Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi.
“Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya membuat Bu Asih sedikit lebih tenang dari sebelumnya, setelah berpamitan Ifan kembali mengendarai sepeda motornya menuju rumah Yogi yang tak begitu jauh, Ifan dan Yogi adalah tetangga kampung, dahulu mereka bertemu saat masih remaja dan sering bermain tenis bersama, Ifan masih ingat saat Yogi menunjukkan sebuah jimat yang menurut Yogi jimat itu mampu menangkal hal-hal gaib dan mampu menjinakkan iblis paling berbahaya sekalipun, entah benar atau tidak tapi yang pasti Yogi banyak mengetahui tentang dunia ghoib. Ifan berencana akan menemukan jawabannya di sana, bagaimana menghentikan teror hantu Mima sebelum terornya semakin parah. Setelah cukup lama mengendarai sepeda motor sampailah Ifan di rumah Yogi, masih sama rumah ini terlihat suram, sesak dan sempit, di dominasi dengan cat berwarna hitam legam, rumah yang pintu dan jendelanya selalu tertutup. Hawa dalam rumah Yogi pun terasa panas dan tak berdebu Yogi tinggal seorang diri maka tak jarang rumah ini terlihat berantakan. “Gi, kamu di dalam?” Teriak Ifan dari teras rumah tanpa mengetuk. Sunyi tak ada jawaban. “Gi” panggil Ifan lagi, tapi kali ini dibarengi dengan ketukan di pintu cukup keras. “Sebentar,” Jawab Yogi terdengar malas. “Kamu tidur?” Tanya Ifan dari teras “Iya” Yogi membuka pintunya sambil mengucek matanya yang merah karena masih mengantuk. “Boleh aku pinjam jimatmu ?” Tanya Ifan tanpa basa basi. Yogi membelalakkan matanya “jimat yang mana? Masuk dulu sini, mengobrol di dalam,” pinta Yogi sambil membuka pintu rumahnya, Ifan langsung bergegas masuk melemparkan tas ranselnya di atas tumpukan baju yang berhamburan di kursi sofa. “Aku lagi dihantui masa laluku yang hampir aku lupakan,” Ifan kembali membuka percakapan, tanpa sadar dia membuka sedikit rahasianya pada Yogi. “Maksudnya?” Yogi menautkan kedua alisnya bingung. “Aku salah, seharusnya aku terus merenungi dosa masa laluku bukan malah berusaha melupakan,” celoteh Ifan lagi tanpa memedulikan Yogi yang kebingungan dengan arah pembicaraan mereka. “lalu kenapa sekarang kau mau mencari jimat?” Yogi meletakkan jimat yang pernah ia ceritakan kepada Ifan, sesuatu yang terbungkus kain hitam berhiaskan beberapa butir manik-manik, jimat itu tergantung pada sebuah kalung, Yogi menyebutnya sebagai kalung pelindung. “Kain?” Tanya Ifan bingung, ia mengamati jimat tersebut. Yogi mengangguk “bagian luarnya kain, tapi yang terpenting bukan kainnya tapi yang terbungkus dalam kain itu,” Jelas Yogi, langsung dibalas anggukan oleh Ifan. “Aku tidak bisa memberikannya padamu, jimat ini sudah mengenali siapa pemiliknya, bisa berbahaya jika berpindah tangan,” jelas Yogi lagi. Sesekali Yogi mencuri pandang ke arah Ifan mencari-cari sesuatu. Ifan menarik napas panjang baru saja ia mengira kalau semua masalah akan segera teratasi, tapi ternyata hanya angan belaka. “Aku butuh jimat seperti ini juga, nyawaku terancam,” ucap Ifan sendu. “Aku mengenal seseorang yang bisa memberimu jimat seperti ini,” Yogi menaikkan sebelah alisnya, tersenyum tipis sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding, tanganya sibuk memainkan ponselnya. “Benarkah?” Ifan menegakkan kepalanya, matanya berbinar. “Ya, tapi sepengetahuanku syaratnya cukup mengerikan,” ucap Yogi. “Bawa aku bertemu orang itu, soal persyaratan aku tak peduli,” ucap Ifan menggebu-gebu. “Kau yakin?” Ifan mengangguk penuh keyakinan, Ifan sejak dahulu memang selalu ceroboh, dan suka bertindak gegabah, membuat Ifan dengan mudah dimanfaatkan oleh kawan-kawannya, namun Ifan masih juga tak memahaminya. “aku sudah memperingatkanmu, jangan menyesal ke depannya,” ucap Yogi tegas. “Aku janji, tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan nyawa” Tegas Ifan. “Besok sore kita berangkat, kebetulan besok hari Kamis. Setahuku, mbah Mijan memiliki kekuatan penuh di hari Kamis” ucap Yogi, Ifan hanya mengangguk. “Malam ini aku bermalam disini saja ya, boleh?” Pinta Ifan. Yogi mengangguk “silakan saja, toh aku tinggal sendirian. Sangat menyenangkan jika aku memiliki teman satu rumah, jadi tidak terasa sepi,” jelas Yogi. Ifan mengedarkan pandangannya ke segala sudut ruang “jendelanya gak dibuka saja Gi?” “Gak usah, aku nggak suka terang” jawab Yogi santai. Ifan mangut-mangut, diraihnya jimat itu diperhatikan detailnya, semakin dilihat semakin menarik saja pikir Ifan. “boleh ku coba?” “Jangan!” Seru Yogi sambil merebut kalung jimat tersebut “sudah ku katakan kalung ini mengenali siapa tuannya, jika kau pakai akan berbahaya, cukup di lihat saja,” Yogi menjelaskan dengan cepat, Ifan manggut-manggut lagi untuk kesekian kalinya. Rumah Yogi pengap dan terasa sangat lembab, ruang tamunya pun sangat sempit, dengan ruangan yang cukup kecil hanya diisi sebuah sofa panjang, dan banyak pakaian bertebaran dimana-mana. Ifan merasa tak nyaman namun ia berusaha menutupi rasa ke tidak nyamannya. Saat malam hari suasana terasa tenang, tak ada gangguan sama sekali jimat kepunyaan Yogi memang nyata kesaktiannya. Ifan tersenyum lega walau hati kecilnya menentang keputusan dirinya untuk berkecimpung di dunia hitam, namun mau bagaimana lagi ia sudah berusaha berdoa namun gangguan itu tetap ada, entah kurang khusyuk atau memang Tuhan enggan mengabulkan doa orang dengan masa lalu kelam, Pakde Kartono pun hingga sekarang tak mengatakan apa pun lagi, Ifan merasa sudah cukup perang batinnya selama ini dalam menentukan pilihan akhir dan disinilah keputusan itu bermuara, jimat pelindung. Ifan menutup matanya, menyelesaikan malam ini dengan cepat. Keesokan harinya tepat di hari kamis mata hari bersinar sangat terik, membuah peluh Ifan dan Yogi mengalir deras, namun mereka seakan tak memedulikannya, pukul dua siang mereka berdua bergegas menaiki sepeda motor Ifan, berkendara cukup jauh hingga harus melewati kebun kopi yang cukup rimbun. “lima tahun lalu kebun kopi ini masih terlihat terawat, banyak ibu-ibu serta bapak-bapak menjadi buruh pemetik buah kopi disini jadi suasananya pun tak menyeramkan sama sekali” Jelas Yogi. “Kenapa sekarang terbengkalai begini ya?” Tanya Ifan. Yogi menggeleng. Kini keadaan terlihat sangat berbeda, udaranya terasa lembab, sinar matahari kesulitan menembus lebatnya daun dan gulma yang memenuhi perkebunan kopi ini, motor Ifan pun sempat terhenti beberapa kali beruntung mereka berdua berhasil mengatasinya, keluar dari kebun kopi mereka bertemu jalan setapak menuju tengah hutan, beruntung hutan lindung ini tak begitu lebat sinar matahari menembus dengan sempurna suasana terang membuat Ifan dan Yogi jadi lebih tenang. Setelah kurang lebih sekitar lima belas menit mengendarai sepeda motor sampailah mereka di sebuah Desa Sidomado sebuah desa kecil tempat Mbah Mijan bermukim, penduduk di desa ini tampak sangat sedikit, beberapa dari mereka menatap Ifan dan Yogi dengan tatapan sinis. “Penduduknya ngeri-ngeri ya,” bisik Ifan pelan. Yogi hanya tersenyum menanggapi celoteh Ifan.Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
“Kamu sakit sejak kapan?” tanya Pakde Kartono.“Sejak selasa, Pakde,” Jawab Ifan dengan tangan yang sibuk menyeka darah yang sesekali keluar dari kedua lubang hidungnya.“Walah. Itu sepertinya kamu diguna-guna, Le.” Jawab lelaki itu lagi sembari menyodorkan beberapa lembar tisu yang kemudian diterima oleh Irfan dengan penuh rasa terima kasih.“Ah, Pakde bisa saja. Lagian, siapa yang mau repot guna-guna aku?” tanya Ifan sambil tertawa kecil. Kemudian, batuknya itu kembali datang dan ia menutupinya dengan tisu yang diberikan oleh Pakdenya. Ifan berusaha terlihat baik-baik saja, meski rasa sakit di kepalanya terasa sangat menyiksa.“Kamu dikasih tahu orang tua kok malah gak percaya. Pakde ini sudah tua dan sudah banyak pengalaman. Pakde tahu mana sakit beneran dan mana yang karena ilmu hitam,” Jelas pakde Kartono lagi.“Memang iya, Kang?” Tanya Bu Asih, Ibu Ifan, dengan mimik wajah ngeri.Pakde Kartono mengangguk dengan penuh keyakinan.“Pantas saja, Kang. Kalau siang begini biasanya bat
“Sudah bangun nak, sini Ibu bantu duduk,” ucap bu Asih saat melihat putranya yang baru saja terbangun dari pingsan.Ifan meringis, rasa sakit terasa di sekujur tubuhnya.“Bu, tubuh Ifan sakit sekali,” keluh Ifan.“Tahan dulu ya nak, sebentar lagi pasti hilang rasa sakitnya,” Bu Asih menenangkan, tanganya tengah sibuk memeras handuk basah yang digunakan untuk membasuh tubuh Ifan.“Bu, badan Ifan rasanya pegal banget, tapi sudah gak pusing lagi,” keluh Ifan lagi.“Iya, nak. Kamu sudah aman” Bu Asih, dengan cekatan membereskan semua peralatan yang berserakan di sekitar Ifan.Saat Ifan terbangun dari pingsannya, Pakde Kartono sudah tidak ada dan di ruangan, hanya tersisa Bu Asih yang kini sedang membersihkan lantai ruang tamu yang dipenuhi oleh bunga dan percikan air dimana-mana. Seusai membereskan ruang tamu wanita paruh baya itu lantas membantu Ifan untuk duduk sebelum memberi pemuda itu minum. Ifan meringis menahan perih, handuk kecil yang bu Asih gunakan untuk menyeka kulit Ifan ter
Ifan tersenyum miris, merasa malu, ia pria muda yang sangat kuat kini tak lebih menyedihkan dari perempuan terlemah sekalipun.Ifan meyakinkan dirinya sendiri untuk mulai berani jika nanti melihat makhluk tak kasat mata lagi.Tak lama berselang Ifan merasa haus, ia termenung cukup lama takut kalau akan terjadi hal yang mengerikan lagi, namun semakin lama Ifan tak dapat menahan rasa hausnya, akhirnya iia memberanikan diri keluar kamar, mengambil air minum.“Pakde pasti akan segera sadar kalau Aku tak ada di kamar dan langsung mencarinya,” Ifan bergumam pelan pada dirinya sendiri, Ifan percaya ia akan baik-baik saja selagi masih ada Pakde Kartono.Ifan turun dari ranjang, berjalan perlahan, dilihatnya Pakde Kartono tertidur pulas di kursi sofa ruang keluarga, televisi di dinding masih menayangkan sinetron kesayangan bu Asih, namun bu Asih tak terlihat keberadaannya, Ifan berjalan perlahan menuju dapur, dia berhati-hati agar tak menimbulkan suara gaduh dan mengagetkan Pakde Kartono.Se
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan