Nyonya Agatha bergegas menutup panggilan telepon dengan asisten sang suami, usai berbicara. Nyonya Muda itu kemudian menghampiri perawat keluarganya yang masih saja bersimpuh di lantai dengan berderai air mata.
"Cepatlah bersiap-siap, aku telah menyuruh Tuan Reinhard untuk mengurus segalanya di rumah sakit!" seru Nyonya Agatha sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Nyonya! Saya mohon jangan lakukan itu!" rengek Camilia sembari meraih kaki jenjang sang Nyonya Muda yang masih berdiri angkuh.
"Tidak bisa! Secepatnya gugurkan kandungan itu!" teriak wanita yang telah mempunyai 2 keturunan itu.
Mendengar sang Nyonya Muda berteriak, membuat Nyonya Merry kembali keluar dari kamar. Wanita tua itu menghampiri ruang keluarga lagi.
"Apa-apaan, masih ribut saja di sini! Apa yang kamu lakukan terhadap Camilia lagi. Biarkan dia istirahat di kamarnya!" seru wanita lanjut usia itu sembari memandang sengit sang menantu.
"Oh ... jadi Ibu membela wanita murahan ini. Jangan-jangan Ibu juga terlibat akan hal ini! Apakah benar itu, Ibu?" bentak Nyonya Agatha kepada ibu mertuanya itu.
"Berani-beraninya kamu membentakku, Agatha! Semua itu salahmu yang meninggalkan suami begitu lama. Alfonso butuh seseorang untuk menemaninya saat lelah pulang dari bekerja!" Nyonya Merry berganti berteriak. Wanita tua itu lagi-lagi menyalahkan sikap menantunya yang angkuh.
Nyonya Agatha menyentuh pelipis setelah mendengar balasan, teriakan ibu mertuanya. Dia tak habis pikir jika sang mertua terlibat akan kehamilan Camilia.
Sang Nyonya Besar yang tidak tega melihat Camilia masih saja bersimpuh dan menangis, kemudian meraih lengan gadis itu. Wanita tua itu membantu perawatnya itu berdiri. Namun, Camilia bergegas mendelik saat Nyonya Agatha menatapnya penuh kebencian.
Camilia bergegas menuju kamarnya lagi, setelah Nyonya Merry berbisik agar dirinya beristirahat. Sementara, Nyonya Agatha begitu kesal melihat tingkah polah mertuanya yang justru membela Camilia. Dia lantas meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamarnya juga.
Camilia tiba di kamarnya, begitupun dengan Nyonya Agatha. Perawat bermata bulat itu bergegas membaringkan tubuhnya di ranjang. Matanya masih saja melelehkan buliran bening. Dia kemudian membenamkan wajah di bantal sembari memikirkan Tuan Alfonso yang tidak mengetahui hal yang baru saja terjadi.
***
Nyonya Agatha menghampiri minibar yang berada di dalam kamarnya yang mewah dan luas. Dia lantas meraih sebotol minuman beralkohol yang masih sisa setengah itu, kemudian menenggaknya. Hal yang selalu dilakukannya saat ada masalah atau dia merasa terancam posisinya sebagai Nyonya Muda.
Dia lantas meletakkan botol minuman di meja dan kembali menghubungi Tuan Reinhard melalui sambungan telepon.
"Ternyata perintahku belum bisa dilakukan sekarang. Nyonya tua itu tidak sengaja menghalangi rencanaku. Lebih baik, besok ketika Nyonya Merry cek kesehatan berkala sesuai jadwalnya, anda mengantar wanita keparat itu. Aku akan memaksanya!" ujar Nyonya Agatha yang berbicara dengan asisten suaminya itu.
"Baik, Nyonya!" balas Tuan Reinhard.
"Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu!" seru Nyonya Agatha, kemudian menutup panggilan telepon itu.
Nyonya Muda itu, kemudian duduk di sofa sembari termenung seolah-olah mengingat sesuatu. Dia teringat saat mengunjungi seorang paranormal yang sangat familiar.
