keesokan harinya, Angre satang bersama Ustad Yusuf. Sama dengan apa yang dulu Ustad Somad datang pertama kali di rumah itu.Ia berdiri di depan rumah sangat lama. "Silahkan masuk Ustad Yusuf." pinta Angre ramah.Ustad Yusuf menghembuskan nafas besar. "Apa kalian serius tinggal dirumah ini?" tany Ustad Yusuf.Angre mengerutkan kenning. "Maksudnya gimaba ya Ustad? Sebaiknya Ustad masuk dulu. Pak Lukman ada didalam sama istrinya." ucap Angre.Ia merasa jika Ustad Yusuf tahu rahasia dirumah ini.Angre mengantar Ustad Yusuf untuk bertemu dengan Jihan.Yusuf mengerutkan kening melihat Jihan. 'Apa yang ada dirambutnya itu? bukankah itu seperti gumpalan rambut?' gumam Yusuf pada dirinya sendiri.Lukman yang melihat Yusuf datang langsung menjabat tangannya. "Assalamu'alaikum Pak. Apa kabar?" tanya Lukman berbasa basi."Waalaikum salam. Aku baik." jawab Yusuf.Setelah berjabat tangan, Yusuf melihat kondisi Jihan yang cukup miris. Tubuhnya tanpak kurus. Bahkan, tulang piipinya tampak sangat jela
keesokan harinya, Angre satang bersama Ustad Yusuf. Sama dengan apa yang dulu Ustad Somad datang pertama kali di rumah itu.Ia berdiri di depan rumah sangat lama. "Silahkan masuk Ustad Yusuf." pinta Angre ramah.Ustad Yusuf menghembuskan nafas besar. "Apa kalian serius tinggal dirumah ini?" tany Ustad Yusuf.Angre mengerutkan kenning. "Maksudnya gimaba ya Ustad? Sebaiknya Ustad masuk dulu. Pak Lukman ada didalam sama istrinya." ucap Angre.Ia merasa jika Ustad Yusuf tahu rahasia dirumah ini.Angre mengantar Ustad Yusuf untuk bertemu dengan Jihan.Yusuf mengerutkan kening melihat Jihan. 'Apa yang ada dirambutnya itu? bukankah itu seperti gumpalan rambut?' gumam Yusuf pada dirinya sendiri.Lukman yang melihat Yusuf datang langsung menjabat tangannya. "Assalamu'alaikum Pak. Apa kabar?" tanya Lukman berbasa basi."Waalaikum salam. Aku baik." jawab Yusuf.Setelah berjabat tangan, Yusuf melihat kondisi Jihan
"Mah kita beneran mau pindah sekarang?" tanyaku sambil memasukkan baju satu per satu ke dalam koper.Sebenarnya, bukan aku tak ingin pindah rumah. Tapi, aku tipe orang yang cukup kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru."Iya. Kita harus pindah untuk sementara waktu. Rumah kita akan bongkar total," ucap Mamah sembari membantu melipat baju yang tergantung di dalam lemari. Tak butuh waktu lama, semua sudah masuk ke dalam koper. Tapi, entah kenapa hatiku gelisah. Aku melihat sudut demi sudut kamar yang selalu membuatku nyaman. Dengan langkah pelan, aku meninggalkan tempat ternyamanku itu. "Semoga ini hanya sebatas kekhawatiranku saja."Cekrek!"Kakak lama banget sih siap-siapnya? Aku udah nggak sabar nih buat pindah rumah!" Qinar---adikku yang paling bungsu-- berteriak tak sabar.Sebagai anak yang cukup aktif, ia memang sangat bersemangat karena teman sekolahnya ternyata tinggal berdekatan dengan rumah yang akan kami tinggali. Aku hanya bisa mengangguk sembari memperhatika
Papah membuka pintu dan mulai menapaki lantai dalam rumah. Hawa pengap seketika mendominasi suasana di ruangan ini. Mungkin, karena pintu tertutup rapat dan tak ada angin yang masuk ke dalam ruangan.Terdapat lorong yang menjadi jalan masuk ke dalam ruang kamar yang saling berhadapan. Tiga di antaranya adalah kamar tidur dan satu kamar mandi di sebelah kiri paling pojok. Di ruangan belakang setelah kamar mandi ada dapur dan kamar mandi lagi. 'Tunggu, kenapa ada dua kamar mandi di rumah ini?' batinku bingung. Hanya saja, aku tak berani menyuarakannya.Perlahan, kami semua mulai berbenah membersihkan rumah. Untungnya, tak banyak debu yang aku bersihkan karena seminggu lalu Papah sudah lebih dulu membersihkan rumah ini. Rumah pun tampak mulai nyaman.Di sisi lain, aku dan Qinar merapikan kain seprai yang sudah terpasang sempurna. "Kak, aku capek," keluh Qinar lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Aku ikut merebahkan tubuh ku di samping tubuh Qinar."Iya Dek. Kaka
"Kakak." Ternyata orang yang menepuk bahu ku adalah Syakila. "Kamu ngagetin kakak aja sih Sya." ucap ku pelan agar tak membangunkan penghuni rumah lainnya."Ayo kita tidur aja kak. Lagi pula kan nggak ada siapapun di sini! barang kali itu Papah yang naroh karung di tengah lorong." Syakila berbicara dengan nada yang sangat pelan.Saat ini aku tak boleh berfikir macam-macam. Aku harus berpositif thinking. "Ya udah kita ke kamar trus tidur." Aku dan Syakila masuk ke dalam kamar meninggalkan karung beras itu tanpa berniat untuk mengembalikannya ke tempat semula.Hawa dingin menyelimuti kulit. Tak ada fentilasi udara di kamar kami. Tapi, aku merasa ada angin yang berhembus cukup kencang. Mungkin hanya aku saja yang merasakannya karena aku melihat Qinar dan Syakila tidur dengan bermandikan keringat. Aku merasa semua gerak gerik ku ada yang mengawasi.Pukul tiga dini hari aku mulai merasakan kantuk datang mata yang tadinya tak bisa terpejam kini mulai menutup dan tak lama kemudian tertidur.
