Papah membuka pintu dan mulai menapaki lantai dalam rumah.
Hawa pengap seketika mendominasi suasana di ruangan ini.
Mungkin, karena pintu tertutup rapat dan tak ada angin yang masuk ke dalam ruangan.
Terdapat lorong yang menjadi jalan masuk ke dalam ruang kamar yang saling berhadapan. Tiga di antaranya adalah kamar tidur dan satu kamar mandi di sebelah kiri paling pojok.Di ruangan belakang setelah kamar mandi ada dapur dan kamar mandi lagi.
'Tunggu, kenapa ada dua kamar mandi di rumah ini?' batinku bingung.
Hanya saja, aku tak berani menyuarakannya.Perlahan, kami semua mulai berbenah membersihkan rumah.Untungnya, tak banyak debu yang aku bersihkan karena seminggu lalu Papah sudah lebih dulu membersihkan rumah ini.
Rumah pun tampak mulai nyaman.
Di sisi lain, aku dan Qinar merapikan kain seprai yang sudah terpasang sempurna."Kak, aku capek," keluh Qinar lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. Aku ikut merebahkan tubuh ku di samping tubuh Qinar.
"Iya Dek. Kakak juga capek banget," ucapku pelan. Karena rasa lelah, rasa kantuk juga mulai datang.Tanpa sadar, aku mulai memejamkan mata dan tertidur.
Drap!
Drap!
Drap!
Hanya saja ... telingaku tiba-tiba mendengar suara langah kaki yang berjalan di atas plafon rumah.
Aku terbangun dan mulai mendengarkan lagi suara langkah kaki yang ada di plafon.
Entah mengapa suara itu sangat jelas di gendang telingaku.
'Apa mungkin itu Papah yang membersihkan plafon rumah?' pikirku berusaha tenang.Tepat ketika aku memikirkan hal tersebut, suara langkah kaki itu berhenti.
'Ya, mungkin itu suara langkah kaki Papah,' ucapku dalam hati kembali.
Hanya saja, rongga tenggorokanku kini terasa kering.Kuperhatikan Qinar masih terlelap dalam tidur. Tampaknya, adikku itu sangat kelelahan, hingga terdengar denggkuran halus dari mulut munyilnya itu.
Pelan, tapi pasti, kulangkahkan kaki menuju ke dapur.Tampak Papah memasukkan makanan ke dalam kulkas dan Mamah sedang memasak.
"Papah udah selesai bersihin plafonnya? Kok cepet amat, Pah?" tanyaku lalu meminum air putih dalam botol kemasan di atas meja makan.
Papah mendadak mengerutkan dahi menatapku. "Sejak kapan Papah bersihin plafon rumah? Dari tadi, Papah bantuin Mamah di sini," ucapnya masih memasukkan bahan makanan untuk beberapa hari ke depan ke dalam lemarin pendingin.Deg!
"Tapi, tadi aku denger sendiri kok ada orang di Plafon." Aku masih kekeh dengan apa yang aku dengar. Suara itu sangat jelas. Aku tidak mungkin salah dengar."Papah sama Mamah nggak denger apapun kok. Mungkin itu suara tikus. Maklum aja, belakang rumah kan ada kebun luas. Mungkin itu tikus dari kebun," sahut Mamah sambil memasukkan oseng kangkung ke dalam mangkuk kecil.Tunggu ... apa mungkin itu suara tikus?Tapi, aku mendengar sangat jelas kalau itu suar langkah kaki manusia bukan tikus.
"Assalamu'alaikum." Ucapan salam Syakila menyadarkanku dari lamunan.Adikku tampak mengucap salam dan mencium punggung Papah dan Mamah.
"Waalaikumsalam." Serempak kami bertiga menjawab salamnya.
Adikku yang satu ini memang nyebelin. Saat tenaganya dibutuhin, ia nggak dateng. Setelah semua selesai, ia justru datang dengan senyum seperti tak merasa bersalah.
Segera saja, aku menonyor pucuk kepalanya. "Kamu tuh bisa nggak sih jadi anak yang berguna dikit gitu? Udah tahu kita repot kamu asik keluyuran aja," hardikku pada Syakila.Ia memanyunkan bibir sambil mengelus pelan pucuk kepalanya. "Aku kan ada kelas nyanyi di sekolah. Aku mau ikut perlombaan di sekolah jadi aku harus fokus latihan," elaknya dengan seribu alasannya.Sontak, aku memutar bola mataku malas.
"Udah nggak usah debat. Qinar panggil ke sini, Sya," ucap Mamah Pada Syakila, "Kita makan bareng."Mamah pun meletakkan oseng kangkung, tempe goreng pakai tepung, dan tak lupa pakai sambal trasi. Menu yang sangat sederhana tapi bisa buat nafsu makan meningkat.
