suara hendak muntah saat mendengar langkah kaki seseorang menuju kamarnya.
"Kamu?! Apa yang terjadi denganmu?" tanya Nyonya Agatha yang berdiri di tengah pintu. Camilia tersentak kaget karena dirinya mengira langkah kaki yang menuju kamarnya adalah Nona Alice, anak pertama majikannya.
Nyonya Agatha menatap tajam Camilia yang tampak gugup. Majikan perempuan itu lantas menghampiri gadis yang berprofesi sebagai perawat keluarga sekaligus pengasuh itu. Tak berapa lama, sang majikan menarik lengan Camilia dan menyeretnya keluar kamar.
"Tolong, Nyonya! Maafkan saya!" teriak Camilia sembari memohon kepada Nyonya Agatha. Saat tiba di ruang keluarga, majikannya itu lantas melepas cengkeraman tangan dan mendorong tubuh Camilia hingga tersungkur ke lantai.
"Anak siapa itu? Siapa?" tanya Nyonya Agatha sembari berteriak.
"Maafkan saya, Nyonya! Maafkan saya!" sahut Camilia sambil bersimpuh seolah-olah memohon ampun.
"Sekali lagi, janin siapa yang ada di kandunganmu saat ini?" teriak Nyonya Agatha lagi sambil melotot ke arah Camilia. Sang majikan tampak murka.
"Maafkan saya, Nyonya! Ini adalah ... akibat perbuatan Tuan Alfonso," jawab Camilia sembari gemetar. Dia terpaksa mengaku di depan majikannya tersebut.
Nyonya Merry yang mendengar keributan dari dalam kamarnya, bergegas menghampiri mereka dibruang keluarga. Tatapannya sinis mengarah ke Nyonya Agatha. Tanpa berkata, wanita lanjut usia itu mendekati Camilia. Diraihnya tangan gadis 24 tahun yang tampak menangis itu agar bangkit dari bersimpuhnya.
"Semua ini gara-gara, kamu yang sering bepergian terlalu lama meninggalkan suami dan anak-anak!" ujar Nyonya Merry sambil menoleh ke arah Nyonya Agatha yang masih tampak syok mendengar pengakuan Camilia.
Nyonya Merry lantas berbisik kepada Camilia. Tak berapa lama, wanita tua itu lantas memanggil juru masak untuk memasak menu sup daging sapi untuk gadis yang ketahuan telah berbadan dua itu. Sementara, Nyonya Agatha tampak tak terima dengan perlakuan mertuanya itu kepada Camilia.
Nyonya Agatha menghampiri Camilia begitu sang mertua berlalu dari ruang keluarga.
"Gugurkan bayi itu! Jangan berharap jika dia lahir akan mendapatkan perlakuan istimewa. Aku tidak ingin berbagi suami dengan wanita seperti dirimu. Dasar wanita keparat!" umpat Nyonya Agatha.
"Jangan, Nyonya! Saya mohon!" seru Camilia terus memohon kepada majikannya itu.
Nyonya Agatha tetap bersikukuh dengan pendiriannya menyuruh Camilia menggugurkan kandungannya. Selain tidak ingin berbagi suami, Nyonya Agatha juga khawatir jika bayi yang dikandung perawatnya itu berjenis kelamin laki-laki. Apalagi saat bepergian, sang majikan perempuan itu diam-diam datang ke seorang peramal yang memang mengatakan jika suaminya akan memperoleh keturunan laki-laki dari wanita lain.
Camilia yang masih duduk bersimpuh dan menangis, kemudian mendengar Nyonya Agatha menghubungi asisten pribadi sang suami untuk mengurus proses aborsi Camilia di rumah sakit.
