"Do-Dodi..."
Dodi diam saja. Menatap Nadia dengan raut yang berubah datar."Lo kemana aja, lo jahat! Lo bahkan ninggalin gue gak ada kabar. Hiks, gue kanhen elo Di," isak Nadia, memukuli Dodi.Dodi tak membalasnya. Memang benar dia menghindari Nadia. Karena buat apa? Dia rasa dia juga tak lagi membutuhkan gadis itu. Niat balas dendamnya pada Devan bukan lagi lewat Nadia. Sory, dia dulu hanya memanfaatkan gadis itu."Gue kangen elo, asal lo tahu, Di. Gue kangen banget sama elo," ungkap Nadia dan langsung memeluk Dodi.Dodi melepas pelukan Nadia. Menatapnya dengan wajah datar."Lepas," ujarnya dingin.Nadia kaget, menatap Dodi tak percaya."Gue gak butuh elo. Lebih baik lo pergi."Dodi membuang wajah. Dan melangkah meninggalkan Nadia yang masih mencerna ucapan Dodi barusan."Ma-maksud lo? Di, tunggu!"Nadia mengejar Dodi. Pria itu menoleh malas."Apalagi? Kurang jelas?""Maksud lo apa? Kita.. kita gak..."Taki mendongak, kaget. Namun dia buru-buru menetralkan kekagetannya dengan tersenyum."Eh, elo, Ra. Sama siapa?"Sebenarnya Taki sudah menduga. Apalagi dilihatnya ada anak perempuan kecil yang dipastikan itu putri Devan.Mendengar nama Kiara disebut, Nadia sontak menjauhkan diri dari Taki."Lo, elo Nad. Bener berarti dugaan gue. Eh, tapi kok elo kayak abis nangis?"Nadia salah tingkah, menutupi sembab diwajahnya."Atau jangan-jangan Taki udah nembak elo, terus elo nangis bahagia? Wah, selamat ya ..."Plak!Taki menepuk dahinya. Bisa-bisanya dugaan konyol macam itu keluar dari mulut Kiara."Em, sayang. Kenalan dulu dong. Ini namanya Om Taki. Dan yang itu, tante Nadia. Semuanya teman mama," ujar Kiara pada Rara."Hai om. Aku Rara."Taki tersenyum, mengusap pelan kepala Rara."Kok tante nangis? Om nakalin tante ya?" tanyanya polos."Gak sayang, tante tadi cuma kelilipan kok. Tapi kebablasan nangis deh, hehe."Alasan yang konyol. Tapi anak kecil tak berhak tahu kan. Kiara hanya tertawa me
Devan tak bisa tidur. Pikirannya seolah bertumpuk membebani dirinya. Dia akhirnya melangkah ke kamar Rara.Cklek!Pintu terbuka. Devab tersentak sejenak. Namun kembali menguasai diri."Disini saja. Tak apa," ujarnya pada Nina yang mau beranjak dari berbaringnya. Dia lalu beringsut dan pindah ke kursi.Devan berjalan menghampiri Rara, membelai lembut pucuk rambut putrinya. Lalu menciumi dahinya pelan.Rasanya nyaman, setiap kali memandangi wajah putrinya, entah kenapa seolah bebannya terangkat begitu saja, meski tak sepenuhnya tapi berhasil mengurangi rasa lelah dan sesaknya."Apa benar dia putriku? Tapi ikatan itu terasa sangat kuat. Dan jika benar dia benih dariku, lalu siapa ibunya? Aku rasa, bahkan aku belum pernah melakukan hal memalukan itu. Baru Kiara wanita yang pertama kali aku sentuh. Tapi... kenapa surat itu mengatakan dia anakku? Huft, sayang ... siapa sebenarnya ibumu," lirih Devan dalam hati. Tangannya tak henti men
Kiara masih marah. Terbukti dengan caranya mendiamkan Devan. Devan juga tak ingin membahasnya apalagi terkait Taki. Tapi untuk Arin, sepertinya dia harus menjelaskan lebih dulu.Papa muda itu memandangi sangat istri dari jendela ruangannya yang terbuka. Wajah seriusnya makin tertekuk, mungkin karena efek dia sedang kesal. Devan tak tahan terus-terusan didiamkan oleh istrinya."Haish!"Devan mendesah kasar, dia bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangannya. Menghampiri Kiara yang sedang sibuk mengetik apa, entah."Ikut aku," ujar Devan menarik tangan Kiara."Ish! Gak lihat apa, aku sedang sibuk," tolak Kiara tegas. Menghempas tangan Devan kasar. Juga, menatapnya kesal.Nadia yang tahu permasalahannya, hanya bisa menarik napas panjang. Sedang Ayu dan Satrio, juga karyawan yang lain, melongo melihat adegan tersebut. Tak biasanya Kiara menolak kasar ajakan Devan. Apalagi ini di kantor loh."Aku bossnya di sini. Dan ini perintah.""Ooh, tuan presdi
"Kalian ke ruangan itu dulu. Aku masih harus bekerja," ujar Catherine. Dia tahu, bakal ada perang dunia ketiga kali ini. Terasa hawa panas menyengat. Dan Catherine tak mau membuat salonnya menjadi lokasi kegemparan."Rin, kau antar mereka berdua," pungkasnya tegas. Arin mengangguk. Lalu melangkah menuju ruang yang di tunjuk Cathie. Ya, itu ruang kedap suara. Karena Cathie sudah menduga, pasti akan ada perang dunia. Dia tak mau ada pelanggannya yang mendengar keributan."Duduklah," ucap Arin sembari tersenyum tipis. Devan dan Kiara duduk berdampingan, meski terlihat sekali Kiara ingin menjaga jarak. Bukan Devan namanya kalau membiarkan Kiara menjauh. Dia bahkan langsung menarik pinggang Kiara, membuat tubuh mereka saling berhimpitan sekarang."Rin, sekarang tolong jelaskan hubungan kita. Dia salah paham," tukas Devan. Kiara mendengkus pelan. Membuang wajahnya ke arah lain.Percuma. Palingan juga mereka sudah berkompromi dari kemarin kan, bisa saja.
Sekitar setengah jam kemudian, Catherine selesai dengan urusannya. Dia berniat untuk bergabung. Namun malah mendapati Arin yang termenung di sofa depan ruangannya."Loh, kok di luar? Devan sama Kiara?""Mereka di dalam," jawab Arin dengan tatapan kosongnya."Maksudnya?"Arin tak menjawab.Catherine tak sabar. Membuka knop pintu. Wajahnya berubah kaget dengan apa yang dilihatnya."Sialan Devan. Dia kira ini kantornya. Seenaknya berbuat di ruangan gue," omel Cathie. Meski bagaimanapun wajahnya memerah melihat hal yang seharusnya tak dilihatnya.Dia kembali menghampiri Arin. Menarik gadis itu dalam pelukannya."Sudahlah. Ikhlaskan Devan. Dia sudah bahagia dengan wanita pilihannya.""Tapi rasanya berat, Cath. Gue kudu gimana? Hiks ...."Cathie mengelus surai panjang Arin. Dia tahu bagaimana perasaan Arin. Karena selama ini dialah tempat curhat Arin. Cinta yang teramat dalam terbalas dengan penolakan yang lebih dari sekedar
Lima belas menit perjalanan, Devan sebenarnya bingung. Dia tidak tahu tempat tinggal Taki sekarang. Jadi dia hanya melajukan mobilnya tak tentu arah. "Kok ... arahnya sini sih, Van?" Kiara mengernyitkan dahinya. Devan meringis, menoleh pada Kiara."Aku gak tahu apartemennya," ringisnya."Aih. Aku kira kamu tahu. Gimana sih," ujarnya kesal. Dia kira Devan tahu. Ternyata hanya pura-pura tahu."Ya kan kita lost kontak udah cukup lama Kiara ....""Ya udah. Gue hubungi dia dulu."Devan mengangguk. Sedangkan Kiara mengetik sebuah nama dan menekan tombol panggil. Terdengar dering tanda tersambung."Iya, Ra.""Hai Ki. Lo dimana sekarang?""Gue di butik. Kenapa? Apa ada hal penting?""Em ... gak. Lo sibuk gak?""Gak sih. Cuma mantau aja tadi. Mau ketemu?""Iya. Kalau lo gak sibuk sih.""Oke. Gimana kalau di restoran atas aja ya. Gue tunggu disana.""Oke."Call ended.Devam menoleh. Meski menguping, dia tak terla
"Ra, gue minta maaf."Kedua alis Kiara bertaut. Saat ini dia sedang bersama Nadia. Selepas dari pertemuan Devan dan Taki, dia ngeloyor pergi. Membiarkan Devan dan Taki mengurus masalahnya sendiri. Sementara dia menghubungi Nadia untuk menemuinya."Gara-gara gue kalian marahan," ucap Nadia lagi. Wajahnya kelihatan sekali dia tak enak hati atas kekacauan yang terjadi kemarin."Haha. Santai kali, Nad. Kirain apa, weh.""Tapi kan, gue jadi gak enak sama kalian. Pasti pak Devan marah banget ya?"Kiara hanya mengangkat alisnya. Menyeruput minumannya. Mereka sekarang di cafe omong-omong."Biarin aja. Lagian dia juga aneh. Marah-marah gak jelas. Taki juga kan cuma temen gue.""Apa mungkin mereka punya masalalu buruk ya? Tapi Taki bilang sama gue, kalau dia temennya pak Devan loh. Masak iya, setelah ketemu kok malah kayak musuhan," jelas Nadia."Iya. Kayaknya gitu. Ah, biarin saja. Itu urusan mereka. Biarkan di selesaikan sendiri. Udah dewa
"Heh, ini tidak seberapa dibanding sama kerusakan yang elo buat."Tak ada bentakan, namun sangat dingin dan menghujam. Devan berlalu meninggalkan Taki yang terpekur. Ia rasa, Devan makin membencinya.Taki bersandar ke kursi. Memijit pelipisnya dengan baju yang basah bagian atasnya.Tak lama, Devan datang bersama dengan Nadia. Tawanya bahkan terdengar di telinga Taki. Tapi untuk beranjak, rasanya dia tak ada semangat lagi."Ya Ampun Taki! Lo kenapa? Kok basah gini?"Kiara panik melihat keadaan Taki. Lupa kalau ada Nadia. "Gue gak papa, Ra," jawabnya."Pasti ulah Devan 'kan? Aish! Nyebelin banget sih dia," gerutunya."Gue gak papa, beneran?""Gak papa gimana? Basah gini. Devan keterlaluan banget sih!"Kiara memberi isyarat pada Nadia, meminta tisu. Lalu dia menyeka bagian Taki yang basah."Ra, gue minta jangan marah sama dia ...""Eh, gak bisa. Dia keterlaluan Ki. Enak saja gak boleh dimarahin. Ck
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu