“Kamu sakit sejak kapan?” tanya Pakde Kartono.
“Sejak selasa, Pakde,” Jawab Ifan dengan tangan yang sibuk menyeka darah yang sesekali keluar dari kedua lubang hidungnya. “Walah. Itu sepertinya kamu diguna-guna, Le.” Jawab lelaki itu lagi sembari menyodorkan beberapa lembar tisu yang kemudian diterima oleh Irfan dengan penuh rasa terima kasih. “Ah, Pakde bisa saja. Lagian, siapa yang mau repot guna-guna aku?” tanya Ifan sambil tertawa kecil. Kemudian, batuknya itu kembali datang dan ia menutupinya dengan tisu yang diberikan oleh Pakdenya. Ifan berusaha terlihat baik-baik saja, meski rasa sakit di kepalanya terasa sangat menyiksa. “Kamu dikasih tahu orang tua kok malah gak percaya. Pakde ini sudah tua dan sudah banyak pengalaman. Pakde tahu mana sakit beneran dan mana yang karena ilmu hitam,” Jelas pakde Kartono lagi. “Memang iya, Kang?” Tanya Bu Asih, Ibu Ifan, dengan mimik wajah ngeri. Pakde Kartono mengangguk dengan penuh keyakinan. “Pantas saja, Kang. Kalau siang begini biasanya batuknya gak parah, tapi kalau malam, Ifan sampai nangis. Kemarin malah kepalanya dipukul sendiri saking sakitnya. Terus, dia juga beberapa kali muntah darah. Kalau mimisan sih sudah hampir setiap hari,” jelas Bu Asih sembari menyodorkan sekotak tisu ke arah Ifan, setelah tisu yang dipegang Ifan terlihat sudah kotor. Apa yang disampaikan oleh Bu Asih membuat Pakde Kartono mengangguk-angguk yakin. “Sudah jelas ini diguna-guna, sih. Pas dibawa ke rumah sakit, nggak ketahuan apa penyakitnya, kan?” tanya Pakde Kartono lagi sembari melirik Ifan. Ifan mengangguk setuju, tapi sebenarnya di dalam hati ia masih ragu dengan perkataan Pakdenya itu. Sebab, sejak kecil Ifan tidak pernah percaya dengan hal mistis dan tak pernah pula bertemu dengan hal-hal mistis apa pun. Namun, tampaknya untuk kali ini dia harus percaya dan mengikuti perkataan Pakde Kartono dari pada harus menanggung rasa sakit ini setiap hari. “Kalau begitu, nanti malam kita coba lakukan pengobatan. Asih, tolong siapkan janur kuning, sebuah kelapa yang masih utuh beserta serabutnya, dan bunga 7 rupa,” perintah Pakde Kartono sembari menatap Bu Asih, sedangkan yang ditatap langsung mengangguk setuju. Setelahnya, Pakde Kartono pun segera pergi meninggalkan rumah Ifan sembari menghisap sebatang rokok di bibirnya. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Itu artinya Bu Asih hanya memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan semua keperluan. Oleh karena itu, dengan cekatan Bu Asih berjalan mengitari kampung untuk bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Maklum saja mereka tinggal di sebuah desa kecil yang terletak di ujung pulau Jawa. Dengan jumlah penduduk yang terbilang sedikit serta jauh dari perkotaan itu, tak sulit bagi Bu Asih untuk mengenal semua warga dan meminta bantuan. Di sisi lain, Ifan hanya bisa diam di atas tempat tidur kala Ibunya sedang sibuk mencari syarat pengobatan. Namun, sejak tadi ia merasakan hembusan angin yang teramat dingin terus menerus. Padahal sinar matahari masih sangat terik menyinari bumi. Setelah memikirkan hal itu, Ifan tiba-tiba bergidik ngeri. Beberapa kali dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar, tapi tak ada yang mencurigakan. Jendela kamar pun ditutup erat dengan gorden yang menggantung. Namun, tidak ada tanda-tanda ada angin yang melintas. Bu Asih sengaja menutup jendela itu agar Ifan tidak terkena hembusan angin yang tidak baik bagi kesehatannya. Setelah berapa lama menunggu, Bu Asih akhirnya tiba di rumah menjelang waktu magrib. “Ifan agak ragu, Bu. Apa benar penyakit Ifan hanya bisa ketahuan hanya dari hari sakitnya?” ucap Ifan penuh keraguan. “Namun, tidak apa. Dicoba dulu, siapa tahu betulan bisa sembuh,” sambungnya. “Iya. Kalau kamu sembuh kan kamu bisa menikah, Nak. Kasihan Mia.” Ucap Bu Asih menanggapi perkataan putranya sembari membetulkan selimut yang menyelimuti Ifan. Ifan mengangguk paham. Selama ini dia memang merasa sangat menderita karena penyakit yang ia derita. Apa lagi saat malam tiba. Hal itulah yang mengakibatkan rencana lamarannya selalu tertunda. Kalau tidak, mungkin saat ini dia dan Mia tengah sibuk mempersiapkan rencana pernikahan mereka. “Yaudah, tidak usah dipikirkan terlalu jauh. Fokus sembuh dulu ya, Le.” Kata Bu Asih sebelum kemudian meninggalkan Ifan untuk menyiapkan persembahan yang akan digunakan dalam ritual. Kakak tertua Bu Asih, Pakde Kartono memang sangat dihormati di kampung ini. Sebab, banyak warga yang menemuinya untuk menanyakan berbagai hal, termasuk hal remeh seperti kapan hari baik untuk mengganti pintu rumah. Dulu Ifan selalu menertawakan hal itu, karena menurutnya aneh dan tidak masuk akal. Namun, saat Bu Asih seringkali menegur tindakan kurang sopan itu, karena apa yang dilakukan oleh Pakde Kartono dan warga adalah kepercayaan turun temurun bagi masyarakat Jawa. Maklum, masyarakat di kampung tempat Ifan tinggal memang masih mempercayai primbon Jawa dan menjadikannya sebagai pedoman hidup mereka. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Pakde Kartono masuk ke dalam kamar dan memapah tubuh Ifan untuk dibaringkan ke lantai. Sambil menggumamkan sesuatu, pria paruh baya itu kemudian menaburkan bunga yang sudah disiapkan Bu Asih ke sekeliling Ifan tidak berani bergerak sedikitpun. Ifan bergidik ngeri saat melihat betapa banyaknya bunga yang mengelilingi tubuhnya. Saat matanya menatap ke sekeliling, ujung matanya menangkap banyaknya sajian aneh yang berjejer rapi di ujung ruangan. Matahari kini telah lenyap dengan sempurna dan kegelapan malam berkuasa penuh. Saat itulah perlahan sakit kepala Ifan kian memuncak. Pakde Kartono lantas duduk bersila di samping tubuh Ifan yang terbaring. Beberapa saat kemudian, suara bacaan doa kembali terdengar. Tapi, Ifan tak mengerti apa yang diucapkan oleh Pakdenya itu, karena kepalanya terasa sangat sakit. Kali ini terasa seperti dicabik-cabik. Denyutan di kepala membuat Ifan menutup mata dan menarik erat rambutnya. Itu dilakukan sembari berharap kalau rasa sakit di kepalanya bisa berkurang. Namun, tidak sama sekali. Alih-alih berkurang, rasa sakit itu malah menjadi semakin intens. Saat Ifan membuka mata, tiba-tiba dia melihat banyak makhluk gaib berkumpul di sekelilingnya dalam berbagai wujud. Ifan berteriak histeris karena ini adalah pengalaman pertamanya melihat makhluk lain yang tak semuanya memiliki bagian tubuh lengkap. “Sudah Pakde!! HENTIKAAN! TOLOONG! USIR MEREKA!” Ifan terus berteriak ketakutan. Namun, Pakde Kartono tampaknya tak menghiraukan teriakan keponakannya itu dan malah semakin gencar merapalkan mantra. Mantra yang diramalkan Pakde Kartono membuat Ifan semakin histeris. Bahkan kini tubuhnya terasa kaku. Apa yang terjadi membuat Ifan tak mampu menggerakkan seujung jari pun meski matanya kini terbelalak menatap ke arah makhluk mengerikan yang berada tepat di depan wajahnya. Mulut makhluk itu terbuka lebar hingga mengeluarkan liur yang membasahi wajah Ifan. Suasana mencekam itu berlangsung cukup lama hingga Ifan kehilangan kesadaran. Setelah Ifan pingsan, Pakde Kartono pun segera menyudahi ritualnya. “Asih, jaga Ifan agar jangan sampai keluar dari kamar. Segera taburkan garam kasar ke seluruh sudut kamar dan sekeliling rumah. Lakukan itu setiap hari saat matahari mulai terbenam.” Pesan Pakde Kartono pada Bu Asih.“Sudah bangun nak, sini Ibu bantu duduk,” ucap bu Asih saat melihat putranya yang baru saja terbangun dari pingsan.Ifan meringis, rasa sakit terasa di sekujur tubuhnya.“Bu, tubuh Ifan sakit sekali,” keluh Ifan.“Tahan dulu ya nak, sebentar lagi pasti hilang rasa sakitnya,” Bu Asih menenangkan, tanganya tengah sibuk memeras handuk basah yang digunakan untuk membasuh tubuh Ifan.“Bu, badan Ifan rasanya pegal banget, tapi sudah gak pusing lagi,” keluh Ifan lagi.“Iya, nak. Kamu sudah aman” Bu Asih, dengan cekatan membereskan semua peralatan yang berserakan di sekitar Ifan.Saat Ifan terbangun dari pingsannya, Pakde Kartono sudah tidak ada dan di ruangan, hanya tersisa Bu Asih yang kini sedang membersihkan lantai ruang tamu yang dipenuhi oleh bunga dan percikan air dimana-mana. Seusai membereskan ruang tamu wanita paruh baya itu lantas membantu Ifan untuk duduk sebelum memberi pemuda itu minum. Ifan meringis menahan perih, handuk kecil yang bu Asih gunakan untuk menyeka kulit Ifan ter
Ifan tersenyum miris, merasa malu, ia pria muda yang sangat kuat kini tak lebih menyedihkan dari perempuan terlemah sekalipun.Ifan meyakinkan dirinya sendiri untuk mulai berani jika nanti melihat makhluk tak kasat mata lagi.Tak lama berselang Ifan merasa haus, ia termenung cukup lama takut kalau akan terjadi hal yang mengerikan lagi, namun semakin lama Ifan tak dapat menahan rasa hausnya, akhirnya iia memberanikan diri keluar kamar, mengambil air minum.“Pakde pasti akan segera sadar kalau Aku tak ada di kamar dan langsung mencarinya,” Ifan bergumam pelan pada dirinya sendiri, Ifan percaya ia akan baik-baik saja selagi masih ada Pakde Kartono.Ifan turun dari ranjang, berjalan perlahan, dilihatnya Pakde Kartono tertidur pulas di kursi sofa ruang keluarga, televisi di dinding masih menayangkan sinetron kesayangan bu Asih, namun bu Asih tak terlihat keberadaannya, Ifan berjalan perlahan menuju dapur, dia berhati-hati agar tak menimbulkan suara gaduh dan mengagetkan Pakde Kartono.Se
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan
Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi. “Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya m
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
Ifan melangkah dengan gontai memasuki kamarnya, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.Perlahan Ifan membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia terdiam sembari memandangi langit-langit kamar, tak lama ia memiringkan kepalanya ke arah kiri, menatap foto polaroid dirinya yang menempel berjejer di dinding kamarnya, foto dari Ifan SD sampai Ifan Wisuda sarjana, senyumnya mengembang, Ifan terlihat sangat bahagia pada semua foto itu.Sangat tengah sibuk memandangi foto kenangan Ifan merasa asa yang duduk di sudut ranjangnya, ujung kaki Ifan bahkan menyentuhnya, Ifan dengan cepat melihat kearah kakinya, memastikan siapa yang datang, dan betapa terkejutnya Ifan, yang duduk di dekatnya adalah sosok Mima dan di samping Mima ada sosok Wanita dengan rambut terurai menutup seluruh wajahnya.Ifan tak mampu menggerakkan tubuhnya, lidahnya kelu, ia tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.Ifan berusaha memberontak namun tetap saja ia tak mampu melakukan apa-apa, matanya tak bisa lepas dari menatap Mi
Sampailah mereka di rumah Adip dan Adit, rumah si kembar yang sudah lama dijadikan markas oleh mereka, apa lagi kini Adip dan Adit hanya tinggal berdua saja, sejak kedua orang tua mereka bekerja diluar negeri.Ifan menarik nafas dalam-dalam, ia bersiap kalau-kalau ia akan mendapat bogem mentah dari rekan-rekannya, Miko menelungkup kedua tangan ke wajahnya."Kau ngomong apa ke Yogi?" Selidik Adit."Aku gak ngomong apa-apa," Ifan menggeleng dengan keras, bagaimana mungkin semudah itu Yogi membahas tentang dirinya kepada Miko dan gengnya."Semalam Yogi menanyakan perihal Mima," Miko mencengkram erat kerah baju Ifan.Ifan memberontak dan terjatuh. "Yogi memang sempat menanyakan soal Mima, apa lagi hilangnya Mima tidak diketahui sampai sekarang, Yogi hanya penasaran Mima masih hidup atau nggak," Ifan beralasan.Miko berbalik, sepertinya cukup percaya dengan kebohongan yang dilayangkan oleh Ifan."Kenapa dia jadi penasaran soal Mima?" Adip bertanya-tanya.Semua orang terdiam, kekerasan yan
Yogi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, ia larut dalam lamunan, obrolannya bersama Ifan tadi siang benar-benar membuat ia terus terpikir akan Mima, meski tak akrab dengan Mima, sepengetahuan Yogi Mima adalah gadis cantik yang pendiam juga pemalu, Yogi beberapa kali bertemu Mima saat sedang bersama Ifan dahulu, bahkan Yogi sempat beberapa kali menggoda Ifan kalau Mima terlalu cantik, jadi tak akan cocok dengannya.Yogi langsung menepis pikiran buruknya cepat-cepat."Mana mungkin Ifan bunuh Mima, pikiran macam apa ini," Yogi menggelengkan kepala.Deg, jantung Ifan berdegup kencang. Tampak sangat nyata Mima menampakkan wujudnya di depan Yogi, walau hanya beberapa detik Yogi yakin sekali kalau sosok itu adalah Mima, sosok yang baru saja dipikirkan dan disebut namanya.Bulu kuduk Yogi meremang bagaimana tidak, ini pertama kalinya Yogi melihat penampakan selain penampakan ayahnya, yang bahkan sosok ayah tak berani muncul lagi sejak Yogi menggunakan kalung jimat dari Mbah Mija
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi. “Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya m
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan