"Mah kita beneran mau pindah sekarang?" tanyaku sambil memasukkan baju satu per satu ke dalam koper.
Sebenarnya, bukan aku tak ingin pindah rumah. Tapi, aku tipe orang yang cukup kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.
"Iya. Kita harus pindah untuk sementara waktu. Rumah kita akan bongkar total," ucap Mamah sembari membantu melipat baju yang tergantung di dalam lemari.
Tak butuh waktu lama, semua sudah masuk ke dalam koper. Tapi, entah kenapa hatiku gelisah.Aku melihat sudut demi sudut kamar yang selalu membuatku nyaman. Dengan langkah pelan, aku meninggalkan tempat ternyamanku itu.
"Semoga ini hanya sebatas kekhawatiranku saja."
Cekrek!"Kakak lama banget sih siap-siapnya? Aku udah nggak sabar nih buat pindah rumah!" Qinar---adikku yang paling bungsu-- berteriak tak sabar.Sebagai anak yang cukup aktif, ia memang sangat bersemangat karena teman sekolahnya ternyata tinggal berdekatan dengan rumah yang akan kami tinggali. Aku hanya bisa mengangguk sembari memperhatikan Mamah, Papah, dan Qinar. Namun, baru kusadari bahwa aku tak menemukan adik yang lain--Syakila.Tunggu, di mana dia?"Syakila nggak ikut, Pah?" tanyaku."Nanti dia bakal nyusul. Dia masih ada kegiatan nyanyi di luar. Syakila juga tahu tempat kita akan tinggal," ujar Papah lembah lembut.Aku mengangguk.Tak lama, kami berempat menaiki mobil menuju tempat di mana kami akan tinggal.
Hanya menempuh waktu tiga puluh menit dan rumah dengan nuansa cat berwarna biru muda menyambut kami.
Rumah itu cukup megah. Halaman rumah cukup luas tapi di tumbuh banyak ilalang dan semak belukar yang mulai tinggi. Bahkan, ada pohon yang sangat besar di samping rumah."Baru satu minggu dibersihin udah tumbuh aja ilalangnya," ujar Papa pelan.Aku terdiam."Papah yakin ini rumahnya? Kok perasaanku nggak enak ya lihat rumah ini," ucapku memberanikan diri.
Namun, papaku justru tersenyum. "Yakin banget. Papah yang bersihin rumah ini beberapa waktu lalu dibantu sama keluarga yang punya rumah ini.""Udah yuk kita masuk ke rumah buat beresin barang-barang. Mamah juga capek dan mau istirahat," timpal mamaku kemudian.
Kami pun keluar dari mobil dan masuk ke dalam pekarangan yang luas itu.
Hanya saja, aku tiba-tiba merasakan embusan angin di tengkukku. Firasat buruk yang berusaha kutepis sejak tadi, semakin menjadi-jadi....
Papah membuka pintu dan mulai menapaki lantai dalam rumah. Hawa pengap seketika mendominasi suasana di ruangan ini. Mungkin, karena pintu tertutup rapat dan tak ada angin yang masuk ke dalam ruangan.Terdapat lorong yang menjadi jalan masuk ke dalam ruang kamar yang saling berhadapan. Tiga di antaranya adalah kamar tidur dan satu kamar mandi di sebelah kiri paling pojok. Di ruangan belakang setelah kamar mandi ada dapur dan kamar mandi lagi. 'Tunggu, kenapa ada dua kamar mandi di rumah ini?' batinku bingung. Hanya saja, aku tak berani menyuarakannya.Perlahan, kami semua mulai berbenah membersihkan rumah. Untungnya, tak banyak debu yang aku bersihkan karena seminggu lalu Papah sudah lebih dulu membersihkan rumah ini. Rumah pun tampak mulai nyaman.Di sisi lain, aku dan Qinar merapikan kain seprai yang sudah terpasang sempurna. "Kak, aku capek," keluh Qinar lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Aku ikut merebahkan tubuh ku di samping tubuh Qinar."Iya Dek. Kaka
"Kakak." Ternyata orang yang menepuk bahu ku adalah Syakila. "Kamu ngagetin kakak aja sih Sya." ucap ku pelan agar tak membangunkan penghuni rumah lainnya."Ayo kita tidur aja kak. Lagi pula kan nggak ada siapapun di sini! barang kali itu Papah yang naroh karung di tengah lorong." Syakila berbicara dengan nada yang sangat pelan.Saat ini aku tak boleh berfikir macam-macam. Aku harus berpositif thinking. "Ya udah kita ke kamar trus tidur." Aku dan Syakila masuk ke dalam kamar meninggalkan karung beras itu tanpa berniat untuk mengembalikannya ke tempat semula.Hawa dingin menyelimuti kulit. Tak ada fentilasi udara di kamar kami. Tapi, aku merasa ada angin yang berhembus cukup kencang. Mungkin hanya aku saja yang merasakannya karena aku melihat Qinar dan Syakila tidur dengan bermandikan keringat. Aku merasa semua gerak gerik ku ada yang mengawasi.Pukul tiga dini hari aku mulai merasakan kantuk datang mata yang tadinya tak bisa terpejam kini mulai menutup dan tak lama kemudian tertidur.
Suara yang terdengar semakin kencang membuatku dan Om Angre saling beradu pandang. Tunggu, apa jangan-jangan itu suara keris yang sempat kami lihat tadi?Seketika sekujur tubuhku meremang. "Biar aku yang lihat." Papah bangkit dari duduknya dan memeriksa ke atas Plafon. Kami semua melanjutkan makan tanpa Papah.Beberapa saat berlalu suara itu menghilang setelah Papah mengecek keadaan di atas plafon. Papah kembali dengan raut wajah santai."Ketemu Pah tikusnya?" tanya Mamah sambil mengunyah makanannya."Papah heran deh Mah. Di atas itu sebenarnya nggak ada apapun. Bahkan nggak ada sarang tikus dan di atas juga nggak ada lubang untuk akses tikus masuk ke atas plafon." jelas Papah melanjutkan makan.Aku yakin jika suara itu ada kaitannya dengan kotak usang yang Om Angre temukan.Hari sudah menjelang Magrib. Om Angre dan tante Salwa berada di ruang tamu bersama Mamah dan Papah. Aku dan Qinar berada di kamar sambil bermain ponsel di atas ranjang.Tiba-tiba saja tubuh Qinar bergetar dan mem
"Tolong saya. Tolong keluarkan saya dari sini.."Deg!Suara yang kupikir sudah menghilang itu, ternyata terdengar kembali.Sontak, aku merasa takut.Semua yang aku alami di rumah ini sudah membuat mental dan psikisku down? Mau tak mau aku harus memberitahu kejadian ini pada Kedua orang tuaku!Barulah pada Pukul 04.00 dini hari, suara yang meminta tolong sudah tak terdengar lagi. Tapi, mataku sampai saat ini masih belum bisa terpejam. Tak ada rasa kantuk sama sekali yang aku rasakan. Seorang muadzin mengumandangkan Adzan. Tanpa menunggu lama aku berwudhu dan juga langsung melaksanakan sholah subuh. Setelah melakukan ibadah sholat hati ku merasa sedikit tenang. Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin. Wajah sedikit pucat dengan lingkaran hitam disekitar mata menandakan jika aku kurang tidur. Ya, aku kurang tidur. Bahkan bisa di bilang aku sama sekali tidak tidur semalam.Kulirik Syakira dan Qinar masih terlelap tidur. Pelan-pelan, aku pun keluar kamar untuk bertemu dengan Pa
Bagaimana guci itu pecah padahal tidak ada yang menyentuh guci itu. "Apa yang terjadi Mah?" tanya Ningrum yang baru keluar dari kamar. Ia tampak terkejut melihat guci pecah.Berbeda dengan Tante Nurmila. Ia justru tampak datar memandangi guci yang sudah pecah tanpa sebab. Entah apa yang tante Nirmila fikirkan saat ini karena aku tidak bisa membacanya dari ekspresi wajah yang datar."Sebaiknya kamu pulang dulu Ra. Lain kali kamu datang kesini." ucap Tante Nurmila dingin.Seketika aku dan Ningsih saling pandang. Sekian lama aku berteman dengan Ningrum, baru kali ini Tante Nurmila bersikap dongin pada ku. Bahkan secara terang-terangan ia menyuruh ku untuk meninggalkan rumah nya.Ningsih memainkan kedua alisnya menanyakan apa yang terjadi lewat isyarat. Aku yang sebenarnya tidak tau menahu hanya menggeleng lemah."Baik Tante. Kiara pamit pulang dulu." ucap ku dengan rasa sedikit kecewa. Aku merasa jika Tante Nurmila berubah. dan dengan alasan apa ia berubah aku pun tak tahu.Ningsih meng
Aku terbangun pukul setengah dua belas. Semenjak Pindah ke sini, hampir setiap malam aku tak bisa tidur. Aku sering berjaga dan mendatkan mimpi buruk.Dari mimpi yang baru saja aku alami, ada banyak pertanyaan yang terlintas di benak ku. Siapa orang yang ada di mimpi ku? Aku tak mengenal mereka dan tak tahu mereka itu siapa. Tapi kenapa mereka hadir di mimpi ku? Dan mengenai sesuatu yang mereka katakan, siapa yang sedang mereka cari untuk tumbal? siapa Mahluk itu? dan suara siapa yang menolong ku sehingga aku bisa terbangun dari mimpi buruk ku itu.Semua masih menjadi tanda tanya. Apa mungkin itu pengguni rumah ini sebelum kami? Tapi, kenapa aku bisa memimpikan mereka?Aku mengusap wajah yang mulai kusut. Setelah aku terjaga kantuk pun menghilang. Aku merasa ada angin yang pelan berhembus di sekelling ku. Aku merasa sedikit menggigil. tok tok tok...Suara pintu kamar ku terketuk dai luar. Tok Tok Tok....Kali ini suara ketukan semakin keras. Siapa yang mengetuk kamar malam-malam be
Kami bergegas masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mamah yang ada di kamar. Tapi kenapa tak ada apapun yang terjadi? Bahkan Mamah masih sangat tenang di alam bawah sadarnya."Apa benar itu tadi suara Mamah Pah?" Seketika aku meragukan apa yang aku dengar tadi.Papah mengendikkan bahunya ke atas. "Ya udah kamu nggak usah mikirin masalah itu. Kamu pergi aja jemput adik-adik mu dan Papah akan menjaga di sini."Karena kondisi Mamah jauh lebih baik dari semalam, aku pun menjemput kedua adik ku untuk pulang.Sebenarnya aku berat untuk kembali pulang. Tapi aku tak punya pilihan saat kondisi Mamah seperti ini.Tak ada pertanyaan yang nenek ku tanyakan karena kami sepakat untuk tak memberitahu tentang masalah yang ada di rumah kontrakan kami.Saat ingin memasuki rumah, Qinar tampak bersembunyi di belakang Syakila. "Ada apa Qin?" tanya Syakila bingung dengan sikap Qinar."Qinar takut sama ibu itu Kak." ucap Qinar dengan tubuh gemetar. Qinar menunjuk pintu depan rumah. Aku mengerutkan kening. "
Semakin lama Qinar mengerang kesakitan. Aku tak tega mendengar ia mengerang seperti itu. Syakila yang sudah tertidur kembali terbangun karena suara Qinar yang mmegerang kesakitan cukup keras."Qinar kenapa sih kak?" tanya Syakila dengan suara serak khas bangun tidur."Aku juga nggak tahu Sya, Qinar demam dan mengeluh sakit di pinggang. Apa tadi saat di rumah Nenek Qinar jatuh atau terkena apa gitu sampai punggungnya memar dan membiru.Syakila mengerutkan kening. "Memar? tapi kenapa kak? setahu ku Qinar nggak jatuh deh pas di rumah nenek."Penjelasan Syakila semakin membuat ku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Qinar mengalami luka memar seperti itu?Karena penasaran Syakila pun menyingkap baju belakang Qinar dan betapa terkejutnya kami saat luka memar itu berubah menjadi hitam. Bahkan demamnya semakin tinggi.Kepanikan tak bisa aku sembunyikan lagi karena itu sangat tidak wajar. Mau tak mau aku harus membangun