Share

BAB 5 Rencana Perjalanan Mencari Jimat

Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi.

“Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan.

“Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih.

Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya.

“Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya.

“Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan.

Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya membuat Bu Asih sedikit lebih tenang dari sebelumnya, setelah berpamitan Ifan kembali mengendarai sepeda motornya menuju rumah Yogi yang tak begitu jauh, Ifan dan Yogi adalah tetangga kampung, dahulu mereka bertemu saat masih remaja dan sering bermain tenis bersama, Ifan masih ingat saat Yogi menunjukkan sebuah jimat yang menurut Yogi jimat itu mampu menangkal hal-hal gaib dan mampu menjinakkan iblis paling berbahaya sekalipun, entah benar atau tidak tapi yang pasti Yogi banyak mengetahui tentang dunia ghoib.

Ifan berencana akan menemukan jawabannya di sana, bagaimana menghentikan teror hantu Mima sebelum terornya semakin parah.

Setelah cukup lama mengendarai sepeda motor sampailah Ifan di rumah Yogi, masih sama rumah ini terlihat suram, sesak dan sempit, di dominasi dengan cat berwarna hitam legam, rumah yang pintu dan jendelanya selalu tertutup.

Hawa dalam rumah Yogi pun terasa panas dan tak berdebu

Yogi tinggal seorang diri maka tak jarang rumah ini terlihat berantakan.

“Gi, kamu di dalam?” Teriak Ifan dari teras rumah tanpa mengetuk.

Sunyi tak ada jawaban.

“Gi” panggil Ifan lagi, tapi kali ini dibarengi dengan ketukan di pintu cukup keras.

“Sebentar,” Jawab Yogi terdengar malas.

“Kamu tidur?” Tanya Ifan dari teras

“Iya” Yogi membuka pintunya sambil mengucek matanya yang merah karena masih mengantuk.

“Boleh aku pinjam jimatmu ?” Tanya Ifan tanpa basa basi.

Yogi membelalakkan matanya “jimat yang mana? Masuk dulu sini, mengobrol di dalam,” pinta Yogi sambil membuka pintu rumahnya, Ifan langsung bergegas masuk melemparkan tas ranselnya di atas tumpukan baju yang berhamburan di kursi sofa.

“Aku lagi dihantui masa laluku yang hampir aku lupakan,” Ifan kembali membuka percakapan, tanpa sadar dia membuka sedikit rahasianya pada Yogi.

“Maksudnya?” Yogi menautkan kedua alisnya bingung.

“Aku salah, seharusnya aku terus merenungi dosa masa laluku bukan malah berusaha melupakan,” celoteh Ifan lagi tanpa memedulikan Yogi yang kebingungan dengan arah pembicaraan mereka.

“lalu kenapa sekarang kau mau mencari jimat?” Yogi meletakkan jimat yang pernah ia ceritakan kepada Ifan, sesuatu yang terbungkus kain hitam berhiaskan beberapa butir manik-manik, jimat itu tergantung pada sebuah kalung, Yogi menyebutnya sebagai kalung pelindung.

“Kain?” Tanya Ifan bingung, ia mengamati jimat tersebut.

Yogi mengangguk “bagian luarnya kain, tapi yang terpenting bukan kainnya tapi yang terbungkus dalam kain itu,” Jelas Yogi, langsung dibalas anggukan oleh Ifan.

“Aku tidak bisa memberikannya padamu, jimat ini sudah mengenali siapa pemiliknya, bisa berbahaya jika berpindah tangan,” jelas Yogi lagi.

Sesekali Yogi mencuri pandang ke arah Ifan mencari-cari sesuatu.

Ifan menarik napas panjang baru saja ia mengira kalau semua masalah akan segera teratasi, tapi ternyata hanya angan belaka.

“Aku butuh jimat seperti ini juga, nyawaku terancam,” ucap Ifan sendu.

“Aku mengenal seseorang yang bisa memberimu jimat seperti ini,” Yogi menaikkan sebelah alisnya, tersenyum tipis sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding, tanganya sibuk memainkan ponselnya.

“Benarkah?” Ifan menegakkan kepalanya, matanya berbinar.

“Ya, tapi sepengetahuanku syaratnya cukup mengerikan,” ucap Yogi.

“Bawa aku bertemu orang itu, soal persyaratan aku tak peduli,” ucap Ifan menggebu-gebu.

“Kau yakin?”

Ifan mengangguk penuh keyakinan, Ifan sejak dahulu memang selalu ceroboh, dan suka bertindak gegabah, membuat Ifan dengan mudah dimanfaatkan oleh kawan-kawannya, namun Ifan masih juga tak memahaminya.

“aku sudah memperingatkanmu, jangan menyesal ke depannya,” ucap Yogi tegas.

“Aku janji, tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan nyawa” Tegas Ifan.

“Besok sore kita berangkat, kebetulan besok hari Kamis. Setahuku, mbah Mijan memiliki kekuatan penuh di hari Kamis” ucap Yogi, Ifan hanya mengangguk.

“Malam ini aku bermalam disini saja ya, boleh?” Pinta Ifan.

Yogi mengangguk “silakan saja, toh aku tinggal sendirian. Sangat menyenangkan jika aku memiliki teman satu rumah, jadi tidak terasa sepi,” jelas Yogi.

Ifan mengedarkan pandangannya ke segala sudut ruang “jendelanya gak dibuka saja Gi?”

“Gak usah, aku nggak suka terang” jawab Yogi santai.

Ifan mangut-mangut, diraihnya jimat itu diperhatikan detailnya, semakin dilihat semakin menarik saja pikir Ifan. “boleh ku coba?”

“Jangan!” Seru Yogi sambil merebut kalung jimat tersebut “sudah ku katakan kalung ini mengenali siapa tuannya, jika kau pakai akan berbahaya, cukup di lihat saja,” Yogi menjelaskan dengan cepat,

Ifan manggut-manggut lagi untuk kesekian kalinya.

Rumah Yogi pengap dan terasa sangat lembab, ruang tamunya pun sangat sempit, dengan ruangan yang cukup kecil hanya diisi sebuah sofa panjang, dan banyak pakaian bertebaran dimana-mana. Ifan merasa tak nyaman namun ia berusaha menutupi rasa ke tidak nyamannya.

Saat malam hari suasana terasa tenang, tak ada gangguan sama sekali jimat kepunyaan Yogi memang nyata kesaktiannya. Ifan tersenyum lega walau hati kecilnya menentang keputusan dirinya untuk berkecimpung di dunia hitam, namun mau bagaimana lagi ia sudah berusaha berdoa namun gangguan itu tetap ada, entah kurang khusyuk atau memang Tuhan enggan mengabulkan doa orang dengan masa lalu kelam, Pakde Kartono pun hingga sekarang tak mengatakan apa pun lagi, Ifan merasa sudah cukup perang batinnya selama ini dalam menentukan pilihan akhir dan disinilah keputusan itu bermuara, jimat pelindung.

Ifan menutup matanya, menyelesaikan malam ini dengan cepat.

Keesokan harinya tepat di hari kamis mata hari bersinar sangat terik, membuah peluh Ifan dan Yogi mengalir deras, namun mereka seakan tak memedulikannya, pukul dua siang mereka berdua bergegas menaiki sepeda motor Ifan, berkendara cukup jauh hingga harus melewati kebun kopi yang cukup rimbun.

“lima tahun lalu kebun kopi ini masih terlihat terawat, banyak ibu-ibu serta bapak-bapak menjadi buruh pemetik buah kopi disini jadi suasananya pun tak menyeramkan sama sekali” Jelas Yogi.

“Kenapa sekarang terbengkalai begini ya?” Tanya Ifan.

Yogi menggeleng.

Kini keadaan terlihat sangat berbeda, udaranya terasa lembab, sinar matahari kesulitan menembus lebatnya daun dan gulma yang memenuhi perkebunan kopi ini, motor Ifan pun sempat terhenti beberapa kali beruntung mereka berdua berhasil mengatasinya, keluar dari kebun kopi mereka bertemu jalan setapak menuju tengah hutan, beruntung hutan lindung ini tak begitu lebat sinar matahari menembus dengan sempurna suasana terang membuat Ifan dan Yogi jadi lebih tenang. Setelah kurang lebih sekitar lima belas menit mengendarai sepeda motor sampailah mereka di sebuah Desa Sidomado sebuah desa kecil tempat Mbah Mijan bermukim, penduduk di desa ini tampak sangat sedikit, beberapa dari mereka menatap Ifan dan Yogi dengan tatapan sinis.

“Penduduknya ngeri-ngeri ya,” bisik Ifan pelan.

Yogi hanya tersenyum menanggapi celoteh Ifan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status