"Kamu bisa memperoleh keturunan laki-laki, jika berhubungan dengan laki-laki selain suamimu," ujar lelaki tua yang ditemuinya.
"Maksudnya ... aku harus berhubungan dengan orang lain?" tanyanya saat itu.
"Iya. Tapi itupun bukan solusi, karena suamimu akan mempunyai keturunan laki-laki dari wanita lain juga," ujar sang peramal itu membuat Nyonya Agatha tampak syok saat itu.
Nyonya Agatha tersentak saat mendengar petir menggelegar di luar rumah. Hal itu membuat lamunannya buyar seketika. Dia lantas menghampiri meja dan meraih minuman dalam botol lagi. Nyonya Muda yang tampak cantik dan modis itu kemudian menenggaknya lagi.
Bunyi hujan terdengar mulai turun dengan deras. Batin dan pikiran Nyonya Agatha sangat kalut dengan keadaan yang menimpanya. Namun, setelah beberapa saat termenung, dia lantas tersenyum.
"Mama! Mama! Apakah Mama udah pulang?" teriak Nona Kecil Alice di luar kamar sang ibu.
"Masuklah, Sayang!" sahut Nyonya Agatha menyuruh buah hatinya itu memasuki kamar.
Nona Alice membawa boneka beruangnya masuk ke kamar dan segera menghampiri ibunya. Gadis kecil itu lantas memeluk erat pinggang wanita yang melahirkannya.
"Bagaimana sekolahmu, Sayang? Apa anak Mama ini rajin belajar, selama Mama pergi?" tanya Nyonya Muda itu kepada gadis kecilnya yang diam menunduk.
"Kenapa diam, Sayang? Bibi Camilia mengajak Alice bermain, kan?" selidik Nyonya Agatha.
Alice yang terus saja bungkam, membuat ibunya tak melanjutkan bertanya. Nyonya Agatha seolah-olah paham yang terjadi. Pikirannya menuduh Camilia tidak bertanggung jawab dalam mengasuh kedua buah hatinya.
"Awas saja Camilia! Aku tak akan tinggal diam!" gumam Nyonya Muda itu sambil mengepalkan kedua tangan.
Dia lantas mengajak Nona Alice menuju kamar Nona Brenda, putri keduanya.
***
Nyonya Merry tampak berangkat pagi-pagi menuju kota dengan diantar Tuan Alfonso sendiri. Hal itu membuat Nyonya Agatha merasa senang. Dia bergegas menjalankan rencana liciknya yang sempat tertunda.
Asisten suaminya telah datang di rumah mewah tersebut untuk menjemput sekaligus mengantar Camilia. Nyonya Agatha memaksa gadis 24 tahun itu untuk melakukan aborsi di rumah sakit.
Sang perawat keluarga yang sedang mengandung 3 bulan itu terpaksa menuruti perintah sang majikan. Dia bergegas menuju mobil yang telah menantinya di halaman. Batin Camilia begitu sakit menerima kenyataan dirinya yang dipaksa menggugurkan buah cinta sang Tuan itu. Dia mengelus lembut perutnya saat menanti Tuan Reinhard yang masih berbicara dengan Nyonya Muda.
"Pastikan, wanita keparat itu benar-benar menuju ruang aborsi!" bisik Nyonya Agatha kepada asisten suaminya itu.
"Baik, Nyonya!" jawab Tuan Reinhard. Lelaki itu lantas menuju mobil. Kemudian melajukan kendaraan roda empat itu meninggalkan kediaman Tuan Alfonso.
Camilia terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sang asisten majikannya itupun demikian juga. Pikiran gadis 24 tahun itu terus bergelut dengan keadaan. Dia tak mampu menolak keinginan Nyonya Muda.
Mobil terus melaju menembus jalanan. Camilia menatap nanar keluar jendela kaca. Ranting dan dedaunan kering memenuhi jalanan layaknya musim gugur. Hati Camilia semakin pilu saat ranting dan daun kering itu mulai tersapu angin dan beterbangan tak tentu arah.
Gadis bermata bulat itu bergegas turun dari kendaraan yang ditumpanginya, setelah Tuan Reinhard menghentikan lajunya tepat di depan halaman rumah sakit. Lelaki yang menjabat asisten pribadi Tuan Muda itu, kemudian turun juga.
"Cepatlah masuk, kemudian katakan nama anda! Mereka yang di dalam telah mengetahui dan segera menangani anda. Aku akan menunggu di luar saja," ujar Tuan Reinhard. Camilia lantas mengangguk meskipun tubuhnya mulai gemetar tak karuan.
Camilia mulai memasuki rumah sakit dengan langkah gugup. Dia berhenti sejenak saat tiba di lorong dan memandang beberapa pasangan suami istri yang begitu bahagia menyambut kedatangan buah hati. Gadis itu lantas menelan ludah, kemudian mengelus perut. Batinnya merasakan iri melihat pasangan lain.
'Tuan Alfonso ... tolong saya! Apa yang harus saya perbuat?' keluh Camilia dalam batin.
Perawat yang dipaksa melakukan aborsi itu lantas melangkah lagi menembus pintu kaca menuju ruangan yang akan menangani dirinya. Tubuhnya makin gemetar, tangan dan keningnya mulai basah dengan keringat dingin. Camilia sangat ketakutan.
Camilia menghentikan langkahnya sejenak, sebelum tiba di depan pintu ruangan. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Banyak pasangan suami istri juga mondar-mandir di depan ruangan tersebut. Namun, tiba-tiba gadis bermata bulat itu semakin gemetar ketika melihat seorang perawat keluar dari ruangan sambil menoleh ke sana ke mari, seolah-olah mencari seseorang.'Ya Tuhan, saya tidak ingin melakukan hal ini. Beri petunjuk, Tuhan!' ratapnya dalam batin. Camilia kemudian berusaha menguatkan hatinya dan melangkah menghampiri seorang perawat yang masih berdiri di depan pintu dan mendekap sebuah map."Suster! Sa-saya ...." Camilia tak melanjutkan ucapannya karena merasa gugup di depan perawat rumah sakit itu."Iya. Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang tampak ramah itu kepada Camilia."Bisakah saya pergi dari rumah sakit ini?" tanya Ca
Beberapa bulan kemudianTuan Alfonso duduk termenung sendirian di ruangan kerjanya yang terpisah dengan rumah utama. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar yang tersekat oleh dinding. Presiden Direktur perusahaan property itu kemudian menghampiri lemari kaca yang berada di sudut kamar.Lemari kaca telah dibukanya. Dia kemudian menyentuh sebuah kotak yang berisi peralatan pendeteksi tekanan darah. Hal itu mengingatkannya pada Camilia yang telah beberapa bulan menghilang. Batin Tuan Alfonso merasa rindu dengan perawatnya itu yang telah membuat dirinya jatuh cinta.Sementara, di rumah utama, Nyonya Merry menunggu kedatangan asisten pribadi kepercayaan anaknya. Nyonya Besar itu, sesekali mendongak ke arah benda bulat yang menempel di dinding."Permisi, Nyonya Besar! Saya telah datang," panggil Tuan Reinhard yang telah berdiri di depan pintu ruangan Nyonya Merry."Masuklah! A
Tuan Reinhard mengarahkan sebelah kakinya ke arah pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka. Dia lantas merangsek ke dalam kandang sapi tersebut. Camilia yang mendengar hal itu lantas mendelik ketakutan sambil menahan nyeri. Namun, wanita itu tak bisa berbuat apa-apa saat Tuan Reinhard telah berdiri di depannya."Jangan, Tuan! Saya mohon." Camilia lantas memohon iba dari Tuan Reinhard yang tampak berdiri angkuh dengan tatapan menyeringai. Lelaki itu seolah-olah ingin menerkam Camilia yang telah berhasil ditemukannya."Aduh!" teriak Camilia saat perutnya makin terasa berkontraksi. "Tolong saya, Tuan Reinhard! Tolong saya!" sambung wanita yang masih memakai seragam perawat itu. Dia lantas merangkak, meraih kaki Tuan Reinhard yang masih berdiri di tempatnya.Camilia terus mengiba memohon pertolongan, sedangkan Tuan Reinhard tampak termenung. Tak berapa lama, lelaki itu lantas membantu Camilia berdiri dan menuntunnya kembali menuju klinik.Perawat itu terus
12 tahun kemudianWaktu berlalu dengan cepat, Camilia bersama anak semata wayangnya hidup tenang dan damai. Sejak kelahiran Brandon, 12 tahun yang lalu, mantan perawat itu lebih memilih menyingkir jauh dari kehidupan Tuan Alfonso dan keluarga besarnya.Matahari telah menerobos celah dinding rumah kontrakan sederhana Camilia. Wanita yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat itu, kini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci dan setrika tetangga sekitar rumah kontrakannya. Dia terkadang membuat kue jika ada pesanan yang menghampiri dirinya.Brandon tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan sedikit emosional. Namun, kebiasaan buruknya yang malas mandi membuat Camilia sebagai sang ibu merasa jengkel."Kamu tidak mandi mau berangkat ke sekolah? Astaga, Brandon ... jangan membuat malu ibumu ini yang pernah bekerja sebagai perawat!" keluh Camilia saat mendapati Brandon hanya membasuh wajah dan langsung berganti seragam sekolah."Ibu ... kata teman-teman
Tuan Kecil Jason masih bersikeras tidak mau keluar dari kamarnya meskipun telah dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang dan hadiah berupa mainan oleh Nyonya Agatha."Jason, ayolah! Ayahmu sudah menunggu di bawah sejak tadi. Ganti bajumu!" seru Nyonya Agatha lagi, usai Nyonya Besar yang berteriak memanggilnya."Tidak! Aku tidak mau!" balas Jason yang terus menolak perintah ibunya tersebut."Jika kamu tidak mau keluar, aku akan memanggil orang untuk mendobrak pintu!" Nyonya Besar akhirnya berteriak lagi mengancam Jason.Anak lelaki berusia 12 tahun itu akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar. Rupanya, Jason takut dengan ancaman pintu akan didobrak paksa."Aku sudah keluar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jason mengarah pada sang Nenek."Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Ayahmu telah menunggu sejak tadi. Sedetik, semenit ... ayahmu selalu menghargai waktu daripada orang lain. Cepatlah ganti bajumu dan segera turun ke bawah! Kamu nanti men
"Tuan Reinhard, tolong pertimbangkan usulan penjaga keamanan untuk membawa anak-anak ini ke kantor polisi!" seru Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut."Baik, Tuan," balas Tuan Reinhard."Urus semuanya!" perintah Presiden Direktur itu lagi.Brandon bergegas lagi mendekati Tuan Alfonso setelah mendengar perintahnya kepada sang asisten pribadi."Maafkan saya, Tuan Presiden! Sekali ini saja. Saya tidak akan mengulanginya." Anak usia 12 tahun itu terus memberanikan diri memohon maaf."Kamu telah berani masuk ke sini dan mencuri. Itu tandanya, kamu harus memberanikan diri untuk bertanggung jawab apa yang telah kamu perbuat!" tegas Tuan Alfonso.Jason yang berdiri tidak jauh dari ayahnya tersenyum sinis melihat Brandon dan teman-temannya."Tuan Reinhard! Lebih baik panggil polisi ke sini saja!" perintah Tuan Alfonso. Kemudian Presiden Direktur itu melangkah menuju proyek."Tuan ... Tuan! Maafkan saya. Saya mohon, Tuan!" Ujar Brando
Jantung Camilia berdegup kencang saat dari kejauhan dirinya melihat rombongan Tuan Alfonso keluar dari ruangan. Dia lantas bergerak maju berniat untuk menemui Presiden Direktur itu. Namun, bekas perawat keluarga itu harus menghentikan langkah saat menatap Tuan Reinhard yang sedang membukakan pintu mobil.Camilia lantas segera bergeser dari tempatnya berdiri dan menyandar di balik dinding bangunan tersebut. Dia teringat pesan Tuan Reinhard kala itu. Ancaman dari asisten pribadi Tuan Alfonso itu selalu terngiang di telinganya. Tak berapa lama, dirinya mendengar suara mesin mobil yang siap melaju.Ibu kandung Brandon bergegas membalikkan tubuh menghadap dinding, saat Tuan Alfonso dan rombongan yang mengendarai mobil melintas tepat di depannya. Jantungnya semakin berdegup kencang, ada rasa cemas jika Tuan Alfonso atau Tuan Reinhard melihat dirinya.Tuan Alfonso yang berada di dalam mobil, sekilas melihat ke arah Camilia melalui kaca spion bagian dalam. Namun, Tua
"Jason ... keluarlah dari ruangan ini dan masuklah ke kamarmu, sekarang!" perintah Nyonya Agatha tanpa peduli dengan kemarahan sang ibu mertua."Agatha! Apa yang kamu lakukan?" teriak Nyonya Merry melihat kelakuan menantunya itu. Wanita yang telah lanjut usia itu teriakannya tampak diabaikan oleh sang menantu."Jason! Apakah kamu tidak dengar? Keluar dari sini sekarang juga!" seru Nyonya Agatha lagi kepada anak lelakinya tersebut. Jason yang masih menangis lantas berlari keluar ruangan.Nyonya Merry memandang heran kepada menantunya. Wanita tua itu menggeleng menanggapi tingkah laku sang menantu yang tidak peduli dengan keberadaannya."Agatha! Kamu pikir ... kamu siapa? Berani-beraninya berbuat seperti ini di depanku. Kamu melawan perintahku!" seru Nyonya Merry yang tampak tidak kuat menahan emosi."Ibu! Ibu mertua! Tolong hentikan yang Ibu mau! Jason adalah cucu laki-laki yang selama ini diidam-idamkan kelahirannya di keluarga ini. Bagaimana bisa, Ibu
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d
Setelah beberapa lamanya mengikuti tes tertulis dan praktik tahap pertama, Brandon lolos dengan hasil yang cukup memuaskan. Dia yang hanya mengandalkan pengalaman belajarnya dengan sang ayah dan tidak mengikuti pendidikan formal khusus di bidang itu, wajar saja dengan hasil ujian yang dicapainya.Hari berganti Minggu, begitu seterusnya. Usai mengikuti beberapa tahapan ujian, Brandon dinyatakan lolos semuanya dan berhak diterima ikut bekerja di kantor konsultan sekaligus perusahaan property tersebut. Namun, sekian lama bekerja dan menimba ilmu di sana, orang yang dicarinya tak jua ketemu, hingga pemuda itu merasa frustrasi.Brandon mengemasi semua barang miliknya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Sejenak, dirinya berpamitan kepada Tuan Josh beserta keluarganya, tak terkecuali dengan Angel. Tuan Josh, membujuk dan menghalangi Brandon agar tidak meninggalkan mess. Namun, dengan berat hati Brandon tetap ingin pergi.***
"Tunggu, Kek!" teriak Brandon, sambil berlari mengejar lelaki tua tersebut. Lagi-lagi dirinya mengusap kasar air mata yang sempat membasahi pipinya.Lelaki lanjut usia itu tampak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Brandon. "Kakek, sepertinya aku memilih jalan yang kedua. Tapi bagaimana caranya masuk ke rumah itu untuk menyampaikan pilihan itu, Kek?" tanya Brandon begitu telah sampai di dekat lelaki tua itu. Napasnya tampak tersengal-sengal, meskipun hanya berlari dengan jarak yang dekat."Serius, kamu dengan pilihanmu?" tanya lelaki tua itu.Brandon mengangguk. Sejurus kemudian lelaki tua itu membalikkan badan dan berjalan ke arah rumah yang merangkap kantor konsultan property di seberang jalan. Anak dari Camilia itu lantas mengikuti langkah orang yang dipanggilnya kakek itu."Maaf, Kakek, kenapa tidak langsung ke gudang? Orang itu berada di sana, Kek," protes Brandon yang merasa heran, karena
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham