“Sudah bangun nak, sini Ibu bantu duduk,” ucap bu Asih saat melihat putranya yang baru saja terbangun dari pingsan.
Ifan meringis, rasa sakit terasa di sekujur tubuhnya. “Bu, tubuh Ifan sakit sekali,” keluh Ifan. “Tahan dulu ya nak, sebentar lagi pasti hilang rasa sakitnya,” Bu Asih menenangkan, tanganya tengah sibuk memeras handuk basah yang digunakan untuk membasuh tubuh Ifan. “Bu, badan Ifan rasanya pegal banget, tapi sudah gak pusing lagi,” keluh Ifan lagi. “Iya, nak. Kamu sudah aman” Bu Asih, dengan cekatan membereskan semua peralatan yang berserakan di sekitar Ifan. Saat Ifan terbangun dari pingsannya, Pakde Kartono sudah tidak ada dan di ruangan, hanya tersisa Bu Asih yang kini sedang membersihkan lantai ruang tamu yang dipenuhi oleh bunga dan percikan air dimana-mana. Seusai membereskan ruang tamu wanita paruh baya itu lantas membantu Ifan untuk duduk sebelum memberi pemuda itu minum. Ifan meringis menahan perih, handuk kecil yang bu Asih gunakan untuk menyeka kulit Ifan terasa begitu menyakitkan. Bu Asih menyodorkan sebotol air mineral dan berkata “kamu lahir hari kamis wage, kamu memiliki energi spiritual yang kuat, sehingga menarik perhatian makhluk gaib, simpelnya makhluk gaib mudah tertarik padamu” “Berarti Ifan gak beneran diguna-guna dong” Ifan menimpali. “Kamu beneran diguna-guna, karena itu sekarang kamu mungkin lebih memiliki sensitivitas yang lebih kuat. Karena weton kamu tulang wangi, maka jin yang dikirim padamu merasa betah berada di dalam dirimu.” jawab Bu Asih ia berjalan ke arah Ifan dan duduk disampingnya. Wanita itu lantas memberi isyarat kepada Ifan untuk berbalik badan agar dia bisa menggosok punggungnya. Dengan menurut, Ifan lantas membalikkan punggung. Sambil menghadap ke dinding, pelan-pelan dia menggelengkan kepala karena semuanya terasa semakin aneh. “Nak, beberapa hari ini kamu jangan keluar kamar ya. Kalau perlu sesuatu, bilang saja sama ibu. Nnti ibu siapkan,” kata Bu Asih tiba-tiba. “Jin kirimannya memang sudah gak ada, kamu juga gak akan merasa sakit lagi. Namun, Pakdemu berkata bahwa masih ada Jin yang belum bisa diusir karena Pakde belum tahu jin itu berbahaya atau tidak untukmu,” lanjut Bu Asih lagi. Ifan mengangguk dengan malas, mengapa hidupnya yang tenang kini harus berurusan dengan makhluk mistis yang selama ini tak dipercayainya?. Hingga kini Ifan enggan memberitahu rekan-rekannya soal penyakit yang tengah ia derita, penyakit yang diluar logika manusia. Seharian penuh Ifan hanya bermain ponsel di atas tempat tidurnya, sesekapi ia kedapur mengambil makan dan kembali berleha-leha. Saat malam tiba Ifan hanya memperhatikan Bu Asih yang tengah sibuk menabur garam kasar di sudut-sudut kamar Ifan dengan hati-hati. Namun beberapa jam kemudian Ifan merasa sangat haus, diam-diam Ifan melangkahkan kaki keluar kamar menuju dapur, mengambil secangkir gelas dan segera meminumnya namun secara tiba-tiba kesadaran Ifan mulai menghilang. Tubuhnya seperti dikuasai oleh makhluk gaib, ia berjalan ke luar rumah menuju asrama terbengkalai yang tak begitu jauh dari rumahnya, sebuah asrama yang merupakan bekas rumah sakit. Menurut cerita yang beredar, asrama ini pernah dijadikan tempat pembantaian pada zaman Belanda. Di sana, terdapat pohon beringin tua yang sangat besar. Menurut informasi warga sekitar, ketika malam hari di tempat ini sering terdengar suara jeritan minta tolong, atau penampakan wanita muda yang berjalan mengitari asrama dengan wajah menunduk. Tak heran, banyak warga yang enggan keluar rumah saat malam hari, mereka lebih memilih berdiam diri di rumahnya masing-masing. Tepat di depan