Sekar Pandan menyusut air matanya dengan ujung selendang. Mata sembabnya menatap Raden Prana Kusuma dengan sorot redup. Dia bingung dengan perasaan sedih yang menghinggapi hati. Haruskah dikatakan kepada pemuda ini?
"Aku tahu kau sedih dan merasa bersalah pada Mayang. Namun, tidak harus demikian, Sekar. Kau seperti orang yang takut kehilangan seseorang yang paling berharga bagimu, seseorang yang sudah kau anggap segalanya. Apakah Mayang demikian berharga melebihi diriku di hatimu?" Raden Prana Kusuma sedikit jengkel dan cemburu, meskipun itu Mayang.Mulut mungil itu menganga tidak percaya pada kata-kata sang Raden. Ingin tertawa, tetapi takut menyinggung."Kata-kataku salah?" Pemuda itu memasang wajah bodoh, justru itu membuat Sekar Pandan geli. Rasa cinta yang dia tanam dalam hati makin besar pada pemuda bangsawan itu.Sorot mata yang menahan tawa berubah seperti menahan beban berat. Dewi Bunga Malam meraih telapak tangan Raden Prana Kusuma. HanyDia segera merebahkan kepala ke paha sang senopati. Perasaannya lebih nyaman daripada harus berbaring di pangkuan bibi pengasuh. Mata bening berkilauan Sekar Pandan menatap langit yang penuh bintang. Musim kemarau masih enggan berbagi tugas dengan rekannya. Di tempat tinggalnya, bintang sangat penting sebagai penunjuk arah. Tiba-tiba hatinya merindukan keluarga di perguruan Pulau Pandan. Sudah lama dia meninggalkan kedua ayah angkat sejak pergi bersama Arya Wirat, saudara seperguruannya. Sampai malam ini saudara seperguruan itu tidak pernah berjumpa. Dia bagai hilang ditelan bumi."Kakang Arya Wirat, kau masih hidup atau sudah mati? Kenapa kita tidak bisa berjumpa? Aku merindukanmu, Kakang. Aku tidak mungkin bisa pulang sendirian ke perguruan Pulau Pandan. Jarak ke sana tidak bisa ditempuh dengan berkuda. Setiap saat akan ada ombak dan badai yang menghantam kapal kita." Gadis itu membatin seraya tidak lepas dari kerlip bintang-bintang di atas sana.Raden
"Apa yang kau sembunyikan di belakang punggungmu itu?" Raden Prana Kusuma mulai penasaran. Dia berjalan ke samping Sekar Pandan dan berusaha menengok punggung gadis itu. Dengan gesit, Dewi Bunga Malam itu menggeser tubuhnya sehingga sesuatu yang ada di belakang punggung tetap aman dari pengamatan Raden Prana Kusuma.Tidak ingin mati penasaran, pemuda berkain bawah merah bata itu segera bergerak gesit meraih tangan gadis yang masih berada di belakang punggung. Sekar Pandan segera menggeser kakinya selangkah demi selangkah ke samping dengan cepat agar Raden Prana Kusuma tidak bisa menyentuhnya.Mereka terus bergerak gesit untuk saling serang dan menghindar. Kaki-kaki mereka bergerak sama dan seirama. Itu adalah langkah jurus yang diciptakan Guru Agung Anuradha untuk mereka, Langkah Dewa Dewi Kahyangan Menapak Awan. Sebuah jurus yang mengandalkan pergerakan kaki yang cepat dan ringan.Sekar Pandan melompat mundur. Gadis itu mengejek Raden Prana Kusuma dengan
Semua orang menunduk sedih dengan hilangnya Mayang. Putri Dewi Gayatri menggenggam erat tangan Raden Prana Kusuma saat teringat peristiwa tadi malam. Pertarungan teman-temannya melawan dua wanita mengerikan membuat tubuhnya gemetar. Tangan itupun dingin di tangan Raden Prana Kusuma."Jangan takut. Kurasa mereka tidak akan kembali menemui kita. Kau sudah memutuskan ikut aku ke rimba persilatan, jadi kuharap Nimas tidak takut jika bertemu musuh. Kurasa di kota raja jauh lebih aman dari rimba persilatan. Belum terlambat jika Nimas ingin pulang. Ludro Gempol selalu sigap melindungi Nimas dalam perjalanan pulang.""Apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di samping Kangmas Prana Kusuma. Aku tidak mau pulang," ucap gadis itu keras kepala."Baiklah." Pemuda itu menarik napas panjang kemudian melirik Sekar Pandan yang tengah mengobrol dengan Kecubung dan Selasih.Pagi itu mereka melanjutkan perjalanan ke perguruan Tangan Seribu. Debu mengepul di bela
"Tidak tahu malu! Dia merampas perguruan dan sekarang ingin menjadi ketua dari semua pendekar. Kita harus menggagalkan rencana itu," ujar Manggala menatap langit yang cerah penuh bintang.Manggala mengalihkan pandangan pada anak buahnya saat lelaki berpenutup kain hitam yang berdiri paling belakang berkata. "Selama pedang itu ada bersamanya, kita sulit menghadapinya, Kakang.""Cih! Persetan dengan pedang itu. Kurasa dia telah mencuri pedang itu dari gadis berkain serba hijau itu," umpat Manggala sambil meludah ke tanah. "Kakang, bagaimana kalau kita mencari gadis pemilik Pedang Sulur Naga itu? Dia bisa kita tarik ke pihak kita." Manggala diam. Melihat pemimpinnya hanya diam lelaki paling depan berkata lagi. "Kurasa gadis itu telah dikhianati Paksi Jingga dan kawan-kawannya. Kita bisa memanfaatkan dia untuk berpihak pada kita.""Otakmu lumayan encer juga. Cari gadis itu dan bujuk untuk bergabung dengan kita," perintah Manggala dengan wajah su
"Kau yakin dia bisa dibujuk?" tanya Manggala penasaran. Mayang mengulum senyum. Dia yakin Sekar Pandan akan bersedia mengikuti sarannya. Selama ini gadis itu juga sangat baik padanya ."Dia pasti mau, Kakang. Percayalah padaku. Sekarang kita harus menyusul dia dan rombongan. Kami berencana untuk pergi ke perguruan Tangan Seribu." Kening Manggala berkerut saat mendengar rombongan. Tiba-tiba pemuda tinggi itu ingin tahu siapa saja orang-orang di rombongan istrinya."Siapa saja temanmu yang ada di rombongan?" Mayang menggenggam tangan suaminya dengan hati menghangat. Hari ini suaminya begitu baik dan manis."Jika kuceritakan, Kakang tidak akan percaya. Di sana selain Sekar Pandan, ada juga seorang pemuda tampan dan gagah yang bernama Prana Kusuma. Ada juga pemuda dari negeri seberang, kami memanggilnya Tuan muda Zhang. Ada Ludro Gempol yang selalu mengawal gusti putri Dewi Gayatri. Ada juga Selasih dan gadis-gadis dari perkumpulan Kencana Emas." Mayang mulai
Tubuh Manggala melayang ke atas punggung kuda. Ringan sekali gerakannya saat memutar tubuh Mayang untuk didudukkan di punggung kuda lalu disusul dengan dirinya. Sekali gebrak, kuda itu membawa mereka berlari meninggalkan kawan lelaki yang dicelakai Manggala."Hei, tunggu! Kembali kataku!" Lelaki berselempang kain itu berteriak memanggil. Namun, Manggala tidak peduli. Dia terus saja memacu kudanya dengan kencang. Sambil memaki-maki, orang itu menarik kekang kudanya, memutar lalu kembali berbalik arah. Tubuh temannya jatuh tertelungkup di atas rumput kering. Punggungnya berdarah dengan batu terbenam di dalamnya.Napas orang itu naik turun dengan cepat karena marah melihat kawannya telah tewas tanpa perlawanan. Tangannya mengepal kuat hingga menimbulkan bunyi "krutuk" pada buku-buku jarinya."Dendam ini akan menuntunku menuju padamu, Orang sombong! Akan kubuat kau lebih menderita lagi dari saudaraku ini. Umbara tidak akan diam melihat saudaranya dilenyapkan d
"Sepertinya ada yang menuju ke sini, Prana Kusuma," ujar Mahisa Dahana. Semua orang menghentikan kuda yang ditunggangi lalu memutar kuda ke arah belakang. Kening mereka mengernyit saat melihat seekor kuda dinaiki dua orang. Wajah mereka sumringah karena berhasil mengenali perempuan yang di atas kuda itu."Aku kembali!" Mayang berteriak memberitahu teman-temannya. Kedua tangan perempuan itu melambai dengan senyum lebar menghiasai wajah cantiknya.Sekar Pandan memutar kudanya dengan tidak sabar lalu menyongsong Mayang. Gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu benar-benar bahagia karena sahabatnya telah kembali dari tangan Bimala dan Elakshi. Dua wanita seram dari dasar jurang Hung Leliwungan.Manggala menghentikan lari kudanya karena kuda Sekar Pandan telah sampai. Manggala menunduk agar tidak beradu pandang dengan Sekar Pandan. Bagaimana pun mereka pernah bentrok di dalam hutan saat dia mengejar rombongan Paksi Jingga dan Mahisa Dahana."Mayang." Bibir
Raden Prana Kusuma sesekali menoleh ke belakang. Di belakangnya, rombongan para perempuan tengah memacu kuda mereka dan di belakang para wanita ini, kuda Ludro Gempol dan Tuan muda Zhang dipacu untuk menjaga mereka dari bahaya. Itu perintah Raden Prana Kusuma untuk melindungi para perempuan dari bahaya yang datang sewaktu-waktu. Dia sendiri dan Mahisa Dahana berkuda paling depan."Ada yang membuat hatimu gelisah, Prana Kusuma?" Mahisa Dahana melempar pertanyaan pada pemuda gagah di sampingnya. Dia sendiri melihat kawannya itu sesekali mencuri pandang ke belakang. "Aku hanya memastikan tidak ada yang lelah karena perjalanan jauh ini." Raden Prana Kusuma berusaha membuat keadaan tetap biasa saja. Namun, naluri keprajuritan yang digembleng sejak kecil akan tetap berjalan, membuat Raden Prana Kusuma harus senantiasa waspada.Sepanjang perjalanan dia tidak menemukan tanda bahaya dari Telik sandi yang menjadi kaki tangannya. Itu artinya tidak ada yang perlu dik
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b