Tak butuh waktu lama, semua berkumpul makan di meja makan.
Suasana seperti inilah yang membuatku bahagia. Walupun aku sering bertengkar dengan Syakila, tapi aku bahagia jika kami berkumpul dan bercanda gurai bak seperti keluarga bahagia.
Tanpa kami sadari, cahaya bulan mulai datang dan menyinari bumi di kegelapan malam.
Pukul sembilan malam aku sudah masuk ke dalam kamar bersama kedua adikku.
Kebetulan, kamar kami berhadapan dengan kamar orang tua kami.
Sedangkan kamar yang satu lagi, sengaja dijadikan gudang karena belum ada tempat untuk menaruh barang-barang pindahan kami dan bahan pangan seperti beras.
Qinar sudah terlelap tidur, sementara Syakila bermain ponsel di samping kanan tubuh Qinar.Aku sendiri lebih memilih membaca buku untuk persiapan menghadapi ujian tes untuk masuk di universitas.
Aku memang baru memulai kuliah di umur 20 tahun. Sengaja kuambil waktu satu tahun untuk memilih jurusan yang memang aku inginkan.
Dari banyaknya jurusan, aku sudah yakin akan mengambil jurusan psikologi.
"Kak Kiara pernah jatuh cinta, gak?"
Pertanyaan Syakila memecah kesunyian malam ini."Belum," jawabku cepat, "Emang kenapa?" Aku mengernyitkan dahi--merasa aneh karena Stakila menanyakan masalah soal drama percintaanku.Selama ini, ia bahkan tak perduli tentang masalah pribadiku.
"Aku punya temen cowok. Dia tuh baik banget sama aku. Dia bilang cinta ke aku. Tapi aku bingung cinta itu seperti apa?" tanya Syakila polos.Aku semakin mengerutkan dahi mendengar ucapan Syakila.Tubuhku dengan spontan berbalik dan menatap wajah Syakila lekat.
Buku yang ada di genggaman, kulemparkan tepat mengenai wajah Syakila. "Kecil-kecil nggak usah mikir soal cinta. Umur kamu masih 16 tahun. Fokus sama sekolah jangan main cinta-cintaan dulu. Kalau nggak lulus sekolah, nanti nangis," hardikku karena pertanyaan konyol yang Syakila tanyakan.
Aku bangkit dari duduk dan mengambil buku yang tadi aku lempar. Tampak wajah Syakila cemberut dengan jawaban menohok yang aku berikan. Syakila baru berumur 16 tahun dan ia masih di kelas 3 SMP tapi ia sudah tanya soal cinta. Anak zaman sekarang memang beda!Aku melanjutkan aktivitas membaca, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam."Kak Kiara dengar sesuatu nggak?" tanya Syakila dengan suara sedikit berbisik."Suara apa sih, Sya? Kamu bisa nggak sih ngga ganggu kakak belajar? Daripada kamu ganggu, lebih baik kamu ikut belajar gih sana!" bentakku kesal dengan tingkah usil Syakila."Aku nggak ganggu kak. Coba deh kakak dengerin," ucap Syakila dengan suara penuh penekanan. BUGH BUGH BUGHTerdengar suara seperti karung yang dijatuhkan.Hanya saja suaranya pelan."Kakak juga denger kan?" tanya Syakila dengan ekspresi tegang.Aku menganggukkan kepala karena memang aku mendengar itu. Suara aneh apa lagi ini? Tapi, ini bukan seperti suara langkah kaki yang tadi aku dengar.Aku bangkit dari duduk dan berjalan ingin membuka handle pintu. Rasa penasaaran membuat ku ingin melihat suara aneh apa itu tadi."Kakak mau ngapain?" Syakila mencegah tangan ku yang akan menekan handle pintu."Kakak mau lihat keluar. Siapa tahu itu pencuri," jawabku pelan.Syakila menggelengkan kepala pelan menggisyaratkan jika aku tidak boleh keluar kamar.
Namun, aku melepaskan tangan Syakila dan mulai menekan handle pintu.
Pintu terbuka sedikit dan aku melihat ke luar kamar.
Tak ada siapapun. Bahkan, suara aneh itu tak terdengar lagi.
Aku mulai keluar perlahan dan terkejut saat karung beras untuk persediaan makan kami sudah ada tepat di tengah lorong.Siapa yang naroh Karung beras di tengah lorong? Apa mungkin itu pencuri?
Aku mengedarkan pandangan kesemua penjuru tempat dan semua sudut ruangan. Bahkan pintu masih terkunci semula. Sebenarnya siapa yang menggeser posisi krung beras hingga persis di tengah lorong?Karena tak ada tanda-tanda pencuri aku putuskan untuk kembali ke kamar. Tapi tiba-tiba saja aku di kejutkan dengan tepukan tangan yang ada di pundak ku.bersambung....."Kakak." Ternyata orang yang menepuk bahu ku adalah Syakila. "Kamu ngagetin kakak aja sih Sya." ucap ku pelan agar tak membangunkan penghuni rumah lainnya."Ayo kita tidur aja kak. Lagi pula kan nggak ada siapapun di sini! barang kali itu Papah yang naroh karung di tengah lorong." Syakila berbicara dengan nada yang sangat pelan.Saat ini aku tak boleh berfikir macam-macam. Aku harus berpositif thinking. "Ya udah kita ke kamar trus tidur." Aku dan Syakila masuk ke dalam kamar meninggalkan karung beras itu tanpa berniat untuk mengembalikannya ke tempat semula.Hawa dingin menyelimuti kulit. Tak ada fentilasi udara di kamar kami. Tapi, aku merasa ada angin yang berhembus cukup kencang. Mungkin hanya aku saja yang merasakannya karena aku melihat Qinar dan Syakila tidur dengan bermandikan keringat. Aku merasa semua gerak gerik ku ada yang mengawasi.Pukul tiga dini hari aku mulai merasakan kantuk datang mata yang tadinya tak bisa terpejam kini mulai menutup dan tak lama kemudian tertidur.
Suara yang terdengar semakin kencang membuatku dan Om Angre saling beradu pandang. Tunggu, apa jangan-jangan itu suara keris yang sempat kami lihat tadi?Seketika sekujur tubuhku meremang. "Biar aku yang lihat." Papah bangkit dari duduknya dan memeriksa ke atas Plafon. Kami semua melanjutkan makan tanpa Papah.Beberapa saat berlalu suara itu menghilang setelah Papah mengecek keadaan di atas plafon. Papah kembali dengan raut wajah santai."Ketemu Pah tikusnya?" tanya Mamah sambil mengunyah makanannya."Papah heran deh Mah. Di atas itu sebenarnya nggak ada apapun. Bahkan nggak ada sarang tikus dan di atas juga nggak ada lubang untuk akses tikus masuk ke atas plafon." jelas Papah melanjutkan makan.Aku yakin jika suara itu ada kaitannya dengan kotak usang yang Om Angre temukan.Hari sudah menjelang Magrib. Om Angre dan tante Salwa berada di ruang tamu bersama Mamah dan Papah. Aku dan Qinar berada di kamar sambil bermain ponsel di atas ranjang.Tiba-tiba saja tubuh Qinar bergetar dan mem
"Tolong saya. Tolong keluarkan saya dari sini.."Deg!Suara yang kupikir sudah menghilang itu, ternyata terdengar kembali.Sontak, aku merasa takut.Semua yang aku alami di rumah ini sudah membuat mental dan psikisku down? Mau tak mau aku harus memberitahu kejadian ini pada Kedua orang tuaku!Barulah pada Pukul 04.00 dini hari, suara yang meminta tolong sudah tak terdengar lagi. Tapi, mataku sampai saat ini masih belum bisa terpejam. Tak ada rasa kantuk sama sekali yang aku rasakan. Seorang muadzin mengumandangkan Adzan. Tanpa menunggu lama aku berwudhu dan juga langsung melaksanakan sholah subuh. Setelah melakukan ibadah sholat hati ku merasa sedikit tenang. Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin. Wajah sedikit pucat dengan lingkaran hitam disekitar mata menandakan jika aku kurang tidur. Ya, aku kurang tidur. Bahkan bisa di bilang aku sama sekali tidak tidur semalam.Kulirik Syakira dan Qinar masih terlelap tidur. Pelan-pelan, aku pun keluar kamar untuk bertemu dengan Pa
Bagaimana guci itu pecah padahal tidak ada yang menyentuh guci itu. "Apa yang terjadi Mah?" tanya Ningrum yang baru keluar dari kamar. Ia tampak terkejut melihat guci pecah.Berbeda dengan Tante Nurmila. Ia justru tampak datar memandangi guci yang sudah pecah tanpa sebab. Entah apa yang tante Nirmila fikirkan saat ini karena aku tidak bisa membacanya dari ekspresi wajah yang datar."Sebaiknya kamu pulang dulu Ra. Lain kali kamu datang kesini." ucap Tante Nurmila dingin.Seketika aku dan Ningsih saling pandang. Sekian lama aku berteman dengan Ningrum, baru kali ini Tante Nurmila bersikap dongin pada ku. Bahkan secara terang-terangan ia menyuruh ku untuk meninggalkan rumah nya.Ningsih memainkan kedua alisnya menanyakan apa yang terjadi lewat isyarat. Aku yang sebenarnya tidak tau menahu hanya menggeleng lemah."Baik Tante. Kiara pamit pulang dulu." ucap ku dengan rasa sedikit kecewa. Aku merasa jika Tante Nurmila berubah. dan dengan alasan apa ia berubah aku pun tak tahu.Ningsih meng
Aku terbangun pukul setengah dua belas. Semenjak Pindah ke sini, hampir setiap malam aku tak bisa tidur. Aku sering berjaga dan mendatkan mimpi buruk.Dari mimpi yang baru saja aku alami, ada banyak pertanyaan yang terlintas di benak ku. Siapa orang yang ada di mimpi ku? Aku tak mengenal mereka dan tak tahu mereka itu siapa. Tapi kenapa mereka hadir di mimpi ku? Dan mengenai sesuatu yang mereka katakan, siapa yang sedang mereka cari untuk tumbal? siapa Mahluk itu? dan suara siapa yang menolong ku sehingga aku bisa terbangun dari mimpi buruk ku itu.Semua masih menjadi tanda tanya. Apa mungkin itu pengguni rumah ini sebelum kami? Tapi, kenapa aku bisa memimpikan mereka?Aku mengusap wajah yang mulai kusut. Setelah aku terjaga kantuk pun menghilang. Aku merasa ada angin yang pelan berhembus di sekelling ku. Aku merasa sedikit menggigil. tok tok tok...Suara pintu kamar ku terketuk dai luar. Tok Tok Tok....Kali ini suara ketukan semakin keras. Siapa yang mengetuk kamar malam-malam be
Kami bergegas masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mamah yang ada di kamar. Tapi kenapa tak ada apapun yang terjadi? Bahkan Mamah masih sangat tenang di alam bawah sadarnya."Apa benar itu tadi suara Mamah Pah?" Seketika aku meragukan apa yang aku dengar tadi.Papah mengendikkan bahunya ke atas. "Ya udah kamu nggak usah mikirin masalah itu. Kamu pergi aja jemput adik-adik mu dan Papah akan menjaga di sini."Karena kondisi Mamah jauh lebih baik dari semalam, aku pun menjemput kedua adik ku untuk pulang.Sebenarnya aku berat untuk kembali pulang. Tapi aku tak punya pilihan saat kondisi Mamah seperti ini.Tak ada pertanyaan yang nenek ku tanyakan karena kami sepakat untuk tak memberitahu tentang masalah yang ada di rumah kontrakan kami.Saat ingin memasuki rumah, Qinar tampak bersembunyi di belakang Syakila. "Ada apa Qin?" tanya Syakila bingung dengan sikap Qinar."Qinar takut sama ibu itu Kak." ucap Qinar dengan tubuh gemetar. Qinar menunjuk pintu depan rumah. Aku mengerutkan kening. "
Semakin lama Qinar mengerang kesakitan. Aku tak tega mendengar ia mengerang seperti itu. Syakila yang sudah tertidur kembali terbangun karena suara Qinar yang mmegerang kesakitan cukup keras."Qinar kenapa sih kak?" tanya Syakila dengan suara serak khas bangun tidur."Aku juga nggak tahu Sya, Qinar demam dan mengeluh sakit di pinggang. Apa tadi saat di rumah Nenek Qinar jatuh atau terkena apa gitu sampai punggungnya memar dan membiru.Syakila mengerutkan kening. "Memar? tapi kenapa kak? setahu ku Qinar nggak jatuh deh pas di rumah nenek."Penjelasan Syakila semakin membuat ku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Qinar mengalami luka memar seperti itu?Karena penasaran Syakila pun menyingkap baju belakang Qinar dan betapa terkejutnya kami saat luka memar itu berubah menjadi hitam. Bahkan demamnya semakin tinggi.Kepanikan tak bisa aku sembunyikan lagi karena itu sangat tidak wajar. Mau tak mau aku harus membangun
Aku dan Papah menunggu kedatangan Om Angre di ruang tamu. Rasa cemas dan rasa bersalah menyelimuti hati. Karena rasa takut yang berlebihan membuatku tak bisa berfikir jernih sampai membuat Mamah menghilang. Setelah sekian lama menunggu, Om Angre pun datang. Tampak raut wajah cemas menghiasi wajah tampannya itu. "Gimana Mas, Mbak Jihan udah ketemu?" tanya Om Angre cemas."Belum. Aku sudah mencarinya di semua sudut rumah. Namun, aku belum menemukannya." jawab Papah dengan wajah frustasi."Apa kalian sudah mencarinya di halaman belakang?""Bagaimana dia bisa pergi ke halaman belakang kalau pintunya saja terkunci dari dalam." jawab Papah.Aku menghela nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Nggak ada salahnya juga kalau kita cari Mamah di halaman belakang Pah." sahutku. Entah mengapa aku memiliki feelling kalau Mamah ada disanaOm Angre manarik nafas dalam dan berkata, "Baiklah. Kita akan mencari Kak