Sementara di kantor, Devan duduk santai. Duduk bersilang dan melirik ponselnya dengan terkekeh pelan. Arin memandangnya heran tentu saja. Padahal baru saja akan terjadi perang dunia loh. Tapi lihatlah betapa santainya pria di hadapannya ini. Tak pernah berubah dari dulu. Membuat perasaannya bukannya menghilang malah makin bertambah.
Arin nekat datang lagi meski telah mendengar penjelasan dari Cathrine. Dia belum percaya sebelum benar-benar mendengarnya dari Devan langsung."Lo gak ada niatan buat ngejar istri lo apa?"Devan mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Tersenyum simpul."Gak. Buat apa?""Dia marah.""Lalu?"Arin mendengkus pelan. Inilah Devan yang dikenalnya."Kapan datang?""Kemarin.""Sekarang tinggal dimana? Pulang ke rumah?""Gak. Gue ke apart nya Cathie."Devan manggut-manggut."Mau minum apa?" tawarnya masih dengan wajah santainya."Terserah.""Oke."Devan menghubungi OB untukBerhubung masih pukul sepuluh lewat sepuluh menit jadi Rara belum pulang. Jadi Nina masih di rumah. Dia bantu-bantu beres-beres rumah. Kiara datang tak lama kemudian. Matanya langsung tertuju pada Nina yang sedang mengepel lantai."Ayah sama ibu dimana?" tanya Kiara pada Nina. Sebisa mungkin dia tetap menyunggingkan senyumnya. Baby Sitter Rara itu mendongak. Menghentikan kegiatannya sebentar."Di kamar atas yang sebelah kiri mbak," tunjuknya.Kiara bergegas menaiki tangga. Kebahagiaan kembali menyelimuti. Akhirnya sekian lama, dia kembali bertemu orang tuanya. Bahagia itu sejenak melupakan rasa sakitnya pada Devan.Kiara membuka pintu kamar dan bersorak."Ayah, ibu."Dua orang tua yang sedang beristirahat itu sontak menoleh ke arah pintu. Menyambut hangat putri mereka satu-satunya.Kiara langsung menghambur ke pelukan ibunya."Kiara kangen bu," ujarnya di sela pelukan. Ia rekatkan pelukannya pada wanita yang sudah merawat
Kiara sedari tadi memandang malas pada Devan. Huh, memang dasar gak peka. Masih juga gak sadar dengan kelakuannya tadi di kantor. Masih dengan kemeja kantornya, dengan jas tersampir di sofa dan dasi yang masih terikat rapi, Devan mengobrol dengan ke dua orang tuanya.Sesekali pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu senyam senyum melirik dirinya kala sang ibu menanyakan kehamilan Kiara."Bagaimana, Nduk, apa sudah ngisi?""Ma-maksud ibu?""Oalah nduk, jangan pura-pura gak faham to. Maksudnya udah hamil belum?"Bukannya lekas menjawab Kiara malah menunduk, wajahnya memerah. "Jangan nanyain itu lah, Bu, malu.""Lo kenapa malu. Kalian kan sudah menikah. Sudah seharusnya punya anak. Apalagi ibu lihat Rara juga sudah besar. Pasti dia juga suka kalau punya adik lagi."Kiara tak menjawab. Benar kata ibunya. Tapi kalau memang belum di anugerahi dia harus bagaimana."Jadi belum ya?"Kiara menggeleng."Mu
"Bukan. Bukan apa-apa. Kau hanya salah dengar."Kiara melepas tangan Devan dan beranjak ke kamar mandi."Aku siapkan air panas. Mandilah. Tubuhmu bau."Devan terpana, benar-benar ya omongan wanita yang sedang cemburu itu.-------Selesai mandi, Devan tak mendapati istrinya di kamarnya. Devan kemudian memakai baju yang sudah di sediakan Kiara tadi. Menyisir rambutnya kemudian menuju kamar di samping, tepatnya kamar Kiara.Namun pintunya ternyata di kunci. Hmm, padahal dia lapar sekali. Terpaksa akhirnya Devan ke ruang makan sendirian.Terbiasa di layani, membuat Devan kebingungan. Dia tidak tahu dimana bi Munah menyimpan nasi dan lauk pauknya. Sedangkan perutnya sudah berbunyi dari tadi.Disaat dia kebingungan itulah, Devan melihat Nina yang menuruni tangga. "Nin!" Panggilnya.Nina menoleh."Kesini!""Ada apa?" tanya Nina setelah sampai di dekat Devan. Meski Devan sudah berkali-kali mengatakan untuk bersik
"Hari ini Rara mau ikut mama gak?" tawar Kiara sembari menguncir rambut panjang Rara."Kemana, Ma?""Nganterin kakek sama nenek ke stasiun.""Berarti lihat kereta api dong, Ma?"Kiara mengangguk."Wah, Rara mau, Ma. Rara kan gak pernah lihat kereta api," sambut Rara dengan mata berbinar. Kiara tersenyum. Selesai menguncir rambut Rara. Lalu dia mengambilkan jepit kecil dan memasangkan di rambut bagian depan."Emang kakek sama nenek mau kemana ma?""Kakek sama nenek mau ke tempat jauh. Nah. Udah selesai. Udah cantik sekarang."Rara tersenyum. Tapi tak urung masih penasaran."Kenapa kakek sama nenek gak naik pesawat aja ma? Papa juga kalau pergi jauh naik pesawat tuh."Kiara mengusap lembut rambut Rara, gemas."Coba tanya sendiri sama kakek dan nenek," ujarnya. Raut Rara berubah. Dia memanyunkan bibir mungilnya. Lalu menggeleng lemah."Kenapa? Itu kan juga kakek dan nenek Rara, sama seperti kakek Di sama nenek Na."Rara teta
"Tanggal merah bukan? Bagaimana kalau kita jalan?"Nadia sontak membuka matanya. Membuang selimutnya sembarang. Dalam hitungan ke tiga, dia berteriak dan berjingkrak kesenangan. "Taki ngajak gue jalan! Yeaay!" ujarnya sembari melompat-lompat di kasur tak berdosanya.Saking senangnya dia sampai lupa untuk membalas pesan dari Taki. Dan malah bergegas ke kamar mandi.Dua puluh menit kemudian, dia selesai mandi. Nadia keluar dengan memakai bathrobe nya dan rambut basah di gelung handuk kecil. Dia kemudian mencari baju yang cocok di pakainya sembari bersenandung kecil. Entah berapa kali dia mematut baju yang tetap saja dirasa tak pas. Hingga lemarinya kosong pun dia tak kunjung merasa pas."Haih! Kenapa baju gue jelek semua sih," gerutunya. Dia pandang nanar bajunya yang menumpuk diatas ranjangnya."Gimana nih, keburu Taki njemput lagi. Gak ada waktu buat beli dulu," ucapnya. Namun beberapa detik kemudian dia tersadar."Omegat! Gue kan be
"Do-Dodi..."Dodi diam saja. Menatap Nadia dengan raut yang berubah datar."Lo kemana aja, lo jahat! Lo bahkan ninggalin gue gak ada kabar. Hiks, gue kanhen elo Di," isak Nadia, memukuli Dodi.Dodi tak membalasnya. Memang benar dia menghindari Nadia. Karena buat apa? Dia rasa dia juga tak lagi membutuhkan gadis itu. Niat balas dendamnya pada Devan bukan lagi lewat Nadia. Sory, dia dulu hanya memanfaatkan gadis itu."Gue kangen elo, asal lo tahu, Di. Gue kangen banget sama elo," ungkap Nadia dan langsung memeluk Dodi.Dodi melepas pelukan Nadia. Menatapnya dengan wajah datar."Lepas," ujarnya dingin.Nadia kaget, menatap Dodi tak percaya."Gue gak butuh elo. Lebih baik lo pergi." Dodi membuang wajah. Dan melangkah meninggalkan Nadia yang masih mencerna ucapan Dodi barusan."Ma-maksud lo? Di, tunggu!"Nadia mengejar Dodi. Pria itu menoleh malas."Apalagi? Kurang jelas?""Maksud lo apa? Kita.. kita gak..."
Taki mendongak, kaget. Namun dia buru-buru menetralkan kekagetannya dengan tersenyum."Eh, elo, Ra. Sama siapa?"Sebenarnya Taki sudah menduga. Apalagi dilihatnya ada anak perempuan kecil yang dipastikan itu putri Devan.Mendengar nama Kiara disebut, Nadia sontak menjauhkan diri dari Taki."Lo, elo Nad. Bener berarti dugaan gue. Eh, tapi kok elo kayak abis nangis?"Nadia salah tingkah, menutupi sembab diwajahnya."Atau jangan-jangan Taki udah nembak elo, terus elo nangis bahagia? Wah, selamat ya ..."Plak!Taki menepuk dahinya. Bisa-bisanya dugaan konyol macam itu keluar dari mulut Kiara."Em, sayang. Kenalan dulu dong. Ini namanya Om Taki. Dan yang itu, tante Nadia. Semuanya teman mama," ujar Kiara pada Rara."Hai om. Aku Rara."Taki tersenyum, mengusap pelan kepala Rara."Kok tante nangis? Om nakalin tante ya?" tanyanya polos."Gak sayang, tante tadi cuma kelilipan kok. Tapi kebablasan nangis deh, hehe."Alasan yang konyol. Tapi anak kecil tak berhak tahu kan. Kiara hanya tertawa me
Devan tak bisa tidur. Pikirannya seolah bertumpuk membebani dirinya. Dia akhirnya melangkah ke kamar Rara.Cklek!Pintu terbuka. Devab tersentak sejenak. Namun kembali menguasai diri."Disini saja. Tak apa," ujarnya pada Nina yang mau beranjak dari berbaringnya. Dia lalu beringsut dan pindah ke kursi.Devan berjalan menghampiri Rara, membelai lembut pucuk rambut putrinya. Lalu menciumi dahinya pelan.Rasanya nyaman, setiap kali memandangi wajah putrinya, entah kenapa seolah bebannya terangkat begitu saja, meski tak sepenuhnya tapi berhasil mengurangi rasa lelah dan sesaknya."Apa benar dia putriku? Tapi ikatan itu terasa sangat kuat. Dan jika benar dia benih dariku, lalu siapa ibunya? Aku rasa, bahkan aku belum pernah melakukan hal memalukan itu. Baru Kiara wanita yang pertama kali aku sentuh. Tapi... kenapa surat itu mengatakan dia anakku? Huft, sayang ... siapa sebenarnya ibumu," lirih Devan dalam hati. Tangannya tak henti men