asrama terbengkalai itu, Ifan langsung tersadar, ia kebingungan mengapa dirinya bisa berada disini, ia melirik sebuah jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul satu dini hari, bulu kuduk Ifan meremang, suasana sepi dan angin terasa dingin mencekam, seperti ada sosok yang terus mengawasinya, saat Ifan hendak melangkah pergi, siluet tubuh wanita dibalik rimbun rerumputan mengurungkan niatnya, Ifan berjalan perlahan menghampiri, rasa penasaran menguasai dirinya. Meski janggal, Ifan tak berpikir bahwa wanita itu adalah makhluk gaib, dari kejauhan tak tampak jelas seperti apa wajahnya, hanya saja Ifan sangat yakin bahwasanya wanita itu adalah gadis muda yang sangat cantik. Mungkin saja gadis itu mengalami Insomnia, akhirnya memilih untuk berjalan-jalan pikir Ifan. Ifan berjalan perlahan mengikuti sosok wanita yang membuatnya penasaran itu, hingga sampailah di bawah pohon beringin yang sangat rindang, sosok itu menoleh sembari tersenyum manis kearah Ifan, perlahan wajahnya berubah mengerikan dan ia mulai tertawa dengan suaranya yang nyaring dan terdengar begitu keras, tubuhnya melayang ke atas pohon beringin. Ifan tersentak kaget, jantungnya berdegup kencang, dengan cepat ia berlari tunggang langgang. Ifan berlari sekencang-kencangnya sambil sesekali memaki diri sendiri. “Sejak awal saja sudah aneh, mengapa malah terus mengikuti,” gerutu Ifan pada dirinya sendiri. Beruntung, sepanjang perjalanan pulang Ifan tak bertemu hal mengerikan sama sekali. Sesampainya di rumah, Bu Asih dan Pakde Kartono sudah menunggu di teras rumah dengan perasaan cemas, Ifan tertunduk lesu, ia berjalan perlahan sembari mengatur deru nafasnya yang memburu. Antara lega dan khawatir bu Asih berjalan cepat menghampiri Ifan, dengan mata sembab karena menahan tangis, Bu Asih menepuk pundak Ifan dengan suara bergetar “kenapa kamu kok gak mau mendengarkan perintah ibu toh, Le?.” “Maaf, Bu,” jawab Ifan singkat. Tubuh Itu Ifan terasa sangat lemas, tak bertenaga sama sekali. “Guna-guna di dirimu memang sudah tidak ada, akan tetapi insiden ini membuat makhluk gaib makin tertarik padamu, kini hidupmu sudah berubah tak seperti dulu lagi, ada yang terus mengikuti ada yang sekedar iseng mengganggu,” nasehat Pakde Kartono. Ifan mengangguk, antara percaya dan tidak, tapi ia baru saja membuktikannya dengan kejadian aneh barusan, ia yang tanpa sadar berjalan keluar rumah dan gadis cantik yang tiba-tiba berubah menjadi kuntilanak, sangat menyeramkan. “Ifan izin masuk ke kamar, bolehkan Bu?” Pamit Ifan, ia lelah. Sesaat setelah merebahkan diri Ifan meraih ponselnya dan memandangi foto cantik Mia. Sejak Ifan terbangun sakit, Mia tak pernah mengiriminya pesan sekap pun, bahkan pesan yang dikirimkan Ifan sedari siang cuman dibaca tanpa membalas satu kalimat pun, hal itu membuat Ifan bertanya-tanya pasalnya Mia adalah gadis yang sangat cerewet dan periang, bahkan sering kali Mia mengirimkan hingga puluhan pesan teks setiap harinya. “Besok aku ke sana saja, bertanya secara langsung,” gumam Ifan. Meski sudah berusaha untuk tidur namun Ifan masih tak bisa tidur, Ifan meraih ponselnya dan mencoba menelepon Mia tapi tak diangkat, Ifan mulai berpikir apakah ini ada hubungannya dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Bukan hanya Mia, banyak dari kawan Ifan yang sama sekali tak menanyakan keberadaan Ifan selama beberapa hari ini, aneh memang. Ifan kembali mencoba memejamkan mata, namun ia masih juga tak kunjung tertidur, pikirannya terus melayang mengingat kejadian tadi. Tubuhnya yang berjalan dengan cepat membuatnya seakan-akan Ifan berpindah tempat dengan ajaib. Malam semakin larut. Keheningan malam mulai terasa, udara dingin seakan mendekap dirinya, Ifan menyadari ini bukanlah dingin malam, rasa dinginnya mirip dengan yang Ifan rasakan kemarin sore, sebelum Pakde Kartono melakukan ritual pengusiran jin. Ifan menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya, namun tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki berjalan kearah kamarnya, Ifan menurunkan selimut disaat yang bersamaan suara itu tiba-tiba menghilang, kedua tangan Ifan meremas selimut dengan kencang, jantungnya terus berdegup tak terkendali rasa takut mulai menguasai dirinya, Ifan kembali menutup wajahnya dengan selimut namun suara langkah kaki itu semakin jelas, kini terdengar tepat berada di samping Ifan, dengan tubuh bergetar Ifan mencoba mengatur nafasnya yang memburu, ia mencoba menenangkan diri. Perlahan Ifan mulai menurunkan kembali selimutnya, terlihat sosok tinggi besar berada di belakang pintu kamarnya, kepalanya sampai menyentuh langit-langit kamar, dengan pencahayaan yang minim Ifan tak dapat melihat dengan jelas sosok seperti apa itu, tapi tetap saja Ifan ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, sosok itu menatap tajam kearah Ifan, tubuh Ifan membeku untuk beberapa saat. ‘’ibu...” Setelah sekian lama akhirnya Ifan dapat bersuara dan menggerakkan tubuhnya kembali. “Ibu...” Ifan berteriak. Pakde Kartono membuka pintu kamar Ifan dengan tergesa-gesa, seketika sosok misterius itu menghilang, Ifan menangis terisak, ia tak menyangka kini hidupnya terus dihantui. “Tidak hanya satu orang, tapi ada beberapa orang yang berniat menyakitimu,” ucap Pakde Kartono, tangannya mengelus lembut pundak keponakannya itu. “Kenapa pakde? Aku salah apa?” Tanya Ifan putus asa. “Tak melulu soal kesalahan yang kau perbuat, bisa juga karena kebencian, kecemburuan dan rasa iri,” jelas pakde Kartono. Raut kecemasan terpatri jelas diwajahnya. “Maksud Pakde?” Ifan kebingungan. “Pakde akan mencari tahu siapa dalangnya, tapi selama proses pencarian kamu harus segera menghindari hal-hal yang terasa janggal, kau sedang dalam incaran makhluk halus, perlu berhati-hati dan jangan melamun,” nasehat Pakde Kartono. Ifan melirik ke arah Bu Asih yang sedari tadi berdiam diri disebalah pakde Kartono, Bu Asih mengangguk pelan tanda setuju. “Aku sudah berhati-hati, bahkan di dalam kamar yang kata pakde aman,” protes Ifan kesal. Pakde Kartono mengangguk “Pakde akan mencari tahu,” ucapnya pelan. Ifan menghela nafas frustasi “Semoga lekas membaik,” ucap Bu Asih dengan lembut, berusaha menenangkan hati Ifan. “Malam ini Pakde bermalam disini, akan Pakde pastikan tidak akan ada lagi gangguan yang akan menghampiri kamu,” jelas Pakde Kartono panjang lebar. Ifan kembali mengangguk, ini janji keamanan yang ke sekian kalinya yang diucapkan pakde Kartono, namun Ifan masih menaruh harapan ia dapat hidup tenang seperti dulu lagi. “Bu pintu kamarnya jangan ditutup ya, Pakde tidur di depan kamar aku kan? Agar aku bisa lihat Pakde dari sini, dan lampu kamar biarkan menyala saja ya, biar tenang,” pinta Ifan, Bu Asih mengangguk.Ifan tersenyum miris, merasa malu, ia pria muda yang sangat kuat kini tak lebih menyedihkan dari perempuan terlemah sekalipun.Ifan meyakinkan dirinya sendiri untuk mulai berani jika nanti melihat makhluk tak kasat mata lagi.Tak lama berselang Ifan merasa haus, ia termenung cukup lama takut kalau akan terjadi hal yang mengerikan lagi, namun semakin lama Ifan tak dapat menahan rasa hausnya, akhirnya iia memberanikan diri keluar kamar, mengambil air minum.“Pakde pasti akan segera sadar kalau Aku tak ada di kamar dan langsung mencarinya,” Ifan bergumam pelan pada dirinya sendiri, Ifan percaya ia akan baik-baik saja selagi masih ada Pakde Kartono.Ifan turun dari ranjang, berjalan perlahan, dilihatnya Pakde Kartono tertidur pulas di kursi sofa ruang keluarga, televisi di dinding masih menayangkan sinetron kesayangan bu Asih, namun bu Asih tak terlihat keberadaannya, Ifan berjalan perlahan menuju dapur, dia berhati-hati agar tak menimbulkan suara gaduh dan mengagetkan Pakde Kartono.Se
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan
Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi. “Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya m
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
Yogi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, ia larut dalam lamunan, obrolannya bersama Ifan tadi siang benar-benar membuat ia terus terpikir akan Mima, meski tak akrab dengan Mima, sepengetahuan Yogi Mima adalah gadis cantik yang pendiam juga pemalu, Yogi beberapa kali bertemu Mima saat sedang bersama Ifan dahulu, bahkan Yogi sempat beberapa kali menggoda Ifan kalau Mima terlalu cantik, jadi tak akan cocok dengannya.Yogi langsung menepis pikiran buruknya cepat-cepat."Mana mungkin Ifan bunuh Mima, pikiran macam apa ini," Yogi menggelengkan kepala.Deg, jantung Ifan berdegup kencang. Tampak sangat nyata Mima menampakkan wujudnya di depan Yogi, walau hanya beberapa detik Yogi yakin sekali kalau sosok itu adalah Mima, sosok yang baru saja dipikirkan dan disebut namanya.Bulu kuduk Yogi meremang bagaimana tidak, ini pertama kalinya Yogi melihat penampakan selain penampakan ayahnya, yang bahkan sosok ayah tak berani muncul lagi sejak Yogi menggunakan kalung jimat dari Mbah Mija
Ifan melangkah dengan gontai memasuki kamarnya, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.Perlahan Ifan membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia terdiam sembari memandangi langit-langit kamar, tak lama ia memiringkan kepalanya ke arah kiri, menatap foto polaroid dirinya yang menempel berjejer di dinding kamarnya, foto dari Ifan SD sampai Ifan Wisuda sarjana, senyumnya mengembang, Ifan terlihat sangat bahagia pada semua foto itu.Sangat tengah sibuk memandangi foto kenangan Ifan merasa asa yang duduk di sudut ranjangnya, ujung kaki Ifan bahkan menyentuhnya, Ifan dengan cepat melihat kearah kakinya, memastikan siapa yang datang, dan betapa terkejutnya Ifan, yang duduk di dekatnya adalah sosok Mima dan di samping Mima ada sosok Wanita dengan rambut terurai menutup seluruh wajahnya.Ifan tak mampu menggerakkan tubuhnya, lidahnya kelu, ia tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.Ifan berusaha memberontak namun tetap saja ia tak mampu melakukan apa-apa, matanya tak bisa lepas dari menatap Mi
Sampailah mereka di rumah Adip dan Adit, rumah si kembar yang sudah lama dijadikan markas oleh mereka, apa lagi kini Adip dan Adit hanya tinggal berdua saja, sejak kedua orang tua mereka bekerja diluar negeri.Ifan menarik nafas dalam-dalam, ia bersiap kalau-kalau ia akan mendapat bogem mentah dari rekan-rekannya, Miko menelungkup kedua tangan ke wajahnya."Kau ngomong apa ke Yogi?" Selidik Adit."Aku gak ngomong apa-apa," Ifan menggeleng dengan keras, bagaimana mungkin semudah itu Yogi membahas tentang dirinya kepada Miko dan gengnya."Semalam Yogi menanyakan perihal Mima," Miko mencengkram erat kerah baju Ifan.Ifan memberontak dan terjatuh. "Yogi memang sempat menanyakan soal Mima, apa lagi hilangnya Mima tidak diketahui sampai sekarang, Yogi hanya penasaran Mima masih hidup atau nggak," Ifan beralasan.Miko berbalik, sepertinya cukup percaya dengan kebohongan yang dilayangkan oleh Ifan."Kenapa dia jadi penasaran soal Mima?" Adip bertanya-tanya.Semua orang terdiam, kekerasan yan
Yogi merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, ia larut dalam lamunan, obrolannya bersama Ifan tadi siang benar-benar membuat ia terus terpikir akan Mima, meski tak akrab dengan Mima, sepengetahuan Yogi Mima adalah gadis cantik yang pendiam juga pemalu, Yogi beberapa kali bertemu Mima saat sedang bersama Ifan dahulu, bahkan Yogi sempat beberapa kali menggoda Ifan kalau Mima terlalu cantik, jadi tak akan cocok dengannya.Yogi langsung menepis pikiran buruknya cepat-cepat."Mana mungkin Ifan bunuh Mima, pikiran macam apa ini," Yogi menggelengkan kepala.Deg, jantung Ifan berdegup kencang. Tampak sangat nyata Mima menampakkan wujudnya di depan Yogi, walau hanya beberapa detik Yogi yakin sekali kalau sosok itu adalah Mima, sosok yang baru saja dipikirkan dan disebut namanya.Bulu kuduk Yogi meremang bagaimana tidak, ini pertama kalinya Yogi melihat penampakan selain penampakan ayahnya, yang bahkan sosok ayah tak berani muncul lagi sejak Yogi menggunakan kalung jimat dari Mbah Mija
"kamu habis dari mana? Kenapa banyak aura gelap mengikuti kamu?" Tandas Pakde Kartono pada Ifan yang baru saja memarkirkan motornya dihalaman rumah Pakde Kartono.Ifan berdiri mematung, berusaha mencari alasan yang jelas."Aura gelap apa kang?" Bu Asih panik."Ifan seperti orang yang habis berguru pada dukun" jawab Pakde Kartono blak-blakan.Bu Asih membelalakkan matanya tak percaya."Yang bener Fan, kamu pamit ke rumah teman itu maksudmu ke dukun?" Tanya Bu Asih.Ifan menggelengkan kepalanya dengan cepat, peluh mulai membasahi keningnya, panik."Fan, Ilmu apa yang sedang kamu pelajari?" Pakde kartono mendekat."Gak belajar ilmu apa-apa kok Pakde" Ifan menepis dengan cepat.Pakde Kartono tersenyum "bener, kamu habis dari dukun." Ifan gelagapan, ia tak dapat membantah lagi, tanpa sadar tadi ia telah mengakui kalau ia baru saja mendatangi dukun."Walah Fan, kamu ngapain ke dukun segala, itu pasti dukun jahat," tegur Bu Asih dengan raut wajah kesal dan sedih, sementara tangan kanannya m
"kenapa hendak pergi begitu saja, kau bahkan tidak bertanya tumbal apa yang harus kau siapkan," Mbah Mijan menegur dengan keras."Aku perlu memberikan tumbal juga?" Tanya Ifan panik."Loh, iya." Tegas Mbah Mijan."Mbah aku pikir dua kepala ayam semalam merupakan tumbal" Ifan mengernyitkan dahinya."Iya memang, namun kau harus menyiapkan tumbal untuk pengukuhan dan keselamatan dirimu sendiri," terang Mbah Mijan."Apa Mbah tumbalnya?" Tanya Ifan dengan cemas."Setiap lima tahun sekali, tumbalnya orang orang yang kau kasihi" tukas Mbah Mijan.Ifan membelalakkan matanya, panik "Mbah bercandakan?" Tanyanya.Mbah Mijan menggelengkan kepala "tidak le, Mbah berkata jujur, kau mendapatkan jimat terbaik, bukan hanya menguasai mahluk halus, tapi jimat itu mendatangkan rezeki, dan keberkahan dalam hidupmu, kau akan selalu beruntung dalam segala hal" tukas Mbah Mijan dengan yakin."Mbah, kenapa tidak mengatakan hal ini sejak awal?" Protes Ifan kesal.Mbah Mijan menduduki kursi kayu dengan perlahan
Tujuh hari berlalu, permen pemberian Mbah Mijan pun telah ludes, Ifan berhasil memakannya setiap menjelang tidur, bukan hanya itu Ifan pun berhasil meninggalkan seluruh kegiatan keagamaan, antara merasa senang atau sedih Ifan benar-benar berada di tengah-tengah."Padahal setelah kejadian sepuluh tahun lalu, aku pikir tobat ku akan menjadi tobat yang sebenar-benarnya," celoteh Ifan pada dirinya sendiri sambil menatap tumpukan baju koko miliknya."Sekitar delapan tahun aku rajin membeli baju koko, sajadah dan sarung, harus ku kemanakan semua ini?" Tanya Ifan pada baju-baju yang terlipat dengan rapi itu.Langkahnya terasa berat namun kembali lagi Ifan meyakinkan dirinya menemui mbah Mijan bukanlah pilihan yang buruk."Yuk ifan semangat, kamu harus kembali menjalani kehidupan normal," seru Ifan pada dirinya sendiri "nanti setelah semuanya kembali normal kamu bisa kembali menjadi anak baik," ucapnya lagi."Bu Ifan pamit ya, mau ke rumah teman," ifan berjalan menghampiri Bu Asih.Bu asih me
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampailah mereka ke rumah mbah Mijan.Ifan segera memarkirkan motornya di samping rumah Mbah Mijan, kemudian keduanya bergegas menemui Mbah Mijan yang tengah bersantai di teras rumahnya."Mbah!" sapa Yogi, sembari menyalami Mbah Mijan."Siapa yang kamu bawa itu?" Mbah Mijan melirik kecil ke arah Ifan."Namanya Ifan, Mbah. Teman Yogi," Yogi memperkenalkan Ifan.Ifan mendekat, menyalami Mbah Mijan dengan sopan.Rumah Mbah Mijan terletak di sudut desa, rumah kayu yang sangat kecil dan sudah reyot."Apa tujuanmu kesini?" Tanya Mbah Mijan."Saya ingin meminta jimat pelindung, Mbah. Saya ingin menghentikan teror yang menimpa saya," Jelas Ifan."Mbah Mijan tersenyum kecil, diraihnya bungkusan kecil dari sakunya dan menyerahkan kepada Ifan, Ifan yang kebingungan langsung mengambilnya dan melirik ke arah Yogi, namun Yogi tampak acuh.Mbah Mijan menyerahkan kain kecil yang diikat oleh seutas pelepah daun pisang yang sudah kering."Didalamnya ada p
Ifan kembali ke rumah, mengambil ponsel dan beberapa lembar pakaian, memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya dan bergegas pergi. “Bu, Ifan beberapa hari ke depan menginap di rumah Yogi, ya,” pamit Ifan. “Jangan nak, kamu belum pulih total, kata Pakde Kartono, kamu masih harus terus berada di dalam rumah agar makhluk pengganggu itu bisa benar-benar pergi,” jawab Bu Asih. Ifan menggelengkan kepalanya pelan. “Ibu tenang saja, Ifan akan baik-baik saja,” jawab Ifan santai. Ifan sudah bertekad kuat untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman makhluk gaib yang sering mengganggu. Apa lagi Mima mulai menebarkan terornya. “Baik-baik saja gimana? Ini pertama kali kamu berurusan dengan demit” Bu Asih tak dapat menutupi raut wajah kekhawatirannya. “Bu, percaya sama Ifan ya, Ifan baik-baik saja, Ifan rasa Ifan sudah menemukan jawabannya,” Ifan mencoba menenangkan Bu Asih dengan memberi sedikit pelukan. Bu Asih mengangguk, meski khawatir namun Ifan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya m
Ifan segera menghentikan laju kendaraannya tak jauh dari area asrama, Ifan menatap tajam ke arah sana, namun semuanya terlihat normal tak terlihat mengerikan sama sekali, asrama itu kini tampak asri tak menakutkan sama sekali bahkan terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang berada di sana, aneh. Beberapa hari lalu saat tubuhnya tiba-tiba berada di asrama ini keadaannya terlihat jauh berbeda, seperti sebuah bangunan asrama zaman dahulu, serta dipenuhi rumput lalang yang menjulang tinggi.Namun, sosok gadis yang sama itu kini tengah berdiri di dekat pintu masuk, kali ini wajahnya terlihat cukup jelas. Terlihat begitu cantik, namun cukup membuat Ifan merinding, sosok itu terus menatap Ifan dengan tajam.Ifan termenung, wanita itu tersenyum kemudian menghilang, bahkan disiang hari ia berani menampakkan diri.Satu pesan masuk ke ponsel Ifan, Ifan segera mengambilnya.'nak, kamu dimana? Cepat pulang, kamu lupa pesan pakdemu?’ Ifan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana dan