Semakin lama Qinar mengerang kesakitan. Aku tak tega mendengar ia mengerang seperti itu. Syakila yang sudah tertidur kembali terbangun karena suara Qinar yang mmegerang kesakitan cukup keras.
"Qinar kenapa sih kak?" tanya Syakila dengan suara serak khas bangun tidur."Aku juga nggak tahu Sya, Qinar demam dan mengeluh sakit di pinggang. Apa tadi saat di rumah Nenek Qinar jatuh atau terkena apa gitu sampai punggungnya memar dan membiru.Syakila mengerutkan kening. "Memar? tapi kenapa kak? setahu ku Qinar nggak jatuh deh pas di rumah nenek."Penjelasan Syakila semakin membuat ku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Qinar mengalami luka memar seperti itu?Karena penasaran Syakila pun menyingkap baju belakang Qinar dan betapa terkejutnya kami saat luka memar itu berubah menjadi hitam. Bahkan demamnya semakin tinggi.Kepanikan tak bisa aku sembunyikan lagi karena itu sangat tidak wajar.Mau tak mau aku harus membangunAku dan Papah menunggu kedatangan Om Angre di ruang tamu. Rasa cemas dan rasa bersalah menyelimuti hati. Karena rasa takut yang berlebihan membuatku tak bisa berfikir jernih sampai membuat Mamah menghilang. Setelah sekian lama menunggu, Om Angre pun datang. Tampak raut wajah cemas menghiasi wajah tampannya itu. "Gimana Mas, Mbak Jihan udah ketemu?" tanya Om Angre cemas."Belum. Aku sudah mencarinya di semua sudut rumah. Namun, aku belum menemukannya." jawab Papah dengan wajah frustasi."Apa kalian sudah mencarinya di halaman belakang?""Bagaimana dia bisa pergi ke halaman belakang kalau pintunya saja terkunci dari dalam." jawab Papah.Aku menghela nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Nggak ada salahnya juga kalau kita cari Mamah di halaman belakang Pah." sahutku. Entah mengapa aku memiliki feelling kalau Mamah ada disanaOm Angre manarik nafas dalam dan berkata, "Baiklah. Kita akan mencari Kak
Pov AuthorKarena kondisi sang kakak yang belum sadarkan diri, Angre memutuskan untuk menginap dirumah itu.Kejadian tentang kotak usang yang ia temui diatas plafon selalu menghantuinya. Dan tak jarang mimpi tentang kotak usang itu juga menghantuinnya.Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Karena saat ini tak ada cukup ruang untuk Angre tidur, ia memutuskan untuk merebahkan diri sebentar diatas sofa ruang tamu.Waktu baru menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Sambil menunggu adzan subuh, ia memutuskan untuk memejamkan matanya krena cukuo lelah mencari kakak kandungnya yang sempat menghilang.Saat ingin memejamkan mata, Angre mendengar seseorang berbicara tepat ditelingannya. 'Kembalikan rumahku!' Tubuhnya meremang. Ia berdigik ngeri karena suara yang ia dengar itu cukuo mengerikan.Ia kembali terperanjat saat mendengar sura ketukan pintu yang ada di pintu belakang. Katena tak mempunyai keber
Lukman sudah berada dikediaman keluarga pemiilik rumah yang ia kontrak saat ini.Ada rasa ragu yang Lukman rasakan. Ia takut akan menyinggung perasaan keluarga. Tapi, ia juga tak punya pilihan lain karena keluarganya juga mengalami masalah semenjak menempati rumah itu."Maaf Pak kalau saya berkunjung kesini pagi-pagi sekali. Saya mau menanyakan soal rumah yang say sewa." ucap Lukman to the point.Pria paruh baya yang bernama Mahmud itu mengerutkan kening. "Rumah? ada apa dengan rumah itu pak?" tanya Mahmud karena belum tahu apapun tentang teror rumah yang Lukman alami."Maaf kalau saya menyinggung tentang pemilik rumah yang kami tinggali itu. Sejak kelurga saya pindah kerumah itu, banyak hal yang nggak bisa dicerna pakai logika. Kami mengalami gangguan Pak. Bahkan, semalam istri saya juga hampir hilang. Apa ada yang bapak sembunyikan mengenai rumah itu?" tanya Lukman sopan.Mahmud menghembuskan nafas pelan. Ketakutannya seketika
Lukman sudah membawa Qinar untuk pulang kerumah kontrakan. Hari ini tubuhnya sangat lelah. Semalaman ia tak tidur hanya karena menjaga sang istri. Dan paginya sudah harus disibukkan dengan masalah yang sebenarnya ia tak mengerti.Angre yang melihat kedatangan sang kakak itupun menghampirinya. "Bagaimana Mas? Apa udah ketemu jawabannya?" tanya Angre antusias. Lukman membulatkan mata dan melirik ketiga anaknya yang berjalan bersama. Mengetahui kode itu, Angre tak meneruskan pertanyaannya. Ia tahu jika Lukman tak ingin ketiga anaknya menjadi takut. Syakila mengerutkan kening melihat kode mata yang dilakukan sang ayah kepada Angre. "Om Angre kok ada disini? Om Angre sama Papah bicara apa? Apa ada yang kalian sembunyikan?" tanya Syakila penasaran. "Enggak. Papah cuma mau ngobrol aja. Kamu temenin Qinar kekamar. papah mau ngobrol soal pekerjaan saya Om Angre. Syakila tak curiga sama sekali. Ia pergi bersam
keesokan harinya, Angre satang bersama Ustad Yusuf. Sama dengan apa yang dulu Ustad Somad datang pertama kali di rumah itu.Ia berdiri di depan rumah sangat lama. "Silahkan masuk Ustad Yusuf." pinta Angre ramah.Ustad Yusuf menghembuskan nafas besar. "Apa kalian serius tinggal dirumah ini?" tany Ustad Yusuf.Angre mengerutkan kenning. "Maksudnya gimaba ya Ustad? Sebaiknya Ustad masuk dulu. Pak Lukman ada didalam sama istrinya." ucap Angre.Ia merasa jika Ustad Yusuf tahu rahasia dirumah ini.Angre mengantar Ustad Yusuf untuk bertemu dengan Jihan.Yusuf mengerutkan kening melihat Jihan. 'Apa yang ada dirambutnya itu? bukankah itu seperti gumpalan rambut?' gumam Yusuf pada dirinya sendiri.Lukman yang melihat Yusuf datang langsung menjabat tangannya. "Assalamu'alaikum Pak. Apa kabar?" tanya Lukman berbasa basi."Waalaikum salam. Aku baik." jawab Yusuf.Setelah berjabat tangan, Yusuf melihat kondisi Jihan yang cukup miris. Tubuhnya tanpak kurus. Bahkan, tulang piipinya tampak sangat jela
keesokan harinya, Angre satang bersama Ustad Yusuf. Sama dengan apa yang dulu Ustad Somad datang pertama kali di rumah itu.Ia berdiri di depan rumah sangat lama. "Silahkan masuk Ustad Yusuf." pinta Angre ramah.Ustad Yusuf menghembuskan nafas besar. "Apa kalian serius tinggal dirumah ini?" tany Ustad Yusuf.Angre mengerutkan kenning. "Maksudnya gimaba ya Ustad? Sebaiknya Ustad masuk dulu. Pak Lukman ada didalam sama istrinya." ucap Angre.Ia merasa jika Ustad Yusuf tahu rahasia dirumah ini.Angre mengantar Ustad Yusuf untuk bertemu dengan Jihan.Yusuf mengerutkan kening melihat Jihan. 'Apa yang ada dirambutnya itu? bukankah itu seperti gumpalan rambut?' gumam Yusuf pada dirinya sendiri.Lukman yang melihat Yusuf datang langsung menjabat tangannya. "Assalamu'alaikum Pak. Apa kabar?" tanya Lukman berbasa basi."Waalaikum salam. Aku baik." jawab Yusuf.Setelah berjabat tangan, Yusuf melihat kondisi Jihan yang cukup miris. Tubuhnya tanpak kurus. Bahkan, tulang piipinya tampak sangat jela
keesokan harinya, Angre satang bersama Ustad Yusuf. Sama dengan apa yang dulu Ustad Somad datang pertama kali di rumah itu.Ia berdiri di depan rumah sangat lama. "Silahkan masuk Ustad Yusuf." pinta Angre ramah.Ustad Yusuf menghembuskan nafas besar. "Apa kalian serius tinggal dirumah ini?" tany Ustad Yusuf.Angre mengerutkan kenning. "Maksudnya gimaba ya Ustad? Sebaiknya Ustad masuk dulu. Pak Lukman ada didalam sama istrinya." ucap Angre.Ia merasa jika Ustad Yusuf tahu rahasia dirumah ini.Angre mengantar Ustad Yusuf untuk bertemu dengan Jihan.Yusuf mengerutkan kening melihat Jihan. 'Apa yang ada dirambutnya itu? bukankah itu seperti gumpalan rambut?' gumam Yusuf pada dirinya sendiri.Lukman yang melihat Yusuf datang langsung menjabat tangannya. "Assalamu'alaikum Pak. Apa kabar?" tanya Lukman berbasa basi."Waalaikum salam. Aku baik." jawab Yusuf.Setelah berjabat tangan, Yusuf melihat kondisi Jihan
"Mah kita beneran mau pindah sekarang?" tanyaku sambil memasukkan baju satu per satu ke dalam koper.Sebenarnya, bukan aku tak ingin pindah rumah. Tapi, aku tipe orang yang cukup kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru."Iya. Kita harus pindah untuk sementara waktu. Rumah kita akan bongkar total," ucap Mamah sembari membantu melipat baju yang tergantung di dalam lemari. Tak butuh waktu lama, semua sudah masuk ke dalam koper. Tapi, entah kenapa hatiku gelisah. Aku melihat sudut demi sudut kamar yang selalu membuatku nyaman. Dengan langkah pelan, aku meninggalkan tempat ternyamanku itu. "Semoga ini hanya sebatas kekhawatiranku saja."Cekrek!"Kakak lama banget sih siap-siapnya? Aku udah nggak sabar nih buat pindah rumah!" Qinar---adikku yang paling bungsu-- berteriak tak sabar.Sebagai anak yang cukup aktif, ia memang sangat bersemangat karena teman sekolahnya ternyata tinggal berdekatan dengan rumah yang akan kami tinggali. Aku hanya bisa mengangguk sembari memperhatika