Nyonya Agatha bergegas menutup panggilan telepon dengan asisten sang suami, usai berbicara. Nyonya Muda itu kemudian menghampiri perawat keluarganya yang masih saja bersimpuh di lantai dengan berderai air mata."Cepatlah bersiap-siap, aku telah menyuruh Tuan Reinhard untuk mengurus segalanya di rumah sakit!" seru Nyonya Agatha sembari melipat kedua tangan di depan dada."Nyonya! Saya mohon jangan lakukan itu!" rengek Camilia sembari meraih kaki jenjang sang Nyonya Muda yang masih berdiri angkuh."Tidak bisa! Secepatnya gugurkan kandungan itu!" teriak wanita yang telah mempunyai 2 keturunan itu.Mendengar sang Nyonya Muda berteriak, membuat Nyonya Merry kembali keluar dari kamar. Wanita tua itu menghampiri ruang keluarga lagi."Apa-apaan, masih ribut saja di sini! Apa yang kamu lakukan terhadap Camilia lagi. Biarkan dia istirahat di kamarnya!" seru wanita lanjut usia itu sembari memandang sengi
Camilia menghentikan langkahnya sejenak, sebelum tiba di depan pintu ruangan. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Banyak pasangan suami istri juga mondar-mandir di depan ruangan tersebut. Namun, tiba-tiba gadis bermata bulat itu semakin gemetar ketika melihat seorang perawat keluar dari ruangan sambil menoleh ke sana ke mari, seolah-olah mencari seseorang.'Ya Tuhan, saya tidak ingin melakukan hal ini. Beri petunjuk, Tuhan!' ratapnya dalam batin. Camilia kemudian berusaha menguatkan hatinya dan melangkah menghampiri seorang perawat yang masih berdiri di depan pintu dan mendekap sebuah map."Suster! Sa-saya ...." Camilia tak melanjutkan ucapannya karena merasa gugup di depan perawat rumah sakit itu."Iya. Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang tampak ramah itu kepada Camilia."Bisakah saya pergi dari rumah sakit ini?" tanya Ca
Beberapa bulan kemudianTuan Alfonso duduk termenung sendirian di ruangan kerjanya yang terpisah dengan rumah utama. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar yang tersekat oleh dinding. Presiden Direktur perusahaan property itu kemudian menghampiri lemari kaca yang berada di sudut kamar.Lemari kaca telah dibukanya. Dia kemudian menyentuh sebuah kotak yang berisi peralatan pendeteksi tekanan darah. Hal itu mengingatkannya pada Camilia yang telah beberapa bulan menghilang. Batin Tuan Alfonso merasa rindu dengan perawatnya itu yang telah membuat dirinya jatuh cinta.Sementara, di rumah utama, Nyonya Merry menunggu kedatangan asisten pribadi kepercayaan anaknya. Nyonya Besar itu, sesekali mendongak ke arah benda bulat yang menempel di dinding."Permisi, Nyonya Besar! Saya telah datang," panggil Tuan Reinhard yang telah berdiri di depan pintu ruangan Nyonya Merry."Masuklah! A
Tuan Reinhard mengarahkan sebelah kakinya ke arah pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka. Dia lantas merangsek ke dalam kandang sapi tersebut. Camilia yang mendengar hal itu lantas mendelik ketakutan sambil menahan nyeri. Namun, wanita itu tak bisa berbuat apa-apa saat Tuan Reinhard telah berdiri di depannya."Jangan, Tuan! Saya mohon." Camilia lantas memohon iba dari Tuan Reinhard yang tampak berdiri angkuh dengan tatapan menyeringai. Lelaki itu seolah-olah ingin menerkam Camilia yang telah berhasil ditemukannya."Aduh!" teriak Camilia saat perutnya makin terasa berkontraksi. "Tolong saya, Tuan Reinhard! Tolong saya!" sambung wanita yang masih memakai seragam perawat itu. Dia lantas merangkak, meraih kaki Tuan Reinhard yang masih berdiri di tempatnya.Camilia terus mengiba memohon pertolongan, sedangkan Tuan Reinhard tampak termenung. Tak berapa lama, lelaki itu lantas membantu Camilia berdiri dan menuntunnya kembali menuju klinik.Perawat itu terus
12 tahun kemudianWaktu berlalu dengan cepat, Camilia bersama anak semata wayangnya hidup tenang dan damai. Sejak kelahiran Brandon, 12 tahun yang lalu, mantan perawat itu lebih memilih menyingkir jauh dari kehidupan Tuan Alfonso dan keluarga besarnya.Matahari telah menerobos celah dinding rumah kontrakan sederhana Camilia. Wanita yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat itu, kini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci dan setrika tetangga sekitar rumah kontrakannya. Dia terkadang membuat kue jika ada pesanan yang menghampiri dirinya.Brandon tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan sedikit emosional. Namun, kebiasaan buruknya yang malas mandi membuat Camilia sebagai sang ibu merasa jengkel."Kamu tidak mandi mau berangkat ke sekolah? Astaga, Brandon ... jangan membuat malu ibumu ini yang pernah bekerja sebagai perawat!" keluh Camilia saat mendapati Brandon hanya membasuh wajah dan langsung berganti seragam sekolah."Ibu ... kata teman-teman
Tuan Kecil Jason masih bersikeras tidak mau keluar dari kamarnya meskipun telah dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang dan hadiah berupa mainan oleh Nyonya Agatha."Jason, ayolah! Ayahmu sudah menunggu di bawah sejak tadi. Ganti bajumu!" seru Nyonya Agatha lagi, usai Nyonya Besar yang berteriak memanggilnya."Tidak! Aku tidak mau!" balas Jason yang terus menolak perintah ibunya tersebut."Jika kamu tidak mau keluar, aku akan memanggil orang untuk mendobrak pintu!" Nyonya Besar akhirnya berteriak lagi mengancam Jason.Anak lelaki berusia 12 tahun itu akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar. Rupanya, Jason takut dengan ancaman pintu akan didobrak paksa."Aku sudah keluar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jason mengarah pada sang Nenek."Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Ayahmu telah menunggu sejak tadi. Sedetik, semenit ... ayahmu selalu menghargai waktu daripada orang lain. Cepatlah ganti bajumu dan segera turun ke bawah! Kamu nanti men
"Tuan Reinhard, tolong pertimbangkan usulan penjaga keamanan untuk membawa anak-anak ini ke kantor polisi!" seru Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut."Baik, Tuan," balas Tuan Reinhard."Urus semuanya!" perintah Presiden Direktur itu lagi.Brandon bergegas lagi mendekati Tuan Alfonso setelah mendengar perintahnya kepada sang asisten pribadi."Maafkan saya, Tuan Presiden! Sekali ini saja. Saya tidak akan mengulanginya." Anak usia 12 tahun itu terus memberanikan diri memohon maaf."Kamu telah berani masuk ke sini dan mencuri. Itu tandanya, kamu harus memberanikan diri untuk bertanggung jawab apa yang telah kamu perbuat!" tegas Tuan Alfonso.Jason yang berdiri tidak jauh dari ayahnya tersenyum sinis melihat Brandon dan teman-temannya."Tuan Reinhard! Lebih baik panggil polisi ke sini saja!" perintah Tuan Alfonso. Kemudian Presiden Direktur itu melangkah menuju proyek."Tuan ... Tuan! Maafkan saya. Saya mohon, Tuan!" Ujar Brando
Jantung Camilia berdegup kencang saat dari kejauhan dirinya melihat rombongan Tuan Alfonso keluar dari ruangan. Dia lantas bergerak maju berniat untuk menemui Presiden Direktur itu. Namun, bekas perawat keluarga itu harus menghentikan langkah saat menatap Tuan Reinhard yang sedang membukakan pintu mobil.Camilia lantas segera bergeser dari tempatnya berdiri dan menyandar di balik dinding bangunan tersebut. Dia teringat pesan Tuan Reinhard kala itu. Ancaman dari asisten pribadi Tuan Alfonso itu selalu terngiang di telinganya. Tak berapa lama, dirinya mendengar suara mesin mobil yang siap melaju.Ibu kandung Brandon bergegas membalikkan tubuh menghadap dinding, saat Tuan Alfonso dan rombongan yang mengendarai mobil melintas tepat di depannya. Jantungnya semakin berdegup kencang, ada rasa cemas jika Tuan Alfonso atau Tuan Reinhard melihat dirinya.Tuan Alfonso yang berada di dalam mobil, sekilas melihat ke arah Camilia melalui kaca spion bagian dalam. Namun, Tua
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d
Setelah beberapa lamanya mengikuti tes tertulis dan praktik tahap pertama, Brandon lolos dengan hasil yang cukup memuaskan. Dia yang hanya mengandalkan pengalaman belajarnya dengan sang ayah dan tidak mengikuti pendidikan formal khusus di bidang itu, wajar saja dengan hasil ujian yang dicapainya.Hari berganti Minggu, begitu seterusnya. Usai mengikuti beberapa tahapan ujian, Brandon dinyatakan lolos semuanya dan berhak diterima ikut bekerja di kantor konsultan sekaligus perusahaan property tersebut. Namun, sekian lama bekerja dan menimba ilmu di sana, orang yang dicarinya tak jua ketemu, hingga pemuda itu merasa frustrasi.Brandon mengemasi semua barang miliknya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Sejenak, dirinya berpamitan kepada Tuan Josh beserta keluarganya, tak terkecuali dengan Angel. Tuan Josh, membujuk dan menghalangi Brandon agar tidak meninggalkan mess. Namun, dengan berat hati Brandon tetap ingin pergi.***
"Tunggu, Kek!" teriak Brandon, sambil berlari mengejar lelaki tua tersebut. Lagi-lagi dirinya mengusap kasar air mata yang sempat membasahi pipinya.Lelaki lanjut usia itu tampak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Brandon. "Kakek, sepertinya aku memilih jalan yang kedua. Tapi bagaimana caranya masuk ke rumah itu untuk menyampaikan pilihan itu, Kek?" tanya Brandon begitu telah sampai di dekat lelaki tua itu. Napasnya tampak tersengal-sengal, meskipun hanya berlari dengan jarak yang dekat."Serius, kamu dengan pilihanmu?" tanya lelaki tua itu.Brandon mengangguk. Sejurus kemudian lelaki tua itu membalikkan badan dan berjalan ke arah rumah yang merangkap kantor konsultan property di seberang jalan. Anak dari Camilia itu lantas mengikuti langkah orang yang dipanggilnya kakek itu."Maaf, Kakek, kenapa tidak langsung ke gudang? Orang itu berada di sana, Kek," protes Brandon yang merasa heran, karena
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham