Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi.
“Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya membuat Bu Asih sedikit lebih tenang dari sebelumnya, setelah berpamitan Ifan kembali mengendarai sepeda motornya menuju rumah Yogi yang tak begitu jauh, Ifan dan Yogi adalah tetangga kampung, dahulu mereka bertemu saat masih remaja dan sering bermain tenis bersama, Ifan masih ingat saat Yogi menunjukkan sebuah jimat yang menurut Yogi jimat itu mampu menangkal hal-hal gaib dan mampu menjinakkan iblis paling berbahaya sekalipun, entah benar atau tidak tapi yang pasti Yogi banyak mengetahui tentang dunia ghoib. Ifan berencana akan menemukan jawabannya di sana, bagaimana menghentikan teror hantu Mima sebelum terornya semakin parah. Setelah cukup lama mengendarai sepeda motor sampailah Ifan di rumah Yogi, masih sama rumah ini terlihat suram, sesak dan sempit, di dominasi dengan cat berwarna hitam legam, rumah yang pintu dan jendelanya selalu tertutup. Hawa dalam rumah Yogi pun terasa panas dan tak berdebu Yogi tinggal seorang diri maka tak jarang rumah ini terlihat berantakan. “Gi, kamu di dalam?” Teriak Ifan dari teras rumah tanpa mengetuk. Sunyi tak ada jawaban. “Gi” panggil Ifan lagi, tapi kali ini dibarengi dengan ketukan di pintu cukup keras. “Sebentar,” Jawab Yogi terdengar malas. “Kamu tidur?” Tanya Ifan dari teras “Iya” Yogi membuka pintunya sambil mengucek matanya yang merah karena masih mengantuk. “Boleh aku pinjam jimatmu ?” Tanya Ifan tanpa basa basi. Yogi membelalakkan matanya “jimat yang mana? Masuk dulu sini, mengobrol di dalam,” pinta Yogi sambil membuka pintu rumahnya, Ifan langsung bergegas masuk melemparkan tas ranselnya di atas tumpukan baju yang berhamburan di kursi sofa. “Aku lagi dihantui masa laluku yang hampir aku lupakan,” Ifan kembali membuka percakapan, tanpa sadar dia membuka sedikit rahasianya pada Yogi. “Maksudnya?” Yogi menautkan kedua alisnya bingung. “Aku salah, seharusnya aku terus merenungi dosa masa laluku bukan malah berusaha melupakan,” celoteh Ifan lagi tanpa memedulikan Yogi yang kebingungan dengan arah pembicaraan mereka. “lalu kenapa sekarang kau mau mencari jimat?” Yogi meletakkan jimat yang pernah ia ceritakan kepada Ifan, sesuatu yang terbungkus kain hitam berhiaskan beberapa butir manik-manik, jimat itu tergantung pada sebuah kalung, Yogi menyebutnya sebagai kalung pelindung. “Kain?” Tanya Ifan bingung, ia mengamati jimat tersebut. Yogi mengangguk “bagian luarnya kain, tapi yang terpenting bukan kainnya tapi yang terbungkus dalam kain itu,” Jelas Yogi, langsung dibalas anggukan oleh Ifan. “Aku tidak bisa memberikannya padamu, jimat ini sudah mengenali siapa pemiliknya, bisa berbahaya jika berpindah tangan,” jelas Yogi lagi. Sesekali Yogi mencuri pandang ke arah Ifan mencari-cari sesuatu. Ifan menarik napas panjang baru saja ia mengira kalau semua masalah akan segera teratasi, tapi ternyata hanya angan belaka. “Aku butuh jimat seperti ini juga, nyawaku terancam,” ucap Ifan sendu. “Aku mengenal seseorang yang bisa memberimu jimat seperti ini,” Yogi menaikkan sebelah alisnya, tersenyum tipis sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding, tanganya sibuk memainkan ponselnya. “Benarkah?” Ifan menegakkan kepalanya, matanya berbinar. “Ya, tapi sepengetahuanku syaratnya cukup mengerikan,” ucap Yogi. “Bawa aku bertemu orang itu, soal persyaratan aku tak peduli,” ucap Ifan menggebu-gebu. “Kau yakin?” Ifan mengangguk penuh keyakinan, Ifan sejak dahulu memang selalu ceroboh, dan suka bertindak gegabah, membuat Ifan dengan mudah dimanfaatkan oleh kawan-kawannya, namun Ifan masih juga tak memahaminya. “aku sudah memperingatkanmu, jangan menyesal ke depannya,” ucap Yogi tegas. “Aku janji, tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan nyawa” Tegas Ifan. “Besok sore kita berangkat, kebetulan besok hari Kamis. Setahuku, mbah Mijan memiliki kekuatan penuh di hari Kamis” ucap Yogi, Ifan hanya mengangguk. “Malam ini aku bermalam disini saja ya, boleh?” Pinta Ifan. Yogi mengangguk “silakan saja, toh aku tinggal sendirian. Sangat menyenangkan jika aku memiliki teman satu rumah, jadi tidak terasa sepi,” jelas Yogi. Ifan mengedarkan pandangannya ke segala sudut ruang “jendelanya gak dibuka saja Gi?” “Gak usah, aku nggak suka terang” jawab Yogi santai. Ifan mangut-mangut, diraihnya jimat itu diperhatikan detailnya, semakin dilihat semakin menarik saja pikir Ifan. “boleh ku coba?” “Jangan!” Seru Yogi sambil merebut kalung jimat tersebut “sudah ku katakan kalung ini mengenali siapa tuannya, jika kau pakai akan berbahaya, cukup di lihat saja,” Yogi menjelaskan dengan cepat, Ifan manggut-manggut lagi untuk kesekian kalinya. Rumah Yogi pengap dan terasa sangat lembab, ruang tamunya pun sangat sempit, dengan ruangan yang cukup kecil hanya diisi sebuah sofa panjang, dan banyak pakaian bertebaran dimana-mana. Ifan merasa tak nyaman namun ia berusaha menutupi rasa ke tidak nyamannya. Saat malam hari suasana terasa tenang, tak ada gangguan sama sekali jimat kepunyaan Yogi memang nyata kesaktiannya. Ifan tersenyum lega walau hati kecilnya menentang keputusan dirinya untuk berkecimpung di dunia hitam, namun mau bagaimana lagi ia sudah berusaha berdoa namun gangguan itu tetap ada, entah kurang khusyuk atau memang Tuhan enggan mengabulkan doa orang dengan masa lalu kelam, Pakde Kartono pun hingga sekarang tak mengatakan apa pun lagi, Ifan merasa sudah cukup perang batinnya selama ini dalam menentukan pilihan akhir dan disinilah keputusan itu bermuara, jimat pelindung. Ifan menutup matanya, menyelesaikan malam ini dengan cepat. Keesokan harinya tepat di hari kamis mata hari bersinar sangat terik, membuah peluh Ifan dan Yogi mengalir deras, namun mereka seakan tak memedulikannya, pukul dua siang mereka berdua bergegas menaiki sepeda motor Ifan, berkendara cukup jauh hingga harus melewati kebun kopi yang cukup rimbun. “lima tahun lalu kebun kopi ini masih terlihat terawat, banyak ibu-ibu serta bapak-bapak menjadi buruh pemetik buah kopi disini jadi suasananya pun tak menyeramkan sama sekali” Jelas Yogi. “Kenapa sekarang terbengkalai begini ya?” Tanya Ifan. Yogi menggeleng. Kini keadaan terlihat sangat berbeda, udaranya terasa lembab, sinar matahari kesulitan menembus lebatnya daun dan gulma yang memenuhi perkebunan kopi ini, motor Ifan pun sempat terhenti beberapa kali beruntung mereka berdua berhasil mengatasinya, keluar dari kebun kopi mereka bertemu jalan setapak menuju tengah hutan, beruntung hutan lindung ini tak begitu lebat sinar matahari menembus dengan sempurna suasana terang membuat Ifan dan Yogi jadi lebih tenang. Setelah kurang lebih sekitar lima belas menit mengendarai sepeda motor sampailah mereka di sebuah Desa Sidomado sebuah desa kecil tempat Mbah Mijan bermukim, penduduk di desa ini tampak sangat sedikit, beberapa dari mereka menatap Ifan dan Yogi dengan tatapan sinis. “Penduduknya ngeri-ngeri ya,” bisik Ifan pelan. Yogi hanya tersenyum menanggapi celoteh Ifan.Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
Yogi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, ia larut dalam lamunan, obrolannya bersama Ifan tadi siang benar-benar membuat ia terus terpikir akan Mima, meski tak akrab dengan Mima, sepengetahuan Yogi Mima adalah gadis cantik yang pendiam juga pemalu, Yogi beberapa kali bertemu Mima saat sedang bersama Ifan dahulu, bahkan Yogi sempat beberapa kali menggoda Ifan kalau Mima terlalu cantik, jadi tak akan cocok dengannya.Yogi langsung menepis pikiran buruknya cepat-cepat."Mana mungkin Ifan bunuh Mima, pikiran macam apa ini," Yogi menggelengkan kepala.Deg, jantung Ifan berdegup kencang. Tampak sangat nyata Mima menampakkan wujudnya di depan Yogi, walau hanya beberapa detik Yogi yakin sekali kalau sosok itu adalah Mima, sosok yang baru saja dipikirkan dan disebut namanya.Bulu kuduk Yogi meremang bagaimana tidak, ini pertama kalinya Yogi melihat penampakan selain penampakan ayahnya, yang bahkan sosok ayah tak berani muncul lagi sejak Yogi menggunakan kalung jimat dari Mbah Mija
Sampailah mereka di rumah Adip dan Adit, rumah si kembar yang sudah lama dijadikan markas oleh mereka, apa lagi kini Adip dan Adit hanya tinggal berdua saja, sejak kedua orang tua mereka bekerja diluar negeri.Ifan menarik nafas dalam-dalam, ia bersiap kalau-kalau ia akan mendapat bogem mentah dari rekan-rekannya, Miko menelungkup kedua tangan ke wajahnya."Kau ngomong apa ke Yogi?" Selidik Adit."Aku gak ngomong apa-apa," Ifan menggeleng dengan keras, bagaimana mungkin semudah itu Yogi membahas tentang dirinya kepada Miko dan gengnya."Semalam Yogi menanyakan perihal Mima," Miko mencengkram erat kerah baju Ifan.Ifan memberontak dan terjatuh. "Yogi memang sempat menanyakan soal Mima, apa lagi hilangnya Mima tidak diketahui sampai sekarang, Yogi hanya penasaran Mima masih hidup atau nggak," Ifan beralasan.Miko berbalik, sepertinya cukup percaya dengan kebohongan yang dilayangkan oleh Ifan."Kenapa dia jadi penasaran soal Mima?" Adip bertanya-tanya.Semua orang terdiam, kekerasan yan
Ifan melangkah dengan gontai memasuki kamarnya, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.Perlahan Ifan membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia terdiam sembari memandangi langit-langit kamar, tak lama ia memiringkan kepalanya ke arah kiri, menatap foto polaroid dirinya yang menempel berjejer di dinding kamarnya, foto dari Ifan SD sampai Ifan Wisuda sarjana, senyumnya mengembang, Ifan terlihat sangat bahagia pada semua foto itu.Sangat tengah sibuk memandangi foto kenangan Ifan merasa asa yang duduk di sudut ranjangnya, ujung kaki Ifan bahkan menyentuhnya, Ifan dengan cepat melihat kearah kakinya, memastikan siapa yang datang, dan betapa terkejutnya Ifan, yang duduk di dekatnya adalah sosok Mima dan di samping Mima ada sosok Wanita dengan rambut terurai menutup seluruh wajahnya.Ifan tak mampu menggerakkan tubuhnya, lidahnya kelu, ia tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.Ifan berusaha memberontak namun tetap saja ia tak mampu melakukan apa-apa, matanya tak bisa lepas dari menatap Mi
“Kamu sakit sejak kapan?” tanya Pakde Kartono.“Sejak selasa, Pakde,” Jawab Ifan dengan tangan yang sibuk menyeka darah yang sesekali keluar dari kedua lubang hidungnya.“Walah. Itu sepertinya kamu diguna-guna, Le.” Jawab lelaki itu lagi sembari menyodorkan beberapa lembar tisu yang kemudian diterima oleh Irfan dengan penuh rasa terima kasih.“Ah, Pakde bisa saja. Lagian, siapa yang mau repot guna-guna aku?” tanya Ifan sambil tertawa kecil. Kemudian, batuknya itu kembali datang dan ia menutupinya dengan tisu yang diberikan oleh Pakdenya. Ifan berusaha terlihat baik-baik saja, meski rasa sakit di kepalanya terasa sangat menyiksa.“Kamu dikasih tahu orang tua kok malah gak percaya. Pakde ini sudah tua dan sudah banyak pengalaman. Pakde tahu mana sakit beneran dan mana yang karena ilmu hitam,” Jelas pakde Kartono lagi.“Memang iya, Kang?” Tanya Bu Asih, Ibu Ifan, dengan mimik wajah ngeri.Pakde Kartono mengangguk dengan penuh keyakinan.“Pantas saja, Kang. Kalau siang begini biasanya bat
Ifan melangkah dengan gontai memasuki kamarnya, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.Perlahan Ifan membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia terdiam sembari memandangi langit-langit kamar, tak lama ia memiringkan kepalanya ke arah kiri, menatap foto polaroid dirinya yang menempel berjejer di dinding kamarnya, foto dari Ifan SD sampai Ifan Wisuda sarjana, senyumnya mengembang, Ifan terlihat sangat bahagia pada semua foto itu.Sangat tengah sibuk memandangi foto kenangan Ifan merasa asa yang duduk di sudut ranjangnya, ujung kaki Ifan bahkan menyentuhnya, Ifan dengan cepat melihat kearah kakinya, memastikan siapa yang datang, dan betapa terkejutnya Ifan, yang duduk di dekatnya adalah sosok Mima dan di samping Mima ada sosok Wanita dengan rambut terurai menutup seluruh wajahnya.Ifan tak mampu menggerakkan tubuhnya, lidahnya kelu, ia tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.Ifan berusaha memberontak namun tetap saja ia tak mampu melakukan apa-apa, matanya tak bisa lepas dari menatap Mi
Sampailah mereka di rumah Adip dan Adit, rumah si kembar yang sudah lama dijadikan markas oleh mereka, apa lagi kini Adip dan Adit hanya tinggal berdua saja, sejak kedua orang tua mereka bekerja diluar negeri.Ifan menarik nafas dalam-dalam, ia bersiap kalau-kalau ia akan mendapat bogem mentah dari rekan-rekannya, Miko menelungkup kedua tangan ke wajahnya."Kau ngomong apa ke Yogi?" Selidik Adit."Aku gak ngomong apa-apa," Ifan menggeleng dengan keras, bagaimana mungkin semudah itu Yogi membahas tentang dirinya kepada Miko dan gengnya."Semalam Yogi menanyakan perihal Mima," Miko mencengkram erat kerah baju Ifan.Ifan memberontak dan terjatuh. "Yogi memang sempat menanyakan soal Mima, apa lagi hilangnya Mima tidak diketahui sampai sekarang, Yogi hanya penasaran Mima masih hidup atau nggak," Ifan beralasan.Miko berbalik, sepertinya cukup percaya dengan kebohongan yang dilayangkan oleh Ifan."Kenapa dia jadi penasaran soal Mima?" Adip bertanya-tanya.Semua orang terdiam, kekerasan yan
Yogi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, ia larut dalam lamunan, obrolannya bersama Ifan tadi siang benar-benar membuat ia terus terpikir akan Mima, meski tak akrab dengan Mima, sepengetahuan Yogi Mima adalah gadis cantik yang pendiam juga pemalu, Yogi beberapa kali bertemu Mima saat sedang bersama Ifan dahulu, bahkan Yogi sempat beberapa kali menggoda Ifan kalau Mima terlalu cantik, jadi tak akan cocok dengannya.Yogi langsung menepis pikiran buruknya cepat-cepat."Mana mungkin Ifan bunuh Mima, pikiran macam apa ini," Yogi menggelengkan kepala.Deg, jantung Ifan berdegup kencang. Tampak sangat nyata Mima menampakkan wujudnya di depan Yogi, walau hanya beberapa detik Yogi yakin sekali kalau sosok itu adalah Mima, sosok yang baru saja dipikirkan dan disebut namanya.Bulu kuduk Yogi meremang bagaimana tidak, ini pertama kalinya Yogi melihat penampakan selain penampakan ayahnya, yang bahkan sosok ayah tak berani muncul lagi sejak Yogi menggunakan kalung jimat dari Mbah Mija
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi. “Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya m
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan