"Hari ini Rara mau ikut mama gak?" tawar Kiara sembari menguncir rambut panjang Rara.
"Kemana, Ma?""Nganterin kakek sama nenek ke stasiun.""Berarti lihat kereta api dong, Ma?"Kiara mengangguk."Wah, Rara mau, Ma. Rara kan gak pernah lihat kereta api," sambut Rara dengan mata berbinar. Kiara tersenyum. Selesai menguncir rambut Rara. Lalu dia mengambilkan jepit kecil dan memasangkan di rambut bagian depan."Emang kakek sama nenek mau kemana ma?""Kakek sama nenek mau ke tempat jauh. Nah. Udah selesai. Udah cantik sekarang."Rara tersenyum. Tapi tak urung masih penasaran."Kenapa kakek sama nenek gak naik pesawat aja ma? Papa juga kalau pergi jauh naik pesawat tuh."Kiara mengusap lembut rambut Rara, gemas."Coba tanya sendiri sama kakek dan nenek," ujarnya.Raut Rara berubah. Dia memanyunkan bibir mungilnya. Lalu menggeleng lemah."Kenapa? Itu kan juga kakek dan nenek Rara, sama seperti kakek Di sama nenek Na."Rara teta"Tanggal merah bukan? Bagaimana kalau kita jalan?"Nadia sontak membuka matanya. Membuang selimutnya sembarang. Dalam hitungan ke tiga, dia berteriak dan berjingkrak kesenangan. "Taki ngajak gue jalan! Yeaay!" ujarnya sembari melompat-lompat di kasur tak berdosanya.Saking senangnya dia sampai lupa untuk membalas pesan dari Taki. Dan malah bergegas ke kamar mandi.Dua puluh menit kemudian, dia selesai mandi. Nadia keluar dengan memakai bathrobe nya dan rambut basah di gelung handuk kecil. Dia kemudian mencari baju yang cocok di pakainya sembari bersenandung kecil. Entah berapa kali dia mematut baju yang tetap saja dirasa tak pas. Hingga lemarinya kosong pun dia tak kunjung merasa pas."Haih! Kenapa baju gue jelek semua sih," gerutunya. Dia pandang nanar bajunya yang menumpuk diatas ranjangnya."Gimana nih, keburu Taki njemput lagi. Gak ada waktu buat beli dulu," ucapnya. Namun beberapa detik kemudian dia tersadar."Omegat! Gue kan be
"Do-Dodi..."Dodi diam saja. Menatap Nadia dengan raut yang berubah datar."Lo kemana aja, lo jahat! Lo bahkan ninggalin gue gak ada kabar. Hiks, gue kanhen elo Di," isak Nadia, memukuli Dodi.Dodi tak membalasnya. Memang benar dia menghindari Nadia. Karena buat apa? Dia rasa dia juga tak lagi membutuhkan gadis itu. Niat balas dendamnya pada Devan bukan lagi lewat Nadia. Sory, dia dulu hanya memanfaatkan gadis itu."Gue kangen elo, asal lo tahu, Di. Gue kangen banget sama elo," ungkap Nadia dan langsung memeluk Dodi.Dodi melepas pelukan Nadia. Menatapnya dengan wajah datar."Lepas," ujarnya dingin.Nadia kaget, menatap Dodi tak percaya."Gue gak butuh elo. Lebih baik lo pergi." Dodi membuang wajah. Dan melangkah meninggalkan Nadia yang masih mencerna ucapan Dodi barusan."Ma-maksud lo? Di, tunggu!"Nadia mengejar Dodi. Pria itu menoleh malas."Apalagi? Kurang jelas?""Maksud lo apa? Kita.. kita gak..."
Taki mendongak, kaget. Namun dia buru-buru menetralkan kekagetannya dengan tersenyum."Eh, elo, Ra. Sama siapa?"Sebenarnya Taki sudah menduga. Apalagi dilihatnya ada anak perempuan kecil yang dipastikan itu putri Devan.Mendengar nama Kiara disebut, Nadia sontak menjauhkan diri dari Taki."Lo, elo Nad. Bener berarti dugaan gue. Eh, tapi kok elo kayak abis nangis?"Nadia salah tingkah, menutupi sembab diwajahnya."Atau jangan-jangan Taki udah nembak elo, terus elo nangis bahagia? Wah, selamat ya ..."Plak!Taki menepuk dahinya. Bisa-bisanya dugaan konyol macam itu keluar dari mulut Kiara."Em, sayang. Kenalan dulu dong. Ini namanya Om Taki. Dan yang itu, tante Nadia. Semuanya teman mama," ujar Kiara pada Rara."Hai om. Aku Rara."Taki tersenyum, mengusap pelan kepala Rara."Kok tante nangis? Om nakalin tante ya?" tanyanya polos."Gak sayang, tante tadi cuma kelilipan kok. Tapi kebablasan nangis deh, hehe."Alasan yang konyol. Tapi anak kecil tak berhak tahu kan. Kiara hanya tertawa me
Devan tak bisa tidur. Pikirannya seolah bertumpuk membebani dirinya. Dia akhirnya melangkah ke kamar Rara.Cklek!Pintu terbuka. Devab tersentak sejenak. Namun kembali menguasai diri."Disini saja. Tak apa," ujarnya pada Nina yang mau beranjak dari berbaringnya. Dia lalu beringsut dan pindah ke kursi.Devan berjalan menghampiri Rara, membelai lembut pucuk rambut putrinya. Lalu menciumi dahinya pelan.Rasanya nyaman, setiap kali memandangi wajah putrinya, entah kenapa seolah bebannya terangkat begitu saja, meski tak sepenuhnya tapi berhasil mengurangi rasa lelah dan sesaknya."Apa benar dia putriku? Tapi ikatan itu terasa sangat kuat. Dan jika benar dia benih dariku, lalu siapa ibunya? Aku rasa, bahkan aku belum pernah melakukan hal memalukan itu. Baru Kiara wanita yang pertama kali aku sentuh. Tapi... kenapa surat itu mengatakan dia anakku? Huft, sayang ... siapa sebenarnya ibumu," lirih Devan dalam hati. Tangannya tak henti men
Kiara masih marah. Terbukti dengan caranya mendiamkan Devan. Devan juga tak ingin membahasnya apalagi terkait Taki. Tapi untuk Arin, sepertinya dia harus menjelaskan lebih dulu.Papa muda itu memandangi sangat istri dari jendela ruangannya yang terbuka. Wajah seriusnya makin tertekuk, mungkin karena efek dia sedang kesal. Devan tak tahan terus-terusan didiamkan oleh istrinya."Haish!"Devan mendesah kasar, dia bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangannya. Menghampiri Kiara yang sedang sibuk mengetik apa, entah."Ikut aku," ujar Devan menarik tangan Kiara."Ish! Gak lihat apa, aku sedang sibuk," tolak Kiara tegas. Menghempas tangan Devan kasar. Juga, menatapnya kesal.Nadia yang tahu permasalahannya, hanya bisa menarik napas panjang. Sedang Ayu dan Satrio, juga karyawan yang lain, melongo melihat adegan tersebut. Tak biasanya Kiara menolak kasar ajakan Devan. Apalagi ini di kantor loh."Aku bossnya di sini. Dan ini perintah.""Ooh, tuan presdi
"Kalian ke ruangan itu dulu. Aku masih harus bekerja," ujar Catherine. Dia tahu, bakal ada perang dunia ketiga kali ini. Terasa hawa panas menyengat. Dan Catherine tak mau membuat salonnya menjadi lokasi kegemparan."Rin, kau antar mereka berdua," pungkasnya tegas. Arin mengangguk. Lalu melangkah menuju ruang yang di tunjuk Cathie. Ya, itu ruang kedap suara. Karena Cathie sudah menduga, pasti akan ada perang dunia. Dia tak mau ada pelanggannya yang mendengar keributan."Duduklah," ucap Arin sembari tersenyum tipis. Devan dan Kiara duduk berdampingan, meski terlihat sekali Kiara ingin menjaga jarak. Bukan Devan namanya kalau membiarkan Kiara menjauh. Dia bahkan langsung menarik pinggang Kiara, membuat tubuh mereka saling berhimpitan sekarang."Rin, sekarang tolong jelaskan hubungan kita. Dia salah paham," tukas Devan. Kiara mendengkus pelan. Membuang wajahnya ke arah lain.Percuma. Palingan juga mereka sudah berkompromi dari kemarin kan, bisa saja.
Sekitar setengah jam kemudian, Catherine selesai dengan urusannya. Dia berniat untuk bergabung. Namun malah mendapati Arin yang termenung di sofa depan ruangannya."Loh, kok di luar? Devan sama Kiara?""Mereka di dalam," jawab Arin dengan tatapan kosongnya."Maksudnya?"Arin tak menjawab.Catherine tak sabar. Membuka knop pintu. Wajahnya berubah kaget dengan apa yang dilihatnya."Sialan Devan. Dia kira ini kantornya. Seenaknya berbuat di ruangan gue," omel Cathie. Meski bagaimanapun wajahnya memerah melihat hal yang seharusnya tak dilihatnya.Dia kembali menghampiri Arin. Menarik gadis itu dalam pelukannya."Sudahlah. Ikhlaskan Devan. Dia sudah bahagia dengan wanita pilihannya.""Tapi rasanya berat, Cath. Gue kudu gimana? Hiks ...."Cathie mengelus surai panjang Arin. Dia tahu bagaimana perasaan Arin. Karena selama ini dialah tempat curhat Arin. Cinta yang teramat dalam terbalas dengan penolakan yang lebih dari sekedar
Lima belas menit perjalanan, Devan sebenarnya bingung. Dia tidak tahu tempat tinggal Taki sekarang. Jadi dia hanya melajukan mobilnya tak tentu arah. "Kok ... arahnya sini sih, Van?" Kiara mengernyitkan dahinya. Devan meringis, menoleh pada Kiara."Aku gak tahu apartemennya," ringisnya."Aih. Aku kira kamu tahu. Gimana sih," ujarnya kesal. Dia kira Devan tahu. Ternyata hanya pura-pura tahu."Ya kan kita lost kontak udah cukup lama Kiara ....""Ya udah. Gue hubungi dia dulu."Devan mengangguk. Sedangkan Kiara mengetik sebuah nama dan menekan tombol panggil. Terdengar dering tanda tersambung."Iya, Ra.""Hai Ki. Lo dimana sekarang?""Gue di butik. Kenapa? Apa ada hal penting?""Em ... gak. Lo sibuk gak?""Gak sih. Cuma mantau aja tadi. Mau ketemu?""Iya. Kalau lo gak sibuk sih.""Oke. Gimana kalau di restoran atas aja ya. Gue tunggu disana.""Oke."Call ended.Devam menoleh. Meski menguping, dia tak terla