Share

Petaka yang Kuciptakan
Petaka yang Kuciptakan
Penulis: Zy Faezya

BAB 1 Weton

“Kamu sakit sejak kapan?” tanya Pakde Kartono.

“Sejak selasa, Pakde,” Jawab Ifan dengan tangan yang sibuk menyeka darah yang sesekali keluar dari kedua lubang hidungnya.

“Walah. Itu sepertinya kamu diguna-guna, Le.” Jawab lelaki itu lagi sembari menyodorkan beberapa lembar tisu yang kemudian diterima oleh Irfan dengan penuh rasa terima kasih.

“Ah, Pakde bisa saja. Lagian, siapa yang mau repot guna-guna aku?” tanya Ifan sambil tertawa kecil. Kemudian, batuknya itu kembali datang dan ia menutupinya dengan tisu yang diberikan oleh Pakdenya. Ifan berusaha terlihat baik-baik saja, meski rasa sakit di kepalanya terasa sangat menyiksa.

“Kamu dikasih tahu orang tua kok malah gak percaya. Pakde ini sudah tua dan sudah banyak pengalaman. Pakde tahu mana sakit beneran dan mana yang karena ilmu hitam,” Jelas pakde Kartono lagi.

“Memang iya, Kang?” Tanya Bu Asih, Ibu Ifan, dengan mimik wajah ngeri.

Pakde Kartono mengangguk dengan penuh keyakinan.

“Pantas saja, Kang. Kalau siang begini biasanya batuknya gak parah, tapi kalau malam, Ifan sampai nangis. Kemarin malah kepalanya dipukul sendiri saking sakitnya. Terus, dia juga beberapa kali muntah darah. Kalau mimisan sih sudah hampir setiap hari,” jelas Bu Asih sembari menyodorkan sekotak tisu ke arah Ifan, setelah tisu yang dipegang Ifan terlihat sudah kotor.

Apa yang disampaikan oleh Bu Asih membuat Pakde Kartono mengangguk-angguk yakin. “Sudah jelas ini diguna-guna, sih. Pas dibawa ke rumah sakit, nggak ketahuan apa penyakitnya, kan?” tanya Pakde Kartono lagi sembari melirik Ifan.

Ifan mengangguk setuju, tapi sebenarnya di dalam hati ia masih ragu dengan perkataan Pakdenya itu. Sebab, sejak kecil Ifan tidak pernah percaya dengan hal mistis dan tak pernah pula bertemu dengan hal-hal mistis apa pun.

Namun, tampaknya untuk kali ini dia harus percaya dan mengikuti perkataan Pakde Kartono dari pada harus menanggung rasa sakit ini setiap hari.

“Kalau begitu, nanti malam kita coba lakukan pengobatan. Asih, tolong siapkan janur kuning, sebuah kelapa yang masih utuh beserta serabutnya, dan bunga 7 rupa,” perintah Pakde Kartono sembari menatap Bu Asih, sedangkan yang ditatap langsung mengangguk setuju.

Setelahnya, Pakde Kartono pun segera pergi meninggalkan rumah Ifan sembari menghisap sebatang rokok di bibirnya.

Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Itu artinya Bu Asih hanya memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan semua keperluan. Oleh karena itu, dengan cekatan Bu Asih berjalan mengitari kampung untuk bertanya pada setiap orang yang ditemuinya.

Maklum saja mereka tinggal di sebuah desa kecil yang terletak di ujung pulau Jawa. Dengan jumlah penduduk yang terbilang sedikit serta jauh dari perkotaan itu, tak sulit bagi Bu Asih untuk mengenal semua warga dan meminta bantuan.

Di sisi lain, Ifan hanya bisa diam di atas tempat tidur kala Ibunya sedang sibuk mencari syarat pengobatan. Namun, sejak tadi ia merasakan hembusan angin yang teramat dingin terus menerus. Padahal sinar matahari masih sangat terik menyinari bumi.

Setelah memikirkan hal itu, Ifan tiba-tiba bergidik ngeri.

Beberapa kali dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar, tapi tak ada yang mencurigakan. Jendela kamar pun ditutup erat dengan gorden yang menggantung. Namun, tidak ada tanda-tanda ada angin yang melintas.

Bu Asih sengaja menutup jendela itu agar Ifan tidak terkena hembusan angin yang tidak baik bagi kesehatannya. Setelah berapa lama menunggu, Bu Asih akhirnya tiba di rumah menjelang waktu magrib.

“Ifan agak ragu, Bu. Apa benar penyakit Ifan hanya bisa ketahuan hanya dari hari sakitnya?” ucap Ifan penuh keraguan. “Namun, tidak apa. Dicoba dulu, siapa tahu betulan bisa sembuh,” sambungnya.

“Iya. Kalau kamu sembuh kan kamu bisa menikah, Nak. Kasihan Mia.” Ucap Bu Asih menanggapi perkataan putranya sembari membetulkan selimut yang menyelimuti Ifan.

Ifan mengangguk paham.

Selama ini dia memang merasa sangat menderita karena penyakit yang ia derita. Apa lagi saat malam tiba. Hal itulah yang mengakibatkan rencana lamarannya selalu tertunda. Kalau tidak, mungkin saat ini dia dan Mia tengah sibuk mempersiapkan rencana pernikahan mereka.

“Yaudah, tidak usah dipikirkan terlalu jauh. Fokus sembuh dulu ya, Le.” Kata Bu Asih sebelum kemudian meninggalkan Ifan untuk menyiapkan persembahan yang akan digunakan dalam ritual.

Kakak tertua Bu Asih, Pakde Kartono memang sangat dihormati di kampung ini. Sebab, banyak warga yang menemuinya untuk menanyakan berbagai hal, termasuk hal remeh seperti kapan hari baik untuk mengganti pintu rumah.

Dulu Ifan selalu menertawakan hal itu, karena menurutnya aneh dan tidak masuk akal. Namun, saat Bu Asih seringkali menegur tindakan kurang sopan itu, karena apa yang dilakukan oleh Pakde Kartono dan warga adalah kepercayaan turun temurun bagi masyarakat Jawa.

Maklum, masyarakat di kampung tempat Ifan tinggal memang masih mempercayai primbon Jawa dan menjadikannya sebagai pedoman hidup mereka.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Pakde Kartono masuk ke dalam kamar dan memapah tubuh Ifan untuk dibaringkan ke lantai. Sambil menggumamkan sesuatu, pria paruh baya itu kemudian menaburkan bunga yang sudah disiapkan Bu Asih ke sekeliling Ifan tidak berani bergerak sedikitpun.

Ifan bergidik ngeri saat melihat betapa banyaknya bunga yang mengelilingi tubuhnya. Saat matanya menatap ke sekeliling, ujung matanya menangkap banyaknya sajian aneh yang berjejer rapi di ujung ruangan.

Matahari kini telah lenyap dengan sempurna dan kegelapan malam berkuasa penuh. Saat itulah perlahan sakit kepala Ifan kian memuncak.

Pakde Kartono lantas duduk bersila di samping tubuh Ifan yang terbaring. Beberapa saat kemudian, suara bacaan doa kembali terdengar. Tapi, Ifan tak mengerti apa yang diucapkan oleh Pakdenya itu, karena kepalanya terasa sangat sakit. Kali ini terasa seperti dicabik-cabik.

Denyutan di kepala membuat Ifan menutup mata dan menarik erat rambutnya. Itu dilakukan sembari berharap kalau rasa sakit di kepalanya bisa berkurang. Namun, tidak sama sekali. Alih-alih berkurang, rasa sakit itu malah menjadi semakin intens.

Saat Ifan membuka mata, tiba-tiba dia melihat banyak makhluk gaib berkumpul di sekelilingnya dalam berbagai wujud. Ifan berteriak histeris karena ini adalah pengalaman pertamanya melihat makhluk lain yang tak semuanya memiliki bagian tubuh lengkap.

“Sudah Pakde!! HENTIKAAN! TOLOONG! USIR MEREKA!”

Ifan terus berteriak ketakutan. Namun, Pakde Kartono tampaknya tak menghiraukan teriakan keponakannya itu dan malah semakin gencar merapalkan mantra.

Mantra yang diramalkan Pakde Kartono membuat Ifan semakin histeris. Bahkan kini tubuhnya terasa kaku. Apa yang terjadi membuat Ifan tak mampu menggerakkan seujung jari pun meski matanya kini terbelalak menatap ke arah makhluk mengerikan yang berada tepat di depan wajahnya.

Mulut makhluk itu terbuka lebar hingga mengeluarkan liur yang membasahi wajah Ifan. Suasana mencekam itu berlangsung cukup lama hingga Ifan kehilangan kesadaran. Setelah Ifan pingsan, Pakde Kartono pun segera menyudahi ritualnya.

“Asih, jaga Ifan agar jangan sampai keluar dari kamar. Segera taburkan garam kasar ke seluruh sudut kamar dan sekeliling rumah. Lakukan itu setiap hari saat matahari mulai terbenam.” Pesan Pakde Kartono pada Bu Asih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status