Share

Ada Aura Kegelapan

"Tolong saya. Tolong keluarkan saya dari sini.."

Deg!

Suara yang kupikir sudah menghilang itu, ternyata terdengar kembali.

Sontak, aku merasa takut.

Semua yang aku alami di rumah ini sudah membuat mental dan psikisku down?

Mau tak mau aku harus memberitahu kejadian ini pada Kedua orang tuaku!

Barulah pada Pukul 04.00 dini hari, suara yang meminta tolong sudah tak terdengar lagi.

Tapi, mataku sampai saat ini masih belum bisa terpejam. Tak ada rasa kantuk sama sekali yang aku rasakan.

Seorang muadzin mengumandangkan Adzan.

Tanpa menunggu lama aku berwudhu dan juga langsung melaksanakan sholah subuh. Setelah melakukan ibadah sholat hati ku merasa sedikit tenang.

Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin. Wajah sedikit pucat dengan lingkaran hitam disekitar mata menandakan jika aku kurang tidur.

Ya, aku kurang tidur. Bahkan bisa di bilang aku sama sekali tidak tidur semalam.

Kulirik Syakira dan Qinar masih terlelap tidur.

Pelan-pelan, aku pun keluar kamar untuk bertemu dengan Papah dan Mamah.

Aku sudah tak bisa menyembunyikan hal ini karena ini semua sudah sangat membuatku terganggu.

Di ruang tamu hanya ada Papah. Tampak sekali ia sudah berpenampilan rapi dan bersiap untuk pergi bekerja. Sedangkan Mamah mungkin sedang memasak di dapur.

Aku pun menghampiri Papah yang merapikan tumpukan kertas di hadapannya dan mengambil tempat duduk di samping Papah.

"Pah, Kiara boleh ngomong sesuatu nggak?" tanyaku dengan sedikit keraguan.

Papah melihatku sekilas dan melanjutkan aktivitasnya. "Mau ngomong apa, Ra? Ngomong aja. Nggak biasanya kamu tanya dulu kalau mau ngomong sama Papah."

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskan nafas secara perlahan agar lebih releks untuk mengatakan masalah ku pada Papah.

"Pah, menurut Kiara ada yang nggak beres sama rumah ini," ucapku dengan suara pelan.

Sesaat Papah mematung seperti berfikir sesuatu. Papa menatapku dengan tatapan tajam lalu tertawa melengking membuat semua bulu kudukku berdiri.

Bahkan, wajahnya berubah menjadi pria yang sangat mengerikan!

Wa--wajah nya berubah menjadi hitam seperti terbakar!

Tiba-tiba saja aku terbangun dari tidur. Aku mengusap wajah dengan kasar. Aku tertidur setelah melakukan sholat subuh.

'Astaga, mimpi apa tadi? Kenapa aku selalu dihadapkan dengan hal seperti itu?'

Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi.

Hari ini aku memiliki jadwal untuk ke Universitas di mana aku akan melanjutkan pendidikan ku. Mungkin aku akan memberitahukan tentang masalah ku pada Papah dan Mamah setelah pulang nanti.

Syakila dan Qinar tak ada di kasur. Dan mereka sudah lebih dulu mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah masing-masing.

Tampaknya mereka sudah bangun saat aku tak sengaja tertidur.

Aku membawa tas dan keluar kamar. "Kakak mau ke mana?" tanya Qinar padaku.

"Kakak mau ke kampus dulu. Mau bareng berangkat sama kakak?" ajakku.

"Enggak. Qinar berangkat sama Papah."

"Kamu bener udah sehat Ra?" tanya Mamah yang tiba-tiba datang dari arah dapur.

Aku mengangguk yakin. "Alhamdulillah Kiara udah lebih baik sekarang."

"Ya udah kalau kamu udah benar sehat."

"Qinar, panggilin Papah sama kak Syakila ya buat sarapan," pinta Mamah pada Qinar.

Qinar pergi ke ruang tamu dan memanggil Papah dan Syakila.

Di ruang makan aku tak bisa fokus makan dengan tenang. Sesekali mata ku melihat kearah kamar mandi di mana aku melihat seorang wanita dengan wajah yang sangat mengerikan.

Sekujur tuubuh ku meremang saat membyangkan wajah wanita itu. Karena merasa tak nyaman aku pun pamit untuk pergi.

"Aku pergi ke kampus dulu ya Mah, Pah. Mungkin nanti Kiara pulang sore karena Kiara mau ke rumah Ningrum." ucap ku pada kedua orang tua ku.

Mamah dan Papah menganggukan kepala.

"Kamu udah sehat Ra?" Kini, papa yang bertanya. Namun, ia tidak melihat ke arahku. 

"Alhamdulillah udah Pah," jawabku lembut, "Aku berangkat dulu, ya."

Segera, aku mencium punggung tangan Mamah dan Papah.

*****

Aku ke kampus karena ingin melihat isi kampus.

Aku berjalan santai.

Hanya saja, dari arah depan seorang pria menabrak tubuh ku. Beruntung aku tak terjatuh dan hanya mundur ke belakang.

"Maaf Aku nggak sengaja." ucap pria itu.

Pria itu masih muda. Berpenampilan rapi, berkulit putih dan ada lesung pipit di pipi kirinya. mungkin dia adalah salah satu mahasiswa di sini.

"Oke. nggak papa kok." ucap ku dengan senyum ramah.

pria itu menatap ku dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Aku belum pernah lihat kamu di kampus ini. Apa kau mahasiswa baru di sini?" tanya pria itu pada ku.

"Aku masih calon Mahasiswa di sini. Aku cuma mau lihat kampus ini aja." jawab ku jujur.

Pria itu mengulurkan tangan di depan ku. "Perkenalkan nama ku Kelvin. Mahasiswa paling kece di kampus ini." ucapnya percaya diri tingkat dewa.

Aku menyambut uluran tangannya. "Aku Kiara." balas ku.

"Kalau kamu butuh temen kamu bisa ajak aku buat lihat kampus ini. Dengan senang hati aku akan menemani mu."

Aku hanya tersenyum kecil mendapat tawaran dari Kelvin. Sebenarnya aku sudah punya janji sama Ningrum. Aku akan melihat kondiai kampus bersamanya.

Aku melihat Ningrum datang menghampiri ku. "Kiara, ayo masuk." ajak Ningrum yang ada di belakang Kelvin.

"Makasih buat tawarannya. Tapi Maaf aku udah punya janji sama temen aku." Aku meninggalkan Kelvin dan langsung menghampiri Ningrum.

Kami berdua berjalan di koridor kampus. Semua mahasiswa di sini sangat banyak. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Di sini kuliahnya bagus banget. Aku sih di rekomendasiin temen aku kalau kampus ini top." ucap Ningrum dengan antusias.

Aku hanya diam tak menanggapi ucapan ningrum. Aku sebenarnya suka dengan kampus ini. Tapi gara-gara semalam nggak tidur kepala ku jadi sedikit pusing.

"Kamu kan mau masuk jurusan psikologi. tapi kalau aku pengen ambil jurusan dokter gigi." sambung Ningrum yang masih bicara tanpa henti.

"Aku udah nggak sabar pengen cepet masuk kuliah." sambung nya lagi.

Ningrum menghentikan langkahnya dan menatap wajah ku. "Kamu kenapa sih Ra, Kok kamu kayak lemes gitu?" tanya Ningrum yang menyadari sikap ku ada yang berbeda.

Aku menghela nafas berat. "Aku ada masalah di rumah Rum." ucap ku jujur.

Bagi ku Ningrum adalah teman yang baik. Ia bisa diajak bercanda dan juga bisa di ajak serius. Setiap ada masalah aku sering curhat dengannya.

"Masalah? Masalah apa Ra?" tanya Ningrum langsung menatap wajah ku serius.

"Baru kali ini aku lihat wajah kamu kelihatan capek banget. Muka kamu juga agak pucet. Masalah apa sih yang buat kamu beda kayak gini?" tanya Ningrum lagi.

"Kalau aku ngomong sama kamu, kamu bakal percaya nggak? ini soal mahluk tak kasat mata." ucap ku menatap wajah Ningrum.

"Kalau aku sih percaya aja ya. Tapi apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya lagi.

Aku mulai menceritakan semua kejadian yang aku alami di rumah itu. Ningrum tampak serius menanggapi cerita ku.

"Aduh Ra, aku jadi merinding denger cerita mu. Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan cerita semaunya sama Mamah dan Papah. Mereka harus tahu walaupun aku tidak yakin mereka akan percaya."

Setelah kami dari Kampus Ningsih mengajak ku untuk ke rumahnya. Rumah dengan Desain khas rumah joglo. Kata Ningsih, dia adalah salah satu keturunan dari keraton di jawa. Entah cerita itu benar atau tidak aku juga tak tahu.

Kami masuk ke dalam rumah. Setiap aku berkunjung di sini, aku merasa nyaman. Aku juga nggak tahu apa yang membuat ku nyaman.

Mamah Ningrum datang dan menyapa ku. "Kiara apa kabar? kok lama banget sih nggak kesini." ujar Ibu Nurmila. ibu dari Ningsih.

Tante Nurmila mencium pipi kanan dan kiri ku. "Ayo duduk dulu." sambungnya lagi.

Aku duduk bersama Tante Nurmila. Sedangkan Ningsih, ia pergi. ke kamar untuk membersihakan diri terlebih dahulu.

Ningsih adalah anak tunggul. Ayah Ningsih meninggal saat Ningsih berumur lima tahun dan Ibu Nurmila adalah satu-satunya orang tua tunggal Ningsih.

"Saya Baik Tan. Tante Nurmila gimana kabarnya?" tanya ku sopan.

"Tante baik Ra. Kamu bener baik? Tapi dari raut wajah mu kok kayak ada aura kegelapan ya Ra?" tanya Tante Nurmila.

Apa sebenarnya yang di maksut tante Nurmila? Aura kegelapan apa yang dia maksud?

Aku tak tahu harus menanggapi apa. Tapi yang jelas, aku sedikit ketakutan dengan ucapan Tante Nurmila. Beliau adalah orang yang bisa melihat aura seseorang. Kalau orang sekarang bilangnya anak Indigo.

"Aura kegelapan Tante? Auura kegelapan seperti apa?"

Saat aku bertanya, tiba-tiba saja guci yang ada di atas nakas pecah seperti terkena petasan.

Deg.

Ada apa lagi ini? Apa semua ini ada kaitannya dengan rumah yang sekarang aku huni?

bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status