Suara yang terdengar semakin kencang membuatku dan Om Angre saling beradu pandang. Tunggu, apa jangan-jangan itu suara keris yang sempat kami lihat tadi?Seketika sekujur tubuhku meremang. "Biar aku yang lihat." Papah bangkit dari duduknya dan memeriksa ke atas Plafon. Kami semua melanjutkan makan tanpa Papah.Beberapa saat berlalu suara itu menghilang setelah Papah mengecek keadaan di atas plafon. Papah kembali dengan raut wajah santai."Ketemu Pah tikusnya?" tanya Mamah sambil mengunyah makanannya."Papah heran deh Mah. Di atas itu sebenarnya nggak ada apapun. Bahkan nggak ada sarang tikus dan di atas juga nggak ada lubang untuk akses tikus masuk ke atas plafon." jelas Papah melanjutkan makan.Aku yakin jika suara itu ada kaitannya dengan kotak usang yang Om Angre temukan.Hari sudah menjelang Magrib. Om Angre dan tante Salwa berada di ruang tamu bersama Mamah dan Papah. Aku dan Qinar berada di kamar sambil bermain ponsel di atas ranjang.Tiba-tiba saja tubuh Qinar bergetar dan mem
"Tolong saya. Tolong keluarkan saya dari sini.."Deg!Suara yang kupikir sudah menghilang itu, ternyata terdengar kembali.Sontak, aku merasa takut.Semua yang aku alami di rumah ini sudah membuat mental dan psikisku down? Mau tak mau aku harus memberitahu kejadian ini pada Kedua orang tuaku!Barulah pada Pukul 04.00 dini hari, suara yang meminta tolong sudah tak terdengar lagi. Tapi, mataku sampai saat ini masih belum bisa terpejam. Tak ada rasa kantuk sama sekali yang aku rasakan. Seorang muadzin mengumandangkan Adzan. Tanpa menunggu lama aku berwudhu dan juga langsung melaksanakan sholah subuh. Setelah melakukan ibadah sholat hati ku merasa sedikit tenang. Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin. Wajah sedikit pucat dengan lingkaran hitam disekitar mata menandakan jika aku kurang tidur. Ya, aku kurang tidur. Bahkan bisa di bilang aku sama sekali tidak tidur semalam.Kulirik Syakira dan Qinar masih terlelap tidur. Pelan-pelan, aku pun keluar kamar untuk bertemu dengan Pa
Bagaimana guci itu pecah padahal tidak ada yang menyentuh guci itu. "Apa yang terjadi Mah?" tanya Ningrum yang baru keluar dari kamar. Ia tampak terkejut melihat guci pecah.Berbeda dengan Tante Nurmila. Ia justru tampak datar memandangi guci yang sudah pecah tanpa sebab. Entah apa yang tante Nirmila fikirkan saat ini karena aku tidak bisa membacanya dari ekspresi wajah yang datar."Sebaiknya kamu pulang dulu Ra. Lain kali kamu datang kesini." ucap Tante Nurmila dingin.Seketika aku dan Ningsih saling pandang. Sekian lama aku berteman dengan Ningrum, baru kali ini Tante Nurmila bersikap dongin pada ku. Bahkan secara terang-terangan ia menyuruh ku untuk meninggalkan rumah nya.Ningsih memainkan kedua alisnya menanyakan apa yang terjadi lewat isyarat. Aku yang sebenarnya tidak tau menahu hanya menggeleng lemah."Baik Tante. Kiara pamit pulang dulu." ucap ku dengan rasa sedikit kecewa. Aku merasa jika Tante Nurmila berubah. dan dengan alasan apa ia berubah aku pun tak tahu.Ningsih meng